Share

Fly 3

Di sebuah rumah yang lain.

Gebrakan keras di pintu membuat si pemilik kamar mengkerut di tempat tidurnya. Ibunya sudah menggila, pikirnya.

"Qitt, buka pintunya kita perlu bicara!" Seorang wanita yang terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu tampak diliputi amarah.

"Quitta! Buka pintunya atau Mama minta tukang membobol pintu ini!" 

Sebuah kalimat yang langsung membuat si empunya nama bangkit dan segera membuka pintu kamarnya.

Gadis berusia 18 tahun itu memasang wajah tak kalah masam saat netra keduanya saling bertemu.

"Apa yang kamu lakukan? Mau bikin kacau semuanya?" bentak wanita yang lebih tua.

Gadis remaja di depannya tak bergeming, dia hanya diam mendekap boneka stitch kesayangannya.

"Quitta! Jawab Mama!"

"Apa lagi yang harus aku jawab Ma, apa?! Mama cuman mau dengar apa yang mau Mama dengar, bukan bagaimana sebenarnya perasaan aku, apa yang aku inginkan, atau apa yang ingin aku katakan pada Mama!"

Quitta mulai terisak. Namun tak membuat Anastasia menjadi luluh.

"Mama harap kamu bisa lebih dewasa, lagipula sebentar lagi kamu lulus sekolah. Wajar kalau Mama sudah menginginkan kamu untuk menikah." Ujar Anastasia sedikit melunak.

Quitta tak bergeming, dia yakin apapun yang dikatakannya pasti akan disanggah oleh ibunya. Jika sudah punya keinginan, ibunya itu akan berusaha keras agar keinginannya terwujud. Tak peduli jika harus mengorbankan banyak hal, termasuk perasaan putrinya.

"Kita bicara lagi kalau kamu sudah tenang." Ujarnya sambil berlalu meninggalkan Quitta di kamarnya.

Quitta semakin terisak. Dia menyesali keputusannya yang memilih ikut bersama Mama. Seharusnya dia memilih Papa. Papanya yang berhati lembut tidak akan pernah memaksanya melakukan hal yang tidak disukainya.

"Mama memintaku menikah untuk menyingkirkanku dari rumah ini ... " ucap Quitta dalam isakannya.

Quitta tertidur setelah lelah menangisi nasibnya. Sebuah panggilan dari nomor asing luput dari pendengarannya. Telinganya sudah lelah, begitu pun matanya, dan terlebih lagi batinnya.

***

Jam istirahat Quitta mengajak Farah, sahabatnya, duduk di bawah pohon besar yang berada di pinggir lapangan sekolah. Daripada berada di kantin, Quitta lebih nyaman menghabiskan waktu sambil merenung dan mendinginkan kepalanya jauh dari keramaian. Farah yang selalu menjadi tempat curhatnya, tapi tidak pernah kepo urusannya, adalah pilihan tepat untuk menemaninya saat ini.

Dua buah susu kotak rasa coklat dan roti isi yang dibawanya dari rumah, cukup untuk mengganjal perut mereka. Farah juga membawa cemilan ringan yang bisa mereka habiskan bersama.

"Semakin hari rotinya semakin enak, aku rasa kamu sudah layak untuk mengikuti master chef." Urai Farah disertai derai tawa keduanya.

"Ini sih ngga ada apa-apanya, aku bisa buatin kamu  yang lebih rumit. Mau masakan apa, Amerika, Eropa, atau Indonesia? Masakan daerah juga aku bisa." Ucap Quitta dengan nada bangga.

"Percaya deh ... makanya kamu pengen lanjut kuliah masak juga." Respon Farah.

"Tapi Mamaku ngga setuju. Dia bilang menjadi tukang masak ngga sesuai dengan citra keluarga kami." Lirih Quitta dengan kepala tertunduk.

Setitik air mata menetes di pipi mulusnya, tak luput dari perhatian Farah.

"Sshtt, lihat!" bisik Farah mengalihkan perhatian keduanya.

Seorang siswa laki-laki berjalan mendekat. Dari jauh dia sudah melayangkan senyum, menampilkan gigi putihnya yang sudah diveneer

Quitta mendengus, sebenarnya dilihat dari cara berjalannya saja Quitta tidak menyukai laki-laki itu.

"Hai Qitt, Mama kamu bilang kapan-kapan kalian mau datang ke rumahku?" tanya Ghaza, nama lelaki itu. Bibir tipisnya yang merah tertarik menampilkan senyum yang dihiasi lesung pipi yang menawan.

Quitta memalingkan wajahnya dan berkata, "Sayang sekali dia ngga bilang sama aku, jadi mungkin maksudnya hanya Mamaku yang akan ke rumahmu, tanpa aku."

"Ngga apa-apa sih, kamu bilang gitu. tapi semalam dia menelpon Mamaku untuk memastikan dan memintaku menjadi private guide untuk acara house tour pertama kamu di rumahku."

"Apa?!"

"Memangnya segede apa sih rumah kamu Za, sampe harus tur segala." Celetuk Farah yang hanya dibalas senyuman oleh Ghaza.

Ghaza mencondongkan tubuhnya pada Quitta.

"We're gonna married, soon. Jadi wajar kalau Mama kamu meminta kita lebih dekat satu sama lain. Dan kita juga pastinya harus tahu 'luar dalam' masing-masing. Ahh, aku ngga keberatan kok buat ngajarin kamu sex edu before and after marriage." Ucap Ghaza setengah berbisik di telinga Quitta.

Quitta mencengkeram rok seragamnya hingga tangannya memerah. Hatinya semakin mendidih mendengar ucapan Ghaza.

"Ya udah aku pergi dulu, sepertinya kalian belum menghabiskan makan siangnya. Sebentar lagi bel loh ... " ucap Ghaza dengan senyum smirknya.

Farah menatap iba pada sahabatnya. 

"Qitt ... " lirih Farah.

"Aku harus bicara dengan mamaku." Putus Quitta.

"Jangan! Dia ngga bakal merubah keputusannya." Bantah Farah.

"Lalu apa yang harus kulakukan Far, aku ngga mau pasrah aja menerima perjodohan ini ... " isak Farah.

Farah membawa tangan Quitta menuju pangkuannya.

"Kamu bisa bicara dengan papa kamu. Aku yakin Papa kamu pasti akan mendukung kamu."

Meski tak yakin, solusi dari Farah bisa dicoba. 

"Ayo kita habiskan dulu makanannya, jangan sampai perut kita lemas saat berhadapan dengan kalkulus, gurunya terkenal paling killer sejagat sekolah!" kikik Farah, tak ayal membuat Quitta ikut tersenyum.

"Dan jangan lupa dia ngga akan puas sebelum bikin siswanya mati kutu karena ngga bisa mengerjakan soal di depan kelas." Tambah Quitta.

"Benar sekali! Oh ... roti ini semakin nikmat disantap setelah menyaksikan perdebatan dua insan yang dijodohkan." Celetuk Farah iseng.

Quitta menyikut tangan Farah sambil cemberut.

"Kamu tahu ngga, di kalangan anak basket, Ghaza terkenal sebagai penakluk bola dan wanita." Beritahu Farah.

"Ngga tahu, dan aku ngga mau tahu." Cetus Quitta, menatap Farah lalu memeletkan lidahnya.

"Jangan gitu dong, sebagai sahabat aku ngga mau kalau kamu seperti membeli kucing dalam karung. Ngerti kan?!"

"Daripada begitu, mending aku ngga beli aja sekalian. Lagian aku tahu, Ghaza tuh player. Mantannya ada di setiap kelas, dan ngga cuman yang seangkatan aja, adik kelas juga banyak. Karena lelaki gatal kayak dia penganut faham fanatik 'one month one girl'."

Farah menatap Quitta tak percaya.

"Jadi kamu udah tahu?!"

Quitta mengangguk mengiyakan.

"Ngga ada yang ngga tahu tentang dia."

"Tapi aku yakin pernikahan kamu sama dia ngga akan terhindarkan. Melihat watak mamamu yang keras." 

"Tadi kamu bilang aku bisa bicara dengan Papa, siapa tahu bisa membantu."

"Ya, mudah-mudahan." Ucap Farah.

"Kok sekarang kayak ngga yakin gitu, padahal beberapa menit yang lalu kamu yang nyaranin." 

"Iya, yakin kok. Tapi kita juga harus bersiap dengan segala kemungkinan." Ucap Farah sok bijak.

Quitta terdiam. Dia memasukkan roti isi keju kedalam mulutnya. Semakin banyak berpikir, perutnya semakin merasakan lapar.

                                                         ****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status