Pemuda dengan kain sorban menyampir di sebelah pundaknya itu beranjak dari sofa dan bergegas menaiki anak tangga dengan raut wajah muram. Dia adalah Sufian atau para santri menyebutnya dengan Ustaz Sufi. Sufian sangat marah ketika mendengar Abi dan Umi hendak menjodohkannya dengan seorang gadis. Selama ini ia selalu berusaha menuruti apa keinginan orangtuanya itu termasuk menjadi guru di pesantren milik Abinya padahal Sufian memiliki cita-cita sebagai seorang abdi negara. Mendapat kabar perjodohan maka ia seketika merasa terhina.
"Yan, umi perlu bicara!" Suara umi terdengar menekan sehingga Sufian yang sedang merebahkan tubuh di kasurnya segera beranjak, membuka pintu.Kini mereka duduk bersebelahan di tepi dipan, tanpa saling tatap. Masih terlihat jelas kecewa di wajah Sufian tetapi Umi tak memiliki pilihan lain selain bicara baik-baik. Umi yakin putranya tidak akan membantah apalagi membentak marah."Umi paham kondisi kamu sekarang, sangat sulit. Tapi ... coba sesekali renungkan, sekarang ini Abi sama Umi sudah gak muda lagi dan kami ingin lihat kamu bahagia dengan keluargamu sendiri, Yan," papar Umi penuh kelembutan.Sufian menunduk karena perasaannya kalah telak. Umi sudah mengeluarkan jurus membujuk dengan membawa faktor usia dan itu akan selalu membuat Sufian menyesal. Sufian memang putra bungsu di keluarga pimpinan pondok pesantren Nur Hidayah. Abinya juga pensiunan kepala sekolah SMAS Nur Hidayah.Kini, dua kakaknya sudah berumahtangga dan hidup bersama istri-istrinya dengan pekerjaan sesuai keinginan. Terkadang, Sufian iri sebab dua kakaknya diizinkan mengambil profesi yang dihendaki. Sangat berbeda dengan dirinya yang harus selalu mengikuti aturan Abi dan Umi. Bahkan, mengenai jodoh pun Sufian harus melalui tangan orangtuanya. Kurang terkekang apalagi?"Kamu sudah besar, Yan," lanjut umi menepuk bahu putranya agar situasi tak terlalu tegang."Tapi aku bisa cari calon istri sendiri, Umi. Kenapa harus dijodohkan? Aku sudah besar kan?" tanya Sufian kecewa."Umi tahu kamu sangat kecewa, tapi pilihan Abi dan Umi gak akan salah, gadis ini sangat luar biasa!" puji sang umi memulai aksi melerai putranya."Pasti gadis itu juga sempat menolak dijodohkan, kenapa pula harus dipaksa?" tanya Sufian begitu kesal tapi masih berusaha menenangkan diri agar tak membentak."Mau bagaimanapun kamu harus segera menemuinya. Umi yakin gak butuh waktu lama untuk kamu menyukai gadis itu," usul Umi."Aku harus pergi ke rumah orang tuanya, Umi?" tanya Sufian terkejut."Kamu gak perlu kemana-mana, dia sudah ada di hadapan kamu setiap hari!" ungkap Umi membuat Sufian mengerutkan dahi."Siapa?""Namanya Sifa, dia santriwati di pondok pesantren kita dan dia murid kamu di kelas 12!""Dia masih sekolah? Apa aku gak salah dengar akan dijodohkan dengan gadis yang masih labil? Bahkan mungkin usianya saja belum menginjak delapan belas, apa-apaan ini, Mi?" tanya Sufian begitu tak habis pikir.Umi mengangguk, "Usia hanyalah angka, saat kamu melihatnya maka kamu akan melihat jiwa umi ada dalam dirinya.""Malam nanti saat aku mengajar di madras, akan aku temui dia tapi jika aku gak suka maka aku gak akan menyetujui perjodohan ini.""Umi yakin kamu akan menyukainya." Umi kemudian beranjak meninggalkan Sufian sendirian.***Waktu mengaji bakda magrib telah tiba dan semua santri baik putra maupun putri bergegas memasuki madras untuk memulai pelajaran. Setiap pelajaran tajwid Ustaz Sufi maka semua santri wajib hadir dan wajib izin secara tertulis jika ada suatu hal yang menghalangi hadirnya kajian. Sufian memang terkenal tegas di kalangan santri dan dijuluki killer oleh murid di sekolah.Setelah selesai pembahasan, Sufian akan mengajukan beberapa pertanyaan. Kali itu dirinya mengacak nama santri melalui daftar absensi untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan."Sifa Nurul Azizah!" panggilnya kala pertama kali matanya menemukan nama Sifa di lembar kertas absen."Na'am, Ustaz!" Seorang gadis mengacungkan tangan dari baris paling depan.Tentu saja hati Sufian langsung menolak bahwa hadirnya gadis itu di hadapan mata pun tak begitu istimewa rasanya. Tak seperti yang Umi bicarakan. Sufian berhenti menatapnya hingga kemudian mulai mengajukan pertanyaan yang dijawab dengan cepat oleh gadis itu. Rupanya gadis itu begitu cerdas."Ada berapa santriwati dengan nama Sifa di sini?" tanya Sufian kurang percaya jika gadis barusan adalah Sifa yang dimaksud uminya."Ada empat, Ustaz!""Coba acungkan tangan untuk yang merasa namanya Sifa?" pinta Sufian.Tiga orang santriwati mengacungkan tangan mereka, sedangkan Sifa Nurul Azizah yang baru saja menjawab pertanyaan Sufian tidak juga mengacungkan tangan. Sufian tentu heran."Kamu kenapa tidak acungkan tangan? Tidak dengar saya bicara?" tanya Sufian dengan meninggikan nada bicaranya.Seorang gadis di sampingnya mencubit lengan Sifa untuk segera menyadarkan ia dari lamunannya. Sifa tersentak dan langsung ditertawakan oleh semua santri di sana."Nama kamu Sifa, benar?" tanya Sufian.Sifa mengangguk sembari menunduk malu. Pipinya mulai kelihatan memerah sebab tak biasanya dia melamun sampai membuat gurunya marah. Sifa ketakutan jika ilmunya tak berkah karena kemarahan guru."Silakan keluar dan rapikan semua sandal di luar sana. Saya tidak suka ada santri yang nyeleneh saat pelajaran sedang berlangsung!" usir Sufian.Wajah Sifa semakin merah padam. Ia segera beranjak dengan kepala tertunduk menahan malu untuk keluar dari madras karena kesalahannya. Riuh beberapa orang menyoraki dan langsung hening kembali saat Sufian meminta mereka untuk diam.Sifa menghembuskan napas pasrah di luar madrasah sembari menatap kosong sandal para santri yang berantakan. Perlahan tangannya menyentuh sandal-sandal itu untuk dirapikan sesuai perintah Ustaznya."Kamu anak salehah, kalo Bapak sama ibu jodohkan kamu setelah lulus sekolah, kamu mau, ya?""Bapak punya utang budi ke keluarga itu tapi bapak gak bisa bayar dengan uang, bapak harap kamu terima dengan ikhlas, Fa, ya?"Obrolan dengan orangtuanya mengenai perjodohan untuk balas budi terus terngiang di kepala yang membuat Sifa tak bisa fokus bahkan saat mengaji. Ia penasaran memangnya sebesar apa jasa keluarga laki-laki yang hendak dijodohkan dengannya sehingga ia harus menerima perjodohan itu? Yang lebih mengejutkan adalah saat Sifa mengetahui bahwa biaya mondok dan sekolahnya adalah ditanggung oleh keluarga calon suaminya. Lengkap sudah keterkejutan itu membuat Sifa tak bisa fokus."Kenapa kamu malah diam saja di sana?" Sufian rupanya menyusul.Sifa yang malah duduk melamun di tangga sepertinya sangat serius memikirkan ucapan orang tuanya tadi semasa pulang. Jadi, ia tak menyadari kehadiran Sufian meski sudah menegur."Sifa Nurul!""Astagfirullah, Ustaz Sufi!" Sifa beranjak cepat kemudian menunduk di hadapan gurunya itu. Dia lagi-lagi merutuki dirinya sendiri karena terus ceroboh."Saya suruh kamu apa? Kamu tidak dengar atau bagaimana?" tegur Sufian."Maafkan saya, Ustaz, tadi saya melamun, saya janji akan segera rapikan semua sandal di sini," ucap Sifa kemudian mulai berjongkok untuk merapikan sandal lagi.Sufian merasa begitu heran dengan tingkah gadis itu. Ia tidak yakin jika itu adalah gadis yang dimaksud uminya tadi. Namun, dibandingkan dengan Sifa-Sifa yang lain maka Sifa yang di hadapannya sekarang lebih mendekati kriteria yang diceritakan Umi. Entah bagaimana bisa dirinya seyakin itu membedakan."Dia memang gadis cantik, cerdas, patuh, tapi juga ceroboh!" gumam Sufian kemudian masuk kembali ke madrasah.Sifa yang terus berjongkok merapikan sandal tiba-tiba tersenyum kala tangannya menyentuh sandal swallow yang diukir tengahnya sehingga terbaca kata 'Azam' dengan jelas. Perkataan bapak dan ibunya kembali memutari pikiran Sifa karena jika ia menerima perjodohan yang dimaksud maka kisah cintanya dengan Azam si santriwan akan berakhir tragis. Padahal ia baru dua bulan bertukar surat dan merasa bahagia setiap kali tak sengaja berpapasan."Neng! Sssttt!" bisik seseorang dari balik tiang tembok madrasah.Sifa celingukan sendiri sampai akhirnya pandangan ia dan Azam bertemu. Sifa mengecek suasana sekitar dan akhirnya ia mengacungkan jempol untuk isyarat aman. Keduanya bergerak seolah sudah mahir melakukan hal tersebut. Ya, bertemu diam-diam.Azam mendekatinya dan memberikan sebuah lipatan surat. Memang, setiap ada kesempatan dua muda-mudi itu akan saling bertukar surat. Bahkan ada yang sampai balasan surat dari bulan lalu baru terkirim karena tidak ada kesempatan bertemu."Aa kok bisa di sini?" tanya Sifa berbisik."Sengaja minta izin buat ambil wudu ke belakang, lagian Aa mana bisa lihat kamu dihukum sendiri buat beresin sandal yang banyak begini," jelas Azam."Tapi kan aku berani!" ungkap Sifa dengan bangga."Aa tahu kamu pemberani, makanya Aa selalu cinta!" Senyum Azam merekah begitu bangga terhadap pujaan hatinya.Sifa ikut tersenyum mendengar itu. Hatinya berbunga-bunga dan lebih baik daripada saat diusir dari dalam. "Kalo gitu kapan Aa berani datengin Bapak di rumah?" tanya Sifa tertawa meledek."Waduh ... pertanyaannya berbobot banget ya, Neng? Nanti—""Sifa, Azam!"Mendengar suara Sufian, baik Sifa maupun Azam langsung terkejut dan salah tingkah. Oleh karena itu Azam segera mengambil sandalnya dan memasang wajah galak terhadap gadis di depannya itu. Ia berpura-pura."Kan sudah saya bilang ini sandal saya, kok gak percayaan! Pamali, Neng, dosa!" tegur Azam tiba-tiba galak."Lah kok jadi marahin saya? Saya gak peduli sama sandal kamu, yang penting saya beresin ini semua sesuai perintah Ustaz Sufi!" balas Sifa."Sifa!" ulang Ustaz Sufian agak keras."I–iya, Ustaz!" sahut gadis itu."Apa yang kalian perbuat? Azam, katanya kamu mau ambil wudu?""Itu dia, Ustaz, dia gak percaya kalo ini sandal saya! Saya gak dibolehin pake sandal sendiri!" elak Azam masih bergelut dengan alasan yang dibuat-buat."Wudu di belakang tidak perlu pakai sandal, dan kamu Sifa, ini kawasan santriwan, seharusnya kamu bereskan sandal di kawasan santriwati saja! Sudah, sekarang kamu Azam pergi wudu dan kamu Sifa masuk lagi ke madras!" titah Sufian.Kedua santri itu bergegas ke tempat yang diperintah oleh gurunya. Tanpa sadar Sifa telah melepas genggaman surat yang diberikan Azam saking gugup ketakutan. Sufian menyadari lipatan kertas yang melayang dari tangan Sifa. Ia segera mengambil, membuka, dan membaca isi surat itu."Aku yang salah, aku yang salah, Sifa ... aku yang salah!" Azam menunduk dengan kedua tangan memegangi kepala. Betapa menyesal Azam sudah berusaha mempercayakan kehidupan perempuan tercintanya kepada seorang yang ternyata justru tidak berniat sungguh-sungguh membangun rumah tangga dengan baik. Azam kira Sufian ingin menjadi panutan terbaik tapi nyatanya harapan itu tiada."Seharusnya aku ikuti apa kata hatiku dulu, Sifa, seharusnya aku berusaha keras merebutmu dari tangan Ustaz Sufi, seharusnya aku percaya pada hatiku, seharusnya begitu!" Kedua mata laki-laki itu menyorot tajam ke arah meja, tiada objek yang ia sedang pandang sebab pandangannya ialah kosong. Amarah begitu tampak di kedua bola matanya.Azam tidak ingin mendengar Sifa bicara walau sebuah pembelaan atas pernikahan yang terjadi. Perempuan itu masih ada dalam hatinya, masih menjadi belahan jiwanya, maka saat ini yang diinginkan Azam hanya mencarikan jalan keluar agar masalah yang sedang menerpa Sifa segera menemukan akhir.
Sifa menunduk selama turun dari tangga, ia sangat sadar kalau sekarang dirinya sedang dijadikan satu-satunya objek pandang bagi laki-laki bukan mahram yang sedang duduk di sofa. Tak perlu waktu lama, Sifa segera berdiri dan menatap laki-laki itu dengan berani. Sebenarnya ia terpaksa memberanikan diri.Azam ikut berdiri kala itu lantas menyerahkan sebuah amplop putih yang tak Sifa ketahui isinya. Namun, dalam benaknya langsung terpikir bahwa sepertinya ia dapat undangan pernikahan yang spesial. Ekslusif khusus untuknya seorang. "Aku tidak akan banyak bicara di sini, aku cukup tahu diri, aku juga tidak yakin kamu akan datang memenuhi undanganku itu, tapi aku harap kamu tidak terburu-buru dan melihatnya secara dengan pandangan yang baik. Jangan buang surat itu, aku mohon, sekali ini saja penuhi keinginanku walau untuk yang terakhir kalinya atau walau kamu tidak ikhlas. Sekali ini. Aku pamit sekarang, sudah terlanjur malam, istirahatlah."Ketika langkah laki-laki itu sudah memunggungi Si
Azam. Laki-laki itu mengerti akhirnya bahwa apa yang dikatakan Sufian itu bukan semata canda. Permata yang dipinjam sudah dikembalikan ialah Sifa. Sifa yang pernah menjadi permatanya dan tak disangka akan diijab kabul oleh guru sendiri. Azam hendak melangsungkan pernikahan karena keinginannya untuk melupakan Sifa. Deretan nama perempuan yang disuguhkan oleh orang tuanya di rumah membuat Azam bingung memilih karena yang dicari bukan lagi soal cantik tapi soal seberapa pandai ia membuatnya tertarik.Ketika seorang perempuan yang dikiranya akan mampu membuat hati Azam tertarik telah hadir, yang didapat justru adalah peluang untuk mendapatkan kembali versi asli dari yang diinginkan. Sifa Nurul Azizah. Sejak lama Azam dan Sifa selalu berbalas surat karena amat tertarik satu sama lain. Namun, surat yang terbalas rupanya tak menjamin akan membawa mereka ke pernikahan. Keduanya terpisah oleh perjodohan kala itu.Azam sebenarnya pernah beranikan diri meminta Sifa pada kiai, tapi belum sempat m
Abi dan Umi setuju untuk menyembunyikan status Sifa yang sebenarnya dari publik. Mereka akan berupaya bersikap seolah menganggap Sifa sebagai menantu saja terutama di hadapan para santri yang mana tak ada yang tahu kebenaran bahwa Sifa adalah putri kandung mereka. Hari itu bahkan dua kakaknya datang untuk mendengarkan apa yang ingin kiai sampaikan tentang Sifa dan masalah yang menerpa. Dua kakaknya yang semula tidak percaya pun segera bergantian memberikan kalimat penguat untuk adik kecil mereka yang di usia belia sudah menjadi perempuan yang berpisah dari suami.Rutinitas Sifa di sana kian bertambah menyesuaikan seperti ikut membantu mengajar atau membantu para pengurus membuat dan menyiapkan suatu acara jika waktu kuliahnya sedang senggang. Sifa pun kian menjadi dekat dengan Halima yang mana tak tahu soal Sufian sebab sudah lama tak juga saling berhubungan. Halima percaya saja saat Sifa mengatakan kalau suaminya melanjutkan kuliah di luar negeri karena beberapa alasan dan masih seri
"Jangan pergi, Aa ...."Umi tiba-tiba mendorong tubuh Sufian yang mendekapnya hingga tubuh pemuda itu terdorong sepenuhnya ke belakang. Ia juga menarik Sifa agar tak mendekat pada laki-laki yang sudah bukan suaminya lagi. Sufian segera berdiri mengikuti Umi yang kini memandangnya marah. Sifa berusaha menenangkan Umi untuk tidak menyakiti Sufian, meski dirinya sangat hancur karena diceraikan tapi ternyata hati Umi jauh lebih hancur melihat putrinya disakiti oleh orang yang dianggap putranya sendiri."Dia tidak seperti orang berhati!" tegas Umi begitu marah."Jangan mengutuk apapun untuknya, Umi, jangan, aku mohon ...."Syukur momen menegangkan itu berakhir segera oleh hadirnya Abi yang menarik Sufian dari para perempuan di kamar itu yang terus saja menuntut. Abi meminta Sufian untuk segera berangkat saja meninggalkan tempat itu karena jika tetap tinggal maka semuanya tak akan pernah selesai. Setelah keluar dari kediaman kiai lantas baru beberapa langkah Sufian menjauh, sebuah derap lan
Sufian melangkah lebih dahulu dengan agak tergesa-gesa, di belakangnya Sifa mengikuti dengan kepala yang menunduk tak wajar seolah sepanjang jalan yang terpenting berada di bawah. Bekas tangis di matanya masih terlihat jelas sehingga Sufian lah yang meminta perempuan itu menunduk selama perjalanan agar tak ada siapapun yang menyadari lalu beranggapan aneh. Perih sekali hatinya ketika diminta berbohong seperti itu padahal Sifa ingin berteriak menjerit mengeluarkan bahwa apa yang sesungguhnya ia terima dari sang suami itu sangat menyakitkan.Kiai dan istri sedang sarapan di meja makan, sesekali terselip canda sehingga tawa pun pecah. Saat pintu terbuka dan melihat Sufian bersama putri mereka datang dengan raut wajah tak mengenakan, Umi beranjak menghampiri mereka di ruang tengah. Pun dengan Abi, dibantu tongkatnya yang kuat, kakinya ikut dilangkahkan meninggalkan meja makan. Dilihatnya Sufian yang sudah duduk itu berdiri sejenak karena kedatangan sang kiai."Ada apa ini, Yan?" Kiai men