Home / Rumah Tangga / Usai Bercerai / Cinta dan Bakti

Share

Cinta dan Bakti

Author: Srirama Adafi
last update Huling Na-update: 2022-12-14 10:37:27

Pak Ihsan yang melihat Aleta merengek minta tidur dengan ditemani kedua orang tuanya, berjalan mendekat ke depan kamar cucunya itu.

"Ta, sekarang Aleta tidur sama papa dulu, ya? Mama sekarang masih harus masak buat makan malam papa," ucap laki-laki yang masih harus menggunakan alat bantu untuk berjalan itu. Struk yang dialami Pak Ihsan, membuat separuh tubuhnya susah bergerak. Bahkan setelah membaik seperti sekarang ini kaki sebelah kanannya masih tidak bisa digerakkan seperti semestinya.

"Tapi, kalau mama udah selesai masak nyusul ke kamar, ya?" pinta Aleta. Anak empat tahun itu memang sudah bisa berbicara dengan cukup jelas. Hanya saja memang ukuran tubuhnya sedikit lebih kecil dari anak seusia dia.

Alya mengangguk. "Sekarang Aleta bobo sama papa dulu, ya!"

"Iya. Ayo, Pa!" ajak anak itu antusias.

Sebelum masuk ke kamar Aleta, Arfan menatap Alya sembari tersenyum simpul. Ia merasa sangat bersyukur Alya mau mengenalkannya pada Aleta sejak Aleta bayi. Arfan sangat ingin berterima kasih kepada Alya untuk itu.

"Aku masuk dulu, ya?" pamit Arfan.

"Ya," sahut Alya sembari mengangguk.

Alya dan Pak Ihsan kemudian duduk di ruang tamu. Mereka tidak mau Aleta melihat Alya sebenarnya tidak sedang memasak jika memilih duduk di ruang keluarga. Karena memang pintu kamar Aleta tidak ditutup oleh Arfan dan ruang keluarga terlihat jelas dari kamar Aleta.

Anak dan bapak itu sama-sama duduk terdiam. Lebih tepatnya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Meski sebenarnya apa yang sedang mereka pikirkan adalah satu hal yang sama, yaitu bagaimana Aleta besok pagi saat bangun tidur dan tidak menemukan Arfan di rumah ini. Aleta pasti akan menanyakan keberadaan papanya.

Alya menghela napas panjang. Dadanya sakit saat memikirkan Aleta yang akan kembali berpisah dengan Arfan. Membayangkan wajah murung Aleta saja rasanya membuat jantung Alya seperti ditusuk-tusuk, apalagi saat besok harus melihatnya secara langsung.

"Mana Arfan dan Aleta?" tanya Bu Narti yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Di kamar," jawab Alya.

Bu Narti duduk di sebelah Alya sembari menghela napas. Ia juga membayangkan bagaimana besok pagi saat Aleta bangun dan tidak menemukan papanya di rumah ini.

"Al ...." Bu Narti menoleh dan menggenggam jemari Alya.

"Iya, Bu. Ada apa?"

"Ah, eng-enggak." Bu Narti sebenarnya ingin meminta Alya untuk menahan Arfan agar malam ini menginap di rumah mereka saja, tetapi ia urungkan. Tak mungkin hal itu mereka lakukan. Sementara mereka semua tahu kalau Arfan kini sudah memiliki keluarga baru.

"Bahkan mungkin Arfan telah memiliki anak selain Aleta," batin Bu Narti.

Lagi-lagi Bu Narti menghela napas panjang. Dadanya selalu sesak saat memikirkan Alya dan Aleta. Terkadang Bu Narti sampai menyalahkan dirinya sendiri karena Alya harus lahir dari seorang ibu sepertinya. Bukan ibu seperti mamanya Arfan atau mamanya Meira yang kaya raya.

Cukup lama Alya dan kedua orang tuanya itu duduk diam di ruang tamu. Sampai akhirnya Arfan keluar menemui mereka. Tanpa dikomando, Alya dan kedua orang tuanya berdiri menyambut Arfan.

"Aleta udah tidur?" tanya Alya.

"Udah, sempat nanyain kamu, tapi akhirnya tidur juga," jelas Arfan.

"Syukurlah."

Tanpa Alya duga Arfan kemudian berlutut di lantai.

"Arfan! Apa yang kamu lakukan?" pekik Alya. Ia menoleh pada bapak dan ibunya yang sama-sama kebingungan.

"Bapak, Ibu, aku minta maaf ...," ucap Arfan tanpa menghiraukan Alya.

"Minta maaf untuk apa, Nak Arfan? Ayo, bangun jangan begitu!" pinta Pak Ihsan.

Bu Narti pun segera menarik lengan Arfan agar mantan suami putrinya itu segera berdiri, tetapi Arfan tetap dengan posisi berlututnya.

"Aku minta minta maaf, Pak, Bu, karena saat menjadi suami Alya, aku enggak bisa melindungi Alya seperti yang pernah aku janjikan," ucap Arfan membuat semua yang ada di ruangan itu menangis.

Peristiwa lima tahun lalu kini kembali berputar di kepala Alya, juga Arfan yang merasa sangat menyesal dan bersalah karena tidak bisa melindungi istrinya yang bahkan saat itu tengah hamil.

Saat itu hari Jumat, dan sore itu ada arisan keluarga di rumah kakak dari mama Arfan. Seperti biasa semua keluarga besar Arfan dan juga rekan bisnis keluarganya berkumpul dalam arisan itu.

Arfan dan Alya yang sejak menikah bisa dibilang tersingkir dari keluarga itu pun tetap hadir demi menjalin silaturahmi dengan mereka. Meski keberadaan keduanya seperti itik buruk rupa di tengah kawanan angsa dengan bulu putihnya yang memesona.

Sejak menikahi Alya, Arfan memang dikeluarkan dari bisnis papanya. Sehingga Arfan bekerja di sebuah pabrik sebagai karyawan biasa. Untungnya sejak masih bujangan, Arfan sudah memiliki rumah sendiri yang cukup nyaman, jadi meski hanya memiliki gaji pas-pasan, ia dan Alya tetap bisa hidup di rumah dengan nyaman.

Seperti biasa, jika sedang ada acara keluarga, maka Alya diminta untuk ikut membantu di dapur. Karena memang Alya pandai memasak dan masakannya juga cukup enak. Meski tidak ada seorang pun di keluarga Arfan yang mau memuji masakan istri pilihan Arfan itu.

Namun, bagi Alya itu lebih membuatnya nyaman karena tidak perlu berbaur dengan keluarga Arfan yang sibuk membicarakan dan memamerkan harta bendanya. Alya lebih nyaman memasak dengan para pembantu di belakang. Telinganya tidak perlu kepanasan mendengar sindiran demi sindiran dari keluarga Arfan.

Akan tetapi, sore itu kakak dari mama Arfan yang biasa Arfan panggil Budhe itu, memanggil Alya ke kamarnya sebelum menyuruh Alya membantu di dapur.

"Iya, Budhe." Alya mendekati wanita dengan penampilan anggun itu.

"Sini, deh, ke kamar Budhe," ajaknya.

Alya pun menurut. Ternyata di kamar itu Alya disuruh mengganti pakaiannya dengan daster milik budhe.

"Daripada kamu masak pakai baju ginian kan, panas," ujar budhe Arfan. "Nih, pakai daster ini biar adem!"

Alya pun menurut. Ia mengganti pakaiannya dengan daster pilihan budhe Arfan itu. Setelahnya ia disuruh ke dapur membantu para ART menyiapkan makanan untuk seluruh keluarga yang hadir di arisan tersebut.

Alya sedang sibuk membantu para ART di sana saat tiba-tiba terdengar tangisan histeris budhe Arfan.

"Ada apa itu ya, Mbak?" tanya Alya pada salah seorang ART yang juga sedang berada di dapur bersamanya.

"Enggak, tahu. Coba Mbak Alya lihat!" pinta ART bernama Yuni itu.

"Iya, Mbak, aku keluar dulu, ya?"

Alya kemudian tergopoh keluar. Ia bahkan masih mengenakan celemek. Dan saat ia tiba di ruang keluarga rumah budhe Arfan yang luas itu, semua mata tertuju padanya.

"Pasti dia yang ngambil!" tunjuk budhe Arfan pada Alya.

"Budhe, jangan asal tuduh!" bentak Arfan yang tidak terima istrinya dituduh menjadi pencuri.

Alya yang tidak tahu apa-apa pun kebingungan. Ia baru saja keluar dari dapur dan tiba-tiba dituduh mengambil sesuatu. Mengetahui apa yang hilang saja Alya tidak. Bagiamana mungkin ia mengambilnya?

"Kalau gitu kita geledah dia!" seru budhe Arfan.

Seluruh keluarga Arfan dan juga para kolega bisnis yang hadir di situ menatap Alya seperti seonggok kotoran. Mereka semua sepakat Alya digeledah.

"Mana tas kamu?" bentak budhe Arfan pada Alya.

"Tet-tet-tas?" tanya Alya tergagap. Saat itu ia merasa seperti kelinci dalam kandang harimau.

"Iya, mana tas kamu?" Kali ini Tante Arfan yang membentak Alya tak kalah sengit.

"Periksa dianya juga, dong!" usul saudara Arfan yang lainnya.

"Cukup!" Teriakan Arfan menggelegar memenuhi ruangan. "Apa-apaan kalian!" serunya dengan wajah merah dan mata hendak keluar dari tempatnya. "Istriku bukan pencuri! Kalau ada yang berani sentuh dia ...."

"Kita buktikan, Fan!" teriak salah seorang keluarga Arfan yang lainnya memotong ucapan Arfan.

"Ya, benar. Kita buktikan kalau gitu," sahut yang lainnya.

Akhirnya tanpa bisa menolak, Alya digeledah bak seorang pencuri. Mulai dari tubuh Alya sampai tasnya yang sejak tadi ia taruh di sofa ruang keluarga rumah ini.

Alya pasrah. Saat itu ia tahu kalau dirinya sedang dihancurkan. Namun, Alya tidak bisa berbuat apa-apa. Karena memang bukti terlihat jelas di depan mata.

"Ini, Ma, ketemu!" teriak Sabila, anak budhe Arfan. Gadis 17 tahun itu menunjukkan sebuah kalung berlian yang Alya tahu harganya tidaklah murah. Saat itu Alya baru tahu kalau dirinya sedang difitnah mencuri berlian milik budhe Arfan.

"Enggak mungkin!" teriak Arfan. "Alya pasti difitnah! Ini fitnah! Alya difitnah! Benar, kan, Al?" teriak Arfan seperti orang sedang kesetanan.

Arfan berusaha menyakinkan semua orang yang ada di rumah itu kalau Alya difitnah, tetapi suaranya seperti cicitan tikus di tengah auman harimau.

Semua orang akhirnya punya alasan untuk memaki, menghina, menyakiti, dan bahkan menganiaya Alya. Meski Arfan berusaha melindunginya, tetapi laki-laki itu tidak berdaya di tengah orang-orang yang sedang gelap mata.

"Kamu pikir dengan menikah dengan Arfan bisa kayak kami?"

"Ngimpi aja kamu!"

"Dasar miskin!"

"Anak pembantu sok mau jadi ratu!"

"Dasar babu, babu aja lu!"

"Kamu pingin banget punya berlian kayak gini, iya?"

"Dasar pencuri!"

"Udah miskin! Maling!"

Berbagai makian mereka lontarkan sepuasnya pada Alya. Tak cukup sampai disitu, kepala Alya bahkan disiram menggunakan kuah sayur dan aneka makanan lainnya. Alya tak berdaya. Berteriak pun tidak ada yang mendengarnya. Melawan pun tak sebanding karena satu lawan puluhan orang. Arfan yang laki-laki saja tidak mampu menghentikan mereka, apalagi dirinya.

"Pokoknya aku mau laporin ini ke polisi!" seru budhe Arfan. "Aku enggak mau ada maling menyusup di keluarga kita! Maling harus dipenjara!"

"Betul, kita harus laporkan ini ke polisi!" sahut yang lainnya.

Alya hanya pasrah. Menangis pun tidak. Ini adalah konsekuensi dari mencintai seorang laki-laki seperti Arfan. Laki-laki yang tidak seharusnya ada dalam mimpinya sekalipun. Karena dirinya dan Arfan seperti langit dan bumi.

Seharusnya Alya bisa menyimpan rapat perasaannya, maka semua ini tidak akan menimpanya. Akan tetapi, membiarkan rasa cukup di dada nyatanya tidaklah mudah. Gejolak itu ingin diungkap melalui kata-kata.

Namun, Alya tidak menyesalinya. Karena ini memang bagian dari jalan takdir yang harus ia lewati. Sakit, memang sakit. Namun, akan lebih sakit jika ia hanya menyimpan perasaannya pada Arfan sementara ia dan Arfan saling mencintai. Meski pada akhirnya ia tahu, kini saatnya dirinya pergi.

Arfan memeluk Alya yang basah kuyup sembari menahan tangis. Laki-laki itu merasa sangat bersalah karena tidak bisa melindungi istrinya. Tak peduli lagi pada semua ucapan keluarganya, Arfan mengajak Alya pergi dari rumah itu. Apalagi saat itu Alya sedang hamil, jadi perasaan bersalah Arfan berlipat-lipat lebih besar.

"Arfan! Kalau sampai kamu nekat pergi sama maling itu! Kamu akan lihat mama mati!" seru mama Arfan kemudian wanita itu tidak sadarkan diri.

Semua orang menjerit dan berlari ke arah mama Arfan, tetapi Arfan masih mematung sembari memeluk Alya. Ia bahkan masih hendak mengajak Alya untuk pergi, sampai Alya kemudian berkata, "Arfan, aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Tapi, aku enggak mau cintaku menjadi penghalang bakti kamu pada orang tuamu."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (5)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
kok mewek ya...kasihan Alya hik hik hik
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
JAHAT nya kemana tuh manusia manusia DURJANA merasa pemilik Alam Semesta dasar DAJJAL
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kalian aja berdua yg tolol. udah tau g di restui dan di terima, msh aja datang ngebabu kesana. dasar anak babu dan cuman bisa jd babu. utk apa kau dapat beasiswa. g guna
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Usai Bercerai   Selamat Tinggal

    Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo

  • Usai Bercerai   Sepasang Mata

    Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin

  • Usai Bercerai   Dua Minggu Lalu

    Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya

  • Usai Bercerai   Langkah Selanjutnya

    "Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya

  • Usai Bercerai   Harapan

    Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa

  • Usai Bercerai   Percayalah

    "F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status