Share

Diusir

Ibu langsung menuju kamarku, membuka lemariku dan mengacak susunan baju yang sebelumnya masih tersusun rapi.

"Ini apa, hah?"

Mataku membulat sempurna melihat ibu yang sudah memegang amplop cokelat di tangannya.Ibu langsung membuka amplop dan menghitung isinya, sepertinya jumlahnya masih sesuai.

Aku kira marahnya sudah reda, tapi ...

"Dasar anak nggak tahu diuntung! Sudah dipungut baik-baik, malah jadi pencuri! Begini ini memang, kalau anak nggak jelas keturunannya!"

Ibu memukul betisku berkali-kali dengan sapu lidi yang ada di kamarku.

"Cinde berani bersumpah, bukan Cinde pelakunya, Bu! Baru sekarang ini Cinde melihat amplop itu!" bantahku sambil menahan nyeri. Perlahan air mata sudah turun membasahi pipi karena sakit yang kurasakan.

"Halah, diam kamu! Kamu pikir itu uang bisa jalan sendiri ke kamar kamu, hah!"

Ibu memukulku lagi. Jika Ibu lagi marah seperti ini, lebih baik aku diam, sampai nanti marahnya reda, nggak ada gunanya aku membantah.

"Sekarang kamu kemasi semua bajumu, pergi dari sini! Saya nggak mau memelihara pencuri di rumah ini," ucap Ibu lagi setelah selesai melampiaskan marahnya.

"Tapi memang bukan Cinde pelakunya, Bu, tolong, jangan usir Cinde, mau kemana malam-malam begini?" isakku sambil memeluk erat kaki kiri Ibu.

"Itu bukan menjadi urusan saya lagi! Barbetta kamu awasi dia! Jangan sampai dia membawa yang bukan miliknya!" perintah Ibu pada Kak Barbetta yang baru saja mendatangi kamarku.

Aku sedikit terpental ke belakang, karena ibu memaksa untuk melepas paksa kakinya dari pelukan tanganku. Ia lalu pergi keluar, menuju kamarnya.

"Sudahlah Cinde, ikuti saja dulu kemauan ibu. Nanti kalau ibu sudah tenang, kamu bisa kembali lagi ke, sini." Kak Barbetta menghampiriku. Sepertinya ia sedikit iba melihat keadaanku.

Dengan derai air mata dan rasa nyeri yang masih terasa, aku mencoba bangkit. Kuambil tas ransel, mengemasi barang dan bajuku sesuai perintah Ibu. Kak Betta hanya mengawasiku dari sudut kamar. Dari raut wajahnya aku tau ia ingin sekali menghiburku, tapi karena hubungan kami tidak sedekat itu, akhirnya ia hanya diam.

"Makanya, lo, itu jangan kegenitan jadi cewek. Pake minta diboncengin sama Pange segala. Tau rasa lo sekarang!" Tiba-tiba Kak Drew yang sedari tadi hanya menonton televisi ikut masuk ke kamarku.

"Maksud Kak Drew apa?" tanyaku sengit pada Kak Drew di tengah aktivitas membereskan barang.

Ia hanya mencebik sambil mengangkat bahu, satu sudut bibirnya tertarik ke atas.

"Jadi, ini semua ulah kakak? Aku akan bilang ke Ibu!" Emosiku tersulut dan segera bangkit bergegas menuju kamar Ibu, tapi Kak Drew cepat menghalangiku. Dengan badannya ia menutup jalan. Ternyata Kak Drew yang dengan sengaja telah menaruh amplop cokelat ibu yang berisi uang ke dalam lemariku.

Pantas saja tadi saat aku baru selesai cuci piring, kulihat dia keluar dari kamarku. Saat ditanya, katanya hanya numpang bercermin. Aku juga tidak curiga sama sekali.

"Ya sudah, biar aku aja yang lapor ke ibu!" imbuh Kak Betta. Tumben hari ini ia begitu baik padaku.

"Jangan ikut-ikutan kamu anak kecil! Mau lo gue laporin ke ibu kalo kemaren bolos kuliah gara-gara pacaran!" ancam Kak Drew.Kak Betta langsung diam. Dengan bersungut-sungut, ia pergi meninggalkan kamarku.

***

Setelah selesai berkemas, aku segera pamit pada Ibu, walaupun yang kupamiti tidak mau keluar kamar.

Hanya Kak Drew yang mengantarku keluar hingga pagar depan. Kak Barbetta juga sepertinya masih kesal dan belum keluar kamar.

"Gih, sana, pergi yang jauh! Biar nggak ada yang gangguin Pange gue lagi! Dasar upik abu ga tau diri!" ketus Kak Drew sambil mengunci pintu pagar.

Tidak ada rasa iba sedikit pun melihatku yang masih menangis dan bingung akan menuju kemana setelah ini.

"Jangan hina aku lagi, Kak. Suatu saat nanti aku akan buktikan, aku bisa lebih hebat dari kakak!" Kak Drew hanya mencibir, lalu masuk dan langsung menutup pintu.

Suasana sudah sangat sepi karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sambil menggendong ransel di punggung, kulangkahkan kaki perlahan, berjalan semakin menjauhi rumah yang sudah kutinggali selama tiga tahun itu.

"Mau ke mana malam-malam gini?" Kuhela napas dalam dan membuangnya kasar.

Akhirnya kuputuskan berjalan ke halte bus di depan komplek. Setidaknya di sana aku bisa duduk sambil berpikir. Untungnya halte saat ini sedang sepi, hanya ada aku seorang. Jadi aku bisa puas menangis meratapi nasibku yang begitu malang.

Sudah hampir satu jam menangis, perasaanku yang tadi begitu kacau sudah jauh lebih baik. Namun, tetap saja masih belum tau tujuanku malam ini.

"Ya Allah, aku harus ke mana? Masa iya malam ini harus tidur di sini?"

Kulihat kondisi sekitar, melihat kira-kira di bagian mana yang bisa dimanfaatkan untuk bisa berbaring sebentar.

Tiba-tiba sinar terang yang berasal dari sebuah sedan mewah berwarna hitam metalik, berhenti di depan halte tempatku berada sekarang.

Nomor polisi mobilnya hanya terdiri dari dua angka dan satu huruf di belakang. Nomor yang hanya khusus dimiliki oleh mobil orang-orang kaya.

Sambil memeluk erat ransel, aku bersiap-siap pergi dari sana. "Duh, jangan-jangan ini mobil bos mafia yang suka mencari gadis muda untuk dijual ke luar negeri." Aku mulai berpikir macam-macam.

Detak jantungku berdegup kencang karena takut. Kurapal lagi doa-doa seraya memohon perlindungan.

Beberapa menit setelah mobil berhenti, dari kursi penumpang keluar seorang pria tegap berpakaian safari hitam-hitam. Perlahan ia menghampiriku seraya mengeluarkan sebuah kertas dari saku bajunya. Sepertinya sebuah foto. Pandangannya mengamatiku dari atas sampai bawah. Setelahnya ia berjalan sedikit menjauh dan mengeluarkan ponselnya. "Tuan, nona muda sudah berhasil kami temukan."

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status