Share

4

-Apabila bunga mekar bersama-sama, bunga yang paling indah adalah bunga yang mekar diantara semak belukar-

Tak terasa acara malam bina iman dan taqwa telah tiba. Sesuai dengan namanya, kegiatan tersebut dilakukan pada malam hari di sekolah alias menginap. Murid yang mengikuti diwajibkan datang setelah shalat Asar. Seperti yang diketahui Ziya dari undangan yang diberikan yang sudah ada rundown nya, kegiatan akan dimulai setelah shalat Maghrib,

Sebelum Maghrib, calon anggota Rohis harus menyiapkan ruangan yang akan digunakan untuk tidur malamnya. Setelah Maghrib akan diadakan ngaji bersama, mengulang hafalan Al-Qur’an calon anggota Rohis. Setelah shalat Isya’ makan malam bersama, setelah itu akan ada tausiyah, selesai tausiyah semuanya tidur, nanti akan dibangunkan kembali ketika akan melakukan shalat Tahajud bersama.

Ziya yang belum memiliki teman dekat di organisasi Rohis ini lebih banyak menyendiri. Ia menyapu depan kelas yang akan dijadikan sebagai ruang tidurnya nanti bersama teman-temannya. Sesekali ia membantu seniornya yang sekiranya membutuhkan bantuan. Dalam hati Ziya tersenyum senang karena bisa berada di lingkungan yang menurutnya sangat menyejukkan hati. Melihat senior-seniornya yang memakai hijab besar, dirinya pun sudah bertekad untuk melakukan hal seperti itu juga.

“Eh denger-denger nanti akan banyak alumni Rohis yang udah lulus bakal dateng kesini loh,” kata seorang teman Ziya yang beda kelas dengannya.

“Iya, tadi aku pas baru dateng juga ketemu di parkiran, ganteng banget coba, mana keliatan banget sholehnya,” timpal temannya. Ziya memutar bola matanya malas. Niatnya kesini pada ngapain sih, pikirnya. Ia menggelengkan kepalanya tak mau terpengaruh dengan hal-hal seperti itu lagi. Bukan karena ia belum melupakan Regar, ya memang seperti itu kenyataannya. Ziya meletakkan sapu yang dipegangnya ketika seniornya memberi perintah berbaris di halaman sekolah. Di depannya berdiri terdapat banyak kakak senior Rohis dan juga beberapa alumni Rohis yang telah tiba. Ketua Rohis mengabsen satu per satu calon anggota Rohis untuk memastikan siapa yang belum datang.

“Adik-adik, kira-kira nanti siapa yang bisa memimpin murojaah sehabis Maghrib untuk yang cewek?” tanya Ketua Rohis. Semuanya menunduk seolah tidak mau ditunjuk. Murojaah adalah kegiatan mengulang hafalan Al-Qur’an yang dimiliki. “Maharani?” sambungnya sambil melihat teman Ziya yang tadi mengghibahkan alumni Rohis.

“Eh nggak deh kak, aku aja cuma hafal 3 Qul,” jawabnya malu-malu, sementara yang lain tergelak.

“Dek Ziya hafalan Al-Qur’annya berapa banyak?” tanya Salwa yang ternyata daritadi berdiri di samping Ziya. Ziya tergagap, pasalnya semua mata memandang kepadanya. Ia ingin jujur, tetapi takut, kalau bohong lebih takut lagi. Akhirnya ia meneguk ludah dan memilih untuk jujur.

“5 juz kak.” Orang-orang yang memandangnya ada yang tersenyum, ada yang ternganga tidak percaya, ada yang sangat takjub pada Ziya. Begitupun Ketua Rohis.

“Ya sudah, kalau begitu nanti yang cewek dipimpin dek Ziya ya.” Inilah yang ditakutkan Ziya ketika jujur. Dari tiba tadi saja ia sendirian, belum memiliki teman akrab, tahu-tahu disuruh memimpin teman-temannya. Ziya menghela napasnya panjang, sementara Salwa menepuk-nepuk bahunya memberi semangat sambil tersenyum.

Setelah bubar dari barisan, semuanya kembali ke ruang kelas yang digunakan untuk beristirahat. Bersih-bersihnya juga sudah selesai, mereka diberi waktu untuk istirahat. Ziya berjalan gontai mengikuti teman-temannya. Ada seseorang yang menepuk bahunya.

“Hai Ziya, kenalin aku Nanda dari kelas IPA 3,” kata seorang yang menepuk bahunya itu sambil mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Ziya menyambutnya dengan senyuman.

“Aku Ziya dari IPA 1, kamu sendiri?” tanyanya karena setahunya jarang sekali anak kelas IPA 3 yang mengikuti acara ini.

“Iya, yang cewek aku sendiri, kalau cowoknya ada 4.” Ziya manggut-manggut. Memang acara ini diikuti oleh mayoritas perempuan, tetapi laki-laki seangkatannya yang ikut juga cukup banyak. Ziya tersenyum dalam hati, siapa tahu ia bisa akrab dengan Nanda di acara ini. Ziya pun mengajak Nanda bersama-sama menuju ruang kelas, kebetulan mereka seruangan. Karena untuk peserta laki-laki dikelompokkan menjadi dua kelas, sementara yang perempuan dikelompokkan menjadi tiga kelas.

Setelah Maghrib, seperti yang sudah ditentukan, Ziya memimpin teman-temannya mengaji. Sementara untuk anak laki-laki dipimpin oleh salah satu murid dari kelas 10 IPA 3 yang diketahuinya memiliki hafalan 3 Juz. Ternyata tidak sesulit yang dibayangkan oleh Ziya. Temannya serius dan berkeinginan tinggi untuk menambah hafalan Al-Qur’an. Ziya tersenyum melihatnya, terutama teman-temannya yang cerewet di kelas ternyata memiliki tekad yang tinggi juga.

***

Ketika makan malam telah mereka habiskan, semua peserta diperintahkan menuju aula yang sudah diberi tikar dan pembatas antara laki-laki dan perempuan. Teman-temannya ada yang sudah heboh karena ada beberapa laki-laki tampan yang terlihat mata di depan mereka. Ziya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, sementara Nanda tergelak di sampingnya.

“Tiap hari ya kamu ketemu mereka,” kata Nanda sambil tertawa. Ziya ikut tertawa kecil lalu duduk di dekat tembok baris ke 2 dari depan. Pembicara sudah terlihat memasuki aula. Ziya dan Nanda mengeluarkan buku catatan kecil yang tadi dibawanya. Ternyata mereka memiliki kesamaan yaitu mencatat setiap mendengarkan kajian. Ziya memiliki prinsip bahwa ilmu itu harus diikat dengan tulisan. Sementara Nanda adalah orang yang memang suka mencatat.

Di umur kalian yang seperti sekarang ini mungkin masih senang-senangnya mengamati lawan jenis, memiliki hasrat ingin memiliki, tapi untuk anak-anak yang tahu batasan itu paling ya cuma sekedar mengamati tapi sadar diri belum waktunya memiliki, nah beda lagi kalau anak-anak yang tidak sadar batasan, mereka pasti menghalalkan segala cara agar apa yang diinginkannya bisa dimiliki. Terbukti dengan maraknya jaman sekarang anak-anak yang mendewakan cinta bahkan rela memberikan semuanya termasuk apa yang harus dijaganya hanya untuk pasangan halalnya nanti.

Ziya tertegun mendengarnya. Memang banyak sekali tetangganya yang memilih pergaulan yang salah seperti itu. Karena hal itu pun ia tidak diperbolehkan oleh orangtuanya untuk belajar naik sepeda motor. Orangtuanya lebih memilih untuk mengantar jemput Ziya ke sekolah, atau jika sibuk lebih mempercayakan pada ojek online daripada harus merelakan anaknya mengendarai sepeda motor sendiri.

Padahal jika dipikir-pikir, Ziya juga tidak akan berani melakukan hal-hal seperti itu. Bagaimanapun juga, ia merasa bertanggungjawab sebagai anak sulung di keluarga agar bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Ziya juga masih ingin lebih lama bisa membahagiakan orangtuanya.

             

             

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status