"Benarkah itu Juna? Makasi ya, Nak." Ibu Suri terbangun, lalu langsung memeluk erat putranya.
"Ibu akan segera mempersiapkan pernikahan kalian. Kau hanya harus tetap bekerja seperti biasa, memimpin hotel kita.""Tapi Bu, Juna akan kembali ke Malang untuk menemui Ratu dulu. Biar bagaimanapun, dia istri Juna. Dia tetap harus tau tentang hal ini."Ibu Suri yang merasa takut kalau kepergian anaknya ke Malang akan membuat Juna tidak kembali lagi ke sisinya langsung histeris."Tidaaak! Ibu tidak mengizinkanmu pergi ke Malang lagi. Kamu tidak boleh ke mana-mana!""Bu, Juna hanya ingin memberitahu Ratu, tidak lebih. Ibu nggak usah khawatir berlebihan, ya. Nggak bagus buat kesehatan Ibu." Juna berusaha menenangkan Ibu Suri. Ia memeluk erat ibundanya dengan penuh kasih sayang."Kalau begitu, biar Ibu sendiri yang akan menjemput Ratu. Ibu akan mengajak Ratu tinggal di sini."Mata Arjuna berbinar. "Sungguh, Bu?"Ibu Suri mengangguk pelan."Tentu saja."Keesokan harinya, Ibu Suri ditemani beberapa orang pengawalnya berangkat menuju Malang. Setibanya di kediaman Ratu, ia langsung memerintahkan salah satu pengawalnya untuk turun dan menyuruh Ratu menemuinya. Terlihat jelas kalau ia enggan untuk turun ke tempat yang menurutnya sangat tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal."Kamu suruh gadis itu menemui saya. Saya tunggu di sini," titahnya pada sang supir.Tidak lama kemudian Ratu muncul. Awalnya dia mengira kalau Arjuna yang menjemput. Ia begitu bahagia sampai lupa untuk mengganti pakaiannya dengan yang lebih layak. Ratu hanya mengenakan baju daster yang warnanya sudah pudar karena ia baru saja selesai mencuci pakaian. Hal itu semakin membuat Ibu Suri memandang rendah padanya.Dari dalam mobilnya, Ibu Suri menurunkan kaca jendela. Ia tidak jadi menyuruh Ratu untuk naik.Ratu yang berdiri persis di samping mobil Ibu Suri terkesiap. "I-ibu," ucapnya terbata. Refleks ia langsung membungkukkan badannya."Sekarang juga kamu bersiap. Ikut saya ke Jakarta. Arjuna sudah menunggu."Mendengar nama Arjuna, seketika membuat perasaan Ratu yang selama ini dilanda rasa rindu menjadi sangat bahagia. Dadanya berdegup kencang dan pipinya mulai berwarna merah. Wajar saja, karena sudah hampir dua minggu, ia sama sekali belum bertemu suaminya."Ba-baik, Bu. Sebentar saya siap-siap dulu."Ibu Suri menyuruh Ratu duduk di kursi depan. Ia tidak ingin duduk bersebelahan dengannya. Selama perjalanan, tidak ada komunikasi yang tercipta. Suara di antara mereka hanya berasal dari lagu yang diputar siaran radio."I-ibu apa kabar? Kata Mas Juna, kemarin Ibu sakit. Apa sudah sehat?" tanya Ratu sehati-hati mungkin. Sambil sedikit menengok ke belakang, ia berusaha untuk memecahkan kebisuan di antara mereka."Hmm," jawab Ibu Suri tanpa melihat ke arah Ratu. Ia malah menghardik Hendro, supirnya."Hendro, apa tidak bisa lebih cepat lagi! Saya sudah sangat gerah di dalam!""Baik, Bu. Saya akan coba cari jalan lain yang tidak macet. Apa Nyonya Muda tau jalan yang lebih cepat menuju bandara?" tanya Pak Hendro."Hei! Siapa yang kau panggil nyonya muda!" hardik Ibu Suri lagi. "Sebut dia sesuai nama aslinya!"Ratu sedikit kaget melihat reaksi Bu Suri. Ia tidak lagi berani mengeluarkan suara sedikit pun.Setelah menempuh perjalanan udara selama satu setengah jam, mereka tiba di rumah keluarga Andromeda. Ibu Suri langsung turun dari mobil dan pergi begitu saja dari hadapan Ratu."Silakan, Nyonya Muda," ucap Pak Hendro seraya membukakan pintu untuk Ratu."Terima kasih, Pak. Apa Bapak tau dimana saya bisa menemui suami saya?""Maaf, saya tidak tau, Nyonya.""Baiklah, terima kasih, Pak."Walaupun Ratu berasal dari keluarga sederhana, tapi ia tau bagaimana harus bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua.Tiba-tiba seorang wanita paruh baya menghampiri Ratu."Maaf Bu Ratu, perkenalkan, saya Bi Aidah, kepala asisten rumah tangga di sini. Saya diperintahkan nyonya besar untuk mengantar Ibu ke kamar dan menjelaskan semua tugas ibu selama bekerja sebagai ART di sini."Ratu terperenyak. "Maksud Bi Aidah? Saya harus bekerja di rumah ini sebagai asisten rumah tangga?"Bi Aidah hanya membalas dengan anggukan sambil memandang ratu dengan pandangan iba.Malam harinya, Arjuna yang baru saja tiba di rumahnya, langsung menuju kamarnya untuk menemui Ratu. Namun, di kamarnya tidak ada siapa-siapa."Ibu, bagaimana perjalanannya tadi?" Juna menemui Ibu Suri yang sedang beristirahat."Alhamdulillah lancar," jawab Ibu Suri lalu tersenyum."Apa ibu tahu di mana Ratu? Kenapa dia tidak ada di kamarku?""Dia tidur di kamar belakang.""Kamar belakang? Maksud ibu kamar pembantu? Tapi kenapa, Bu?"Juna bangkit dari atas ranjang ibunya. "Juna akan ajak dia ke kamar Juna.""Arjuna, kamarmu hanya boleh ditempati oleh Selena. Wanita miskin itu sengaja ibu ajak ke sini agar dia sadar. Kalau di rumah ini posisi yang tepat untuknya hanyalah sebagai asisten rumah tangga."Ibu!" bentak Arjuna.Ibu Suri terkejut, lalu ia memegangi dada kirinya sambil meringis kesakitan. Tak lama kemudian ia tak sadarkan diri."Ibu! Ibu!" pekik Arjuna. "Pelayan! Cepat hubungi dokter!" Arjuna panik. Ia menyesal tadi sempat membentak ibunya dengan suara keras. "Ibuuu, maafkan Juna, Bu," isaknya.***"Maafkan Mas, Ratu. Ini semua mas lakukan demi kesehatan Ibu. Mas terpaksa menuruti keinginannya untuk menikah dengan Selena," ucap Arjuna sambil memeluk erat Ratu saat ia menemui istrinya itu malam ini. Ibu Suri memerintahkan Arjuna untuk segera memberitahu Ratu mengenai pernikahannya yang akan dilangsungkan minggu depan di Australia—tempat Selena tinggal saat ini.Pecah tangisan Ratu mendengar pernyataan dari Arjuna. Bayangannya kalau ia akan segera bersatu dengan sang suami di rumah ini pupus sudah. Ia juga harus bekerja di rumah ini, karena tanpa sepengetahuan Juna, Ibu Suri sudah membeli seluruh tanah di sekitar tempat tinggal Ratu di Malang. Termasuk tanah tempat bapak Ratu bekerja. Ibu Suri mengancam akan memberhentikan bapaknya dari pekerjaannya sebagai mandor tani.Ratu hanya bisa tersedu. Kabar baik tentang kehamilannya urung ia ungkapkan pada sang suami. Dalam hatinya ia bertekad akan menyembunyikan kehamilannya dari siapa pun di rumah ini. Ia tidak mau anaknya nanti akan mendapat perlakuan yang sama dari keluarga ayahnya.Bersambung."Jadi, nanti kamu akan tinggal di sini bersama kakek, Cinde," ucap Sultan Andromeda.Aku masih menggeleng-gelengkan kepala atas semua yang baru saja terjadi. Sulit sekali rasanya untuk mempercayai ini semua. Siapa yang menyangka, bahwa kehidupanku yang beberapa menit lalu masih tidak jelas akan tinggal di mana, beberapa saat selanjutnya malah akan tinggal di rumah mewah bak istana ini."Tapi saya masih belum percaya, Tuan. Eh, maksud saya, kakek. Bagaimana bisa kakek yakin kalau saya adalah cucu kakek?"Sultan tersenyum. "Besok pagi akan kakek ceritakan semuanya. Sekarang sudah larut malam. Kamu pasti lelah. Istirahatlah," sahutnya bijak."Asykar, tolong panggil pelayan untuk mengantar Cinde ke kamarnya.""Baik, Tuan."Om Asykar menghubungi salah satu pelayan melalui intercom yang terpasang di dinding belakang, tempat ia berdiri.Tak lama kemudian muncul seorang wanita bereseragam hitam-putih yang sebelumnya sudah aku lihat di pintu masuk tadi."Bi Jariyah, tolong kamu antar nona mu
Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak ya, Kak. Makasi udah mampir. Semoga suka. Kuusap pelan gambar seorang pria bersama dengan seorang wanita, di dalam album foto berwarna keemasan ini. Seorang pria tampan dengan senyum hangat yang menenangkan siapapun yang melihatnya. Garis wajahnya tegas, tulang rahangnya besar dan ada sebuah lesung pipit di kedua pipinya saat ia tersenyum. Rambutnya hitam bergelombang. Iris mata coklatnya mengingatkanku pada seseorang yang juga mempunyai warna lensa mata yang sama. Diriku. Jika bercermin, aku akan memiliki garis wajah yang serupa dengan pria di foto ini."Jadi pria ini adalah ayahku?" tanyaku masih sambil memandangi gambar tak bergerak itu."Iya, Cinde. Dia Arjuna, anak Kakek satu-satunya yang juga ayahmu.""Lalu, wanita di sebelahnya ini ... apa dia ibuku?"Kakek Sultan menggeleng pelan. "Dia Selena. Istri kedua ayahmu," jawabnya pelan seraya mengalihkan pandangan ke arah luar jendela yang terletak persis di sebelah kanannya. "Ibumu ber
Selamat membaca. Mohon bantuannya untuk love dan komennya ya Kak. Makasi udah mampir. Semoga suka."Cindelaras Putri Arjuna. Ibumu tidak mengizinkan nama Andromeda ada di belakang namamu," sambung Kakek lagi. "Tapi berkat bujukan dari Asykar, Ibu pemilik panti tempat kau tinggal tetap bersedia untuk terus mengabarkan mengenai tumbuh kembangmu. Ia rutin mengirimi kami fotomu setiap kau berulang tahun."Kuhirup napas dalam dan mencoba meredam rasa sedih yang saat ini sedang kurasakan."Apa ayahku masih hidup?"Dengan kursi rodanya kakek Sultan berjalan menghampiriku, lalu mengenggam erat tanganku."Cinde, kau adalah satu-satunya cucu kakek. Arjuna sudah ... " Ia menjeda kalimatnya, terlihat matanya mulai mengembun. "Empat tahun lalu, saat hendak kembali ke tanah air, ayahmu beserta istri dan anaknya, yang juga adikmu, mengalami kecelakaan. Pesawatnya jatuh dan meledak," ujarnya nyaris tanpa suara."Kemudian satu tahun setelahnya,
"Cinde, nanti sebelum memimpin hotel, kamu akan kakek sekolahkan ke New York untuk mempelajari bisnis. Setelah itu ke Jepang untuk mengetahui tentang hotel kita di sana," ucap Kakek setelah kami selesai makan siang.Saat itu kami tengah berada di teras belakang, tepat di depan ruang makan. Tempat yang langsung mengarah ke sebuah taman yang juga berukuran luas. Di sisi kirinya terdapat sebuah kolam renang berhiaskan bebatuan alam di sekelilingnya. Selain itu juga terdapat banyak bunga bougenville dan soka di beberapa tempat.Kakek duduk di atas kursi rodanya dengan menghadap ke arah taman belakang. Sedangkan Prabu berada di belakangnya. Ia mendorong kursi roda kakek karena Om Asykar diminta kakek untuk mengurus sesuatu di hotel."Apa Cinde sanggup, Kek?" jawabku sambil menunduk."Kamu adalah gadis yang cerdas, Cinde. Kakek yakin kamu sanggup. Lagi pula seperti yang tadi kakek ucapkan, Kakek sendiri yang akan membimbingmu. Tentu saja dengan bantuan
"Iya, Pak. Maaf," Sahutku sambil menunduk.Selesai melampiaskan kekesalannya, Pak Bimo pergi meninggalkanku yang masih terdiam di depan wastafel cuci piring.Sudah satu bulan aku bekerja di bagian dapur hotel milik Kakek. Sejak itu, dalam satu minggu selalu ada saja benda yang kupecahkan. Padahal pekerjaanku hanya mencuci piring. Pekerjaan yang sudah sangat biasa kulakukan sejak tinggal bersama ibu angkatku dulu. Namun, memang jumlah piring yang aku cuci berjumlah sangat banyak dan harus kukerjakan dalam waktu cepat."Udah, sini, Gue bantu."Raja, rekanku sesama karyawan dapur langsung mengambil alih tugasku. Tangannya cekatan mencuci semua tumpukan piring yang masih tersisa."Eh, nggak usah, Ja. Ini, kan, tugasku. Nanti kalau kamu yang ngerjain, bisa-bisa aku kena omel Pak Bimo lagi," sahutku tetap ber-aku-kamu padanya, walaupun ia menggunakan gue dan o."Udah, nggak apa. Gue ngerjain ini sekalian mau ngasih lo contoh. Biar lo
Mas Pangeran sama terkejutnya denganku. Matanya melebar dan mulutnya menyebut namaku tanpa suara. Mungkin kalau kakekku tidak ada di sini, ia akan langsung menyerbuku dengan banyak pertanyaan. Karena saat terakhir kali kami bertemu, aku meninggalkannya begitu saja di halte bus depan komplek perumahan ibu. "Cinde, kok, malah melamun begitu?" tanya Kakek sambil nenautkan alisnya. "Ini, lho, gurunya sudah datang.""Iya, Kek.""Putri Cinde?"Akhirnya Mas Pange mengeluarkan suara. Aku menunduk untuk menghindari tatapan heran Mas Pange."Jadi, kalian sudah saling kenal?" tanya Kakek. Matanya bergantian melihatku dan Mas Pange. "Pangeran ini adalah tetangga Cinde di rumah lamanya, Tuan." Om Asykar mewakiliku menjawab pertanyaan Kakek. "Oo. Malah bagus kalau begitu, kalian bisa lebih santai belajarnya. Sekarang, kakek tinggal dulu, ya. Kamu belajar yang rajin," ucap Kakek sambil me
"Kamu, siapa nama kamu?" tanya Prabu kepada Mas Pange."Pangeran, Mas," jawab Mas Pangeran sambil berdiri. Lalu mulai berjalan perlahan menghampiri Prabu. "Ok, Pangeran, duduknya tidak perlu sedekat itu sama Cinde, dan matamu tidak perlu seperti itu saat melihat dia." Prabu menunjukku dengan dagunya.Membuat Mas Pange segera menghentikan langkahnya. Sontak kalimat terakhirnya membuat wajahku merah. Apa maksudnya? Tadi Dia bilang penampilanku saat ini cantik, terus dia tidak mengizinkan Mas Pange untuk duduk terlalu dekat denganku. Kami, kan, sedang belajar, masa belajar duduknya jauh-jauhan."Oh, iya. Mas. Kenalin, itu Prabu, cucu kakek juga. Kak, ini Mas Pange, guru privat aku."Dua laki-laki itu saling memandang dan tidak ada satu pun yang mau memulai untuk mengulurkan tangannya ke yang lain. Mas Pange yang tadi sempat berdiri, juga langsung kembali ke posisinya semula. Dengan keberanian yang tersisa, aku mencoba b
Chef Rena tiba-tiba mendorongku kasar, sesaat aku baru saja tiba di ruangan yang terletak di sebelah dapur. Tempat yang biasanya digunakan untuk berganti pakaian atau sekedar beristirahat. Chef Rena bahkan tidak segan menghinaku, meski di sana ada beberapa staf dapur. Namun aku tidak melihat sosok Raja di antara mereka. Kemana dia? Apa hari ini dia tidak masuk kerja? Ini sudah hampir jam masuk, seingatku Raja tidak pernah terlambat. Apa ia sudah duluan ke dapur, ya? Sejak tadi aku berpikir kesalahan apa yang kubuat kali ini? Perasaan aku belum terlambat, masih ada waktu sekitar lima belas menit hingga waktu masuk. Biasanya juga kalau aku melakukan kesalahan, Pak Bimo sebagai penanggung jawab dapurlah, yang seharusnya marah. "Chef, apa salah, Saya? Kenapa saya di dorong-dorong?""Masih nanya lagi! Lo tu jangan pura-pura bodoh, Cinde! Lo jangan sok kecakepan juga, deh, jadi cewek. Di dapur, lo udah berani-beraninya godain Raja. Eh, ini di lu