"Aku mau, kita bikin perjanjian!" ucap Meira dengan tegas.Arfan membuka map yang diserahkan Meira lalu membaca isinya. "Gila!" umpat Arfan dalam hati.Tanpa kata Arfan menyerahkan kembali map tersebut pada Meira, lalu melenggang ke kamar. Tak peduli dengan para pengacara yang telah diundang Meira itu."Fan! Arfan!" seru Meira sembari mengejar suaminya itu. "Kita harus selesaikan masalah ini, Fan! Aku enggak mau kamu ombang-ambing kayak gini!"Saat tiga langkah lagi Arfan mencapai pintu kamarnya, laki-laki itu berhenti dan membalikkan badannya. "Aku enggak pernah minta kamu masuk dalam kehidupanku. Sama sekali!" tegas Arfan. "Jadi, sekarang aku mau kayak gimana, itu bukan urusan kamu!""Fan!" seru Meira tidak terima. "Aku istri kamu, Fan! Karena aku Alya enggak dipenjara. Sekarang setelah aku enggak ada guna buat kamu, kamu mau buang aku?"Meira menatap Arfan dengan nyalang. Ia benar-benar emosi pada lelaki di depannya itu. "Aku enggak main-main, Fan! Kalau kamu berani nikah lagi sama
Sementara di rumah orang tua Alya, semua orang sedang cemas. Aleta demam tinggi sejak subuh tadi. Iya terus menanyakan papanya yang pada saat itu memang belum tiba di rumahnya. Begitu Arfan tiba laki-laki itu langsung diberitahu kondisi Aleta dan segera berlari ke kamar Aleta menemui putrinya itu."Mau Papa .... Mau Papa .... Mau gendong Papa ...." Jarak beberapa meter dari kamar Aleta ia sudah bisa mendengar rengekan Aleta itu. Langkah Arfan pun semakin lebar untuk segera menghampiri putrinya."Iya, Sayang, Papa di sini!" sahut Arfan membuat Alya dan Bu Narti yang sejak tadi sibuk menenangkan Aleta bisa bernapas lega.Aleta pun menoleh ke arah papanya yang tergopoh-gopoh menghampirinya. "Papa dari mana?" tanya Aleta saat sudah berada dalam gendongan Arfan. "Kenapa pas Aleta bangun cuma ada Mama? Papa ke mana? Papa bilang enggak akan ke luar negeri lagi? Aleta takut ditinggal Papa ke luar negeri lagi.""Enggak, Sayang. Enggak. Enggak akan. Papa tadi cuma ada perlu aja di luar. Aleta e
Telapak kaki Alya serasa tidak berpijak di bumi saat pintu UGD itu ditutup. Ingin rasanya ia berlari menerobos pintu tersebut. Namun, kenyataannya semua itu tidak mungkin. Yang Alya bisa hanya berdiri menatap kedua daun pintu yang kini telah tertutup rapat di depannya."Aleta ...." Alya terus meratap memanggil nama putrinya. Ia tidak sanggup membiarkan Aleta masuk ke dalam ruangan dingin itu sendirian. Hatinya hancur. Apalagi mengetahui kondisi Aleta tidak sadarkan diri."Tuhan, biarkan aku saja yang menggantikan putriku, aku mohon ...." Tubuh Alya akhirnya ambruk. Ia bersimpuh di lantai. Berkali-kali ia pukul dadanya yang terasa begitu sesak. Bahkan untuk bernapas pun rasanya begitu sulit.Aleta adalah satu-satunya alasan Alya bertahan hidup sampai detik ini. Wanita dengan hidung Bangir itu tidak bisa membayangkan jika akhirnya ia juga harus melepas Aleta seperti dulu ia harus melepas Arfan. Mungkin kalo ini Alya akan pergi bersama Aleta, bagaimanapun caranya."Aleta ...." Ratapan Al
"Gimana Aleta, Fan? Kenapa dari pagi Mama telpon kamu enggak diangkat-angkat?" cerocos Bu Fania begitu Arfan mengangkat teleponnya.Arfan yang sudah sangat lelah menyandarkan kepalanya di kursi tunggu. Ia sedang menunggu proses pengambilan darah untuk Aleta di PMI. "Arfan sibuk, Ma," jawab Arfan sembari membuang napas."Sibuk? Bukannya kamu lagi di rumah Alya? Tadi Mama sama Papa ke rumah kamu. Meira bilang kamu udah ke rumah Alya dari subuh.""Aleta masuk rumah sakit ...."Belum juga Arfan selesai bicara, Bu Fania langsung memotongnya. "Apa? Gimana bisa? Gimana kondisinya sekarang?""Tadi pas berangkat dia pingsan, tapi sekarang udah siuman. Ma, tolong Mama doain Aleta, ya! Arfan ... takut ...." Arfan tak mampu melanjutkan perkataannya. Tenggorokannya tiba-tiba seperti tercekik saat hendak bicara."Di rumah sakit mana kalian? Mama ke situ sekarang. Mama harus bicara sama Alya. Mama enggak rela keselamatan cucu mama disepelekan seperti itu. Gimanapun caranya kalian harus punya anak la
Kedua bibir Bu Fania terbuka begitu mendengar perkataan Naya, tetapi wanita itu tidak mampu berkata-kata. Ia cukup terkejut mendengar perkataan dari kakak perempuan Prima itu.Wanita yang selama ini begitu angkuh itu pikir, Alya masih belum mendapatkan pengganti putranya. Ia pikir, akan sulit bagi Alya menemukan laki-laki yang mau menerimanya. Apalagi Alya janda dan berasal dari keluarga tidak punya. Namun, ternyata dugaan Bu Fania itu salah."Bisakah kita bicara di luar?" tanya Naya. Wanita dengan hijab biru laut itu tidak ingin Aleta mendengar pembicaraan mereka. Naya yang sudah mendengar semua dari Prima ingin berbicara langsung dengan Bu Fania dan juga Arfan.Sebelah alis Bu Fania terangkat. "Haruskah?""Ya, banyak hal yang ingin saya sampaikan," jawab Naya dengan lugas."O," sahut Bu Fania sembari memutar bola matanya kemudian mengangguk dengan angkuh. Ia tidak menyangka kalau di sini akan berhadapan dengan perempuan tegas seperti Naya. Wanita yang menenteng tas tangan berwarna m
"Aleta akan segera menjalani kemoterapi," jawab Alya tanpa menoleh ke arah Bu Fania."Kamu tega?" hardik Bu Fania."Aleta pasti kuat. Iya, kan, Sayang?" tanya Alya sembari mengelus kepala putrinya dengan menahan sesak di dada. Ibu mana yang tega anaknya menjalani proses pengobatan mengerikan itu. Akan tetapi, hanya itu pilihan yang ada saat ini. "Aleta pasti akan sembuh. Iya, kan, Sayang?"Aleta mengangguk. "Iya, Ma. Aleta kalau pulang dari sini mau ngenalin Papa ke teman-teman di sekolah. Biar mereka enggak ngata-ngatain Aleta enggak punya Papa lagi."Mendengar itu Alya tidak bisa berkata-kata lagi. Dadanya kembali dipenuhi perasaan bersalah. Dalam hati, Alya kembali menyalahkan dirinya sendiri. Karena lahir dari ibu sepertinya, Aleta harus mengalami itu. Seandainya dulu ia bertahan menjadi istri Arfan bagaimanapun kesakitan menderanya, tentu Aleta tidak akan mengalami bullian seperti itu."Tentu, Sayang," sahut Arfan. Laki-laki itu mengerti kalau Alya pasti sedih, sehingga langsung
Alya menoleh. Ia menatap mantan suaminya itu dengan mata berkaca-kaca dan bibir tersenyum miris. Rasa-rasanya ia ingin menertawakan pertanyaan itu sembari menangis."Pertanyaan macam apa itu?" batin Alya pedih. Akhirnya ia menanggapi pertanyaan Arfan dengan balas bertanya. "Apa menurutmu ... kamu dan Meira memungkinkan untuk bercerai?"Kontan Arfan tidak bisa menjawab pertanyaan Alya. Ia tidak menyangka kalau wanita berbibir ranum itu akan bertanya seperti itu.Arfan diam seribu bahasa. Ia menyadari bahwa menceraikan Meira memang bukan perkara yang mudah untuk saat ini. Ia juga tidak sampai hati meminta Alya untuk menjadi istri ke dua. Karena di mata Arfan, sosok wanita seperti Alya memang tidak pantas berada di posisi itu, betapapun ia menginginkannya.Akhirnya tak satu pun kata yang terucap dari keduanya. Alya yang mengetahui jawaban Arfan tanpa laki-laki itu menjawabnya secara langsung pun, akhirnya memilih beranjak dari kursi yang permukaan terasa begitu dingin itu. Persis seperti
Malam sudah cukup larut, tetapi Bu Fania masih belum bisa tertidur juga. Berkali-kali wanita berwajah glowing itu mengganti posisi tidurnya untuk mencari posisi ternyaman. Namun, tetap saja ia gelisah dan matanya belum bisa terpejam.Penyesalan terus bergelayut dalam pikirannya. Dulu, ia pikir dengan memisahkan Arfan dengan Alya, hidup mereka akan lebih berkelas karena Arfan menikahi wanita yang selevel dengan mereka. Namun, kenyataan yang ada tidaklah demikian.Terlebih kini cucu Bu Fania satu-satunya sedang membutuhkan bantuan dari adik kandungnya. Memuncaklah penyesalan yang dirasakan wanita dengan usia lebih dari setengah abad itu.Bu Fania menghela napas berat. Dalam hati ia berandai-andai. Seandainya dulu dirinya mau menerima Alya dengan segala yang ada pada wanita itu, tentu saat ini mereka bisa hidup dengan bahagia. Arfan bahagia bersama istri yang dicintainya dan Bu Fania dengan cucu-cucunya. Namun, karena ingin terlihat sempurna justru yang terjadi ia telah menghancurkan seg