"Bu, silakan buahnya sudah ada," ucap Hafizah menaruhnya di meja makan. Lestari sudah menunggu buah yang diinginkannya, akan tetapi Hafizah baru memberikannya setelah dirinya kesal. "Aku tidak mau lagi!""Kenapa Bu? Aku sudah belikan buah yang Ibu mau, tolong hargai.""Hargai? Kamu yang tidak menghargai mertuamu, di sini aku menunggu lama sampai mulutku kering, dan kamu meminta aku menghargai kamu? Yang benar saja!"Lestari berdiri menatap penuh dengan kemarahan kepada Hafizah yang menundukkan kepalanya. "Maafkan aku, aku sudah berusaha cepat membelikannya, dan memang membutuhkan waktu, tapi buahnya sudah ada sekarang. Ibu bisa memakannya.""Singkirkan dari hadapan aku sekarang juga! Aku tidak membutuhkannya lagi, pantas Hamid berselingkuh dengan wanita yang lebih pintar dan tau bagaimana menghargai mertua, bukan seperti kamu yang menyediakan apa yang aku mau kalau diperintah saja." Air mata Hafizah mengalir, bisa-bisanya mertuanya membandingkan dirinya dengan selingkuhan suaminya
"Baiklah, aku mau kembali ke kamarku, apa kamu mau kembali ke kamarmu juga?" tanya Hafidz. Sudah jelas terlihat oleh Hafidz mata Hafizah merah, belum lagi Hafizah selalu menundukkan pandangannya. Ingin rasanya menghibur Hafizah, tetapi Hafizah begitu tertutup tidak mau menceritakan semua yang dialaminya. "Iya, kalau begitu aku juga pamit."Hafizah berjalan menuju kamar dengan perasaannya yang hancur, belum lagi selalu terbayang mendiang suaminya yang telah meluluhlantakkan harapannya, cintanya, kesetiaannya. Namun, di mata mendiang suaminya itu Hafizah tidaklah penting. "Mas Hamid, aku lelah, mengapa kamu berikan aku kehidupan masa depan yang seperti ini untukku? Bukankah ketika kamu menikahi aku berjanji untuk memastikan masa depanku bahagia bersamamu? Kenapa harus aku, Mas?"Merenung sendiri di samping tempat tidur yang menjadi saksi bisu kesedihannya, tidak lupa matanya mengarah pada jendela yang masih terbuka lebar. Tidak ada yang menemaninya kecuali rasa dingin, kekecewaan d
"Tante," panggilnya. Hafizah bisa bernafas lega karena tahu kalau yang memanggilnya itu Putri. Hafizah berusaha tersenyum untuk menutupi ketegangannya tadi. "Iya, Putri. Kamu sudah bangun?""Sudah, Tante cantik. Tapi apa boleh Tante ke kamar untuk menemani Putri tidur lagi, karena kata Ayah hari ini Putri libur. Putri akan menemani Ayah ke kota.""Boleh, Tante akan tidur sama kamu," jawab Hafizah dengan tulusnya. Ada perasaan yang sangat hangat ketika memandangi mata Putri yang dirinya tidak mengerti, apa yang dirasakannya pada anak sambung adik iparnya seolah-olah memiliki sumber kekuatan yang lebih kuat dari yang dia miliki selama ini. "Asik, akhirnya Putri bisa tidur sama Tante cantik, itu artinya Tante akan menjadi istri untuk Ayah," ucapnya begitu kegirangan. Hafizah hampir tidak percaya dengan yang dikatakan Putri mengenai dirinya yang akan menjadi ibu barunya. "Sayang, kamu ada-ada saja, kita langsung ke kamar.""Iya, Tante. Ayo kita masuk ke kamarku, kamar termanis yang
"Hafidz!""Cukup Hafizah! Kamu tidak memiliki status apa pun sama Putri. Aku sangat takut kalau dia bergantung padamu, biarkan dia tetap bersamaku, lagipula dia juga bukan keponakan kamu, bahkan Dera pun hanya Ibu sambungnya. Aku yang berhak atas anakku."Sudah diperjelas sekali lagi oleh Hafidz untuk tidak memberikan harapan kepada anak kecil yang mungkin akan mengalami kekecewaan jauh lebih besar dan berdampak di masa depannya nanti. "Maaf, kalau begitu kamu bisa membawanya," balas Hafizah menyerah. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali membiarkan Hafidz membawa anak itu, karena kalau di rumah ini akan jauh lebih bahaya, dan memahami kalau anak itu juga mengharapkan seorang ibu baru yang menyayanginya. "Baiklah, aku memaafkan kamu. Lain kali kamu harus sedikit menghindarinya, aku benar-benar sangat takut dia kecewa kalau harapannya tidak terpenuhi.""Maksud kamu, Hafidz?""Dia berharap kamu menjadi Ibunya, itu yang aku tangkap dari apa yang aku lihat selama ini, tidak bisa dipung
"Rasakan ini, Hafizah!" Tangan Hafizah diinjak-injak oleh Lestari yang berdiri di balkon, ternyata Hafizah masih bertahan dengan keadaannya yang hampir jatuh. "Aw ... Sakit, Bu."Hafizah menyadari kalau ibu mertuanya tidak mungkin membantunya, apalagi sekarang ibu mertuanya berusaha menjatuhkan dirinya dengan menginjak-injak tangannya agar tidak lagi mempertahankan pegangannya. "Kamu harus mati, Hafizah! Aku tidak mau melihat kamu lagi di rumah anakku, mau berusaha sekeras apa pun kamu untuk memegang pagar ini, akan aku pastikan kamu jatuh ke bawah dengan mengenaskan."Lestari semakin menginjakkan kakinya pada tangan Hafizah yang mulai merah. Sekali lagi Hafizah harus menerima akibat dari kebencian yang menumpuk dihati ibu mertuanya. "Bu, tolong jangan begini, sakit sekali rasanya."Hafizah berusaha untuk kuat tidak menangis saat kondisinya sudah bergelantungan di atas pagar balkon. "Sakit ya, Hafizah? Memangnya aku perduli padamu? Sayangnya aku tidak mau kamu selamat, kasihan ka
Menjelang pagi Hafizah belum menyelesaikan pekerjaannya, dia masih dijaga oleh Ibu mertuanya yang ingin memastikan kalau menantunya memang bekerja setiap hari untuknya tanpa bantuan orang lain, dengan terpaksa Rina pembantu bayaran harian Hafizah tidak masuk hari ini karena Hafizah belum memberikan kabar. "Bu, mau sampai kapan di situ terus? Ini sudah jam setengah enam pagi, apa Ibu tidak mau tidur?" tanya Hafizah masih menyetrika baju-baju Lestari. Lestari masih duduk memperhatikan Hafizah yang sibuk dengan pekerjaannya, wanita tua itu tidak menjawab pertanyaan Hafizah dikarenakan sedang memegang ponsel di tangannya. "Bu, bolehkah aku istirahat dulu? Sungguh aku bosan dari semalam begini. Ini sudah pagi, aku harus membuat sarapan untuk Ibu."Lestari masih sibuk dengan ponselnya yang melihat konten mengenai perhiasan dan barang-barang mewah seperti tas bermerk yang tidak kalah menakjubkan harganya. "Bu!" "Apa?"Akhirnya Lestari menjawab, baru Hafizah memberanikan dirinya untuk be
"Cepat Bu, segera Ibu ganti ke tempat yang ada di rumah ini dan sajikan untuk tamu-tamu Ibu mertua, aku harus pulang lagi bersama yang lainnya."Rina ada di dapur, dia masuk melalui pintu dapur yang dibuka oleh Hafizah, mereka memang sudah sepakat tentang semua ini, sedangkan Lestari masih sibuk dengan ponselnya membalas pesan grup teman-temannya yang mau datang. "Terima kasih Rin, kamu dan temanmu sangat membantuku, maaf kalau pekerjaannya ditambah mendadak seperti ini, tapi kamu tenang saja, aku pasti memberikan lebih," ucap Hafizah tidak enak pada Rina yang mengikuti permainannya agar tidak ketahuan ibu mertua. "Sama-sama Bu. Rina dengan senang hati membantu Ibu Hafizah, karena lima tahun yang lalu membuat Rina tidak memiliki pekerjaan seperti ini, rasanya bersyukur Ibu telah menghubungi Rina lagi.""Baiklah, ini uangnya dan sekali lagi aku berhutang budi padamu Rin, kalau kamu membutuhkan bantuan apa pun, tolong segera kabari aku.""Siap Bu, Hafizah. Kalau begitu Rina permisi du
"Bisa-bisanya kamu menggagalkan transaksi berlian yang akan aku beli dari teman-temanku, mulutmu itu tidak bisa di jaga untuk menjaga perasaan tamuku, sampai-sampai kamu menuduh mereka menjadi penipu, di mana otak kamu, Hafizah? Pantas aku begitu membencimu. Dan tingkahmu yang seperti ini membuat orang tidak ingin kamu hidup!" Kemarahan Lestari tidak bisa dikendalikan di depan menantunya yang sekarang ketakutan, padahal tadi sangat berani mengusir orang-orang yang menjadi tamu Ibu mertuanya. "Bu, aku tidak bermaksud begitu, tapi aku perduli sama Ibu, mereka semua akan jahat. Ibu harus berhati-hati membeli barang mahal seperti berlian, lebih baik langsung ke tempatnya kalau Ibu mau membeli sesuatu yang mahal, aku takut Ibu akan menyesalinya di belakang kalau percaya dengan orang-orang tadi. Aku tidak menuduh mereka, karena faktanya mereka penipu Bu, aku bisa menjamin kalau berlian yang mereka bawa itu palsu." Hafizah masih meyakinkan mertuanya untuk percaya padanya, tetapi Lesta
Setelah selesai makan, Hafizah segera pergi untuk mencari kebutuhan bulanan yang akan disimpan di lemari es, setidaknya untuk persediaan selama seminggu."Baiklah, ini adalah pengalaman pertamaku melakukan ini. Aku sudah menyiapkan daftar belanja seperti ibu-ibu pada umumnya, dan sekarang saatnya untuk membeli semua yang aku butuhkan," ujarnya.Hafizah mulai menjelajahi toko, mencari barang-barang yang diperlukan, didampingi oleh para bodyguard yang setia mengawalnya tanpa lelah. Mereka sudah tidak merasa lapar, terutama karena Hafizah telah menyediakan minuman untuk mereka selama bertugas."Aku tidak mengerti, semua bahan makanan harganya sudah naik, dan aku harus menyesuaikan anggaran meskipun uangku tidak akan habis," keluhnya, sama seperti wanita pada umumnya.Hafizah mengambil sayuran yang ada di depannya ketika tiba-tiba dia mendengar suara seseorang menepuk bahunya."Ibu Hafizah, ada telepon dari Pak Hafidz."Wanita itu en
Hafidz telah memberi tahu dokter yang merawat Putri bahwa anak tersebut memerlukan pengobatan terbaik. Namun, keterbatasan fasilitas di rumah sakit itu tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan penyakit langka seperti yang diderita Putri.Segera, Hafidz meminta rumah sakit untuk merujuk Putri ke luar negeri, memilih rumah sakit yang direkomendasikan oleh seorang teman lamanya yang tinggal di luar negeri.Hari itu juga, Hafidz terbang ke Thailand, di mana banyak orang menjalani operasi plastik dan berbagai prosedur medis lainnya. Thailand juga dikenal memiliki pengobatan yang canggih, termasuk untuk penyakit langka seperti yang dialami Putri."Ayah akan melakukan segalanya untukmu, sayang. Jadi, semangat lah untuk sembuh. Di sini, Ayah akan menemanimu sampai kamu membuka mata lagi," kata Hafidz saat berada di dalam mobil ambulans yang menuju bandara.Hafidz memilih untuk menggunakan pesawat pribadinya agar tidak perlu lama-lama membawa anaknya.
Hafizah menangis sepanjang perjalanan, menyadari bahwa malam ini ia akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih menyakitkan daripada pengkhianatan, yaitu terpaksa memenuhi harapan yang tidak diinginkannya. "Aku tidak menyangkal perasaanku, tetapi mengapa Hafidz tidak bisa melihat dengan jelas konsekuensi dari memaksakan pernikahan seperti ini? Aku tidak mau, dan dia juga tidak mau memahami semua ini."Hari yang seharusnya menjadi momen bahagia bagi Hafizah, Hafidz, dan Putri justru berubah menjadi kesedihan, bahkan bagi Hafidz yang masih menunggu anaknya di luar ruang ICU. "Aku bodoh! Aku salah karena membiarkan Hafizah pergi dariku, tetapi aku hanya ingin melihat Putri sembuh dari sakitnya. Permintaan Putri sangat berarti bagiku. Apa salahnya? Dia mencintaiku, dan aku juga mencintainya."Hafidz merenungkan dengan dalam tindakan yang telah dilakukannya terhadap Hafizah. Sementara itu, Hafizah yang telah tiba di rumah merasakan kehilangan yang mendal
Hafidz berusaha menghubungi Hafizah, namun tidak ada jawaban dari wanita itu. Kini, ia merasa bahwa Hafizah mungkin marah padanya dan merasa terluka karena telah disalahkan sebelumnya."Apakah aku sudah berlebihan terhadap Hafizah? Aku harus segera meminta maaf padanya sebelum semuanya terlambat."Hafidz masih menunggu kabar dari dokter yang berada di dalam ruangan, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan permintaan Putri. "Kamu tetap di sini, jangan lupa kabari aku jika ada informasi dari dokter. Aku akan segera kembali.""Jangan, Pak Hafidz. Saya khawatir akan ada tindakan serius. Sebaiknya Pak Hafidz tetap di sini, takutnya mereka meminta persetujuan untuk operasi seperti sebelumnya, dan saya tidak bisa melakukannya."Hafidz terdiam. Ia tidak akan pergi setelah mengingat apa yang terjadi pada anaknya, dan ia tidak mungkin meminta bodyguard untuk mengambil alih tanggung jawabnya di sini."Kamu benar. Sekarang, hubungi bodyguard yang ada di rumah untuk membawa Hafizah ke sini. Jangan
Hafidz berlari setelah selesai mandi, tanpa sempat mengenakan pakaian. Dia sangat khawatir tentang anaknya, hanya handuk yang melilit setengah tubuhnya terlihat oleh Hafizah dan para bodyguard."Putri!" Pria itu segera masuk ke dalam kamar dan mendapati Hafizah yang masih panik dan menangis, dipenuhi rasa penyesalan."Bagaimana bisa terjadi, Hafizah? Kamu tahu betapa pentingnya menjaga anak ini, tapi sekarang lihatlah apa yang terjadi!"Hafidz tampak kecewa pada Hafizah yang tidak mampu menjaga anak mereka dengan baik."Aku sudah berusaha menjaga dia semalaman, tapi tiba-tiba dia seperti ini. Aku tidak ingin dia dalam keadaan seperti ini. Ayo, cepat bawa dia ke rumah sakit!"Hafidz menggendong anaknya dengan kedua tangan, tanpa memikirkan pakaiannya yang belum dikenakan. Sementara itu, Hafizah yang menyaksikan semua itu segera berbisik kepada bodyguard yang ada di sampingnya."Segera ambil pakaian bos kalian, aku tidak
"Tentang ibu kandungmu, sepertinya Tante pernah bertanya kepada Ayahmu, tetapi Ayahmu masih enggan membicarakannya. Kamu tahu bagaimana sikap Ayahmu selama ini. Tante tidak bisa memaksanya untuk berbagi, karena Ayahmu pasti merasakan sakit saat mengingat masa lalunya. Ada sesuatu yang dia sembunyikan untuk menutupi lukanya. Kamu juga tahu bahwa Ayahmu selalu berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kamu, bahkan tanpa memikirkan dirinya sendiri."Putri mendengarkan dengan seksama apa yang diungkapkan Hafizah. Seperti yang telah disebutkan, Hafidz memang sangat tertutup mengenai hal ini."Iya, Tante. Tapi Putri tetap ingin tahu siapa ibu kandung Putri," jawabnya.Hafizah menggenggam tangan Putri dengan lembut agar dia merasa lebih tenang. Putri menatap mata Hafizah, menyadari bahwa tidak ada yang bisa dilakukan lagi mengenai ibu kandungnya."Kamu tahu, pasti ibu kandungmu cantik seperti dirimu dan sangat menyayangimu. Hanya saja, ibumu memiliki banyak pekerjaan. Kamu harus ingat bahwa suatu
"Aku tidak terpaksa, aku hanya ingin membahagiakan Putri. Dia ingin kamu menjadi ibunya," bisik Hafidz kepada Hafizah.Hafizah merasa keberatan jika Hafidz menikahinya hanya karena permintaan anak itu. Baginya, itu berarti Hafidz tidak benar-benar menginginkannya sebagai istri."Cukup! Aku yang tidak mau menikah denganmu! Lagipula, kamu tidak perlu bersikap seperti itu padaku, dan Putri juga tidak memaksamu jika kita bisa berbicara baik-baik dengannya."Hafizah mendekati Putri dan berkata, "Maafkan Tante cantik, sayang. Tolong pahami Tante, ya. Tante tidak bisa menikah sebelum kamu sembuh. Tante tidak ingin merayakan hari bahagia dalam keadaan sakit, sementara kamu juga sakit."Hafidz menggenggam tangan Hafizah untuk menghentikannya berbicara, tetapi Putri mulai berbicara lagi."Tante memang sangat cantik. Putri juga ingin mengenakan baju yang indah dan mahkota di kepalanya. Putri tidak mau memakai baju pasien seperti ini. Ayah, tidak apa-apa, biarkan aku sembuh dulu. Aku berjanji aka
Setelah Hafidz memesan makanan untuk kami berdua, kami langsung menyantapnya tanpa ragu. Namun, Putri masih belum sadar, sementara Hafizah menunggu agar bisa makan bersama kami. Suster yang menjaga juga memastikan asupan makanan yang diperbolehkan untuk Hafizah, mengingat dia baru saja keluar dari rumah sakit."Hafizah, kamu pasti menunggu Putri datang ke sini. Tenang saja, aku tidak akan membiarkan hal buruk menimpa Putri lagi. Biarkan dia beristirahat, aku yakin dia akan sadar dengan sendirinya.""Aku mengerti, Hafidz. Aku hanya berharap dia ada di sini. Tidak ada yang salah, kan?""Tidak ada, kamu benar. Aku juga mengizinkanmu tidur bersama Putri jika kamu mau, meskipun aku sedikit khawatir luka kamu belum sepenuhnya aman jika terpegang oleh anakku saat dia bangun nanti."Hafidz merenung sejenak dan kemudian mendapatkan ide yang bisa membuat Hafizah tidur satu kamar dengan anaknya."Aku akan meminta orang-orang kepercayaan ku untuk men
"Aku akan bersikap adil. Setidaknya, aku tahu mana yang benar untukku dan mana sikap mereka yang bisa aku perbaiki. Jika aku benar-benar menikah denganmu, itu berarti aku akan menjadi seorang ibu. Maka, aku akan mencintai dengan tindakan, bukan?"Hafidz tersenyum mendengar pernyataan Hafizah, calon istrinya yang sangat berbeda dari wanita yang pernah dicintainya sebelumnya."Baiklah, aku percaya padamu. Kita akan segera sampai di rumah."Hafidz merasa tenang mendengar jawaban Hafizah, terutama karena perlakuannya terhadap anaknya dan dirinya sendiri yang selama ini ia kenal.Setelah lima menit, mereka tiba di depan rumah Hafidz. Mobil pun berhenti karena pagar tertutup rapat. Hafidz menghubungi penjaga rumahnya di dalam menggunakan ponselnya. Ini tampaknya sudah menjadi kebiasaan, karena Hafidz melarang siapa pun untuk membuka pintu gerbang kecuali jika ia yang menghubungi terlebih dahulu.Saat pintu dibuka, Hafizah tiba-tiba keluar dari mobil