"Ta, itu di luar ada Papa," ucap Alya setengah berbisik pada Aleta yang sedang asyik bermain boneka di atas ranjangnya.
Anak empat tahun itu menoleh dan menatap wajah mamanya. "Papa pulang?" tanyanya dengan mata berbinar.Alya mengangguk. Ia sebenarnya bingung sendiri dengan pilihan kata pulang yang diucapkan Aleta. Karena Arfan hanya datang untuk menemui Aleta. Bukan pulang seperti yang ada di pikiran Aleta.Alya jadi teringat malam sebelum paginya Aleta tiba-tiba tidak bisa berjalan, anak itu menangis tanpa suara. Saat Alya bertanya, "Aleta kenapa menangis?" Aleta menjawab, "Aleta kangen Papa. Aleta ingin ketemu Papa."Hati ibu mana yang tak hancur, saat mendengar anaknya merindukan papanya yang sudah bahagia dengan keluarga barunya? Apalagi keesokan harinya saat bangun tidur tiba-tiba Aleta menangis karena tidak bisa berjalan.Akhirnya dengan membuang semua ego yang ada pada dirinya, Alya kemudian memutuskan untuk bertemu Arfan. Alya takut, kalau sampai Aleta pergi, anak yang wajahnya sangat mirip dengan Arfan itu belum sempat bertemu dengan papanya sendiri.Sejak Aleta lahir, Alya memang sudah mengenalkannya dengan Arfan. Alya menunjukan foto Arfan yang ia bawa dan mengatakan pada Aleta kalau laki-laki di foto itu adalah papanya. Saat Aleta sudah bisa bertanya, papanya dimana dan kenapa tidak pernah pulang? Alya mengatakan kalau papanya sedang bekerja di luar negeri.Sekitar sebulan yang lalu Aleta bercerita, kalau papa temannya di sekolah yang bekerja di luar negeri sudah pulang. Saat itu Aleta tidak secara langsung menanyakan papanya kapan pulang. Ia hanya menunjukkan hadiah yang diberikan oleh temannya itu."Ini oleh-oleh dari papanya Keke," ucap Aleta sembari menunjukkan boneka kecil berwarna pink yang di dalam kotak.Tak lama setelah itu Aleta demam. Tiga hari sembuh, dua hari kemudian demam lagi. Selama hampir dua minggu terus-menerus seperti itu. Saat dibawa ke dokter pun hanya didiagnosis demam biasa, Aleta cuma diberi penurun panas dan antibiotik dan diminta istirahat, juga jangan terlalu lelah.Sampai akhirnya muncul lebam-lebam di beberapa bagian tubuhnya. Mulai dari perut, paha, dan lengan. Baru saat itu dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada Aleta.Sebenarnya sejak usia dua tahun Aleta memang sudah sering sekali sakit. Sampai anak seusia itu seolah-olah terbiasa dengan dokter dan peralatannya. Awalnya dulu sekadar masuk ruang periksa saja Aleta tidak mau dan menangis, sampai akhirnya karena terbiasa, saat namanya dipanggil anak itu berani masuk sendiri.Dan ternyata demam demi demam yang dialami Aleta karena di dalam tubuhnya ada penyakit yang begitu mengerikan bagi kebanyakan orang, leukemia."Ayo, kita keluar!" ajak Alya setelah terdiam sembari menatap mata berbinar Aleta beberapa saat.Aleta mengangguk dengan antusias.Alya kemudian menggendong Aleta karena memang anak berambut lurus dan panjang itu masih belum bisa berjalan sejak pagi menyedihkan itu."Aleta senang mau ketemu papa?" tanya Alya sembari berjalan ke ruang tamu.Aleta mengangguk sembari tersenyum manis. "Senang.""Bagus, setelah ini Aleta bisa main sama papa.""Asiiik!"Arfan langsung berdiri dari sofa saat melihat Alya keluar dengan menggendong anak kecil dengan wajah sangat mirip dengan dirinya. Pandangan Arfan bahkan tak berkedip begitu melihat wajah Aleta. Tiba-tiba dadanya terasa begitu nyeri. Aleta sudah sebesar itu dan ia baru bisa melihatnya."Aleta," gumam Arfan.Kedua orang tua Alya yang juga ikut berdiri dari sofa pun merasa sangat terharu. Akhirnya cucu yang sangat mereka sayangi bisa bertemu dengan papanya.Arfan kemudian berjalan mendekati Alya dan Aleta. Ia bahkan merasa tidak percaya akhirnya bisa bertemu dengan putrinya. Putri yang sejak dalam kandungan ia sayangi sepenuh hidupnya.Mata Arfan tanpa ia sadari sudah penuh genangan air mata. Ia sampai mengusapnya dengan kasar karena tidak ingin wajah Aleta terlihat kabur di matanya."Anak papa, kamu cantik sekali," ucap Arfan dalam hati. Bahkan semua yang ada pada wajah Aleta sangat mirip dengan dirinya. Alisnya, matanya, hidungnya, bibirnya, semua mirip sekali dengan Arfan."Oh, Tuhan, ini anakku, putriku, putri yang sejak dalam kandungan ibunya sangat aku sayangi," batin Arfan sembari terus menatap Aleta. Dada Arfan seolah-olah mau meledak saking bahagia dan terharunya. Apalagi saat Alya berkata, "Aleta, itu papa."Arfan merasa ingin menangis saat itu juga. "Oh, Tuhan ... ini putriku, buah hatiku," batin Arfan."Sayang, Aleta, ini papa, Nak," ucap Arfan dengan tenggorokan serasa tercekik. Ia ingin menyentuh Aleta, tetapi anak itu malah menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher mamanya."Loh, Aleta kok, malah sembunyi?" tegur Alya. "Katanya kangen sama papa? Ingin ketemu papa?"Aleta menggelengkan kepalanya. Meski ia sudah berkali-kali melihat Arfan di dalam foto, tetapi tetap saja saat melihat langsung ia merasa asing."Ya udah, kita main sama papa, ditemenin mama juga, ya?" bujuk Alya.Akhirnya sore itu mereka bermain bertiga.Kedua orang tua Alya merasa begitu terharu melihat itu. Ibu Alya bahkan sampai masuk ke kamar dan menangis di sana. Ia merasa sangat sedih dengan nasib putri dan cucunya. Seandainya ketiganya bisa bersama seperti ini setiap hari, tentu duka yang sedang mereka alami tidak terasa semenyakitkan ini."Ya Allah, masih adakah kebahagiaan untuk putriku? Masihkah Kau sisakan senyum untuk putriku?"Hati Bu Narti sudah sangat hancur saat dulu putrinya tiba-tiba pulang tanpa Arfan dan meminta untuk pindah rumah. Meski saat itu Alya belum menjelaskan apa-apa, tetapi Bu Narti yakin kalau Alya dan Arfan sedang ada masalah besar. Dan ternyata dugaannya benar, karena sejak saat itu Alya tidak pernah lagi kembali ke rumahnya dan Arfan pun tidak pernah datang menyusulnya. Sampai akhirnya Alya menceritakan semua.Lalu kini saat kehidupan Alya sudah mulai sedikit tertata, senyumnya harus kembali terenggut oleh penyakit yang menyerang Aleta. Bu Narti merasa semua ini sangat tidak adil untuk mereka."Apa karena kami miskin, sehingga kamu tidak pantas sedikit saja merasakan bahagia seperti orang-orang di luar sana?" gumam Bu Narti. Hatinya benar-benar perih saat ini. Ia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Aleta nanti saat Arfan pamit untuk pulang. "Ya Allah ...."Sementara di ruang keluarga Aleta sudah mau bermain dengan Arfan. Anak itu sudah tidak malu dan sudah merasa tidak asing lagi dengan Arfan. Ia bahkan sangat antusias menceritakan tentang teman-temannya di sekolah kepada Arfan. Dan Alya membiarkan putrinya menikmati waktunya bersama papa yang sangat dirindukannya."Sudah malam, Fan," ucap Alya saat di luar sudah tampak gelap. Ia tidak mau kepergian Arfan ke rumahnya menjadi masalah Arfan dengan Meira ataupun keluarganya."Apa ... aku boleh menidurkan Aleta?"Alya melihat Aleta yang masih terlihat sangat bersemangat bermain. Anak itu bahkan sore ini makan lebih banyak dari biasanya. Yang sebelumnya Aleta sangat susah untuk memakan buah pun sore ini ia mau makan buah. Apalagi saat Arfan yang menyuapi, seolah-olah perut Aleta tidak ada kenyangnya."Tapi ... dia sepertinya belum ngantuk. Aku takut kalau ...."Arfan menggelengkan kepalanya. "Aleta lebih utama dari segalanya."Alya menghela napas. Rasanya dadanya sesak jika memikirkan saat ini ada wanita lain yang sedang menunggu kepulangan Arfan."Jangan pikir apa-apa lagi! Saat ini yang paling penting adalah Aleta," lanjut Arfan sembari menatap lekat mata Alya.Alya akhirnya mengangguk setuju. Ia juga tidak tega saat Aleta melihat Arfan pergi. Ia pasti akan bertanya, mengapa papanya pergi lagi. Meski esok pagi pun tetap sama, Aleta akan menanyakan papanya dimana. Setidaknya Alya bisa menunda kekecewaan putrinya itu.Setelah Afran dan seluruh keluarga Alya solat isya berjamaah dengan Arfan sebagai imamnya, tak lama setelah itu Aleta mengantuk. Ia sangat senang saat tahu Arfan akan menemaninya tidur."Ayo, Pa, kita ke kamar Aleta!" ajak Aleta sembari mengulurkan kedua tangannya agar Arfan segera menggendongnya."Ayo!" Dengan bersemangat Arfan menggendong putrinya dan berjalan menuju kamar yang ditunjuk Aleta."Ini kamar Aleta," ucap anak yang berada dalam gendongan Arfan itu."Wah, cantik sekali, kayak Aleta," puji Arfan setelah membuka pintu dan melihat dekorasi kamar Aleta yang didominasi warna pink dan putih. Semua tertata dengan rapi."Mama mana?" tanya Aleta karena tidak melihat Alya mengikuti mereka."Masih repot kayaknya," jawab Arfan asal. Ia tahu, Alya pasti tidak nyaman berada di kamar Aleta bersamanya."Aleta mau sama mama juga," rengek Aleta. "Mama!" seru anak itu memanggil Alya."Iya, Ta?" Alya tergopoh mendatangi putrinya yang masih berada di gendongan Arfan. "Kenapa, Sayang?""Ayo, Aleta mau tidur sama Mama juga!"Kontan Alya dan Arfan saling bertatapan dan sama-sama kebingungan.Pak Ihsan yang melihat Aleta merengek minta tidur dengan ditemani kedua orang tuanya, berjalan mendekat ke depan kamar cucunya itu."Ta, sekarang Aleta tidur sama papa dulu, ya? Mama sekarang masih harus masak buat makan malam papa," ucap laki-laki yang masih harus menggunakan alat bantu untuk berjalan itu. Struk yang dialami Pak Ihsan, membuat separuh tubuhnya susah bergerak. Bahkan setelah membaik seperti sekarang ini kaki sebelah kanannya masih tidak bisa digerakkan seperti semestinya."Tapi, kalau mama udah selesai masak nyusul ke kamar, ya?" pinta Aleta. Anak empat tahun itu memang sudah bisa berbicara dengan cukup jelas. Hanya saja memang ukuran tubuhnya sedikit lebih kecil dari anak seusia dia.Alya mengangguk. "Sekarang Aleta bobo sama papa dulu, ya!" "Iya. Ayo, Pa!" ajak anak itu antusias.Sebelum masuk ke kamar Aleta, Arfan menatap Alya sembari tersenyum simpul. Ia merasa sangat bersyukur Alya mau mengenalkannya pada Aleta sejak Aleta bayi. Arfan sangat ingin berterima kasi
Terkadang Arfan merasa kalau perjalanan hidupnya bersama Alya itu seperti sebuah sinetron di televisi. Akan tetapi, pada kenyataannya itu nyata mereka alami. Betapapun ia ingin menolaknya, tetapi nyatanya garis takdir tetap membawanya ke sana.Hari itu Arfan sebenarnya tidak ingin datang ke acara arisan di rumah budhenya itu. Hanya saja Alya memaksa karena tidak tega melihat Arfan terus-menerus dihina dan dijadikan bahan olok-olokan di WAG keluarga besarnya karena saat ada acara besar, mereka berdua tidak datang.Alya merasa tidak tega dan tidak terima Arfan dihina seperti itu. Sehingga seperti apapun keluarga besar Arfan memperlakukannya, Alya tetap meminta untuk datang."Tapi aku enggak mau kamu cuma di dapur, Al," pinta Arfan saat tak bisa menolak permintaan Alya lagi."Aku lebih nyaman di dapur, Fan. Aku lebih nyaman ngobrol sama mbak-mbak di sana," ucap Alya sembari tersenyum. Ia tidak mau membuat suaminya merasa bersalah. Selama ini Arfan selalu merasa bersalah karena tidak mamp
Arfan memasuki rumah megah kedua orang tuanya dengan langkah gontai. Pikirannya masih berada di rumah orang tua Alya. Laki-laki itu merasa begitu berat meninggalkan putri yang baru saja ditemuinya. Arfan yakin esok pagi saat bangun, pasti Aleta akan menanyakan keberadaannya."Dari mana kamu, Fan?" Bu Fania bertanya pada anaknya yang baru saja datang itu. Arfan bahkan tidak menyapa keluarga besarnya yang kini sedang menikmati jamuan makan malam ulang tahun Bu Fania.Arfan baru menyadari saat mendengar pertanyaan mamanya itu. Ia kemudian menghela napas, lalu mengangguk hormat pada seluruh keluarganya tanpa menjawab pertanyaan mamanya."Fan, mama kamu tanya, kamu dari mana!" tegur papa Arfan yang bernama Pak Arya. Laki-laki itu geram melihat sikap kurang ajar anak sulungnya itu.Lagi-lagi Arfan menghela napas. Rasanya seperti ada beban berat yang saat ini berada di punggungnya. Ia bahkan tidak menoleh ke arah papanya. Laki-laki itu hanya menekuri piring putih di depannya. Kepala Arfan be
Bumi seolah-olah berhenti berputar saat Bu Fania mendengar kabar buruk tentang cucunya."A-apa? Le-leukimia?" ulang Bu Fania sembari menautkan kedua alisnya.Arfan mengangguk."Hah ...." Bu Fania memegang dadanya. Tiba-tiba ia merasa begitu sesak. Ia bahkan sampai berhenti bernapas cukup lama. Kepalanya seolah-olah kosong dan tidak bisa ia gunakan untuk memikirkan apapun."Dokter bilang ... di Jakarta ada rumah sakit khusus kanker yang bisa melakukan pengobatan selain kemoterapi," jelas Arfan."Ya, dimanapun! Kamu harus bawa dia berobat! Dia harus dapat pengobatan yang terbaik, Fan!"Arfan merasa begitu lega saat mendengar mamanya mendukungnya untuk membawa Aleta berobat. Karena jika mamanya sudah mendukung, maka tidak ada satu orang pun yang bisa menghalanginya lagi. Meira sekalipun."Iya, Ma. Secepatnya Arfan akan bawa dia."***"Pa! Papa!" Dugaan Alya benar, Aleta bangun tidur mencari Arfan. Alya yang sedari tadi sedang duduk sembari memandangi wajah putrinya itu pun kembali meras
"Dari mana aja kamu? Masih ingat pulang?" tegur Meira dengan sengit begitu Arfan membuka pintu rumahnya.Arfan mematung sejenak sembari menghela napas. Arfan merasa sangat lelah. Lima tahun sudah ia menjalani pernikahan dalam keterpaksaan, dan sampai detik ini tak sekalipun Meira bisa membuatnya merasa nyaman.Arfan merasa seperti berada dalam penjara yang diciptakan Meira. Semua aktivitasnya dipantau 24 jam. Jika ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan Meira, maka sambutan Meira saat ia memasuki rumah pasti seperti sekarang ini.Arfan meneruskan langkah tanpa memedulikan Meira. Niatnya untuk memberitahu Meira bahwa besok pagi ia akan ke Jakarta, ia tunda. Karena jika ia paksa memberitahu Meira saat ini, Arfan takut tidak bisa mengendalikan diri karena tentu Meira akan menentangnya."Fan! Aku tanya sama kamu!" seru Meira sembari mengejar Arfan. Begitu tiba di depan pintu kamar, Meira berhasil menyusul Arfan. Wanita itu menarik kasar bahu Arfan sampai Arfan berbalik menghadapnya.
Hari masih sangat pagi ketika Arfan tiba di rumah orang tua Alya. Subuh tadi ia bahkan sudah bertengkar hebat dengan Meira. Meira masih tidak mengizinkan Arfan pergi ke Jakarta meski sudah dijelaskan kalau ia akan pergi bersama seluruh keluarga Alya, tidak hanya berdua dengan Alya.Namun, Meira masih tidak terima dan mengancam akan mengadukan itu pada mama Arfan. Jadi, sebelum Arfan meninggalkan rumah, Meira sudah terlebih dahulu pergi ke rumah mertuanya. Dia pikir Bu Fania belum tahu kalau Arfan akan membawa Aleta berobat ke Jakarta."Aleta masih tidur?" tanya Arfan saat Alya keluar dengan menyuguhkan secangkir teh."Iya, masih," jawab Alya sembari meletakkan cangkir teh tersebut di meja tepat di depan Arfan."Ehm ... aku ... boleh liat dia?" Alya mengangguk. "Silakan."Sebelum menemui Aleta Arfan melirik teh yang asapnya masih mengepul di depannya. Ia menatap Alya sekilas kemudian mengambil cangkir teh tersebut dan menyesapnya perlahan. Begitu hangat teh tersebut menjalar ke tengg
Kontan tubuh Arfan menegang. "Calon suami Alya?" batin Arfan tidak terima. Akan tetapi, ia tetap menyambut jabatan tangan dari Prima.Tiga hari setelah proses pemeriksaan kecocokan sumsum tulang belakang Alya dan Arfan, akhirnya hasilnya keluar. Kali ini hanya Alya dan Arfan yang datang ke rumah sakit. Sementara Aleta dan kedua orang tua Alya menunggu di hotel dengan ditemani Prima. Prima sebenarnya ingin ikut ke rumah sakit karena melihat Alya tidak nyaman hanya pergi berdua dengan Arfan. Akan tetapi, Aleta tidak mau lepas dari laki-laki itu. Jadi, terpaksa Prima membiarkan Arfan dan Alya pergi berdua.Sepanjang berjalan menyusuri koridor rumah sakit, Alya dan Arfan hanya terdiam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Alya harap-harap cemas karena teringat ucapan dokter, bahwa meskipun orang tua tetap ada kemungkinan hasilnya tidak cocok. Kalau sampai dirinya atau Arfan tidak cocok, Alya tidak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya membiarkan Aleta untuk menjalani pengobatan
Alya dan Arfan berjalan menuju parkiran rumah sakit dengan langkah gontai. Keduanya sama-sama diam dan sibuk dengan segala pikiran yang ada di kepala masing-masing. Sama-sama bingung dengan pilihan yang kini ada di depan mereka. Saat ini mereka seperti sedang memakan buah simalakama. Jika harus membiarkan Aleta menjalani kemoterapi, Alya dan Arfan teramat sangat takut dan juga tidak tega. Mereka berdua takut fisik Aleta tidak kuat menerima obat-obatan yang cukup keras itu. Apalagi jika memikirkan pada akhirnya justru hal buruk yang akan menimpa putri mereka. Alya dan Arfan tidak sanggup membayangkan hal itu terjadi.Alya menghela napas panjang. Dadanya sangat sesak memikirkan hal itu. Apalagi jika mengingat ucapan Dokter Haikal tadi. "Jadi selain menggunakan sumsum tulang belakang, metode stem cell ini bisa juga menggunakan darah tali pusat dari saudara kandung pasien. Bahkan untuk pengobatan dengan darah tali pusat ini, tingkat keberhasilannya lebih tinggi dibanding dengan sumsum tu