Share

3

-Ketika semuanya terasa abu-abu, hanya harapanlah yang bisa membuat rasa itu sedikit demi sedikit lebih membiru-

Hari ini seperti biasa, Ziya sedang membaca buku sendiri di perpustakaan. Ia sangat menyukai buku. Bahkan di rumahnya pun tersedia perpustakaan keluarga yang isinya kebanyakan buku-buku yang ia sukai. Sebagai anak sulung dalam keluarga, ia seperti bertanggungjawab harus menguasai banyak ilmu pengetahuan. Sedari kecil, orangtuanya mendidiknya dengan keras. Maka tak heran jika ia selalu langganan mendapatkan peringkat atas di kelasnya, bahkan bisa masuk di SMA favorit dan kelas paling favorit juga.

Sedikitpun Ziya tak pernah mempermasalahkan hal itu. Karena ia juga menikmatinya. Adiknya yang kini masih SD digadang-gadang akan dimasukkan ke pesantren seperti keinginan ayahnya. Ayahnya ingin jika salah satu dari putrinya harus masuk ke pesantren. Ziya pernah berpikir, mungkin agar seimbang antara dunia dan akhirat, tapi itu sungguh tidak ada hubungannya, karena menurutnya perkara dunia dan akhirat ini urusan pribadi masing-masing.

Seperti halnya Ziya, ia tak mau berbuat dosa lebih banyak lagi di dunia ini. Beberapa hal yang telah diamalkannya yaitu seperti tidak pernah terlambat menunaikan shalat, menutup aurat sesuai dengan ketentuan, dan tidak berpacaran. Ya, tidak berpacaran. Tetapi pertemuannya dengan Regar membuat imannya goyah. Sebisa mungkin ia mengontrol semuanya agar tetap pada jalan yang seharusnya. Meskipun itu artinya entah sampai kapan ia harus memendam perasaannya kepada sahabatnya itu.

“Heh ngelamun mulu, gak masuk kelas Zee?” tanya seseorang yang sudah terduduk di sampingnya entah dari kapan. Ziya sedikit tergagap lalu merapikan posisi duduknya.

“Oh, kelasku jam kosong, ngapain kamu disini Gar?” orang tersebut adalah Regar.

“Ya sama, jam kosong, cuma tadi dari luar aku ngeliat kamu, jadi masuk deh.” Ziya menghela napasnya. Bagaimana bisa ia bertahan mencintai seorang secara sepihak jika orang tersebut selalu berada di dekatnya. “Eh iya Zee, masa aku minggu depan disuruh ikut lomba bulutangkis ganda campuran coba.” Ziya ternganga. Setelah itu tersenyum bangga.

“Gilaaa hebat banget kamu, kita kan masih tergolong murid yang sangat baru, emang kamu atlet bulutangkis ya?” tanya Ziya dengan suara pelan karena ia sadar jika ia masih berada di perpustakaan.

“Iya, baru tahu ya? Aku masuk sini kan jalur prestasi bulutangkis, coba gak ada piagam-piagam bulutangkis, mana keterima aku.” Ziya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ini adalah salah satu fakta yang baru diketahuinya dari seseorang yang disukainya. Sebenarnya Regar juga sangat pintar menurut Ziya. Tidak mungkin ia hanya mengandalkan piagam-piagam bulutangkis. Ziya dapat melihatnya dari seberapa rapi catatan Regar yang sering ia pinjam.

“Terus sama siapa?” raut wajah Regar langsung berubah ceria. Ziya merasakan keanehan dan sedikit guncangan dalam dadanya.

“Sama Yumna, kamu tahu kan? Temenku sekelas itu loh, dia dulu waktu SMP juga atlet bulutangkis, meskipun kita beda sekolah dulunya, aku udah suka sama dia sejak ketemu waktu lomba di GOR kota. Eh taunya sekarang jadi sekelas, setim bulutangkis lagi.” Ziya hanya bisa ikut tersenyum. Iya, bisa apa lagi dia selain begitu? Ingin rasanya ia menyudahi perasaannya, tetapi setiap perlakuan Regar padanya membuatnya sedikit berharap.

“Ya udah semoga berhasil ya, semangat latihannya, fokus, jangan mentang-mentang sama gebetan aja.” Regar nyengir mendengarnya. Untung saja bel pergantian jam pelajaran telah terdengar. Sedikit menyelamatkan Ziya dari keresahan hatinya. Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Ziya tediam. Ia berpikir, sebelum akhirnya ia terjatuh terlalu dalam, memang sudah seharusnya ia mengakhiri perasaannya. Nanti akan ada saatnya ia akan membuka lagi hatinya.

Sekali lagi Ziya menengok pada jendela di sampingnya lalu tertawa dalam hati, sudahlah bukan waktunya untuk hal-hal yang tidak penting.

***

Ziya memegang selembar kertas formulir pendaftaran organisasi di sekolahnya. Ia enggan mengikuti ekstrakurikuler yang menguras tenaga. Ziya sudah memantapkan hatinya mengikuti satu organisasi kerohanian Islam di sekolahnya, untuk memperdalam ilmu agamanya, sekaligus mengalihkan pikirannya.

Di kelas Ziya, banyak yang juga ikut kerohanian Islam atau yang biasa disebut dengan Rohis. Bahkan teman-temannya yang suka bergosip pun ada beberapa yang ikut Rohis, dengan alasan, kakak kelas yang ikut Rohis ganteng-ganteng. Ziya sampai menggelengkan kepalanya, tak habis pikir. Bisa-bisanya alasan itu terdengar menggelikan di pikirannya.

Setelah menyerahkan formulir pendaftaran dan menerima pengarahan dari kakak kelasnya bahwa anggota baru diwajibkan untuk mengikuti malam bina iman dan taqwa, Ziya segera pulang karena ayahnya juga sudah menjemput. Ia berjalan dengan gontai menuju ke tempat ayahnya menunggu. Ziya merasa kelelahan karena sehari ini sangat padat jadwalnya. Belum makan siang juga. Sampai ia tak sengaja menabrak kakak kelasnya.

Astaghfirullah dek, nggak apa-apa?” tanya kakak kelasnya yang juga merupakan senior di Rohis.

“Ah nggak apa-apa kak, maaf ya, yah tehnya tumpah ke kerudung kakak, maaf ya kak, ini aku ada kerudung ganti,” kata Ziya sambil buru-buru mengeluarkan sehelai kerudung dari dalam tasnya. Setiap ada jadwal olahraga memang Ziya membawa kerudung ganti. Tetapi kebetulan hari ini jadwal olahraga diganti teori jadi kerudungnya tidak terpakai.

“Loh kok kamu bawa kerudung dua ke sekolah?” tanya kakak kelasnya itu heran.

“Oh soalnya tadi ada jadwal olahraga kak, tapi ternyata cuma teori, gak apa-apa dipakai kak Salwa saja, saya tidak enak soalnya, pasti setelah ini masih ada rapat lagi ya? Atau kak Salwa ganti kerudung biar kerudungnya yang kotor bisa saya cucikan sekalian, nanti takutnya malah nodanya tidak bisa hilang.” Salwa menerima kerudung Ziya dengan ragu.

“Gak apa-apa nih dek? Aku pinjem dulu ya, kalau kerudung yang kotor ini aku cuci sendiri aja, di toilet masjid ada detergen kok, toh rapatnya masih nanti, kamu pulang dulu aja, tapi sebelumnya terima kasih ya ini. Aku mau kesana dulu.” Ziya mengangguk dan melihat seniornya yang telah berlalu itu. Ia mendadak pusing, semenjak sekolah di SMA ini dari hari pertama ia sering sekali menabrak orang dengan tidak sengaja. Entah tulangnya yang melunak atau memang dirinya yang benar-benar ceroboh. Ziya lalu teringat ayahnya yang sudah menunggu dan segera berlari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status