Share

05. Cerai karena Irasya hamil?

“Mas, pulangnya masih lama?”

“Ini udah di mobil, Bigel. Mas bawain ikan laut pedas yang Bigel pesan. Sabar, ya?”

“Aku hari ini pamit pergi ya, Mas. Kedepannya kalau mau antar surat cerai, Mas bisa telepon aku. Kalau anak kita udah lahir, aku juga bakal kasih tau Mas.”

Hasbi mengerem secara mendadak karena rasa terkejutnya yang bukan main. “Bigel! Apa-apaan? Apa yang kau katakan barusan! Kau mau kemana? Jangan main-main begini. Aku tidak suka, Bigel!” kecam Hasbi karena rasa marahnya mulai tersulut.

“Aku mau pulang ke kampung halaman ibuku.”

Hasbi mengusap wajahnya dengan kasar, heran dengan sikap Bigel yang seperti ini. “Kau mau pulang untuk apa? Bukannya sudah tidak ada lagi keluarga disana? Kenapa tiba-tiba minta cerai? Jika memang ingin kesana, kita akan kesana. Bukan cerai seperti ini, Bigel.”

“Intinya, aku ingin keluar dari rumah sore ini. Aku akan membawa semua barang-barangku.”

“Bigel, apa yang terjadi? Lima bulan pernikahan kita dan sudah dua bulan kita berusaha untuk saling memahami dan menerima satu sama lain. Aku sudah mengatakan jika aku sedang berusaha untuk hubungan kita, tapi ini ....”

“Serahkan saja surat cerainya jika sudah siap. Posisiku disini hanya menggantikan Irasya yang menghilang saat pernikahan itu. Mas sendiri yang bilang, jika Irasya kembali maka Mas akan menceraikanku, kan?”

Dug!

Irasya kembali? Secepat ini? Di saat Hasbi berusaha memberikan sepenuh hatinya untuk ditata Bigel sebaik mungkin?

“Irasya ada d-disini?”

“Dia pulang kesini, lebih tepatnya rumah ini. Jadi, tugasku sudah selesai, Mas Hasbi,” ucap Bigel. Terdengar suara pintu lemari dibuka dan Bigel menurunkan baju-bajunya dengan satu tangan yang lain.

Hasbi meremat kemudi setirnya dan mulai terasa keringat dingin mengalir dari kepalanya turun membahasi punggungnya. Dia tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya mendengar fakta bahwa Irasya kembali dan mencarinya.

“Mas Hasbi?”

“Bigel,” balas Hasbi.

“Mas tidak salah.”

“Aku akan pulang dan jangan pergi sampai aku datang. Kita akan membicarakan ini. Jangan mengatakan apapun lagi, aku tidak ingin mendengarnya.”

“T-tapi ....”

Hasbi menutup percakapan dengan mematikan ponselnya lebih dulu. Dia kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.

***

“Hasbi!”

Seperkian detik Hasbi membeku di tempat, lalu badannya berbalik sembari mengepalkan kedua tangannya. Dia hapal, itu suara khas milik Irasya yang dulu adalah favoritnya.

“Irasya?” Rasa campur aduk yang tidak Hasbi mengerti, ada rasa bahagia bisa melihat wajah gadis yang dulu sangat ia cintai.

“Hasbi, ini aku.”

“Kau kembali?”

Mata Irasya tidak pernah bohong, dia sangat merindukan sosok Hasbi dan segera berlari untuk memeluk pria yang ia cintai itu. Adegan pelukan sepihak yang dilakukan Irasya, justru ditonton Bigel dari dalam rumah.

Hasbi memilih diam dan tidak membalas pelukan Irasya karena dia bingung pada arah hatinya. Jika ditanya apa dia rindu pada Irasya? Jawabannya adalah iya. Tapi, bersamaan dengan itu dia tidak tega membuat Bigel kembali terluka.

“Hasbi, aku sendirian ....”

Hasbi melepaskan pelukan Irasya secara perlahan dengan mendorong pelan bahu wanita itu. “Irasya, aku sudah menikah. Aku tidak mengerti kenapa kau pergi sebelum acara pernikahan. Aku ingin tahu alasannya, tapi tidak sekarang karena aku belum siap dengan jawabannya. Pulanglah, aku—“

“Mama. Itu mama,” potong Irasya langsung. Wanita itu memilih menggenggam kedua tangan Hasbi dengan erat. “Aku sangat mencintaimu, tapi mama tidak suka padaku. Dia hanya i-ingin wanita pilihannya yang menjadi istrimu.”

“Begitu, ya,” balas Hasbi sambil memperhatikan tangannya yang digenggam oleh Irasya. “D-dari awal alasannya pasti mama. Waktu itu, aku mengatakan untuk jangan mendengarkan omongan mama. Kalau begini, aku merasa kau yang tidak siap menikah denganku,” tambahnya. Lalu, melepaskan tangan Irasya begitu saja.

“Maafkan aku, Mama mengancam akan membuat kehidupanku benar-benar hancur. Kau t-tidak mengerti dengan posisiku, Hasbi ...,” lirihan Irasya membuat Hasbi sedikit meluluh. “A-aku benar-benar takut karena aku sendirian ....” Air matanya jatuh karena tidak tahan.

Hasbi memejamkan matanya sebentar, laru menatap lembut pada Irasya. Rasa itu, kian hancur dan menjadi hambar. “Pulanglah, kepalaku sedang pusing untuk mencerna semuanya. Kita bicarakan nanti saja. Ada yang lebih penting untuk aku urus saat ini.”

Ketika Hasbi hendak berbalik, Irasya menahan lengannya lagi dengan kuat. “I-itu Bigel, kan? S-sesuatu yang penting?”

Tanpa ragu, Hasbi mengangguk sebagai jawaban.

“A-aku hamil, anakmu.”

Bagai dikejutkan dengan petir, mata Hasbi membola sempurna dan aliran darahnya berdesir seperti mendidih. Apa yang diucapkan Irasya adalah pukulan terberat untuk beban pundaknya.

“H-hamil?”

Irasya mengangguk dengan isak tangis yang keluar pecah. “Aku kembali u-untuk ini. Satu bulan sebelum pernikahan, aku sudah telat datang bulan. H-hasbi ... enam bulan.”

“Kenapa baru sekarang mengatakannya?”

“A-aku baru tahu, Hasbi. K-kau tidak akan meninggalkannya sendiri, kan? Setidaknya, ingat jika ini darah dagingmu,” pinta Irasya dengan penuh harap.

Lagi, Hasbi menepis pelan tangan Irasya yang menggenggam erat tangannya. “Pulanglah, aku akan bertanggung jawab jika menyangkut darah dagingku. Jangan kesini lagi, Bigel juga sedang hamil,” ucap Hasbi dan benar-benar melangkahkan kakinya menjauh dari Irasya.

“H-hasbi.”

Seolah menulikan telinganya, Hasbi benar-benar tidak menoleh lagi untuk sekedar melihat Irasya yang masih menangis disana.

Kret.

Bunyi pintu yang dibuka oleh Hasbi, Bigel sudah berdiri di ruang tamu dengan dua tas besar berisi bajunya dan perlengkapannya yang lain.

“Tidak, aku tidak mengizinkanmu keluar dari rumah ini, Bigel.”

“Aku tidak ingin tinggal di rumah ini lagi. Bukannya Mas harus senang karena Irasya kembali?”

Hasbi berjalan ke arah Bigel dan menarik paksa tangan Bigel untuk dibawa masuk ke dalam kamar. “Aku tidak akan menceraikanmu. Kau dan anak kita adalah tanggung jawabku.”

“Dia bilang ini rumah yang telah Mas siapkan untuknya. Apa Mas tidak paham rasanya jadi aku dituduh merebut posisi orang lain dan menikmati rumah yang seharusnya menjadi hak orang lain?”

“Jadi perkara rumah ini? Kau ingin rumah ini menjadi atas namamu? Hah?” Hasbi hampir melukai pergelangan tangan Bigel dengan kukunya.

“Bukan itu! Aku ing— Akh—“

Hasbi membungkam mulut Bigel dengan bibir, mencium secara paksa agar wanita itu menjadi luluh. Bigel berusaha menolak, tapi ia kalah karena tenaganya tidak mampu melawan Hasbi. Untuk itu, Bigel memilih meremat kemeja Hasbi dan menangis dalam ciuman tersebut.

Hasbi melepaskan pagutan ciuman tersebut dan menangkup wajah Bigel dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu,” ucapnya pelan, lalu mencium dahi Bigel dengan hati-hati. “Aku mencintaimu, Elruby Abygael.”

Bigel memberanikan diri untuk mendongak menatap Hasbi, tidak ada pancaran kebohongan karena hanya ada wajah lelah Hasbi yang berkeringat penuh. Pertama kalinya, raut wajah Hasbi begitu cemas dan tidak ingin Bigel pergi darinya.

“I-irasya, dia—“

“Aku juga akan bertanggung jawab.”

“B-bertanggung jawab, menikahinya juga?”

•••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status