Gadis berjilbab biru denim itu melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 04.00 sore. Sufian belum juga pulang setelah sebagian kemarahannya terluapkan tadi. Sifa melirik ke meja, tepat secangkir kopi yang sudah dingin beserta cemilan gorengan yang ia sengaja sediakan sejak empat jam yang lalu. Ia tahu kesalahannya dan hendak meminta maaf saat Sufian kembali, tapi lelaki itu justru pergi lama sekali sampai membuat dirinya nekat menelepon ke nomor Sufian.Untuk pertama kalinya ia berani menelepon Sufian, tangannya yang memegangi ponsel terasa gemetar serta berkeringat dingin. Gadis itu berjalan mondar mandir menunggu teleponnya dijawab, tetapi tidak juga. Hingga tiga panggilan ia langsungkan tapi tetap saja hasilnya nihil.Sifa lantas duduk dengan tidak nyaman di sofa, memandangi secangkir kopi yang membuatnya ingin berteriak memaki diri sendiri. Sifa tak percaya sudah melakukan kesalahan yang membuat suaminya pergi dari rumah dengan kondisi amarah yang tinggi."Apa aku telepon u
Sufian masih memiliki satu ruangan yang tampaknya tidak masuk akal jika Sifa berada di sana. Meski begitu ia segera memeriksa dan seolah yakin jika Sifa bisa saja bersembunyi di garasi. Ketika pintu garasi dibuka, Sufian merasa sedikit lega bercampur marah. Gadis itu tertidur di mobil bagian kemudi seolah memang merencanakan semuanya.Matanya mengerjap ketika Sufian sengaja mengarahkan cahaya senter ponsel ke wajah gadis itu. Sifa kemudian turun dengan kondisi yang lemah karena masih merasa takut atas kemarahan Sufian serta nyawa yang belum sepenuhnya berkumpul."Kenapa kamu tinggal di sini?" Maksud Sufian ialah mengapa Sifa tinggal di garasi."Karena aku ikut Ustaz, tentu saja. Apa aku harus pulang ke rumah ibu setelah Ustaz memutuskan untuk mentalak aku karena kesalahan tadi itu?" Sifa merasa kantuknya sekejap hilang."Aku tanya sekali lagi, kenapa kamu malah tidur di mobil sini? Kamu tahu, aku cari kemana-mana dan kenapa HP ini kamu tinggal di dapur? Kenapa kamu nggak tidur di kama
Langkah kaki seorang laki-laki yang baru saja pulang dari masjid tergesa-gesa memasuki rumah. Hari ini Sufian akan pergi mengajar sangat pagi karena akan ada tamu yang menyebabkan semua guru di sekolah SMA Al Hidayah wajib hadir semua mengikuti upacara. Masih mengenakan setelan sarung dan baju muslimnya, Sufian menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Sejauh ini hubungannya dengan Sifa memang seperti dua orang asing yang hidup dalam satu atap. Matanya menyipit karena kotak bekal makanan yang sudah tersedia di meja. Sufian membuka kotak itu dan tersenyum melihat isinya. Ada dua potong roti lapis dan sekotak minuman yang dirinya sangat minati. Sufian menengokkan kepala ke arah pintu kamar Sifa kemudian menggeleng pelan sembari tak bisa berhenti tersenyum. Hatinya terasa bahagia dengan ulah gadis itu pagi ini."Tumben dia nyiapin sarapan dan bekal," gumamnya lalu bergegas masuk kamar untuk bersiap. Pintu kamar Sufian terbuka bersamaan dengan pintu kamar Sifa. Dua orang itu keluar bersama
"Aku ... aku baru selesai mondok dan sekarang masih bingung mau lanjut kemana." Jawaban Sifa membuat kedua temannya membulatkan mata."Sepintar gini kamu bingung arah tujuan masa depan kamu, Fa? Ya ampun gak mungkin!" bantah Cia."Gimana kalau ikut kerja aja sama aku, kita ngekos bareng deh biar bayarannya irit karena jadi bertiga!" Ratih tertawa jail saat mengatakan itu.Sifa menyimpulkan senyum yang sulit sekali karena sudah menutupi kenyataan dirinya sudah menjadi istri orang. Sifa merasa tidak percaya diri jika harus jujur soal pernikahannya karena sampai saat ini pun dirinya belum merasakan manisnya ibadah dalam rumah tangga."Saranku ini ya, Fa, kamu bisa ambil kuliah tahun depan aja dan sekarang nyari dulu pengalaman yang banyak soalnya mumpung kita masih muda. Lagian mau apa lagi kalau nggak kerja?""Hm ... kamu sekarang tinggal di mana, Fa? Masih tinggal di pondok ya? Ngabdi gitu sama guru? Eh bentar kamu mondok di pesantren mana?" Runtutan pertanyaan itu bersumber dari Cia.
"Sudah cukup, aku mohon sudah cukup!" pinta Halima dengan tangan terangkat meminta laki-laki di hadapannya berhenti bicara. "Aku pikir kamu butuh Sifa sekarang, pulanglah atau setidaknya aku minta maaf, tolong pergi dari sini," pinta Halima dengan kedua tangan saling menangkup menandakan permohonan.Sufian merasa tersinggung dengan perlakuan yang diterimanya sehingga buru-buru beranjak dan pergi dari tempat tersebut. Ia tidak punya tujuan kemana akan pergi bahkan setelah melesat mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Ia sungguh prustrasi sekarang.Di rumah, Sifa sudah selesai menyiapkan makanan dan juga bersih-bersih rumah. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan hampir magrib, tapi ketika melihat ke luar jendela tidak tampak tanda-tanda Sufian pulang. Hatinya menjadi cemas tak kira sebab ia lagi-lagi tidak tahu kemana Sufian pergi. Kali ini ia menghubungi Sufian dengan perasaan takut yang besar."Halo?"Jantung Sifa berdegup tak santai. Gemuruhnya terasa sangat be
Sufian berjalan dipapah oleh Sifa memasuki rumah mereka. Pak Maman sudah pamit pulang karena ada urusan dan karena Sifa berhasil meyakinkan jika ia bisa mengurus Sufian sendirian. Setelah duduk di sofa, laki-laki itu meminta air minum karena kehausan."Nah, minumnya!" Sifa memberikan sebotol air mineral yang sempat dibelinya tadi."Bukain dong kan aku masih sakit," rengek Sufian mendadak manja."Yang sakit kan kaki, emangnya Ustaz selama ini apa-apa pake kaki?" Sifa tak menghiraukan keinginan suaminya dan segera masuk kamar untuk menunaikan shalat magrib.Dengan perasaan sedikit lebih baik, Sufian tersenyum melihat botol di tangannya. Hatinya menjadi seperti dapat keberanian untuk mengakui bahwa ia menyukai Sifa mulai sekarang. Tidak, lebih tepatnya sejak Sifa memarahinya di rumah sakit. Gadis itu marah antara menahan cemas dan cemburu yang tercampur jadi satu.Ketika gadis itu kembali keluar dari kamarnya maka Sufian mulai aksi berlaga seolah manusia paling sakit di dunia. Sufian ses
Sembari berteriak memanggil-manggil nama Sufian, Sifa juga terus mengetuk pintu kamar mandi dengan tidak santai. Jantungnya bahkan berdegup tak teratur sebab cemas yang menyerang sehabis mendengar suara debuman keras yang sumbernya dari kamar mandi."Aku gak apa-apa, Sifa!" seru laki-laki itu dari dalam."Beneran gak apa-apa? Barusan itu suara apa yang jatuh?" Sifa memekik tak percaya begitu saja."Bukan apa-apa, cuma ember penuh air yang tumpah karena kesenggol. Udah kamu tenang aja, aku bisa tangani ini sendirian!" Sifa mengembuskan napas lega, mengusap dadanya yang semula begitu sesak bahkan sulit menetralkan napas, lalu melangkah keluar untuk melanjutkan penyiapan sarapan di dapur. Gadis itu menatap nanar ke arah kompor yang lupa ia matikan sesaat akan menyusul suara dari kamar mandi. Ketika tutup panci dibuka, kepulan asap hitam dengan bau tak sedap tercium tajam ke rongga-rongga hidungnya."Ustaz Sufi pasti marah lihat masakan gosong ini," keluhnya lantas segera membersihkan se
Sufian diam cukup lama dengan pandangan terpusat pada satu objek tak bergerak sebab pikirannya terus memutar mencari solusi. Pun di sampingnya, Sifa juga ikut larut dalam situasi saling diam karena dirinya juga bingung harus menyertakan alasan apa lagi sedangkan Sufian sudah melarangnya berhenti bicara. Dengan gerakan tangan yang perlahan, Sifa menyentuh lengan suaminya supaya berhenti melamun.Laki-laki itu menoleh hampir terkejut lalu menautkan kedua alis sebagai bentuk pertanyaan. Sifa menggeleng cemas karena rasa bersalah perlahan menyergap hati serta pikirannya. Ia merasa tidak tahu diri sudah membuat Sufian yang sedang sakit akibat kecelakaan malah semakin bertambah beban pikiran."Biar aku pikirkan lagi dulu," kata Sufian hendak mencegah Sifa untuk bicara lagi."Kali ini aku minta maaf! Aku terlalu egois, tapi Ustaz Sufi jangan bersikap begini, aku jadi gak tega lihatnya!" jawab Sifa bernada menekankan."Sifa, kalau kamu sembunyikan identitas pernikahan kita dari temen-temen ka