Di sebuah rumah yang lain.
Gebrakan keras di pintu membuat si pemilik kamar mengkerut di tempat tidurnya. Ibunya sudah menggila, pikirnya.
"Qitt, buka pintunya kita perlu bicara!" Seorang wanita yang terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu tampak diliputi amarah.
"Quitta! Buka pintunya atau Mama minta tukang membobol pintu ini!"
Sebuah kalimat yang langsung membuat si empunya nama bangkit dan segera membuka pintu kamarnya.
Gadis berusia 18 tahun itu memasang wajah tak kalah masam saat netra keduanya saling bertemu.
"Apa yang kamu lakukan? Mau bikin kacau semuanya?" bentak wanita yang lebih tua.
Gadis remaja di depannya tak bergeming, dia hanya diam mendekap boneka stitch kesayangannya.
"Quitta! Jawab Mama!"
"Apa lagi yang harus aku jawab Ma, apa?! Mama cuman mau dengar apa yang mau Mama dengar, bukan bagaimana sebenarnya perasaan aku, apa yang aku inginkan, atau apa yang ingin aku katakan pada Mama!"
Quitta mulai terisak. Namun tak membuat Anastasia menjadi luluh.
"Mama harap kamu bisa lebih dewasa, lagipula sebentar lagi kamu lulus sekolah. Wajar kalau Mama sudah menginginkan kamu untuk menikah." Ujar Anastasia sedikit melunak.
Quitta tak bergeming, dia yakin apapun yang dikatakannya pasti akan disanggah oleh ibunya. Jika sudah punya keinginan, ibunya itu akan berusaha keras agar keinginannya terwujud. Tak peduli jika harus mengorbankan banyak hal, termasuk perasaan putrinya.
"Kita bicara lagi kalau kamu sudah tenang." Ujarnya sambil berlalu meninggalkan Quitta di kamarnya.
Quitta semakin terisak. Dia menyesali keputusannya yang memilih ikut bersama Mama. Seharusnya dia memilih Papa. Papanya yang berhati lembut tidak akan pernah memaksanya melakukan hal yang tidak disukainya.
"Mama memintaku menikah untuk menyingkirkanku dari rumah ini ... " ucap Quitta dalam isakannya.
Quitta tertidur setelah lelah menangisi nasibnya. Sebuah panggilan dari nomor asing luput dari pendengarannya. Telinganya sudah lelah, begitu pun matanya, dan terlebih lagi batinnya.
***
Jam istirahat Quitta mengajak Farah, sahabatnya, duduk di bawah pohon besar yang berada di pinggir lapangan sekolah. Daripada berada di kantin, Quitta lebih nyaman menghabiskan waktu sambil merenung dan mendinginkan kepalanya jauh dari keramaian. Farah yang selalu menjadi tempat curhatnya, tapi tidak pernah kepo urusannya, adalah pilihan tepat untuk menemaninya saat ini.
Dua buah susu kotak rasa coklat dan roti isi yang dibawanya dari rumah, cukup untuk mengganjal perut mereka. Farah juga membawa cemilan ringan yang bisa mereka habiskan bersama.
"Semakin hari rotinya semakin enak, aku rasa kamu sudah layak untuk mengikuti master chef." Urai Farah disertai derai tawa keduanya.
"Ini sih ngga ada apa-apanya, aku bisa buatin kamu yang lebih rumit. Mau masakan apa, Amerika, Eropa, atau Indonesia? Masakan daerah juga aku bisa." Ucap Quitta dengan nada bangga.
"Percaya deh ... makanya kamu pengen lanjut kuliah masak juga." Respon Farah.
"Tapi Mamaku ngga setuju. Dia bilang menjadi tukang masak ngga sesuai dengan citra keluarga kami." Lirih Quitta dengan kepala tertunduk.
Setitik air mata menetes di pipi mulusnya, tak luput dari perhatian Farah.
"Sshtt, lihat!" bisik Farah mengalihkan perhatian keduanya.
Seorang siswa laki-laki berjalan mendekat. Dari jauh dia sudah melayangkan senyum, menampilkan gigi putihnya yang sudah diveneer.
Quitta mendengus, sebenarnya dilihat dari cara berjalannya saja Quitta tidak menyukai laki-laki itu.
"Hai Qitt, Mama kamu bilang kapan-kapan kalian mau datang ke rumahku?" tanya Ghaza, nama lelaki itu. Bibir tipisnya yang merah tertarik menampilkan senyum yang dihiasi lesung pipi yang menawan.
Quitta memalingkan wajahnya dan berkata, "Sayang sekali dia ngga bilang sama aku, jadi mungkin maksudnya hanya Mamaku yang akan ke rumahmu, tanpa aku."
"Ngga apa-apa sih, kamu bilang gitu. tapi semalam dia menelpon Mamaku untuk memastikan dan memintaku menjadi private guide untuk acara house tour pertama kamu di rumahku."
"Apa?!"
"Memangnya segede apa sih rumah kamu Za, sampe harus tur segala." Celetuk Farah yang hanya dibalas senyuman oleh Ghaza.
Ghaza mencondongkan tubuhnya pada Quitta.
"We're gonna married, soon. Jadi wajar kalau Mama kamu meminta kita lebih dekat satu sama lain. Dan kita juga pastinya harus tahu 'luar dalam' masing-masing. Ahh, aku ngga keberatan kok buat ngajarin kamu sex edu before and after marriage." Ucap Ghaza setengah berbisik di telinga Quitta.
Quitta mencengkeram rok seragamnya hingga tangannya memerah. Hatinya semakin mendidih mendengar ucapan Ghaza.
"Ya udah aku pergi dulu, sepertinya kalian belum menghabiskan makan siangnya. Sebentar lagi bel loh ... " ucap Ghaza dengan senyum smirknya.
Farah menatap iba pada sahabatnya.
"Qitt ... " lirih Farah.
"Aku harus bicara dengan mamaku." Putus Quitta.
"Jangan! Dia ngga bakal merubah keputusannya." Bantah Farah.
"Lalu apa yang harus kulakukan Far, aku ngga mau pasrah aja menerima perjodohan ini ... " isak Farah.
Farah membawa tangan Quitta menuju pangkuannya.
"Kamu bisa bicara dengan papa kamu. Aku yakin Papa kamu pasti akan mendukung kamu."
Meski tak yakin, solusi dari Farah bisa dicoba.
"Ayo kita habiskan dulu makanannya, jangan sampai perut kita lemas saat berhadapan dengan kalkulus, gurunya terkenal paling killer sejagat sekolah!" kikik Farah, tak ayal membuat Quitta ikut tersenyum.
"Dan jangan lupa dia ngga akan puas sebelum bikin siswanya mati kutu karena ngga bisa mengerjakan soal di depan kelas." Tambah Quitta.
"Benar sekali! Oh ... roti ini semakin nikmat disantap setelah menyaksikan perdebatan dua insan yang dijodohkan." Celetuk Farah iseng.
Quitta menyikut tangan Farah sambil cemberut.
"Kamu tahu ngga, di kalangan anak basket, Ghaza terkenal sebagai penakluk bola dan wanita." Beritahu Farah.
"Ngga tahu, dan aku ngga mau tahu." Cetus Quitta, menatap Farah lalu memeletkan lidahnya.
"Jangan gitu dong, sebagai sahabat aku ngga mau kalau kamu seperti membeli kucing dalam karung. Ngerti kan?!"
"Daripada begitu, mending aku ngga beli aja sekalian. Lagian aku tahu, Ghaza tuh player. Mantannya ada di setiap kelas, dan ngga cuman yang seangkatan aja, adik kelas juga banyak. Karena lelaki gatal kayak dia penganut faham fanatik 'one month one girl'."
Farah menatap Quitta tak percaya.
"Jadi kamu udah tahu?!"
Quitta mengangguk mengiyakan.
"Ngga ada yang ngga tahu tentang dia."
"Tapi aku yakin pernikahan kamu sama dia ngga akan terhindarkan. Melihat watak mamamu yang keras."
"Tadi kamu bilang aku bisa bicara dengan Papa, siapa tahu bisa membantu."
"Ya, mudah-mudahan." Ucap Farah.
"Kok sekarang kayak ngga yakin gitu, padahal beberapa menit yang lalu kamu yang nyaranin."
"Iya, yakin kok. Tapi kita juga harus bersiap dengan segala kemungkinan." Ucap Farah sok bijak.
Quitta terdiam. Dia memasukkan roti isi keju kedalam mulutnya. Semakin banyak berpikir, perutnya semakin merasakan lapar.
****
Setiap saat ada saja tingkah Tessa untuk mengerjai omnya, Narendra. Usia mereka yang hanya berjarak sepuluh tahun, membuat mereka dekat layaknya kawan. Kali ini Tessa meminta Naren untuk mentraktirnya makan siang. Tak tanggung-tanggung, Tessa memilih restoran western terkenal yang harganya tentu saja tidak cocok untuk dompet anak SMA seusianya. "Kamu tuh tahu aja cara bikin orang bangkrut." Gerutu Naren. "Om ih, ngga boleh bilang gitu. Biar gini juga aku tuh ponakan Om yang tersayang, kalo ngga ada aku, hidup loe ngga asik!" kekeh Tessa. "Salah! Justru ngga ada kamu dompet Om jadi makmur." Tessa mencebikkan bibirnya dengan tak acuh, tak ingin perkataan omnya membuat harinya yang sudah berwarna menjadi kelabu. Setelah sederet pesanannya yang cukup untuk porsi rame-rame datang, Tessa mulai meng-up date status di Twitter, I* dan W*-nya, lengkap dengan foto dari berbagai angle. Naren hanya berdecak melihat tingkahnya. Terlalu enggan mengomentari kebiasaan Tessa yang hanya akan membu
Tepat pukul 5, Kevlar turun dari kantornya. Beberapa karyawan galeri furnitur yang berada di lantai bawah kantornya tersenyum dan mengangguk hormat saat Kevlar lewat di depan mereka. Jam tutup galeri berbeda satu jam dengan kantor, tapi beberapa karyawan sudah mulai berbenah, dan sebagian lainnya masih melayani klien yang ingin membeli furnitur atau sekedar hanya melihat-lihat. Kevlar memasuki mobil Range Rover miliknya, dan melaju dengan kecepatan sedang. Menyesal dia tidak meminta Pak Mur, supir perusahaan, untuk mengemudikan mobilnya karena baru lima belas menit berada di jalan, dia sudah merasakan kantuk yang tak tertahankan. Semuanya gara-gara semalam dia begadang. Padahal tidak ada hal penting yang harus dilakukannya. Pun mengenai masalahnya dengan Alea yang beberapa hari terakhir sempat menyita pikirannya, kini tak dirisaukannya lagi. Dia membebaskan pikirannya dari segala hal yang memberatkan, dan melakukan semua hal yang diinginkannya tanpa memedulikan apakah orang lain a
"jadi siapa nama kamu?" Polisi bertanya setelah dia meminjam ruang perawatan yang kosong untuk berbicara. "Quitta." Kevlar memperhatikan interaksi keduanya dengan seksama. "Punya KTP atau kartu identitas lain yang masih berlaku?" "Ada KTP." "Coba saya lihat." "Kamu sudah menghubungi orang tua atau wali kamu?" Lanjut polisi itu, sambil memeriksa dengan seksama kartu identitas Quitta. "Belum." "Sudah punya SIM?" Quitta mengangguk, dan kembali menunjukkan SIM motor dan mobil miliknya. "Seharusnya saya katakan ini pada orang tua kamu, tapi karena kamu sudah berusia 18 tahun, berarti sudah dianggap dewasa untuk berdiskusi mengenai masalah ini. Ini murni ketidak sengajaan yang disebabkan oleh kelalaian pengemudi, tapi pemilik mobil sudah bersedia membiayai pengobatan serta mengganti biaya perbaikan motor kamu. Jadi kalau kamu setuju untuk berdamai, masalah ini akan berakhir sampai di sini dan tidak ada yang perlu ke kantor polisi." Jelas polisi itu. "Aku setuju." Jawab Quitta ce
Kevlar tiba di rumahnya dengan perasaan lelah luar biasa. Kejadian hari ini memberinya pelajaran untuk lebih berhati-hati dalam berkendara. Rasa lelah itu memaksa dirinya untuk segera berbaring di kamarnya. Namun keadaan tubuhnya yang kotor membuatnya berpikir dua kali untuk melakukannya. Akhirnya dengan sisa tenaga yang dimiliki, dia pun memutuskan untuk menyegarkan tubuhnya dengan mandi air hangat. Di bawah shower Kevlar membiarkan tetes-tetes air jatuh menembus pori-porinya. Rasa hangat meresap ke dalam kulit, membuat darahnya mengalir lancar. Dan seolah sudah dicharge, tenaganya kembali pulih dalam sekejap. "Quitta ... " desahnya tanpa sadar di antara gemericik air. Bayangan tentang gadis itu hinggap di benaknya. Meski mereka baru saling mengenal, namun Kevlar sudah merasa tak asing lagi dengan gadis itu. Gadis yang selalu dilihatnya di pukul 3 lebih 30, saat jam bubaran sekolah berdentang. Setengah jam berlalu Kevlar menyudahi ritual mandinya. Perasaan segar membuat pikiran
Hari ini Kevlar mengajak Tessa makan sepulang sekolah. Sepanjang perjalanan tak hentinya Tessa berbicara tentang banyak hal, termasuk tentang teman-temannya. "Jadi kalian udah temenan dari kelas sepuluh?" Tanya Kevlar sambil menyetir. "Iya, awalnya kita kenal karena satu ekskul. Baru deh di kelas dua belas ini kita satu kelas." "Quitta? Atau siapa nih maksudnya?" Tanya Kevlar penasaran. Sejak tadi dia memang lebih tertarik pada satu nama itu. Lagipula dia mengajak Tessa makan bukan tanpa maksud, ada misi yang harus dijalankannya. Misi mencari informasi tentang Quitta. "Iya dia! Satu lagi namanya Farah. Kita bertiga tuh udah deket, BFF bangetlah." Ucap Tessa sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya. "Umh ... Anaknya gimana?" "Siapa?" "Quitta." Tessa memandang Kevlar dengan curiga, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang aneh dengan Kevlar. "Perasaan dari tadi Kakak nanyain Quitta terus deh ... " ucap Tessa menyuarakan keheranannya. "Emang kenapa?" Tanya Kevlar tanpa dosa
Demi menyambut tamu spesial, sejak pagi sekali Anastasia sudah bangun. Semalam dia sudah menghubungi asisten rumah tangganya agar datang lebih awal untuk berbelanja ke pasar. Dia juga meminta asisten rumah tangganya itu mencari dua orang lainnya untuk membantunya mempersiapkan semua hal. Quitta berusaha membuat dirinya tenang dengan tidak terpengaruh kegaduhan yang terjadi di rumahnya . Namun suara Anastasia yang sibuk mengatur dan mempersiapkan berbagai hal membuatnya terganggu. Bukannya dia tak tahu bahwa hari ini Ghaza dan ibunya akan berkunjung ke rumahnya, namun menurutnya sikap ibunya terlalu berlebihan. "Permisi ... " suara seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. "Ya, siapa?" jawab Quitta, mengernyit mendengar suara yang asing di telinganya. Pintu kamarnya yang tertutup dibuka dari luar, dua orang wanita muda berwajah manis menyeruak masuk. Salah satunya membawa sebuah koper persegi berwarna hitam. "Halo, saya MUA yang mau make up-in kamu. Sudah siap? Mau dimake-up sekar
"Mama ngga seharusnya bicara seperti itu pada ibunya Ghaza." Ucap Quitta, setelah Ghea dan Ghaza berpamitan pulang. Kekesalan yang ditahannya sejak tadi pada Anastasia membutuhkan pelampiasan. "Memangnya kenapa? Justru Mama harus membicarakannya secepat mungkin." "Apa Mama tidak merasa malu? Setelah berbicara seperti itu terlihat jelas bahwa kita sangat menginginkannya." "Mama ngga mau munafik, siapa yang tidak mau berbesanan dengan keluarga mereka. Berpendidikan dan terpandang, dan yang pasti kekayaan mereka tidak akan habis untuk tujuh turunan. Hidup kita akan bahagia selamanya." "Ralat. Hidup Mama, bukan hidupku!" Quitta pergi meninggalkan Anastasia menuju kamarnya. Sudah cukup dia merasa malu pada Ghaza dan ibunya, dan kini dia harus menjaga hatinya agar tidak merasakan kesedihan yang mendalam karena sikap ibunya. "Mama melakukan semua ini untuk kamu!" teriak Anastasia. Dibiarkannya Quitta pergi ke kamarnya. Lagipula hari ini dia sudah cukup senang mendengar perkataan Ghea.
Saat Quitta duduk di bangku kelas 2 SMP, orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Akibat perceraian itu mengubah kehidupan Quitta secara drastis. Dia dipaksa harus memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya. Pilihan yang sebenarnya sudah ditentukan. Karena nyatanya meski diberi dua pilihan, Quitta tidak bisa menolak saat Anastasia memohon dengan setengah memaksa agar Quitta tinggal bersama dirinya. Quitta terhenyak. Hampir Lima tahun sejak perceraian orang tuanya, hari ini setelah tak bertemu dan kehilangan kontak selama dua tahun Quitta akhirnya akan bertemu lagi dengan ayahya, Dewa. Sekelebat ingatannya tentang ayahnya terlintas di benaknya. Hingga sebelum perceraian itu terjadi Quitta tumbuh menjadi anak yang beruntung dengan limpahan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Terlebih ayahnya yang sangat menyayangi dan mengasihinya. Demi kepentingan putri satu-satunya, Dewa selalu meluangkan waktu apapun yang terjadi. Meski harus meninggalkan pekerjaannya sebagai chef