Share

Upik Abu jadi Nyonya
Upik Abu jadi Nyonya
Penulis: DeealoF3

Kemarahan Ibu

Ibu yang baru saja keluar kamar, tiba-tiba menghampiriku yang baru saja selesai mengepel.

"Nih, rasakan! Makanya jangan kegenitan jadi orang. Lain kali, jangan harap bisa keluar rumah lagi!" Setelah menyiramku dengan air bekas cucian kain pel, ia berlalu meninggalkanku begitu saja

Rasa dingin seketika menyelimuti seluruh tubuhku yang basah kuyup. Diikuti dengan munculnya bau tak sedap yang merasuk ke penciuman.

Lambat laun mataku mulai memerah. Entah perih terkena air atau pedih menahan tangis. Keduanya sama-sama membuatku kesal. Namun, rasa kesal karena disiram air kotor jauh lebih ringan daripada kesal karena sosok menakutkan seperti ibu angkatku adalah sosok wanita satu-satunya yang saat ini aku sayangi. Yah, semenjak tiga tahun lalu, saat ia mengadopsiku dari panti asuhan.

Awalnya ibu sangat baik dan menyayangiku seperti kedua anaknya yang lain, Kak Drewnella dan Barbetta, tapi sejak sebulan lalu, suaminya tiba-tiba meninggalkan ibu karena sudah menikah lagi dengan wanita lain. Laki-laki yang baru menikahi ibu dua tahun itu pergi bersama tante pemilik salon yang ada di perempatan jalan utama, dekat rumah kami.

Ibu jadi sering uring-uringan. Kalau ada hal yang menurutnya salah sedikit saja, bisa langsung membuatnya naik pitam.

Tentu saja aku yang sering kena getahnya.

Ibu juga memberhentikan asisten rumah tangga kami dan mengalihkan semua tugasnya padaku. Selain itu, ibu juga melarangku keluar rumah jika bukan ia yang menyuruh.

Sedangkan kedua kakak angkatku seringkali tidak ada di rumah saat ibu sedang marah. Walaupun saat ada mereka juga lebih sering diam melihat perlakuan ibu padaku. Seperti saat ini, mereka hanya melihat dari jauh. Tak heran, sejak pertama kali aku ke rumah ini, mereka memang sudah tak menyukaiku. Terutama Kak Drewnella yang sering sekali menghinaku dengan memanggilku upik abu.

"Cindee! Cepat kamu bereskan itu! Ganti baju, terus ke pasar!" Ibu sudah memerintahku lagi.

" I-iya, Bu," jawabku dengan suara bergetar karena menahan dingin.

Selesai bertukar pakaian, aku langsung berangkat ke pasar. Ibu memberiku uang dua ratus ribu dan kertas bertuliskan daftar belanjaan tanpa memberiku ongkos.

"Kalau aku gunakan uang ini, pasti uangnya tidak cukup untuk semua titipan Ibu dan kalau ada yang tidak terbeli, pasti aku bakal kena marah lagi."

Akhirnya kuputuskan untuk berjalan kaki menuju pasar yang jaraknya sekitar dua kilometer dari rumah. "Semangat Cinde! Pelan-pelan pasti nyampe."

Beberapa saat kemudian, terdengar suara klakson motor dari arah belakang. Sebuah motor matic hitam menghampiriku yang sedang berjalan.

"Hai, Putri Cinde. Mau ke mana?" sapa Mas Pange, tetanggaku.

Awal mula berkenalan dengannya, aku tertawa geli saat ia menyebut dirinya Pangeran, tapi ternyata itu memang nama aslinya. "Putrinya mana, Mas? Pangeran, kok, sendirian aja? Mana pengawalnya?" Godaku waktu itu. Sejak itu ia jadi suka memanggilku dengan Putri Cinde.

"Mau ke pasar, Mas."

"Jalan kaki?" Ia melihatku dengan tatapan heran.

"Iya, sekalian olahraga. Maklum seminggu kemaren nggak ada waktu," jawabku asal sambil memperlihatkan deretan gigi.

"Bilang aja nggak dikasih ongkos. Yuk, aku anter."

"Eh, nggak usah, Mas, ngerepotin aja, lagian udah deket, kok.

"Udah deket dari Hongkong. Deket rumah kamu iya!"

Memang, iya, si, orang aku juga baru

jalan kaki lima menit.

"Tapi, Mas, nanti kalau ada yang liat terus laporin ke ibu gimana?"

Bisa-bisa kayak tadi, aku dimandikan Ibu pake air kotor. Hanya karena semalam, setelah pulang dari warung, nggak sengaja bertemu Mas Pange dan kami jalan bersama ke rumah.

"Udah buruan nggak usah bawel. Cepetan naek! sebelum si mat, aku ajak kabur, ni."

"Ya, udah, deh."

Akhirnya aku menerima tawaran Pangeran bermotor matic hitam itu daripada harus berjalan kaki sampai ke pasar. Semoga nggak ada yang liat dan lapor ke ibu.

***

"Upik Abuu! Kok, belum ada makanan? Laper ni gue!" seru Ka Drewnella. Ia baru saja pulang dari kantornya. Kebiasaannya setelah pulang kantor pasti langsung membuka tudung saji.

"Tunggu, Kak, sebentar lagi siap."

Tak lama kemudian aku membawa piring yang sudah berisi lauk ikan gurame goreng dan tempe bacem kesukaan ibu. Lengkap juga dengan sayur oseng-oseng kacang panjang yang langsung kusajikan di atas meja makan.

Kak Drew hanya duduk di kursi sambil memainkan ponselnya.

"Sekalian ambilin gue piring sama nasinya juga. Jangan lupa air minumnya. Air putih pake es batu!" perintahnya padaku.

"Drew, kamu sudah pulang?"

Ibu tiba-tiba keluar kamar dan ikut duduk di kursi makan. Tangannya mencomot sepotong tempe bacem yang memang menjadi favoritnya.

"Hmm," jawab Kak Drew sambil mengunyah. Matanya masih terus ke arah ponsel yang diletakkan di meja.

"Sudah, makan saja dulu. Lagi meratiin apa, si? Serius banget."

"Ini, lho, Bu, Prabu Andromeda, pemilik hotel tempat Drew kerja. Ganteng banget orangnya, tapi sayang, sikapnya sedingin es. Pernah waktu itu Drew coba senyum ke dia. Bukannya dibalas senyum, eh, malah kena semprot."

Tawaku tertahan mendengar cerita Kak Drew. Jadi penasaran, seperti apa sih Prabu Andromeda itu? Seorang yang juteknya level tinggi macam Kak Drew saja dibuat kesal olehnya. Kalau kakeknya, sang Sultan yang sebenarnya, sudah sering aku lihat di televisi.

"Mana sini, Ibu lihat!"

Kak Drew menggeser ponselnya ke depan Ibu.

"Wah, ini mah bukan cuma ganteng, Drew, tapi ganteng banget. Pemuda kayak gini, ni, baru menantu idaman Ibu. Udah ganteng, kaya lagi. Nggak kayak si Pange, itu. Coba, mana ada Pangeran yang kerjaannya cuma jadi guru. Guru apa itu katanya? Guru privat?"

"Ih, Ibu, ni. Pange juga nggak kalah ganteng, kok. Nggak boleh menghina pekerjaannya, Bu. Siapa tau dia itu cuma nyamar. Zaman sekarang banyak, kok, orang yang sebenernya kaya, tapi pura-pura miskin."

"Drew, Drew, kamu itu kebanyakan baca cerbung KBM tau nggak! Kalo miskin, ya udah, miskin aja."

Ibu tiba-tiba langsung menoleh ke arahku yang sedari tadi berdiri di sudut dapur.

"Cinde, kamu ngapain bengong di sana? Masakan udah beres? Dapur udah dirapiin?"

"Sudah, Bu." Yes, akhirnya aku bisa makan juga. Kebetulan perutku sudah mulai berbunyi.

"Sekarang kamu beresin kamar ibu. Ganti seprai dan kordennya!"

Yah, kirain.

"Ba-baik, Bu." Dengan langkah malas aku menuju kamar Ibu. Rasa lapar yang sudah sangat menyiksa terpaksa harus kutahan lebih lama lagi.

"Bu, si Cinde masih suka deket-deket nggak sama Pange?" Suara Kak Drew terdengar olehku yang berada di kamar Ibu.

"Mana ibu tau. Kamu tanya sendiri aja sama si Cinde."

"Kalau nanya dia, mana mau ngaku, Bu."

Oh, ternyata Kak Drew menyukai Mas Pange. Pantas ia marah sekali waktu tau aku suka ketemu dengan Mas Pange.

***

"Cindee!"

Baru saja aku akan menyuapkan nasi ke mulut ibu sudah memanggil lagi.

"Iya, Bu, ada apa?"

"Kamu liat uang ibu nggak? Yang di dalam amplop cokelat? Kemarin ibu taro di bawah tumpukan baju-baju di dalam lemari, kok, sekarang nggak ada?"

"Nggak, Bu, Cinde nggak liat. Cinde mana berani buka-buka lemari ibu."

"Terus ke mana uangnya? Masa ilang gitu aja?"

Aku menggeleng pelan.

"Coba aja liat di lemarinya, Bu. Tadi, kan, dia yang beresin kamar Ibu." Kak Drew yang sedang menonton televisi ikut menanggapi.

Ibu langsung menuju kamarku, membuka lemariku dan mengacak susunan baju yang sebelumnya masih tersusun rapi.

"Ini apa, hah?"

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status