Share

Cinta dan Bakti

Pak Ihsan yang melihat Aleta merengek minta tidur dengan ditemani kedua orang tuanya, berjalan mendekat ke depan kamar cucunya itu.

"Ta, sekarang Aleta tidur sama papa dulu, ya? Mama sekarang masih harus masak buat makan malam papa," ucap laki-laki yang masih harus menggunakan alat bantu untuk berjalan itu. Struk yang dialami Pak Ihsan, membuat separuh tubuhnya susah bergerak. Bahkan setelah membaik seperti sekarang ini kaki sebelah kanannya masih tidak bisa digerakkan seperti semestinya.

"Tapi, kalau mama udah selesai masak nyusul ke kamar, ya?" pinta Aleta. Anak empat tahun itu memang sudah bisa berbicara dengan cukup jelas. Hanya saja memang ukuran tubuhnya sedikit lebih kecil dari anak seusia dia.

Alya mengangguk. "Sekarang Aleta bobo sama papa dulu, ya!"

"Iya. Ayo, Pa!" ajak anak itu antusias.

Sebelum masuk ke kamar Aleta, Arfan menatap Alya sembari tersenyum simpul. Ia merasa sangat bersyukur Alya mau mengenalkannya pada Aleta sejak Aleta bayi. Arfan sangat ingin berterima kasih kepada Alya untuk itu.

"Aku masuk dulu, ya?" pamit Arfan.

"Ya," sahut Alya sembari mengangguk.

Alya dan Pak Ihsan kemudian duduk di ruang tamu. Mereka tidak mau Aleta melihat Alya sebenarnya tidak sedang memasak jika memilih duduk di ruang keluarga. Karena memang pintu kamar Aleta tidak ditutup oleh Arfan dan ruang keluarga terlihat jelas dari kamar Aleta.

Anak dan bapak itu sama-sama duduk terdiam. Lebih tepatnya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Meski sebenarnya apa yang sedang mereka pikirkan adalah satu hal yang sama, yaitu bagaimana Aleta besok pagi saat bangun tidur dan tidak menemukan Arfan di rumah ini. Aleta pasti akan menanyakan keberadaan papanya.

Alya menghela napas panjang. Dadanya sakit saat memikirkan Aleta yang akan kembali berpisah dengan Arfan. Membayangkan wajah murung Aleta saja rasanya membuat jantung Alya seperti ditusuk-tusuk, apalagi saat besok harus melihatnya secara langsung.

"Mana Arfan dan Aleta?" tanya Bu Narti yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Di kamar," jawab Alya.

Bu Narti duduk di sebelah Alya sembari menghela napas. Ia juga membayangkan bagaimana besok pagi saat Aleta bangun dan tidak menemukan papanya di rumah ini.

"Al ...." Bu Narti menoleh dan menggenggam jemari Alya.

"Iya, Bu. Ada apa?"

"Ah, eng-enggak." Bu Narti sebenarnya ingin meminta Alya untuk menahan Arfan agar malam ini menginap di rumah mereka saja, tetapi ia urungkan. Tak mungkin hal itu mereka lakukan. Sementara mereka semua tahu kalau Arfan kini sudah memiliki keluarga baru.

"Bahkan mungkin Arfan telah memiliki anak selain Aleta," batin Bu Narti.

Lagi-lagi Bu Narti menghela napas panjang. Dadanya selalu sesak saat memikirkan Alya dan Aleta. Terkadang Bu Narti sampai menyalahkan dirinya sendiri karena Alya harus lahir dari seorang ibu sepertinya. Bukan ibu seperti mamanya Arfan atau mamanya Meira yang kaya raya.

Cukup lama Alya dan kedua orang tuanya itu duduk diam di ruang tamu. Sampai akhirnya Arfan keluar menemui mereka. Tanpa dikomando, Alya dan kedua orang tuanya berdiri menyambut Arfan.

"Aleta udah tidur?" tanya Alya.

"Udah, sempat nanyain kamu, tapi akhirnya tidur juga," jelas Arfan.

"Syukurlah."

Tanpa Alya duga Arfan kemudian berlutut di lantai.

"Arfan! Apa yang kamu lakukan?" pekik Alya. Ia menoleh pada bapak dan ibunya yang sama-sama kebingungan.

"Bapak, Ibu, aku minta maaf ...," ucap Arfan tanpa menghiraukan Alya.

"Minta maaf untuk apa, Nak Arfan? Ayo, bangun jangan begitu!" pinta Pak Ihsan.

Bu Narti pun segera menarik lengan Arfan agar mantan suami putrinya itu segera berdiri, tetapi Arfan tetap dengan posisi berlututnya.

"Aku minta minta maaf, Pak, Bu, karena saat menjadi suami Alya, aku enggak bisa melindungi Alya seperti yang pernah aku janjikan," ucap Arfan membuat semua yang ada di ruangan itu menangis.

Peristiwa lima tahun lalu kini kembali berputar di kepala Alya, juga Arfan yang merasa sangat menyesal dan bersalah karena tidak bisa melindungi istrinya yang bahkan saat itu tengah hamil.

Saat itu hari Jumat, dan sore itu ada arisan keluarga di rumah kakak dari mama Arfan. Seperti biasa semua keluarga besar Arfan dan juga rekan bisnis keluarganya berkumpul dalam arisan itu.

Arfan dan Alya yang sejak menikah bisa dibilang tersingkir dari keluarga itu pun tetap hadir demi menjalin silaturahmi dengan mereka. Meski keberadaan keduanya seperti itik buruk rupa di tengah kawanan angsa dengan bulu putihnya yang memesona.

Sejak menikahi Alya, Arfan memang dikeluarkan dari bisnis papanya. Sehingga Arfan bekerja di sebuah pabrik sebagai karyawan biasa. Untungnya sejak masih bujangan, Arfan sudah memiliki rumah sendiri yang cukup nyaman, jadi meski hanya memiliki gaji pas-pasan, ia dan Alya tetap bisa hidup di rumah dengan nyaman.

Seperti biasa, jika sedang ada acara keluarga, maka Alya diminta untuk ikut membantu di dapur. Karena memang Alya pandai memasak dan masakannya juga cukup enak. Meski tidak ada seorang pun di keluarga Arfan yang mau memuji masakan istri pilihan Arfan itu.

Namun, bagi Alya itu lebih membuatnya nyaman karena tidak perlu berbaur dengan keluarga Arfan yang sibuk membicarakan dan memamerkan harta bendanya. Alya lebih nyaman memasak dengan para pembantu di belakang. Telinganya tidak perlu kepanasan mendengar sindiran demi sindiran dari keluarga Arfan.

Akan tetapi, sore itu kakak dari mama Arfan yang biasa Arfan panggil Budhe itu, memanggil Alya ke kamarnya sebelum menyuruh Alya membantu di dapur.

"Iya, Budhe." Alya mendekati wanita dengan penampilan anggun itu.

"Sini, deh, ke kamar Budhe," ajaknya.

Alya pun menurut. Ternyata di kamar itu Alya disuruh mengganti pakaiannya dengan daster milik budhe.

"Daripada kamu masak pakai baju ginian kan, panas," ujar budhe Arfan. "Nih, pakai daster ini biar adem!"

Alya pun menurut. Ia mengganti pakaiannya dengan daster pilihan budhe Arfan itu. Setelahnya ia disuruh ke dapur membantu para ART menyiapkan makanan untuk seluruh keluarga yang hadir di arisan tersebut.

Alya sedang sibuk membantu para ART di sana saat tiba-tiba terdengar tangisan histeris budhe Arfan.

"Ada apa itu ya, Mbak?" tanya Alya pada salah seorang ART yang juga sedang berada di dapur bersamanya.

"Enggak, tahu. Coba Mbak Alya lihat!" pinta ART bernama Yuni itu.

"Iya, Mbak, aku keluar dulu, ya?"

Alya kemudian tergopoh keluar. Ia bahkan masih mengenakan celemek. Dan saat ia tiba di ruang keluarga rumah budhe Arfan yang luas itu, semua mata tertuju padanya.

"Pasti dia yang ngambil!" tunjuk budhe Arfan pada Alya.

"Budhe, jangan asal tuduh!" bentak Arfan yang tidak terima istrinya dituduh menjadi pencuri.

Alya yang tidak tahu apa-apa pun kebingungan. Ia baru saja keluar dari dapur dan tiba-tiba dituduh mengambil sesuatu. Mengetahui apa yang hilang saja Alya tidak. Bagiamana mungkin ia mengambilnya?

"Kalau gitu kita geledah dia!" seru budhe Arfan.

Seluruh keluarga Arfan dan juga para kolega bisnis yang hadir di situ menatap Alya seperti seonggok kotoran. Mereka semua sepakat Alya digeledah.

"Mana tas kamu?" bentak budhe Arfan pada Alya.

"Tet-tet-tas?" tanya Alya tergagap. Saat itu ia merasa seperti kelinci dalam kandang harimau.

"Iya, mana tas kamu?" Kali ini Tante Arfan yang membentak Alya tak kalah sengit.

"Periksa dianya juga, dong!" usul saudara Arfan yang lainnya.

"Cukup!" Teriakan Arfan menggelegar memenuhi ruangan. "Apa-apaan kalian!" serunya dengan wajah merah dan mata hendak keluar dari tempatnya. "Istriku bukan pencuri! Kalau ada yang berani sentuh dia ...."

"Kita buktikan, Fan!" teriak salah seorang keluarga Arfan yang lainnya memotong ucapan Arfan.

"Ya, benar. Kita buktikan kalau gitu," sahut yang lainnya.

Akhirnya tanpa bisa menolak, Alya digeledah bak seorang pencuri. Mulai dari tubuh Alya sampai tasnya yang sejak tadi ia taruh di sofa ruang keluarga rumah ini.

Alya pasrah. Saat itu ia tahu kalau dirinya sedang dihancurkan. Namun, Alya tidak bisa berbuat apa-apa. Karena memang bukti terlihat jelas di depan mata.

"Ini, Ma, ketemu!" teriak Sabila, anak budhe Arfan. Gadis 17 tahun itu menunjukkan sebuah kalung berlian yang Alya tahu harganya tidaklah murah. Saat itu Alya baru tahu kalau dirinya sedang difitnah mencuri berlian milik budhe Arfan.

"Enggak mungkin!" teriak Arfan. "Alya pasti difitnah! Ini fitnah! Alya difitnah! Benar, kan, Al?" teriak Arfan seperti orang sedang kesetanan.

Arfan berusaha menyakinkan semua orang yang ada di rumah itu kalau Alya difitnah, tetapi suaranya seperti cicitan tikus di tengah auman harimau.

Semua orang akhirnya punya alasan untuk memaki, menghina, menyakiti, dan bahkan menganiaya Alya. Meski Arfan berusaha melindunginya, tetapi laki-laki itu tidak berdaya di tengah orang-orang yang sedang gelap mata.

"Kamu pikir dengan menikah dengan Arfan bisa kayak kami?"

"Ngimpi aja kamu!"

"Dasar miskin!"

"Anak pembantu sok mau jadi ratu!"

"Dasar babu, babu aja lu!"

"Kamu pingin banget punya berlian kayak gini, iya?"

"Dasar pencuri!"

"Udah miskin! Maling!"

Berbagai makian mereka lontarkan sepuasnya pada Alya. Tak cukup sampai disitu, kepala Alya bahkan disiram menggunakan kuah sayur dan aneka makanan lainnya. Alya tak berdaya. Berteriak pun tidak ada yang mendengarnya. Melawan pun tak sebanding karena satu lawan puluhan orang. Arfan yang laki-laki saja tidak mampu menghentikan mereka, apalagi dirinya.

"Pokoknya aku mau laporin ini ke polisi!" seru budhe Arfan. "Aku enggak mau ada maling menyusup di keluarga kita! Maling harus dipenjara!"

"Betul, kita harus laporkan ini ke polisi!" sahut yang lainnya.

Alya hanya pasrah. Menangis pun tidak. Ini adalah konsekuensi dari mencintai seorang laki-laki seperti Arfan. Laki-laki yang tidak seharusnya ada dalam mimpinya sekalipun. Karena dirinya dan Arfan seperti langit dan bumi.

Seharusnya Alya bisa menyimpan rapat perasaannya, maka semua ini tidak akan menimpanya. Akan tetapi, membiarkan rasa cukup di dada nyatanya tidaklah mudah. Gejolak itu ingin diungkap melalui kata-kata.

Namun, Alya tidak menyesalinya. Karena ini memang bagian dari jalan takdir yang harus ia lewati. Sakit, memang sakit. Namun, akan lebih sakit jika ia hanya menyimpan perasaannya pada Arfan sementara ia dan Arfan saling mencintai. Meski pada akhirnya ia tahu, kini saatnya dirinya pergi.

Arfan memeluk Alya yang basah kuyup sembari menahan tangis. Laki-laki itu merasa sangat bersalah karena tidak bisa melindungi istrinya. Tak peduli lagi pada semua ucapan keluarganya, Arfan mengajak Alya pergi dari rumah itu. Apalagi saat itu Alya sedang hamil, jadi perasaan bersalah Arfan berlipat-lipat lebih besar.

"Arfan! Kalau sampai kamu nekat pergi sama maling itu! Kamu akan lihat mama mati!" seru mama Arfan kemudian wanita itu tidak sadarkan diri.

Semua orang menjerit dan berlari ke arah mama Arfan, tetapi Arfan masih mematung sembari memeluk Alya. Ia bahkan masih hendak mengajak Alya untuk pergi, sampai Alya kemudian berkata, "Arfan, aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Tapi, aku enggak mau cintaku menjadi penghalang bakti kamu pada orang tuamu."

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
kok mewek ya...kasihan Alya hik hik hik
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
JAHAT nya kemana tuh manusia manusia DURJANA merasa pemilik Alam Semesta dasar DAJJAL
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kalian aja berdua yg tolol. udah tau g di restui dan di terima, msh aja datang ngebabu kesana. dasar anak babu dan cuman bisa jd babu. utk apa kau dapat beasiswa. g guna
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status