Alya menghempas cekalan tangan Arfan saat mereka sudah berada di dalam lift.
"Apaan sih, kamu, Fan!" pekik Alya dengan suara tertahan. Tak mungkin ia berteriak di tempat umum."Maaf." Arfan mengangkat kedua tangannya dan mundur satu langkah. Ia paham Alya tidak suka ia menyentuhnya seperti itu. Apalagi saat ini Alya telah berhijab sempurna dan mereka bukan lagi suami istri."Aku cuma enggak mau Meira mempermalukan kamu seperti itu di tempat umum," jelas Arfan. Ia tidak ingin dalam pertemuan yang singkat ini Alya sampai marah kepadanya."Aku bisa mengatasi dia," ucap Alya datar.Arfan mengangguk. Ia tahu itu benar. Alya bukan lawan bagi perempuan manja seperti Meira. Alya wanita kuat dan bisa mengatasi nyaris semua masalahnya. Meski ada satu hal yang pada akhirnya tidak bisa Alya atasi dan akhirnya ia memilih pergi. Karena dengan cara pergilah Alya mengatasi permasalahan itu. Meski sakit, Arfan menghargai keputusan Alya.Ting!Lift terbuka. Mereka berada di lantai lima karena tadi Arfan memang asal memencet nomor lantai."Dokter datang masih setengah jam lagi. Mau cari tempat duduk di sini dulu?" tawar Arfan sebelum mereka melangkah keluar."Boleh."Mereka akhirnya ngobrol sembari menunggu waktunya dokter yang menangani Aleta datang."Kenapa tadi kamu sampai ngomong kayak gitu sama Meira?" tanya Alya setelah keduanya duduk dan saling terdiam cukup lama.Arfan menoleh, tetapi bibirnya masih terkunci."Gimanapun, dia istri kamu, loh. Pilihan kamu sendiri," lanjut Alya dengan dada terasa nyeri. Ia kembali teringat saat salah seorang temannya mengirim foto pernikahan Arfan dan Meira, sebulan setelah dirinya meninggalkan rumah.Arfan menatap ke depan sembari tersenyum miris. "Bukankah, kadang ... kita cuma diberi satu pilihan?" Laki-laki itu menghirup udara banyak-banyak karena dadanya terasa sangat sesak. "Seperti kamu yang milih ... ninggalin aku."Alya membuka mulutnya, sedetik kemudian tertutup lagi. Arfan benar. Saat itu Alya tidak punya pilihan lain selain meninggalkan suami yang sangat ia cintai. Lelaki baik yang sayangnya tidak Tuhan izinkan untuk menjadi miliknya selamanya."Jadi ... maksud kamu, kamu ... terpaksa menikahi Meira?" Alya menoleh dan menatap wajah Arfan dari samping.Arfan tertawa. "Kamu pikir?"Alya menggelengkan kepalanya. "Aku enggak tahu. Bukankah selama ini ... kalian emang dekat?"Arfan langsung menoleh dan menatap Alya lekat. "Dekat kamu bilang?"Alya mengangguk perlahan. "Apa aku salah?""Udahlah, enggak usah dibahas."Alya menghela napas. Keduanya kini diam. Sampai akhirnya waktu praktik dokter yang menangani Aleta tiba."Udah jam sembilan. Ayo, turun!" ajak Arfan.Laki-laki itu berjalan terlebih dahulu tanpa ada niat untuk menunggu Alya. Arfan sedikit kecewa mengetahui isi pikiran Alya.Alya pun tidak berminat untuk menyusul Arfan. Ia memilih berjalan di belakang Arfan, dengan jarak cukup jauh. Seperti apapun, laki-laki itu bukan lagi suaminya."Hasil dari Bone Marrow Punction atau yang biasa kami sebut BMP ananda Aleta positif ALL tipe L2 kategori SR," jelas Dokter Candra --dokter yang menangani Aleta-- pada Arfan. Alya sudah dijelaskan dengan detail saat hasil BMP baru keluar. Karena Arfan belum mendengarnya, maka Dokter Candra menjelaskan lagi."A-LL?" ulang Arfan yang belum paham istilah kedokteran.Dokter Candra mengangguk. "Acute Lymphoblastic Leukimia, kami biasa menyebutnya ALL. Untuk Aleta masuk dalam jenis tipe L2. Jadi ALL ini ada beberapa tipe dan Aleta masuk ALL tipe L2. Kemudian untuk tingkatannya ada dua tingkat yaitu SR atau Standard Risk dan HR atau High Risk. Dan Aleta masuk kategori SR.""Berarti bukan yang high, ya, Dok?" tanya Arfan. Ia berharap peluang Aleta sembuh cukup besar karena masuk kategori standar."Bukan.""Untuk yang kategori SR ini ... seberapa ... bahaya, Dok?" tanya Arfan dengan takut. Lebih tepatnya ia takut mendengar jawaban dari pertanyaannya sendiri. Akan tetapi, ia tidak punya pilihan lain selain bertanya."Cukup bahaya.""Berapa prosentase kemungkinan bisa sembuh, Dok?""Sejauh ini ... kurang lebih lima persen.""Lima persen?" pekik Arfan. "Astaga, itu kecil sekali," lanjutnya dalam hati. "Gimana dengan Aleta yang masih berusia empat tahun? Tuhan ... berikan keajaiban-Mu pada putriku ...."Hati Arfan serasa hancur mendengar penjelasan itu. Arfan merasa, ini seperti mimpi. Bagaimana mungkin putri semata wayangnya, putri yang bahkan belum pernah bertemu dengannya sekalipun mengidap penyakit seberbahaya ini?Arfan menghela napas kasar, kemudian menoleh ke arah Alya yang sejak tadi diam di sampingnya. Arfan tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Alya saat tahu hal ini. Seperti apa hancurnya perasaan Alya. Arfan yakin, apa yang ia rasakan sekarang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang Alya rasakan.Tangan Arfan terangkat hendak memegang jemari Alya. Arfan berniat untuk menggenggam erat jemari wanita itu untuk menguatkannya. Namun, Arfan mengurungkannya karena pasti Alya tidak suka jika ia sampai melakukan itu.Arfan kembali menatap Dokter Candra. "Lalu ... gimana dengan pengobatannya, Dok?""Kalau bisa kita lakukan sesegera mungkin. Karena ALL Aleta masuk kategori SR, maka tidak ada obat tambahan saat kemo nanti," jelas Dokter Candra."Kemo?" ulang Arfan tidak percaya. Mendengar kata itu saja ia sudah bergidik ngeri. Lalu bagaimana bisa anak usia empat tahun harus menerima pengobatan paling mengerikan itu?"Ya, kemoterapi," jawab Dokter Candra."Anak empat tahun harus kemoterapi, Dok?" Arfan masih tidak percaya. Selama ini yang ia tahu, kemoterapi ini sangat mengerikan. Rambut pasien akan rontok sampai botak, muntah-muntah, badan melemah, dan lain-lainnya."Bagaimana mungkin pengobatan semengerikan itu harus dijalani Aleta?" batin Arfan."Ya," jawab Dokter Candra dengan mantap.Arfan menoleh kepada Alya. Ia ingin mendengar pendapat wanita itu. Dan ternyata mata Alya kini sudah dipenuhi kaca-kaca. Arfan paham, ibu mana yang tega anaknya yang masih empat tahun harus menjalani pengobatan seperti itu? Sedikit banyak Arfan tahu kalau kemoterapi itu tidak cukup hanya dilakukan sekali dua kali."Gimana, Al?" tanya Arfan pada akhirnya.Alya tidak langsung menjawab. Ia menatap Dokter Candra beberapa saat. "Kemarin Dokter Candra bilang, kalau di rumah sakit lain, ada pengobatan lain selain kemo."Mata Arfan langsung melebar. "Benar itu, Dok?" kejar Arfan. Ia tidak sabar untuk mendengar penjelasan Dokter Arfan lagi."Benar. Tapi, di Jakarta atau kalau enggak di Surabaya. Ada rumah sakit khusus kanker yang bisa melakukan pengobatan dengan jalan stem cell transplantation. Untuk kasus Aleta nanti bisa dengan jalan mencari donor sumsum tulang belakang."Arfan menghela napas lega. "Baik, Dok. Enggak masalah mau dimanapun. Yang penting ada cara lain selain kemo. Untuk pendonor, apa orang tuanya bisa?"Arfan sebenarnya sudah pernah mendengar kalau sebenarnya walaupun orang tua kandung masih ada kemungkinan tidak cocok untuk menjadi pendonor. Akan tetapi, laki-laki itu memilih bertanya karena ia yakin Dokter Candra lebih paham untuk masalah itu."Bisa kalau memang cocok. Karena walaupun orang tua kandung, tetap ada kemungkinan untuk tidak cocok.""Seenggaknya kita coba dulu ya, Dok. Saya harap salah satu dari kami ada yang cocok.""Aamiin. Kalau gitu, nanti saya buatkan rujukannya.""Bismillah," ucap Alya dalam hati.Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo
Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin
Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya
"Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya
Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa
"F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya
[Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me
Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal
Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di