Terkadang Arfan merasa kalau perjalanan hidupnya bersama Alya itu seperti sebuah sinetron di televisi. Akan tetapi, pada kenyataannya itu nyata mereka alami. Betapapun ia ingin menolaknya, tetapi nyatanya garis takdir tetap membawanya ke sana.
Hari itu Arfan sebenarnya tidak ingin datang ke acara arisan di rumah budhenya itu. Hanya saja Alya memaksa karena tidak tega melihat Arfan terus-menerus dihina dan dijadikan bahan olok-olokan di WAG keluarga besarnya karena saat ada acara besar, mereka berdua tidak datang.Alya merasa tidak tega dan tidak terima Arfan dihina seperti itu. Sehingga seperti apapun keluarga besar Arfan memperlakukannya, Alya tetap meminta untuk datang."Tapi aku enggak mau kamu cuma di dapur, Al," pinta Arfan saat tak bisa menolak permintaan Alya lagi."Aku lebih nyaman di dapur, Fan. Aku lebih nyaman ngobrol sama mbak-mbak di sana," ucap Alya sembari tersenyum. Ia tidak mau membuat suaminya merasa bersalah. Selama ini Arfan selalu merasa bersalah karena tidak mampu membelikan Alya barang-barang mewah dan mahal seperti yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga besarnya. Sehingga saat berkumpul seperti itu, mereka akan habis-habisan menghina Alya."Dasar miskin ya miskin aja! Niatnya nikah sama anak orang kaya biar bisa ikutan kaya, eh, zonk!" celetuk salah seorang keluarga Arfan saat arisan di rumah orang tua Arfan dulu.Mendengar itu Arfan sangat sakit hati. Akan tetapi, bagaimana lagi karena gajinya dari pabrik memang cuma cukup untuk keperluan sehari-hari mereka berdua. Apalagi Alya tengah hamil, ia tidak mau jika istrinya itu harus ikut memikirkan perekonomian keluarga kecil mereka.Usai mamanya pingsan di rumah budhenya, Arfan terpaksa membiarkan Alya pulang sendiri setelah Alya meyakinkannya untuk mengurus mamanya dulu. "Aku baik-baik aja, Fan. Kamu enggak usah khawatir! Jangan sampai kamu menyesal, karena kita enggak pernah tahu kapan Allah memanggil hambanya kembali."Kalimat Alya itu membuat Arfan tidak berkutik. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana besarnya rasa bersalahnya nanti jika sampai mamanya meninggal. Tentu keluarga besarnya selamanya akan terus menyalahkan dirinya. Dan ia sendiri tentu seumur hidup akan dihantui rasa bersalah yang entah bagaimana Arfan akan mengatasinya."Serius kamu enggak apa-apa pulang sendiri?" Arfan menatap penampilan Alya yang tidak karuan. Rambutnya basah oleh kuah sayur, dan aroma tubuhnya pun sudah tidak karuan karena disiram aneka makanan oleh keluarganya tadi."Aku enggak apa-apa, Fan. Aku pakai sepeda motornya, ya?""Hati-hati, ya! Tunggu aku di rumah. Setelah mama siuman, aku langsung pulang."Namun, tanpa Arfan tahu petang itu adalah hari terakhir mereka bertemu. Alya memilih meninggalkan Arfan. Kalimat tidak apa-apa yang keluar dari bibir Alya, merupakan luka luar biasa yang sengaja Alya sembunyikan dari laki-laki yang teramat ia cintai itu. Karena terkadang menyimpan rasa tanpa perlu mengungkapnya lewat kata adalah cara paling ikhlas dari seorang pecinta.***"Aku benar-benar minta maaf karena enggak bisa menjadi suami yang baik buat Alya, enggak bisa melindungi Alya saat Alya membutuhkan perlindungan," aku Arfan sembari menundukkan kepalanya di depan Alya dan keluarganya. "Bahkan hanya sekadar mengantar Alya kembali pada Bapak dan Ibu aja aku enggak mampu."Kini udara di ruang tamu rumah orang tua Alya seolah-olah menguap entah kemana, membuat dada orang-orang yang berada di ruangan itu teramat sesak. Mata mereka juga merasakan panas tanpa dikomando. Hingga kaca-kaca kini sudah memenuhi pelupuk mata Arfan, Alya, dan juga kedua orang tua Alya."Sudah, Nak Arfan. Sudah," ucap Pak Ihsan dengan tenggorokan tercekat. "Semua sudah terjadi. Sekarang yang terpenting adalah Aleta. Bapak tidak mau kita saling menyalahkan. Jika Nak Arfan hendak mencari siapa di sini yang paling salah, jawabannya adalah Bapak. Karena Bapak tidak bisa menjadi orang tua yang baik untuk Alya, putri bapak sendiri." ucap Pak Ihsan panjang lebar. "Seandainya kehidupan kami tidak seperti ini ....""Sudah, Pak, sudah ...." Alya tidak tahan mendengar ungkapan bersalah dari bapaknya. "Di sini enggak ada yang salah, apalagi Bapak. Ini semua sudah garisan takdir dari Yang Kuasa. Jodoh kami memang cukup sampai lima tahun yang lalu. Enggak satu pun manusia yang bisa menentangnya.""Tapi kalau saja ....""Enggak, Pak. Kalaupun kondisi kita enggak seperti ini, mungkin juga akan ada masalah lain yang membuat Alya dan Arfan harus berpisah. Enggak ada yang salah, semua ini sudah garisnya, takdir kami berdua," potong Alya panjang lebar. Dada Alya teramat sakit saat mendengar orang tuanya menyalahkan diri mereka atas masalah yang dihadapi Alya."Alya benar, Pak." Kini Arfan yang bicara. "Aku hanya ... sangat menyesalkan, karena aku dulu ....""Sudah, Fan. Kita sudah punya kehidupan masing-masing. Aku minta ketemu sama kamu, enggak lain hanya karena Aleta. Karena malam sebelum paginya dia enggak bisa jalan, dia bilang kangen sama kamu dan ingin ketemu kamu," jelas Alya. Wanita itu berusaha menguatkan hatinya. Karena seperti apapun perasaan mereka, semua itu tidak akan pernah mengubah apa-apa."Hanya itu," lanjut Alya dengan tegas. Ia tidak mau terhanyut dengan perasaan masa lalu.Apalagi saat ini Arfan telah menikah dengan Meira. Meski pada saat peristiwa di rumah budhe Arfan itu, Alya bisa dengan jelas melihat Meira tersenyum lebar saat melihatnya difitnah seperti itu oleh keluarga besar Arfan. Dari situ Alya bisa menarik benang merah bahwa selama ini ternyata seseorang yang ia pikir sahabatnya itu ternyata tidak pernah menganggapnya sahabat.Alya pun akhirnya menyadari bahwa Meira yang selalu meminta Arfan mengantarnya kemana-mana itu, karena ia ada hati pada Arfan. Hanya saja saat itu pikiran Alya tak sampai ke sana. Alya hanya berpikir bahwa Meira dan Arfan memang sudah bersahabat bahkan sejak ia belum bertemu dengan Arfan. Karena Alya dan Arfan baru saja bertemu saat kuliah, sementara Meira dan Arfan sudah kenal bahkan mungkin sejak mereka bayi.Sehingga sikap manja Meira pada Arfan, Alya pikir itu hal biasa, karena memang sejak Alya mulai dekat dengan Arfan, sikap Meira sudah seperti itu pada Arfan. Ternyata benar tak ada persahabatan yang benar-benar murni di antara laki-laki dan perempuan. Karena salah satunya atau keduanya pasti ada yang menyimpan rasa. Kini semua terbukti dan Alya baru menyadari saat semua telah terjadi."Sudah, Fan, bangun!" pinta Alya. "Kamu enggak perlu kayak gini. Aku dan keluargaku semua baik-baik aja. Pulanglah, kasian Meira pasti udah nungguin kamu."Dengan berat hati, Arfan akhirnya berdiri. Jika boleh memilih, Arfan ingin tetap berada di rumah orang tua Alya. Akan tetapi, itu tak mungkin ia lakukan karena dia bukan siapa-siapa lagi bagi Alya dan keluarganya. Selain itu ia juga harus berjuang untuk Aleta.Arfan tidak mau gegabah. Karena jika sampai ia salah melangkah, maka kejadian seperti Alya dulu kemungkinan besar akan terulang lagi. Arfan tidak mau gagal melindungi orang yang ia cintai untuk kedua kalinya."Pak, Bu, aku pamit pulang dulu. Terima kasih sudah menerimaku di rumah ini," ucap Arfan."Iya, Nak Arfan. Terima kasih juga sudah meluangkan waktunya untuk Aleta," sahut Pak Ihsan."Itu sudah jadi kewajibanku, Pak." Arfan kemudian menatap Alya yang sedang menunduk. "Al, makasih ya, udah ngenalin Aleta sama aku, bahkan sejak dia bayi."Alya mengangguk. "Semestinya memang seperti itu.""Aku ... pamit dulu. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Dengan langkah berat Arfan meninggalkan rumah orang tua Alya. Ia bertekad akan memberitahu orang tuanya tentang Aleta saat makan malam nanti. Arfan akan menjadikan Aleta sebagai kado di ulang tahun mamanya malam ini.Begitu mobil Arfan meninggalkan pekarangan rumah orang tua Alya, hujan turun dengan derasnya. Alya yang hendak masuk kemudian urung dan menoleh. "Hujan, tapi kenapa yang basah tak hanya jalanan itu, tetapi juga pipiku?"Arfan memasuki rumah megah kedua orang tuanya dengan langkah gontai. Pikirannya masih berada di rumah orang tua Alya. Laki-laki itu merasa begitu berat meninggalkan putri yang baru saja ditemuinya. Arfan yakin esok pagi saat bangun, pasti Aleta akan menanyakan keberadaannya."Dari mana kamu, Fan?" Bu Fania bertanya pada anaknya yang baru saja datang itu. Arfan bahkan tidak menyapa keluarga besarnya yang kini sedang menikmati jamuan makan malam ulang tahun Bu Fania.Arfan baru menyadari saat mendengar pertanyaan mamanya itu. Ia kemudian menghela napas, lalu mengangguk hormat pada seluruh keluarganya tanpa menjawab pertanyaan mamanya."Fan, mama kamu tanya, kamu dari mana!" tegur papa Arfan yang bernama Pak Arya. Laki-laki itu geram melihat sikap kurang ajar anak sulungnya itu.Lagi-lagi Arfan menghela napas. Rasanya seperti ada beban berat yang saat ini berada di punggungnya. Ia bahkan tidak menoleh ke arah papanya. Laki-laki itu hanya menekuri piring putih di depannya. Kepala Arfan be
Bumi seolah-olah berhenti berputar saat Bu Fania mendengar kabar buruk tentang cucunya."A-apa? Le-leukimia?" ulang Bu Fania sembari menautkan kedua alisnya.Arfan mengangguk."Hah ...." Bu Fania memegang dadanya. Tiba-tiba ia merasa begitu sesak. Ia bahkan sampai berhenti bernapas cukup lama. Kepalanya seolah-olah kosong dan tidak bisa ia gunakan untuk memikirkan apapun."Dokter bilang ... di Jakarta ada rumah sakit khusus kanker yang bisa melakukan pengobatan selain kemoterapi," jelas Arfan."Ya, dimanapun! Kamu harus bawa dia berobat! Dia harus dapat pengobatan yang terbaik, Fan!"Arfan merasa begitu lega saat mendengar mamanya mendukungnya untuk membawa Aleta berobat. Karena jika mamanya sudah mendukung, maka tidak ada satu orang pun yang bisa menghalanginya lagi. Meira sekalipun."Iya, Ma. Secepatnya Arfan akan bawa dia."***"Pa! Papa!" Dugaan Alya benar, Aleta bangun tidur mencari Arfan. Alya yang sedari tadi sedang duduk sembari memandangi wajah putrinya itu pun kembali meras
"Dari mana aja kamu? Masih ingat pulang?" tegur Meira dengan sengit begitu Arfan membuka pintu rumahnya.Arfan mematung sejenak sembari menghela napas. Arfan merasa sangat lelah. Lima tahun sudah ia menjalani pernikahan dalam keterpaksaan, dan sampai detik ini tak sekalipun Meira bisa membuatnya merasa nyaman.Arfan merasa seperti berada dalam penjara yang diciptakan Meira. Semua aktivitasnya dipantau 24 jam. Jika ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan Meira, maka sambutan Meira saat ia memasuki rumah pasti seperti sekarang ini.Arfan meneruskan langkah tanpa memedulikan Meira. Niatnya untuk memberitahu Meira bahwa besok pagi ia akan ke Jakarta, ia tunda. Karena jika ia paksa memberitahu Meira saat ini, Arfan takut tidak bisa mengendalikan diri karena tentu Meira akan menentangnya."Fan! Aku tanya sama kamu!" seru Meira sembari mengejar Arfan. Begitu tiba di depan pintu kamar, Meira berhasil menyusul Arfan. Wanita itu menarik kasar bahu Arfan sampai Arfan berbalik menghadapnya.
Hari masih sangat pagi ketika Arfan tiba di rumah orang tua Alya. Subuh tadi ia bahkan sudah bertengkar hebat dengan Meira. Meira masih tidak mengizinkan Arfan pergi ke Jakarta meski sudah dijelaskan kalau ia akan pergi bersama seluruh keluarga Alya, tidak hanya berdua dengan Alya.Namun, Meira masih tidak terima dan mengancam akan mengadukan itu pada mama Arfan. Jadi, sebelum Arfan meninggalkan rumah, Meira sudah terlebih dahulu pergi ke rumah mertuanya. Dia pikir Bu Fania belum tahu kalau Arfan akan membawa Aleta berobat ke Jakarta."Aleta masih tidur?" tanya Arfan saat Alya keluar dengan menyuguhkan secangkir teh."Iya, masih," jawab Alya sembari meletakkan cangkir teh tersebut di meja tepat di depan Arfan."Ehm ... aku ... boleh liat dia?" Alya mengangguk. "Silakan."Sebelum menemui Aleta Arfan melirik teh yang asapnya masih mengepul di depannya. Ia menatap Alya sekilas kemudian mengambil cangkir teh tersebut dan menyesapnya perlahan. Begitu hangat teh tersebut menjalar ke tengg
Kontan tubuh Arfan menegang. "Calon suami Alya?" batin Arfan tidak terima. Akan tetapi, ia tetap menyambut jabatan tangan dari Prima.Tiga hari setelah proses pemeriksaan kecocokan sumsum tulang belakang Alya dan Arfan, akhirnya hasilnya keluar. Kali ini hanya Alya dan Arfan yang datang ke rumah sakit. Sementara Aleta dan kedua orang tua Alya menunggu di hotel dengan ditemani Prima. Prima sebenarnya ingin ikut ke rumah sakit karena melihat Alya tidak nyaman hanya pergi berdua dengan Arfan. Akan tetapi, Aleta tidak mau lepas dari laki-laki itu. Jadi, terpaksa Prima membiarkan Arfan dan Alya pergi berdua.Sepanjang berjalan menyusuri koridor rumah sakit, Alya dan Arfan hanya terdiam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Alya harap-harap cemas karena teringat ucapan dokter, bahwa meskipun orang tua tetap ada kemungkinan hasilnya tidak cocok. Kalau sampai dirinya atau Arfan tidak cocok, Alya tidak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya membiarkan Aleta untuk menjalani pengobatan
Alya dan Arfan berjalan menuju parkiran rumah sakit dengan langkah gontai. Keduanya sama-sama diam dan sibuk dengan segala pikiran yang ada di kepala masing-masing. Sama-sama bingung dengan pilihan yang kini ada di depan mereka. Saat ini mereka seperti sedang memakan buah simalakama. Jika harus membiarkan Aleta menjalani kemoterapi, Alya dan Arfan teramat sangat takut dan juga tidak tega. Mereka berdua takut fisik Aleta tidak kuat menerima obat-obatan yang cukup keras itu. Apalagi jika memikirkan pada akhirnya justru hal buruk yang akan menimpa putri mereka. Alya dan Arfan tidak sanggup membayangkan hal itu terjadi.Alya menghela napas panjang. Dadanya sangat sesak memikirkan hal itu. Apalagi jika mengingat ucapan Dokter Haikal tadi. "Jadi selain menggunakan sumsum tulang belakang, metode stem cell ini bisa juga menggunakan darah tali pusat dari saudara kandung pasien. Bahkan untuk pengobatan dengan darah tali pusat ini, tingkat keberhasilannya lebih tinggi dibanding dengan sumsum tu
"Aku ke kamar dulu," pamit Alya pada Arfan dan Bu Narti yang masih berdiri di depan pintu.Bu Narti kemudian mempersilakan Arfan untuk masuk. Setelah berbasa-basi beberapa saat, Arfan kemudian menjelaskan hasil tesnya dan Alya kepada orang tua Alya dan juga Prima yang memang masih ada di sana."Terus sekarang gimana, Nak Arfan?" tanya Bu Narti yang kini hatinya kembali gerimis. Harapannya bahwa cucunya akan mendapatkan donor dari salah satu orang tuanya kini pupus. Dada Bu Narti teramat sesak jika membayangkan Aleta harus menjalani kemoterapi. Ia sangat tidak tega.Arfan menarik napas dalam. Ia menunduk kemudian memejamkan kedua matanya. Beberapa saat kemudian ia kembali mengangkat wajahnya. "Kita berdoa agar Aleta diberi jalan pengobatan yang terbaik, Bu. Karena sakit ini dari Allah, aku percaya Allah pasti udah siapin solusi yang terbaik."Tak lama setelah itu, Arfan kemudian pamit untuk kembali ke kamarnya. Ia ingin segera menelepon mamanya. Ia masih ingat perkataan Alya dulu. "Sal
Suara ketukan pintu di kamar hotel Alya sore ini, entah mengapa membuat tubuh Alya gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Wajah Alya bahkan kini menjadi seputih kapas."Al, kamu kenapa? Sakit?" tanya Bu Narti saat melihat wajah pucat putrinya serta butiran keringat berukuran cukup besar di keningnya."Enggak tahu, Bu. Tiba-tiba tubuh Alya gemetaran," jawab Alya sembari meremas jemarinya sendiri."Ya Allah, apa kamu masuk angin? Ya udah, kamu tiduran dulu aja. Biar ibu yang buka pintu.""Iya, Bu."Alya kemudian berbaring di sisi Aleta yang masih tertidur sejak jam dua tadi. Setelah semalam Arfan memberitahu bahwa mamanya akan datang, jantung Alya tiba-tiba berdebar-debar. Bahkan semalaman ia tidak bisa tidur.Selama ini Alya pikir dirinya baik-baik saja. Tidak ada trauma yang ia simpan di hati dan kepalanya. Ia bisa menjalani hari-hari dengan baik-baik saja meski terasa sulit. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa Bu Fania akan datang, tiba-tiba Alya seperti tak punya daya.Ia tidak