Beranda / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 1. Kepergian Bapak

Share

Upah Satu Liter Beras
Upah Satu Liter Beras
Penulis: Ananda Aisha

Bab 1. Kepergian Bapak

Penulis: Ananda Aisha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-16 16:32:15

Tiara, begitu gadis yang memiliki nama lengkap Mutiara Pratiwi itu biasa dipanggil, terlihat masih menangisi kepergian bapaknya.

Ditinggal pergi untuk selamanya secara tiba-tiba, tidak hanya menyisakan kesedihan untuknya. Tapi juga kehilangan yang dalam akan sosok Bapak yang selama ini menjadi pelindung baginya, ibu, juga kedua adiknya.

“Sudahlah, Ra. Ikhlaskan kepergian bapakmu, tidak baik terus menangisinya.” ucap mak Iroh, tetangga dekat rumahnya yang selama ini selalu baik pada keluarganya.

Tiara bergeming. Ia masih enggan beranjak dari tempat peristirahatan terakhir bapaknya. Ia masih saja terdengar meratapi kepergiannya.

“Kasian ibumu, Ra. Dia pasti tengah kerepotan mempersiapkan untuk tahlilan bapakmu malam nanti.” lagi, mak Iroh membujuk Tiara agar segera meninggalkan pemakaman.

Tiara mengusap pipinya yang basah. Mak Iroh benar, selain dirinya, tidak akan ada keluarga yang bersedia membantu ibunya.

Bu Ratna, Nenek dari bapaknya, yang tinggal di kampung sebelah. Pasti tidak akan sudi menginjakkan kaki di rumah panggungnya.

Apa lagi Risna, adik bungsu dari bapaknya yang tinggal di kecamatan. Datang saja hanya sampai Masjid Desa, saat jenazah almarhum bapaknya dishalatkan.

Hanya ada satu yang mungkin masih mau bersedia membantu, Sukaesih – istri dari adik pertama bapaknya. Itu pun sudah pasti akan diungkit seumur hidupnya.

“Ayok, Ra. Kasian ibumu.” Mak Iroh, meraih tangan Tiara.

Tiara masih bergeming, menatap nisan yang bertuliskan nama bapaknya.

Sampai kemudian mang Sobri, tetangganya yang lain setengah berlari kembali ke pemakaman.”Cepat pulang, Ra. Ibumu pingsan!” serunya, sambil terengah-engah.

Sontak Tiara berdiri.”Apa yang terjadi dengan Ibu saya, Mang? Kenapa ia pingsan?” tanyanya, kemudian berjalan dengan cepat menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.

“Saya tidak tahu, Ra. Sebelumnya ibumu sempat terlibat adu mulut dengan Esih. Terus histeris, lalu pingsan.” jawab mang Sobri mensejajarkan langkahnya dengan Tiara.

Kedua tangan Tiara mengepal. Bibinya yang memiliki nama lengkap Sukaesih itu, memang kerap membuat keonaran di rumahnya. Ada saja alasannya untuk mencerca kedua orang tuanya, dan merendahkan mereka.

Padahal, sepanjang yang ia tahu. Kedua orang tuanya tidak pernah satu kali pun membuat masalah dengannya.

Entahlah. Punya dendam apa sebenarnya Esih terhadap Nurma dan almarhum Muhammad, kedua orang tua Tiara. Sehingga ia tampak seperti tidak suka sekali dengan mereka.

***

Kurang lebih 15 menit, jarak tempuh dari pemakaman desa Tirtayasa, menuju rumah sederhana milik orang tua Tiara.

Hanya terdapat lima rumah, yang berdiri di sana. Terpisah dari pemukiman padat penduduk kampung Neglasari, yang terletak di salah satu kaki gunung di Jawa Barat.

“Ibu kenapa, Bi?” tanya Tiara pada Esih, yang berdiri tidak jauh dari tubuh ibunya yang tergeletak di atas karpet.

“Mungkin ibumu kecapekan, Ra. Tidak usah khawatir, nanti juga bangun sendiri.” jawab Esih, tidak tampak rasa iba sedikit pun di wajahnya.

“Mang Sobri bilang. Ibu sempat cekcok dengan Bibi, sebelum ia pingsan.” ujar Tiara, menatap tajam pada Esih.”Apa benar yang dikatakannya, Bi?” tanyanya, kemudian.

“Kamu lebih percaya orang lain dari pada bibimu sendiri?” Esih balik bertanya, menatap nyalang pada Tiara.

“Tapi. Teh Esih memang sempat adu mulut dengan teh Nurma, ‘kan? Banyak saksinya, bukan saya saja.” ujar mang Sobri, membela diri.

Dada Tiara naik turun, sebab amarah yang tertahan. Diusapnya wajah ibunya, yang menghitam karena terbakar matahari.

Ya. Pekerjaannya sebagai buruh tani, membuatnya harus terpapar sinar matahari setiap hari, dan menyebabkan kulit wajahnya berwarna kehitaman.

Tak lama kemudian, mak Iroh datang membawakan segelas teh manis hangat untuk Nurma.

Perlahan, dengan mengunakan sendok, Tiara meminumkannya pada ibunya.

Nurma terbatuk-batuk. Pelan, membuka kedua matanya yang tadi mengatup.

“Ibu sudah sadar!” seru Tiara, kemudian membantu Nurma duduk.

“Apa aku bilang, ibumu hanya kecapekan saja.” ujar Esih, sinis.

Nurma menoleh sejenak pada Esih, lalu menundukkan wajahnya. Menyembunyikan kedua matanya yang mengembun.

“Ya, sudah. Nanti sore aku kirim beras dan mie instan satu dus buat tahlilan kang Muh.” sambung Esih. “Tapi ingat ya, ini tidak gratis. Nanti aku catat di buku utang almarhum.”

Tiara menatap tajam pada Sukaesih. Ia benar-benar tidak habis pikir. Saat keluarganya sedang berduka pun, bibinya itu masih saja perhitungan.

Ingin rasanya membalas ucapan pedas bibinya itu, tapi Nurma memberi isyarat padanya untuk diam.

***

Satu Minggu berlalu. Nurma yang masih berduka, sesekali masih menitikkan airmata.

20 tahun membina rumah tangga dengan Muhammad, almarhum suaminya, tidak satu kali pun Nurma mengeluh atau pun khawatir akan masa depan anak-anaknya.

Tapi. Saat Muhammad pergi tanpa meninggalkan apa pun, bahkan hanya menyisakan utang. Nurma kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana harus bertahan dengan ketiga anaknya.

Nurma tersadar dari lamunan. Saat seseorang mengetuk keras pintu depan rumahnya.

“Biar Tiara saja yang buka, Bu.” ujar Tiara, ke luar dari kamarnya.

Kemudian membuka pintu rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu.

Tiara sempat mematung, saat mengetahui siapa yang pagi-pagi sekali sudah mendatangi rumahnya.”Bi, Esih? Ada apa, pagi-pagi sekali sudah datang ke rumah?” tanyanya, menatap tidak suka pada istri dari adik alamrhum bapaknya itu.

“Saya mau ketemu ibumu.” jawab Esih.”Cepat panggilkan ibumu!” titahnya, sinis.

“Baik, Bi. Silakan masuk saja dulu. Biar Tiara panggilkan ibu” ucap Tiara, masih berusaha untuk tetap bersikap ramah.

“Tidak usah. Saya tunggu di teras saja.” tolak Esih.

Tiara mendengus. Kemudian gegas kembali masuk ke dalam rumah untuk memanggilkan ibunya.

Tak lama kemudian, ia pun kembali bersama dengan Nurma.

“Ada apa, Sih?” tanya Nurma, begitu sudah duduk saling berhadapan dengan Esih.

“Begini, Teh. Aku tahu, setelah kang Muh tidak ada. Teteh pasti kebingungan bagaimana caranya mencari makan untuk Teteh dan anak-anak. Betul, ‘kan?” tanya Esih, mulai menyampaikan niatnya mendatangi Nurma.

Ibunya Tiara mengangguk, pelan.”Betul.” ucapnya, singkat.

“Kalau mau. Teh Nurma boleh bekerja di tokoku, nanti aku beri upah seperti orang lain yang berkerja pada umumnya.” ujar Esih.

Nurma terdiam. Lalu menoleh pada Tiara.

“Tidak perlu meminta persetujuan dari anak-anakmu, Teh. Mereka mana tahu bagaimana sulitnya mencari uang.” sambung Esih, menoleh tidak suka pada Tiara.

Anak sulung dari Nurma yang Esih anggap sok itu. Pasti keberatan jika ibunya bekerja di tempatnya. Karena menurut Tiara, selama ini Esih dan neneknya. Tidak benar-benar berniat membantu keluarganya. Melainkan hanya ingin merendahkan ibu dan bapaknya saja.

“Tiara terserah Ibu saja.” ujar Tiara, pasrah.

Ia tahu, bukan saatnya meninggikan egonya. Karena ia sadar, belum bisa banyak membantu ibunya.

Kendati berat hati membiarkan ibunya bekerja pada Sukaesih. Tiara tidak ada pilihan lain. Untuk menyambung kebutuhan hidupnya, ia harus mengikhlaskan Nurma bekerja pada bibinya itu.

“Baiklah, Sih. Saya mau.” jawab Nurma, menyetujui tawaran Esih.

“Ya, sudah. Kalau teh Nurma sudah setuju. Besok jam tujuh, sudah harus ada toko, ya!’ ujar Esih, sembari menyodorkan bungkusan plastik hitam.”Ini ada beras dan mie instan, cukup lah untuk makan hari ini.”

Nurma menganguk.”Terima kasih, Sih.” ucapnya, meraih plastik hitam dari tangan Sukaesih.

“Ya, sama-sama.” balas Sukaesih, kemudian gegas berpamitan.

***

Tiara baru saja menyelesaikan pekerjaannya, menggantikan tugas yang biasa dilakukan ibunya di kediaman Esih.

Sudah seminggu terakhir, Nurma mengeluh sakit pinggang. Dan puncaknya tadi pagi, ia tidak bisa bangun dari tempat tidurnya.

Akhirnya. Tiara, yang sudah satu bulan terakhir membantu mengajar TPA di desanya. Terpaksa mengambil libur, untuk menggantikan ibunya.

“Ambil upahmu, di atas meja!” titah Esih, mengarahkan telunjuknya pada kantong plastik hitam berisikan satu liter beras yang tergeletak di atas meja dapur. “Ingat. Besok jangan datang terlalu siang, ya!” sambungnya, ketus.

Mutiara mengangguk, lalu mendekat pada Meja yang dimaksud. Diraihnya bungkusan hitam yang tergeletak di atasnya.”Maaf, Bi. Ini beras untuk apa?” tanyanya, menoleh pada Esih.

Sejenak, Esih meletakkan ponsel di tangannya.”Maksud kamu bertanya seperti itu, apa?”

“Maaf, Bi. Tiara tidak bermaksud apa-apa. Hanya bingung, kenapa bi Esih memberi Tiara beras?”

Sukaesih membulatkan kedua matanya.”Beras itu, ya upahmu. Pake acara tanya segala!” ketus Esih, mendekati Tiara. “Memangnya ibumu tidak pernah bilang, setiap hari dapat beras dari mana?” tanyanya kemudian.

Mutiara menggeleng.”Jadi satu liter beras yang selalu Ibu bawa pulang itu, upahnya setelah seharian membantu pekerjaan di toko dan rumah Bibi?” tanyanya, dengan penekanan.

“Iya lah. Jaman sekarang, mana ada yang mau ngasih sesuatu secara cuma-cuma.” ujar Sukaesih, menatap sinis pada Tiara.

Seketika tangan Mutiara gemetar, menggenggam plastik hitam dengan erat. Ia tidak menyangka. Selama ini, tenaga ibunya hanya dihargai satu liter beras oleh seseorang yang seharusnya bisa memberinya berkali lipat lebih dari itu.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Upah Satu Liter Beras    47. Selesai

    “Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah

  • Upah Satu Liter Beras    46. Melepas Aset

    “Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 45. Bertemu dengan Masa Lalu

    Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 44. Memelas

    "Maaf, selesaikan dulu urusan bu Esih dengan kami. Baru urus yang lain!” Sadim menyela pembicaraan. “Kalau boleh tahu, memangnya Bapak berdua ini ada urusan apa dengan bi Esih?” tanya Tiara, tertuju pada Sadim dan pak Usep. Sejenak, Dua pria dewasa di hadapan Tiara saling berpandangan.”Bu Esih sudah mengambil uang DP pembelian tanah dari kami, tapi dia tidak jadi menjual tanahnya.” ujar pak Usep, mewakili Sadim. “Kami sudah memberi waktu banyak pada bu Esih untuk segera mengembalikan uang yang sudah diterimanya, tapi sampai sekarang belum juga ia kembalikan!” sambung Sadim, kembali emosi. “Benar yang dikatakan mereka berdua, Bi?” tanya Tiara pada Esih. “Bukan hanya aku yang menerima uangnya, tapi Ibu juga.” sanggah Esih, tidak terima jika hanya ia yang ditagih dua makelar tanah itu. “Itu bukan urusan kami, yang kami tahu bu Esih yang menerima uangnya.” ucap Sadim, tidak peduli dengan sanggahan yang dilontarkannya Esih. “Apakah tanah yang dimaksud dua Bapak ini, tanah alamrhumah

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 43. Ditagih Utang

    Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 42. Tes DNA

    Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status