“Kenapa?” tanya Bigel saat Hasbi memilih tidak bersuara lagi, tapi fokusnya selalu pada leher Bigel. “Apa yang Mas lihat?” Hasbi menundukkan kepalanya dan seraya mendekat hingga membuat batasan tipis antara wajahnya dan juga wajah Bigel. “Aku, rindu ini.” Bigel tidak dapat berkutik untuk sesaat, tapi sekaligus jantungnya berdebar tidak karuan. Menurutnya, bukankah ini kesempatan agar Hasbi semakin terikat padanya? Cup! Bigel mencium bibir Hasbi lebih dulu, sekilas untuk membuat adrenalin pria itu semakin menggebu-gebu memakan Bigel. “Bigel.” “Jika lebih dari ini, kau mungkin tidak jadi ke kantor lagi.” “Tidak masalah,” sungutnya dengan napas turun naik menerpa permukaan wajah Bigel. “Yakin? Bagaimana jika aku menginginkanmu untuk diriku sendiri setelah ini?” *** Hasbi memejamkan matanya sebentar, laru menatap lembut pada Irasya. “Pulanglah, kepalaku sedang pusing untuk mencerna semuanya. Kita bicarakan nanti saja. Ada yang lebih penting untuk aku urus saat ini.” Ketika Hasbi hendak berbalik, Irasya menahan lengannya lagi dengan kuat. “I-itu Bigel, kan? S-sesuatu yang penting?” Tanpa ragu, Hasbi mengangguk sebagai jawaban. “A-aku hamil, anakmu, Hasbi.”
View More"Kau tidak lupa semasa kuliah menjadi penguntitku?"
Kalimat itu terus berputar di kepala Bigel sampai membawa wanita itu tiba di rumah minimalis milik Hasbi. Pernikahan yang tidak direncanakan itu mengalir begitu saja seolah-olah semua baik-baik saja.
Kini, Bigel berada di kamar yang telah menjadi miliknya. Tepat di sebelah dapur, Bigel merasa seperti dijadikan pembantu rumah tangga. Kamar yang kecil, hanya bermodalkan kipas angin kecil dan juga terdapat beberapa perabot rusak. Rasanya, persis seperti gudang.
“Aku penguntit? Haha,” tawa hambar Bigel yang dipaksakan sampai membuat bulir air matanya jatuh ke pipi. “Kenapa aku dituduh penguntit?”
Berlarut dalam pikiran konyol sampai tidak sadar pria yang telah menjadi suaminya itu berdiri memperhatikannya di ambang pintu.
“Apa telingamu itu rusak?”
“Hah! Astaga!” Bigel terduduk dengan raut wajah terkejutnya, buru-buru ia mengeratkan sweater-nya ke tubuh agar tidak terekspos bebas.
“Cih!” Hasbi melihat pergerakan barusan dan berdecak angkuh. “Sama sekali tidak berselera,” lanjutnya dengan remeh.
Bigel mengerti, sangat mengerti dengan tindakan Hasbi. Untuk itu, ia memilih diam dan membiarkan pria di hadapannya terus menghina fisiknya.
“Diam saja, penguntit?”
Bigel memberanikan diri untuk beradu pandang dengan Hasbi. “Kenapa? Apa lagi sekarang? Saya sudah paham dengan peraturan di rumah ini.”
“Kau tidak boleh menyentuh kamarku sedikitpun atau terlalu berkeliaran di rumah ini. Pernikahan ini cuma karena mamaku semata. Setelah aku menemukan Irasya, sudah kupastikan surat cerai akan sampai padamu.”
“Mas Hasbi benar-benar mempermainkan pernikahan, ya?” Pertanyaan itu langsung terlontar saja dengan sempurna. Bigel tidak mengerti dengan jalan pikiran pria itu.
“Kau berharap aku akan jatuh cinta pada penguntit sepertimu?”
“Saya bukan penguntit.”
Hasbi tertawa seakan mengejek elakan gadis itu. “Mana mau mengaku, gadis kumuh dan tidak beradab sepertimu tidak cocok untuk bermimpi menjadi orang kaya,” hardiknya dengan hinaan yang begitu merendahkan Bigel.
“Baik. Saya akan menunggu surat cerai itu sampai,” balas Bigel dengan tenang tanpa tersulut emosi. “Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan saya ingin segera tidur. Jangan khawatir dengan peraturan di rumah ini, saya tidak akan melanggar.” Bigel segera berbaring dan memunggungi Hasbi yang masih terdiam disana. Rasanya, ada sesuatu yang sesak di dada, tapi sulit dijabarkan.
Hasbi mengaku, ucapannya terlalu kelewatan dan sangat merendahkan harga diri Bigel. Namun, Hasbi tetaplah sosok laki-laki yang enggan menurunkan ego-nya sedikit saja untuk meminta maaf kepada perempuan yang ia benci.
Selanjutnya, Hasbi meletakkan sebuah kunci di atas lemari kecil yang ada disana, sepertinya lemari itu digunakan Bigel untuk menaruh pakaiannya. “Ini kunci motor, untukmu,” jelasnya singkat. Tapi, Bigel pun tak merespon sampai Hasbi gelisah sendiri. “Kau tidak punya kendaraan dan aku meminjamkannya atas kemauan mama.”
Bigel menahan gerah, tangannya terkepal meremas seprai ranjang. Tersulut emosi? Mungkin? Tapi, dia bisa apa?
“Ya.” Jawaban singkat itu mampu membuat Hasbi keluar dari kamarnya yang sempit tersebut.
***
Pagi-pagi sekali Bigel sudah berkutat dengan pekerjaan rumah, kebiasaannya setiap pagi dan juga dia sadar diri, bahwa ia hanya menumpang tinggal disana. Kalau bisa memilih, dia lebih menginginkan tinggal di rumahnya yang kecil.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Bigel berniat kembali ke rumahnya. Belum lagi, ibu Iza yang mengatakan kalau Bigel tidak perlu lagi bekerja menjadi asisten umum. Lantas? Bagaimana Bigel akan hidup setelah ini? Mencari pekerjaan baru?
Terlena dalam pikirannya sampai ia tidak menyadari dengan kehadiran Hasbi yang baru saja keluar dari kamarnya. Pria itu berpakaian rapi dan terlihat kasual, sepertinya akan pergi.
“Mas Hasbi,” ucap Bigel sebelum Hasbi melenggang pergi lewat pintu utama.
“Ada apa?”
“Saya pikir karena ini bukan pernikahan yang diinginkan, seharusnya saya tidak tinggal disini. Saya ingin tinggal di rumah saya sendiri.”
Hasbi menyipitkan kedua matanya. “Kau bisa menurut saja dan berhenti memikirkan rumahmu yang seperti sarang penyakit itu? Diam saja dan jangan buat mamaku protes padaku demi membuatmu nyaman.”
“Saya tidak punya pekerjaan lagi sekarang gara-gara pernikahan ini.”
“Bukan urusanku,” cakap Hasbi dengan dingin. Laki-laki itu memilih pergi dari hadapan Bigel.
Bigel pun membuntuti untuk meminta setidaknya sedikit kebaikan Hasbi. “Mas Hasbi, jangan seperti ini. Saya ini perempuan dan butuh pekerjaan,” ungkapnya dengan suara yang terdengar bergetar.
Hasbi berbalik, sehingga Bigel tersentak dan terdiam di tempat ia berdiri sekarang. “Kau ini memang sangat berisik. Asistenku yang akan mengirim uang bulanan padamu selagi kau masih berstatus sebagai istriku.”
“T-tapi-“ ucapan Bigel terhenti tat kala Hasbi memolotinya tidak tanggung-tanggung.
Melihat tidak ada reaksi dari Bigel lagi, Hasbi pikir istrinya itu sudah benar-benar paham dengan rules yang ia terapkan. Namun, nyatanya sesuatu mendarat di lengan kananya, telapak tangan kecil yang dingin sedang menahan pergerakannya.
“Bigel.”
“Kenapa Mas Hasbi menerima pernikahan ini di saat Mas sendiri bisa menolak?”
Hasbi melepaskan tangan bigel dari lengannya. “Hanya karena mama. Jika mama tidak memaksa hari itu, jelas aku tidak akan pernah menikah dengan wanita manapun selain Irasya.”
“Hhh!” Bigel sedikit melenguh karena tidak percaya. “Alasan yang tidak tepat. Dari sisi mana saya harus percaya? Oh, apa saya cuma dimanfaatkan?”
Salah satu alis Hasbi terangkat. “Wow, kau cukup pandai menerka, ya. Pendapatmu tidak salah, sejujurnya aku tidak mengerti kenapa mama terus memaksaku hari itu untuk menikah denganmu. Tapi ....”
“Tapi apa?”
“Mama sudah janji jika Irasya kembali, maka aku punya hak sepenuhnya untuk menceraikanmu.”
Bagian dadanya Bigel terasa sesak, sama sekali tidak memberikan jawaban yang tepat. “Kenapa saya? Kenapa harus saya?”
“Tanyakan sendiri pada mama, aku tidak punya jawaban,” pungkas Hasbi. Dia meninggalkan Bigel yang masih setia disana dengan pikiran yang bercabang-cabang.
***
"Bagaimana? Sudah melakukannya dengan Hasbi?"
"Hah?" Bigel dibuat kebingungan, lantaran pertanyaan yang dilontarkan oleh Iza membuat otaknya berpikiran kotor. "M-maksud Ibu?" tanyanya dengan gugup. Tentu, untuk memastikan jika ia salah paham.
"Membuat cucu."
Jelas, Bigel mati kutu dengan balasan spontan dari Iza. Mana mungkin, mereka berdua berbicara saja hanya berisi perdebatan yang tidak berujung, apalagi melakukan hal sejauh itu.
"Diam saja?" Lagi, Iza terus menekan Bigel untuk segera menjawab. Belum lagi, matanya yang fokus pada bagian bawah Bigel, sehingga dengan reflek Bigel menutupi dengan telapak tangannya.
"Ibu, kami tidak sekamar. Lagi pu-"
"Baiklah. Ibu yang akan berbicara pada Hasbi nanti.
Bigel melotot ngeri, berusaha membuat tanda menolak dengan kedua tangannya. Bukan ini yang dia mau, dia datang untuk mempertanyakan kenapa bu Iza bersikeras agar dia dan anaknya menikah.
"Bu, bukan begitu. Mas Hasbi dan Irasya kan-"
"Berhenti membicarakan Irasya. Ibu tidak mau mendengar namanya lagi, Bigel."
"Tapi, kenapa harus Bigel?"
Iza tersenyum tipis dan menyesap teh hangat buatan Bigel. Memang, Bigel yang datang lebih dulu ke rumah Iza, tetapi sudah kebiasaannya membuatkan teh untuk bos-nya yang sekarang menjadi mertuanya.
"Karena Ibu sudah mengenal Bigel dengan baik."
Lagi, itu bukanlah alasan yang Bigel mau. Klise dan sama sekali tidak membuat Bigel lega.
"Jawaban Ibu sama sekali tidak bisa saya terima. Menurut saya, ini sama saja memanfaatkan orang lemah untuk kepentingan Ibu sendiri. Saya tidak bisa tinggal dengan laki-laki yang bukan saya cintai."
Iza menyandarkan punggungnya di dinding sofa dan kedua matanya tidak pernah lepas memandangi Bigel. "Apa salahnya dengan Hasbi? Bukannya dulu Bigel menyukai Hasbi?"
Pertanyaan Iza kendati membuat Bigel menggeleng-gelengkan kepalanya. "I-ibu salah paham."
"Turuti saja, Bigel. Mulai sekarang, Bigel tidak memiliki tanggung jawab pekerjaan disini karena Bigel sudah sepenuhnya bertanggung jawab menjadi seorang istri dari anak Ibu."
"Bu-"
"Ibu akan mengatakan pada Hasbi untuk memberi Bigel di kamar yang sama dengannya. Ibu tidak melarang jika ingin memiliki momongan dengan segera," selanya dengan kalimat-kalimat yang tenang.
Hari itu, Bigel memahami jika kehidupan setelah ini benar-benar akan menempuh jalan yang penuh dengan roller coaster.
•••
"Mas, air dinginnya mana?"Hasbi memilih diam di tempat setelah berhasil menutup pintu kamarnya. Bahkan, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Bigel karena isi kepalanya sedang berkecamuk."Mas Hasbi?" panggil Bigel sekali lagi. Suaminya itu mendadak berubah menjadi tatapan kosong dan tidak membawa air dingin pesanannya."Bigel," katanya pelan."M-mas, kenapa?"Hasbi mengepalkan kedua tangannya, terlihat lengannya penuh urat kekar yang menonjol. Untuk itu, Bigel tidak berani bersuara lagi. Apa dia melakukan kesalahan sampai suaminya marah? Apa Hasbinya tersinggung saat Bigel meminta tolong untuk mengambil air dingin? Tapi, rasanya bukan itu alasannya."Nanti Mas ambilin air dinginnya, ya. Sebentar saja, biarin Mas berdiri disini dulu. Jangan kemari, Bigel disana saja ... jangan banyak bergerak.""Mas Hasbi ...," lirih Bigel, tanpa sengaja sebulir air matanya jatuh. Ya, ibu hamil yang terlalu sensitif dan berpikir suaminya sedang membencinya.Hasbi memejamkan matanya sebentar, berusaha
Senyum Bigel mengembang saat dari jauh ia menemukan sosok Hasbi yang baru saja landing dari Bali. Beberapa hari tidak bertemu Hasbi dan dia benar-benar merindukan sosok suaminya itu."Itu Mas Hasbi," gumam Bigel. Kini, tangannya melambai-lambai agar sang suami melihat ke arahnya.Tentu, Hasbi tersenyum bahagia saat melihat wajah Bigel. Dirinya pun bergegas mempercepat langkah sambil menarik kopernya."Istri Mas paling cantik sedunia, kangen banget ga ketemu beberapa hari.""Bigel juga kangen, hehe."Hasbi mencium dahi Bigel lamat-lamat dan turun mencium kandungan Bigel. "Makin gemoy kesayangan Mas ini. Sama siapa kesini, Sayang?""Sendiri, soalnya Mama ada kerjaan yang enggak bisa ditinggal. Bigel kan libur kerja, tadi mau dianter mas Endrico, tapi Bigel enggak mau. Takut ....""Dia ga ngapai-ngapain kamu, kan?" Bigel menggeleng. "Enggak, kok. Kayaknya yang Mas bilang dia suka aku tuh kayaknya bukan aku deh.""Dia suka kak Freya?""Bingung, kayaknya akunya yang salah lihat," tutur Big
"Egh— Jangan disini, nanti ketahuan," pinta Freya sembari mencoba melepaskan tangan Endrico yang tengah memainkan kedua gundukan kembarnya. Merasa tidak enak karena tidak di dalam unit dan takut orang lain akan melihat kelakuan mereka.Endrico menuruti dan mengikuti Freya masuk ke dalam unit apartemennya. Tanpa disadari, Bigel melihat kejadian barusan dengan perasaan yang syok berat. Pasalnya Endrico dan Freya adalah saudara ipar dan telah menghianati kepercayaan Arsenio.Ketika pintu unit apartemen tertutup, Endrico kembali menarik tubuh Freya dan mencium bibir wanita itu dengan ugal-ugalan. Keduanya sama-sama terlena hingga membawa mereka masuk ke dalam kamar Freya.Keduanya sama melepas baju masing-masing dan Freya yang sengaja berbaring terlentang di atas kasur. Menggoda Endrico dengan lekuk tubuhnya agar kakak iparnya tersebut segera menindihnya."Tubuhmu, cantik," gumam Endrico.Freya hanya tersenyum tipis dan membalas dengan menciumi dada kekar milik Endrico. "Foto itu rahasia,
"Aku ingin roti ini lagi, tolong semuanya dibungkus."Bigel terkesiap dari lamunannya barusan, bagaimana ia memikirkan perkataan suaminya dua hari yang lalu untuk menyuruh Bigel membalas dendam pada Freya. Jelas, Bigel menolak dengan penuh kesadaran. Balas dendam bukanlah jalan yang akan Bigel sentuh sampai kapanpun."O-oh, datang lagi? roti selai keju coklat? Aku akan membungkusnya. Sebentar, ya ...." Bigel mempersiapkan roti tersebut dan disusun rapi dalam box roti ukuran besar."Sejak tadi aku memperhatikanmu melamun. Ada apa?" tanya pria dengan prawakan tinggi dan badan kekar berisi, mirip dengan ukuran tubuh Hasbi."E-enggak apa-apa, kok. Kau tidak membawa anakmu?""Hari ini ada les tambahan di sekolah, jadi hanya aku sendiri. Berapa usia kandunganmu?""Sudah mau masuk tujuh bulan," jawab Bigel seadanya. Dia cukup akrab dengan pelanggan baru satu ini."Tidak cuti?""A-aku kan baru bekerja beberapa hari lalu."Pria itu tampak terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Bigel. "Maaf
"Masakanku ga seharusnya terhidang disana. Harusnya masakanmu yang ada disana, pasti mama akan senang."Bigel yang sedang membantu mencuci piring pun tercekat dengan pernyataan Freya barusan. Tiba-tiba saja dan Bigel kesulitan untuk merespon dengan jawaban yang tidak menyakiti hati."Mama mungkin lagi capek. Aku minta maaf karena buat Kakak jadi dimarahin," tutur Bigel. Bahkan, untuk sekedar menatap Freya saja dia tidak berani karena rasa bersalahnya itu."Kamu segala-galanya bagi mama. Apa yang aku lakuin pasti salah. Aku ga punya tempat di hati mama. Aku iri atau karena orang tuaku bukan orang yang berada?"Bigel menghembuskan napas dan memberhentikan gerakan tangannya yang tengah menyabuni piring. "Mendiang ayahku cuma sopir dan mendiang ibuku jualan kue. Ga ada hubungannya dengan itu, mungkin Kakak cuma perlu bersabar sampai mama bisa nerima Kakak," ungkap Bigel. Lalu, ia kembali melanjutkan cucian piringnya."Aku kira dengan kehadiran kamu di keluarga Abraham bakal bikin mama jadi
"Sini, mas belum cium.""Malu. Bigel malu loh ... enggak mau.""Bigel, sini ...." Hasbi berusaha menarik lembut tangan Bigel agar lebih mendekat padanya."I-itu banyak mobil lewat. Nanti, kalau diliatin malu ah, Mas," balas Bigel, masih menolak untuk dicium sang suami."Masnya mau cium ini. Ga ada afeksi loh mau berangkat kerja.""Kau udah tadi di rumah ....""Kurang, yang tadi di rumah ga kerasa.""Nanti diliatin orang, kan malu, is," protes Bigel, tapi ekspresinya begitu lucu dan menggemaskan bagi sang suami.Kali ini, Hasbi menyentuh punggung Bigel dan menariknya sedikit sampai wanita itu benar-benar dekat dengannya.Muah.Hasbi berhasil mencium pipi kiri Bigel dengan sempurna. Tentu, membuat Bigel jadi salah tingkah dengan perlakuan suaminya tersebut."Malu ...," tuturnya lagi sembari celingak-celinguk kiri dan kanan dengan wajah yang sempurna merah merona. Dia berharap tidak ada orang yang melihat keduanya.Muah."Ngapain malu? Kan, dicium suaminya sendiri," celetuk Hasbi dan kemb
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments