Ibu yang baru saja keluar kamar, tiba-tiba menghampiriku yang baru saja selesai mengepel.
"Nih, rasakan! Makanya jangan kegenitan jadi orang. Lain kali, jangan harap bisa keluar rumah lagi!" Setelah menyiramku dengan air bekas cucian kain pel, ia berlalu meninggalkanku begitu sajaRasa dingin seketika menyelimuti seluruh tubuhku yang basah kuyup. Diikuti dengan munculnya bau tak sedap yang merasuk ke penciuman.Lambat laun mataku mulai memerah. Entah perih terkena air atau pedih menahan tangis. Keduanya sama-sama membuatku kesal. Namun, rasa kesal karena disiram air kotor jauh lebih ringan daripada kesal karena sosok menakutkan seperti ibu angkatku adalah sosok wanita satu-satunya yang saat ini aku sayangi. Yah, semenjak tiga tahun lalu, saat ia mengadopsiku dari panti asuhan.Awalnya ibu sangat baik dan menyayangiku seperti kedua anaknya yang lain, Kak Drewnella dan Barbetta, tapi sejak sebulan lalu, suaminya tiba-tiba meninggalkan ibu karena sudah menikah lagi dengan wanita lain. Laki-laki yang baru menikahi ibu dua tahun itu pergi bersama tante pemilik salon yang ada di perempatan jalan utama, dekat rumah kami.Ibu jadi sering uring-uringan. Kalau ada hal yang menurutnya salah sedikit saja, bisa langsung membuatnya naik pitam.Tentu saja aku yang sering kena getahnya.Ibu juga memberhentikan asisten rumah tangga kami dan mengalihkan semua tugasnya padaku. Selain itu, ibu juga melarangku keluar rumah jika bukan ia yang menyuruh.Sedangkan kedua kakak angkatku seringkali tidak ada di rumah saat ibu sedang marah. Walaupun saat ada mereka juga lebih sering diam melihat perlakuan ibu padaku. Seperti saat ini, mereka hanya melihat dari jauh. Tak heran, sejak pertama kali aku ke rumah ini, mereka memang sudah tak menyukaiku. Terutama Kak Drewnella yang sering sekali menghinaku dengan memanggilku upik abu."Cindee! Cepat kamu bereskan itu! Ganti baju, terus ke pasar!" Ibu sudah memerintahku lagi." I-iya, Bu," jawabku dengan suara bergetar karena menahan dingin.Selesai bertukar pakaian, aku langsung berangkat ke pasar. Ibu memberiku uang dua ratus ribu dan kertas bertuliskan daftar belanjaan tanpa memberiku ongkos."Kalau aku gunakan uang ini, pasti uangnya tidak cukup untuk semua titipan Ibu dan kalau ada yang tidak terbeli, pasti aku bakal kena marah lagi."Akhirnya kuputuskan untuk berjalan kaki menuju pasar yang jaraknya sekitar dua kilometer dari rumah. "Semangat Cinde! Pelan-pelan pasti nyampe."Beberapa saat kemudian, terdengar suara klakson motor dari arah belakang. Sebuah motor matic hitam menghampiriku yang sedang berjalan."Hai, Putri Cinde. Mau ke mana?" sapa Mas Pange, tetanggaku.Awal mula berkenalan dengannya, aku tertawa geli saat ia menyebut dirinya Pangeran, tapi ternyata itu memang nama aslinya. "Putrinya mana, Mas? Pangeran, kok, sendirian aja? Mana pengawalnya?" Godaku waktu itu. Sejak itu ia jadi suka memanggilku dengan Putri Cinde."Mau ke pasar, Mas.""Jalan kaki?" Ia melihatku dengan tatapan heran."Iya, sekalian olahraga. Maklum seminggu kemaren nggak ada waktu," jawabku asal sambil memperlihatkan deretan gigi."Bilang aja nggak dikasih ongkos. Yuk, aku anter.""Eh, nggak usah, Mas, ngerepotin aja, lagian udah deket, kok."Udah deket dari Hongkong. Deket rumah kamu iya!"Memang, iya, si, orang aku juga barujalan kaki lima menit."Tapi, Mas, nanti kalau ada yang liat terus laporin ke ibu gimana?"Bisa-bisa kayak tadi, aku dimandikan Ibu pake air kotor. Hanya karena semalam, setelah pulang dari warung, nggak sengaja bertemu Mas Pange dan kami jalan bersama ke rumah."Udah buruan nggak usah bawel. Cepetan naek! sebelum si mat, aku ajak kabur, ni.""Ya, udah, deh."Akhirnya aku menerima tawaran Pangeran bermotor matic hitam itu daripada harus berjalan kaki sampai ke pasar. Semoga nggak ada yang liat dan lapor ke ibu.***"Upik Abuu! Kok, belum ada makanan? Laper ni gue!" seru Ka Drewnella. Ia baru saja pulang dari kantornya. Kebiasaannya setelah pulang kantor pasti langsung membuka tudung saji."Tunggu, Kak, sebentar lagi siap."Tak lama kemudian aku membawa piring yang sudah berisi lauk ikan gurame goreng dan tempe bacem kesukaan ibu. Lengkap juga dengan sayur oseng-oseng kacang panjang yang langsung kusajikan di atas meja makan.Kak Drew hanya duduk di kursi sambil memainkan ponselnya."Sekalian ambilin gue piring sama nasinya juga. Jangan lupa air minumnya. Air putih pake es batu!" perintahnya padaku."Drew, kamu sudah pulang?"Ibu tiba-tiba keluar kamar dan ikut duduk di kursi makan. Tangannya mencomot sepotong tempe bacem yang memang menjadi favoritnya."Hmm," jawab Kak Drew sambil mengunyah. Matanya masih terus ke arah ponsel yang diletakkan di meja."Sudah, makan saja dulu. Lagi meratiin apa, si? Serius banget.""Ini, lho, Bu, Prabu Andromeda, pemilik hotel tempat Drew kerja. Ganteng banget orangnya, tapi sayang, sikapnya sedingin es. Pernah waktu itu Drew coba senyum ke dia. Bukannya dibalas senyum, eh, malah kena semprot."Tawaku tertahan mendengar cerita Kak Drew. Jadi penasaran, seperti apa sih Prabu Andromeda itu? Seorang yang juteknya level tinggi macam Kak Drew saja dibuat kesal olehnya. Kalau kakeknya, sang Sultan yang sebenarnya, sudah sering aku lihat di televisi."Mana sini, Ibu lihat!"Kak Drew menggeser ponselnya ke depan Ibu."Wah, ini mah bukan cuma ganteng, Drew, tapi ganteng banget. Pemuda kayak gini, ni, baru menantu idaman Ibu. Udah ganteng, kaya lagi. Nggak kayak si Pange, itu. Coba, mana ada Pangeran yang kerjaannya cuma jadi guru. Guru apa itu katanya? Guru privat?""Ih, Ibu, ni. Pange juga nggak kalah ganteng, kok. Nggak boleh menghina pekerjaannya, Bu. Siapa tau dia itu cuma nyamar. Zaman sekarang banyak, kok, orang yang sebenernya kaya, tapi pura-pura miskin.""Drew, Drew, kamu itu kebanyakan baca cerbung KBM tau nggak! Kalo miskin, ya udah, miskin aja."Ibu tiba-tiba langsung menoleh ke arahku yang sedari tadi berdiri di sudut dapur."Cinde, kamu ngapain bengong di sana? Masakan udah beres? Dapur udah dirapiin?""Sudah, Bu." Yes, akhirnya aku bisa makan juga. Kebetulan perutku sudah mulai berbunyi."Sekarang kamu beresin kamar ibu. Ganti seprai dan kordennya!"Yah, kirain."Ba-baik, Bu." Dengan langkah malas aku menuju kamar Ibu. Rasa lapar yang sudah sangat menyiksa terpaksa harus kutahan lebih lama lagi."Bu, si Cinde masih suka deket-deket nggak sama Pange?" Suara Kak Drew terdengar olehku yang berada di kamar Ibu."Mana ibu tau. Kamu tanya sendiri aja sama si Cinde.""Kalau nanya dia, mana mau ngaku, Bu."Oh, ternyata Kak Drew menyukai Mas Pange. Pantas ia marah sekali waktu tau aku suka ketemu dengan Mas Pange.***"Cindee!"Baru saja aku akan menyuapkan nasi ke mulut ibu sudah memanggil lagi."Iya, Bu, ada apa?""Kamu liat uang ibu nggak? Yang di dalam amplop cokelat? Kemarin ibu taro di bawah tumpukan baju-baju di dalam lemari, kok, sekarang nggak ada?""Nggak, Bu, Cinde nggak liat. Cinde mana berani buka-buka lemari ibu.""Terus ke mana uangnya? Masa ilang gitu aja?"Aku menggeleng pelan."Coba aja liat di lemarinya, Bu. Tadi, kan, dia yang beresin kamar Ibu." Kak Drew yang sedang menonton televisi ikut menanggapi.Ibu langsung menuju kamarku, membuka lemariku dan mengacak susunan baju yang sebelumnya masih tersusun rapi."Ini apa, hah?"Bersambung.Ibu langsung menuju kamarku, membuka lemariku dan mengacak susunan baju yang sebelumnya masih tersusun rapi."Ini apa, hah?"Mataku membulat sempurna melihat ibu yang sudah memegang amplop cokelat di tangannya.Ibu langsung membuka amplop dan menghitung isinya, sepertinya jumlahnya masih sesuai.Aku kira marahnya sudah reda, tapi ... "Dasar anak nggak tahu diuntung! Sudah dipungut baik-baik, malah jadi pencuri! Begini ini memang, kalau anak nggak jelas keturunannya!"Ibu memukul betisku berkali-kali dengan sapu lidi yang ada di kamarku."Cinde berani bersumpah, bukan Cinde pelakunya, Bu! Baru sekarang ini Cinde melihat amplop itu!" bantahku sambil menahan nyeri. Perlahan air mata sudah turun membasahi pipi karena sakit yang kurasakan."Halah, diam kamu! Kamu pikir itu uang bisa jalan sendiri ke kamar kamu, hah!"Ibu memukulku lagi. Jika Ibu lagi marah seperti ini, lebih baik aku diam, sampai nanti marahnya reda, nggak ada gunanya aku membantah."Sekarang kamu kemasi semua bajumu, per
"Tuan, Nona muda sudah berhasil kami temukan," ucap seorang pria tegap yang menghampiriku di halte pada seseorang di ujung telepon. Siapa pria ini? Siapa yang dia maksud dengan nona muda tadi? "Selamat malam, Nona Cinde." Pria itu menundukkan sedikit badannya. Kok, dia tau namaku? "Perkenalkan, saya Asykar. Saya datang untuk menjemput Anda.""Jemput? Jemput ke mana, Om? Saya kan nggak kenal Om."Jangan-jangan, dia penculik."Saya sudah lama mencari-cari nona. Silakan, Nona. Kakek Anda sudah menunggu," sahut pria itu lagi sambil membukakanku pintu belakang mobil. "Saya nggak punya Kakek, Om," ucapku sambil bersiap-siap untuk segera kabur dari sini. "Cinde, akhirnya gue nemuin lo di sini. Gue udah denger dari Barbetta, kalo lo diusir. Yuk, ikut. Gue bantuin cari kos-kosan di sekitar sini."Mas Pange tiba-tiba muncul di depanku. Apa, aku ikut sama Mas Pange aja, ya? Nggak, ah, yang ada nanti aku makin dianiaya sama Kak Drew. Aku diusir dari rumah kan, juga gara-gara dia. "Ayo Om,
Delapan belas tahun lalu.Putra satu-satunya keluarga Andromeda, Arjuna Andromeda yang sudah seminggu menghilang, tiba-tiba pulang kembali ke rumah. Ia membawa seorang yang sudah dinikahinya.Ibundanya, Ibu Suri, hanya bisa terdiam saat Juna memperkenalkan gadis sederhana itu sebagai istrinya. Bahkan ia tidak sempat melepas rasa rindunya akan kehadiran putra kesayangannya itu. "Kamu ... tinggalkan wanita itu atau ibu akan mencoret namamu sebagai ahli waris hotel kita!" ancam Ibu Suri. "Tapi Juna sangat mencintai Ratu, Bu. Kami juga sudah resmi menikah. Ibu tidak bisa menyuruh Juna meninggalkannya begitu saja," jawab Juna sambil menggenggam erat tangan Ratu. Ratu hanya bisa menunduk melihat kemarahan Ibu mertuanya itu. "Sekarang terserah kamu. Ibu sudah kasih kamu pilihan. Kamu tinggalkan wanita itu atau pergi dari rumah ini dan lupakan kalau kamu adalah seorang Andromeda."Ibu Suri langsung membalik badannya. Ia lalu meninggalkan Arjuna bersama istrinya di luar rumah. Sejak keda
"Benarkah itu Juna? Makasi ya, Nak." Ibu Suri terbangun, lalu langsung memeluk erat putranya."Ibu akan segera mempersiapkan pernikahan kalian. Kau hanya harus tetap bekerja seperti biasa, memimpin hotel kita.""Tapi Bu, Juna akan kembali ke Malang untuk menemui Ratu dulu. Biar bagaimanapun, dia istri Juna. Dia tetap harus tau tentang hal ini."Ibu Suri yang merasa takut kalau kepergian anaknya ke Malang akan membuat Juna tidak kembali lagi ke sisinya langsung histeris."Tidaaak! Ibu tidak mengizinkanmu pergi ke Malang lagi. Kamu tidak boleh ke mana-mana!""Bu, Juna hanya ingin memberitahu Ratu, tidak lebih. Ibu nggak usah khawatir berlebihan, ya. Nggak bagus buat kesehatan Ibu." Juna berusaha menenangkan Ibu Suri. Ia memeluk erat ibundanya dengan penuh kasih sayang."Kalau begitu, biar Ibu sendiri yang akan menjemput Ratu. Ibu akan mengajak Ratu tinggal di sini."Mata Arjuna berbinar. "Sungguh, Bu?"Ibu Suri mengangguk pelan."Tentu saja."Keesokan harinya, Ibu Suri ditemani beberapa
"Jadi, nanti kamu akan tinggal di sini bersama kakek, Cinde," ucap Sultan Andromeda.Aku masih menggeleng-gelengkan kepala atas semua yang baru saja terjadi. Sulit sekali rasanya untuk mempercayai ini semua. Siapa yang menyangka, bahwa kehidupanku yang beberapa menit lalu masih tidak jelas akan tinggal di mana, beberapa saat selanjutnya malah akan tinggal di rumah mewah bak istana ini."Tapi saya masih belum percaya, Tuan. Eh, maksud saya, kakek. Bagaimana bisa kakek yakin kalau saya adalah cucu kakek?"Sultan tersenyum. "Besok pagi akan kakek ceritakan semuanya. Sekarang sudah larut malam. Kamu pasti lelah. Istirahatlah," sahutnya bijak."Asykar, tolong panggil pelayan untuk mengantar Cinde ke kamarnya.""Baik, Tuan."Om Asykar menghubungi salah satu pelayan melalui intercom yang terpasang di dinding belakang, tempat ia berdiri.Tak lama kemudian muncul seorang wanita bereseragam hitam-putih yang sebelumnya sudah aku lihat di pintu masuk tadi."Bi Jariyah, tolong kamu antar nona mu
Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak ya, Kak. Makasi udah mampir. Semoga suka. Kuusap pelan gambar seorang pria bersama dengan seorang wanita, di dalam album foto berwarna keemasan ini. Seorang pria tampan dengan senyum hangat yang menenangkan siapapun yang melihatnya. Garis wajahnya tegas, tulang rahangnya besar dan ada sebuah lesung pipit di kedua pipinya saat ia tersenyum. Rambutnya hitam bergelombang. Iris mata coklatnya mengingatkanku pada seseorang yang juga mempunyai warna lensa mata yang sama. Diriku. Jika bercermin, aku akan memiliki garis wajah yang serupa dengan pria di foto ini."Jadi pria ini adalah ayahku?" tanyaku masih sambil memandangi gambar tak bergerak itu."Iya, Cinde. Dia Arjuna, anak Kakek satu-satunya yang juga ayahmu.""Lalu, wanita di sebelahnya ini ... apa dia ibuku?"Kakek Sultan menggeleng pelan. "Dia Selena. Istri kedua ayahmu," jawabnya pelan seraya mengalihkan pandangan ke arah luar jendela yang terletak persis di sebelah kanannya. "Ibumu ber
Selamat membaca. Mohon bantuannya untuk love dan komennya ya Kak. Makasi udah mampir. Semoga suka."Cindelaras Putri Arjuna. Ibumu tidak mengizinkan nama Andromeda ada di belakang namamu," sambung Kakek lagi. "Tapi berkat bujukan dari Asykar, Ibu pemilik panti tempat kau tinggal tetap bersedia untuk terus mengabarkan mengenai tumbuh kembangmu. Ia rutin mengirimi kami fotomu setiap kau berulang tahun."Kuhirup napas dalam dan mencoba meredam rasa sedih yang saat ini sedang kurasakan."Apa ayahku masih hidup?"Dengan kursi rodanya kakek Sultan berjalan menghampiriku, lalu mengenggam erat tanganku."Cinde, kau adalah satu-satunya cucu kakek. Arjuna sudah ... " Ia menjeda kalimatnya, terlihat matanya mulai mengembun. "Empat tahun lalu, saat hendak kembali ke tanah air, ayahmu beserta istri dan anaknya, yang juga adikmu, mengalami kecelakaan. Pesawatnya jatuh dan meledak," ujarnya nyaris tanpa suara."Kemudian satu tahun setelahnya,
"Cinde, nanti sebelum memimpin hotel, kamu akan kakek sekolahkan ke New York untuk mempelajari bisnis. Setelah itu ke Jepang untuk mengetahui tentang hotel kita di sana," ucap Kakek setelah kami selesai makan siang.Saat itu kami tengah berada di teras belakang, tepat di depan ruang makan. Tempat yang langsung mengarah ke sebuah taman yang juga berukuran luas. Di sisi kirinya terdapat sebuah kolam renang berhiaskan bebatuan alam di sekelilingnya. Selain itu juga terdapat banyak bunga bougenville dan soka di beberapa tempat.Kakek duduk di atas kursi rodanya dengan menghadap ke arah taman belakang. Sedangkan Prabu berada di belakangnya. Ia mendorong kursi roda kakek karena Om Asykar diminta kakek untuk mengurus sesuatu di hotel."Apa Cinde sanggup, Kek?" jawabku sambil menunduk."Kamu adalah gadis yang cerdas, Cinde. Kakek yakin kamu sanggup. Lagi pula seperti yang tadi kakek ucapkan, Kakek sendiri yang akan membimbingmu. Tentu saja dengan bantuan