Aroma ayam, pakan dan kotorannya semerbak, bisa dipastikan takkan ada yang bisa bertahan di sekitar situ untuk beristirahat setiap hari. Namun tidak dengan Upik. Ia tidur dan makan tepat di sebelah kandang-kandang ayam milik pak Bowo.
Ia adalah anak yang terbuang, usianya bekisar delapan belas tahun. Upik seumur hidup tinggal di sana, bekas kandang ayam yang dijadikan tempat ia tinggal. Setiap hari bekerja membersihkan kandang, membantu memberikan pakan ayam, dan makan dari belas kasihan keluarga pak Bowo.Meski usianya sudah beranjak dewasa, Upik sama sekali belum pernah mengalami menstruasi, mengerti bahwa dirinya seorang perempuan-pun mungkin tidak. Perawakannya tak ubah seperti orang yang mengalami gangguan jiwa, rambutnya gimbal kribo, tubuhnya kurus dan tak terurus, bahkan terkesan seperti tak pernah mandi. Aroma ayam lekat betul di tubuhnya, wajahnya kotor, giginya kuning dan ia jarang berbicara. Jika dipanggil, ia hanya menyahut dan datang sesegera mungkin, jika dimarahi bahkan dipukulpun, ia tak pernah melawan. Hanya orang-orang yang tahu sejarah hidupnya saja yang paham kalau dia seorang perempuan.Sore menjelang malam, orang-orang yang bekerja di kandang ayam pak Bowo bersegera untuk pulang. Seperti biasa, Upik masih sibuk di kandang ayam, memegang serok dan sapu lidi, membersihkan kandang ayam dari kotoran dan sampah.Upik mengangkat air seember demi seember kemudian dihempaskan air tersebut ke seluruh lantai kandang, guna membersihkan lantai dari jejak-jejak kaki para Pekerja. Dalam kesibukan itu, samar ia mendengar suara berbisik-bisik.Suara bisik-bisik itu terdengar cukup jelas di balik sumur dekat kandang ayam dimana Upik sedang bersih-bersih kandang. Awalnya ia ingin mengantarkan ember-embernya ke bilik sumur itu, hanya saja perasaannya tak enak. Ia terdiam di dekat dinding bilik sumur, tangannya memeluk ember-ember yang ia bawa."Paaak! sudah hentikan! ini keterlaluan, saya malu Pak!""Kamu tidak akan bisa menghentikan saya kalau sudah kepalang begini!""Aaah tolong...!"Upik melangkah mendekat perlahan dan ragu, ia bingung namun ia sudah berada di pintu bilik sumur itu. Ia buka pintu itu, dan terlihatlah olehnya pak Bowo sedang berada di atas tubuh seorang gadis pekerja kandang ayam yang baru masuk lusa kemaren.Buru-buru gadis itu beranjak dari posisinya. Ia mengambil pakaiannya yang ia gantung di atas dinding bilik yang tak beratap. Ia kemudian lari menabrak tubuh Upik sampai tersungkur jatuh terduduk.Pak Bowo sendiri sudah berkacak pinggang menahan marah. Ia tak perduli meski tak mengenakan celana di depan Upik. Upik-pun demikian, ia bingung kesalahan apa yang ia lakukan sampai pak Bowo menunjukkan ekspresi marah seperti itu, bukankah hal seperti itu sudah biasa dilakukan pak Bowo terhadap gadis-gadis pekerja yang menarik hatinya? Upik sering menyaksikannya, namun ia diam saja. Hanya saja mungkin kali ini keberadaan Upik disadari oleh pak Bowo dan korbannya."Sini kamu!" perintah Pak Bowo.Upik berjalan menuju pak Bowo.Plak! Gdebuk!Pipi Upik ditampar dan tubuhnya ditendang sampai terpental keluar pintu. Darah keluar dari sudut bibir Upik. Ia hanya bisa meringis pedih, tangannya memegangi pantatnya yang sakit."Berdiri kamu!" perintah pak Bowo lagi.Upik berdiri menurut, pak Bowo menjambak rambut kusut kribo Upik. Tampak mimik jijik dari wajah pak Bowo."Jika saja kau bersih sedikit saja, sudah kulampiaskan harsatku ini padamu. Tapi sungguh, kau anak yang menjijikkan, bau!"Pak Bowo melepas jambakannya dari rambut Upik seolah melepas sampah yang menjijikkan."Cueh!"Pak Bowo meludah di wajah Upik sambil berlalu masuk ke rumah. Upik hanya diam menunduk, menyeka ludah yang menempel di pipinya. Ia masuk ke dalam bilik sumur, menimba seember air dan membasuh wajahnya.Ia diamkan air di ember itu sejenak, air di dalam ember menjadi tenang dan memantulkan wajahnya. Tampak Upik memperhatikan betul-betul wajahnya, ia meneteskan air matanya menyadari betapa buruk rupanya ia.________________Malam telah tiba, sekitar pukul tujuh Upik bergegas ke dapur, perutnya sudah lapar betul.Pintu dapur rumah pak Bowo belum dibuka, dan nampan yang biasa berisi makanan sisapun belum kelihatan di bawah pintu. Upik menunggu di luar, tepat di samping pintu dapur. Sudah sejam, tak kunjung ada yang membukakan pintu. Biasanya buk Laila istri pak Bowo atau Sukiyem pembantu di rumah itu akan memanggil manggil Upik untuk mengambil jatah makannya. Lapar yang ia rasakan memaksanya mencoba mengetuk pintu dapur. Tok, tok, tok!Upik menunggu, berharap ketukannya disambut terbukanya pintu. Namun, tak ada respon sama sekali. Sudah dua jam lebih Upik menunggu, ia memutuskan melihat ke arah depan rumah. Biasanya pak Bowo ataupun istrinya akan marah jika Upik memperlihatkan dirinya di halaman depan rumah pak Bowo. Namun kini, ia betul betul kelaparan. Ia melangkah ragu ke depan rumah, ia perhatikan pintu dan jendela semuanya tertutup. Sepertinya, keluarga pak Bowo sedang tidak ada di rumah. Upik m
Endang, pekerja wanita yang kemarin dipergokin Upik berduaan di bilik kamar mandi bersama pak Bowo, kembali masuk bekerja. Pekerjaannya adalah memberi pakan ayam dan memeriksa telur-telur ayam. Pekerja di peternakan ayam pak Bowo tidaklah banyak, hanya bekisar enam orang tidak termasuk Upik. Empat orang adalah pria dan dua orang wanita. Satu orang wanita lagi adalah Sukiyem, pembantu rumah pak Bowo yang bekerja mengawasi para Pekerja. Pekerja wanita kerap berganti. Kebanyakan diberhentikan sepihak oleh pak Bowo. Alasannya beragam, mulai dari tak becus, sampai karna tak mau melayani pak Bowo. Ibu Laila istri pak Bowo tidak tahu sama sekali ulah nakal suaminya, ia keseringan berada di rumah orangtuanya. Alasannya, karna tak tahan dengan aroma tak enak dari kandang-kandang ayam itu. Sementara para pekerja lainnya, hapal betul kebiasaan pak Bowo. Para pekerja laki-laki kerap diam diam menonton adegan panas antara pak Bowo dan Pekerja wanitanya. Endang berjalan menunduk ke arah kandang
Mendapati hal tersebut, buk Laila langsung naik pitam. Emosinya membara, ia mengambil sekop dan melangkah lebar-lebar hendak menghantamkan sekop tersebut ke arah mereka berdua. Kepanikan terjadi, pak Bowo sontak menghindar, demikian Endang. Sekop tertancap di tengah-tengah antara pak Bowo dan Endang. "Kurang ajar! laki-laki iblis! lacurrr!!" teriak buk Laila menggelegar. Ia melempar apapun yang ia dapati di gudang itu ke arah mereka berdua. Endang yang menyadari posisinya sedang tak aman segera menyelamatkan diri, berlari keluar sambil menyambar pakaiannya. Ia berpakaian sambil berlari. Pak Bowo tak kalah panik. Ia berusaha menghindar sambil tetap berusaha menenangkan istrinya. "Buuuuk, tenang Buuuk! ini tidak seperti yang Ibuk fikirkan.""Kau menelfonku dengan alasan sakit, tapi kau malah pijat-pijatan dengan Pelacur itu!""Siapa yang menelfon? aku gak pernah menelfon Ibuk.""Sialaaan! kau rasakan ini!" bu Laila melempar sebuah ember ke arah kepala pak Bowo, dan tepat sasaran. "
Banyak orang mengerumuni jenazah pak Bowo. Tak ada usaha penyelamatan dilakukan, karna korban sudah meninggal. Mereka membopong tubuh pak Bowo masuk ke dalam rumah. Upik masih berdiri di teras gudang, ia menyaksikan sendiri bagaimana benda bulat hitam itu mengeluarkan cahaya ungunya, saat terjadi angin, mendung dan kilat. Upik berlari mengejar benda bulat itu, ia sembunyikan di balik bajunya. Seolah tak perduli keributan yang terjadi, ia berlari menuju rumahnya. Sampai di rumahnya, ia keluarkan benda bulat itu dari bajunya. Ia perhatikan betul-betul, benda itu tampak tak mengeluarkan cahaya ungu lagi dari celah-celah retakannya. Digoncang-goncangkannya benda tersebut, namun benda itu tetap tak mengeluarkan cahayanya. "Kau ini apa?"Benda bulat itu tampak mengeluarkan cahaya redup keunguan tidak seperti biasanya, lantas padam kembali. "Apa kau hidup?"Kembali benda bulat itu mengeluarkan cahaya redupnya seolah menyahuti pertanyaan Upik. "Kau mengenalku?"Kembali mengeluarkan caha
"Aku tak mau berpisah denganmu Bowo! kau sudah berjanji menikahiku!""Aku tak bisa Ainun. Jika kita menikah, kita mau makan apa? aku sama sekali tak punya pekerjaan.""Lantas kau memilih Laila karna ia memiliki Peternakan Ayam?""Ini kesempatanku untuk merubah hidup Ainun. Mengertilah! Peternakan ayam milik keluarga Laila itu sangat besar, orangtuanya berjanji akan memberikan seperempat dari ternak ayam itu menjadi hak milikku jika aku menikahi putrinya.""Lantas bagaimana nasibku Bowo? kau lupa, aku mengandung anakmu sekarang? sudah memasuki empat minggu Bowo!""Aku mencintaimu Ainun, hanya saja kau harus ikuti rencanaku. Aku takkan membiarkanmu sendirian.""Apa rencanamu?""Kau akan kubawa ke rumah kami setelah aku menikahinya nanti. Akan kuperkenalkan kau sebagai sepupuku yang hamil di luar nikah.""Bagaimana kau bisa meyakinkannya?""Dia cinta mati padaku Ainun, dia akan menurutiku."***Rencana Bowo benar-benar terjadi. Ia menguasai seperempat dari ternak ayam milik keluarga Lail
Sampan terus mengikuti arus sungai, saat Pemuda bola cahaya itu melepas genggamannya dari tangan Upik, cahaya yang keluar meredup kembali. Upik yang menyadari itu langsung tersentak, ia masih belum percaya dengan penglihatannya baru saja. Kilas balik tentang kisah hidup orangtuanya dan dirinya. "Bagaimana perasaanmu?" tanya Pemuda itu. Upik tiba-tiba menunduk, isaknya terdengar sesak. Sebenarnya ia tidak mengerti tentang arti hidupnya sampai saat ini. Ia lahir dan hidup dengan penuh kepalsuan dan pembodohan. Membayangkan betapa sulit dan menyedihkannya akhir hidup Ibunya, Upik terisak terputus-terputus, "Maaak..." lirihnya, air mata dan ingusnya seketika membanjiri wajahnya. Tikus yang seolah mengerti kondisi Upik naik ke atas pundaknya, berdecit seolah mengatakan turut berdukanya. "Ini sudah ditakdirkan Upik, aku akan selalu membantumu dalam kondisi apapun. Perjalanan menemukan jati dirimu akan dimulai dari sini.""Jati diri?""Ya! selama ini kau terkurung dan disembunyikan, saa
***Aliran sungai yang tenang perlahan membawa sampan menuju pinggiran sungai. Tak begitu jauh terlihat aktifitas warga setempat seperti menyuci pakaian, menyuci piring, mandi dan beberapa anak-anak yang bermain air. Awalnya Upik sumringah, ia sudah membayangkan perubahan hidupnya akan di mulai dari pinggir sungai ini. Bayangan bisa berdampingan dengan masyarakat, beraktifitas seperti orang-orang kebanyakan, dan bercengkrama dengan sesama layaknya manusia, kian membuatnya bersemangat. Tubuhnya ia bungkukkan, kepalanya ia condongkan ke depan, seolah tak sabar menyapa mereka yang berada di pinggiran sungai tersebut. Namun sayang, saat sampan mendekati orang-orang tersebut, respon ketakutan yang ia dapat. Orang-orang yang sedang beraktifitas di pinggir sungai mendadak beringsut, menunjukkan gestur mengusir. Tangan mereka dipukul-pukulkan ke air menghalau sampan mendekat. "Orang gilaaa...! orang gilaa...!" sorakan dari anak-anak yang mengiringi halauan orang tua mengusir Upik untuk men
***Mereka melihat Upik sendirian di atas sampan, penampilan yang tak wajar atau lebih tepatnya seperti orang tak waras, dengan tas karung usang di tangannya. Tiga orang laki-laki tersebut mendadak tertawa, meledek dan ada pula yang menyiram-nyiramkan air ke arah Upik. Salah seoerang yang memegang botol minuman meludah ke arah Upik, yang memegang alat dayung, memukul-mukulkan dayungnya ke sampan yang dinaiki Upik, dan yang berdiri sambil memegang Jala meniru-nirukan gestur kera dengan suara khas keranya. Upik beringsut menjauhkan posisi duduknya dari mereka, dia ketakutan, tas karungnya ia pegang erat-erat, ia tutup matanya sambil berharap Mpus merubah dirinya seketika menjadi manusia bersih dan terlihat normal, agar tiga orang tersebut berhenti membulinya. Berapa kalipun Upik menutup matanya sambil berharap Mpus merubahnya, atau memperlihatkan keajaibannya, saat Upik membuka mata, keadaan tetap sama saja. Hingga sampan milik tiga orang laki-laki tersebut perlahan menjauhinya. Upi