Share

10. Tugas Dadakan

Rastri mendongak memandangnya ketika Sam masuk ke ruang kantor yang lebih dingin dan mewah dari semua yang dilihatnya di luar. Sam menatap lukisan yang tergantung di tembok di belakang meja Pimpinan Redaksi. Sebuah lukisan Kota Lama dalam versi yang lebih indah dan bersih dari aslinya dengan langit semburat jingga sebagai latar belakang. Lukisan yang dibuat untuk memesona. 

“Ini Sam, Pak Priyono,” tukas Redaksi Pelaksana di belakang bahu Sam.

Sam mengangguk. 

“Sam. Sam. Sam,” desis Pimpinan Redaksi. Rastri menunduk dan melirik Sam yang duduk tak terpengaruh oleh karisma Pak Priyono yang memenuhi ruang itu. Pimpinan Redaksi itu tersenyum seolah maklum melihat sikap Sam yang sedikit tak acuh. 

“Kerjamu bagus, Sam. Kudengar itu. Bahkan hampir selama kau bekerja sebagai korektor, tak ada keluhan tentang kesalahan bahasa. Sekali lagi, tak ada keluhan. Entah itu karena engkau seorang atau hasil kerja redaksi bahasa sebagai sebuah tim makin sempurna—aku tidak tahu. Yang jelas, sejak kau berada di seksi itu aku melihat kemajuan.” Sam mendongak, mencoba menangkap wajah yang menyatakan pujian kepadanya.

Biasanya pujian datang bersama teguran atau celaan yang sering lebih menyakitkan. Dan Sam nyaris tersenyum waktu wajah yang baru mengatakan pujian itu kini sedikit mengeras. 

“Tapi kamu tak bisa seenaknya mengobrak-abrik aturan, Sam.”

“Jika Bapak ingin memecatku, katakan saja. Saya tidak suka dipermainkan secara verbal.” Suasana cair itu memepat dengan emosi tertahan. 

Redaksi Pelaksana menukas cepat, “Kau bisa bersikap lebih baik dari itu, kan, Sam?”

Sam tersenyum. Rastri melengos waktu melihat kilasan tajam di mata Sam. Pegawai baru ini memang gila. Dan kegilaannya tak bisa lagi ditolerir. Rastri akan menerima saja dimaki-maki habis-habisan sebelum dipecat. Ia memang salah. Dan konsekwensi itu telah dipikirkannya. Tapi ternyata Sam menerimanya dengan sangat berbeda. 

“Saya baru saja diserang oleh Manto, yang notabene karyawan kesayangan penerbitan ini. Kemudian saya harus ke sini menghadap Bapak untuk dipuji dan kemudian dicela dan mungkin dipecat. Saya memilih untuk menerima keputusannya secepatnya. Jika saya akan dipecat, pecatlah. Jika saya dibiarkan bekerja lagi dan meneruskan prestasi saya agar tidak ada lagi kesalahan bahasa di koran ini, maka biarkan saya bekerja.”

Rastri nyaris tersedak mendengar kata-kata Sam. Kurang ajar! Tak tahu aturan! Tidakkah ia tahu Pak Priyono adalah pimpinan favorit mereka semua? Si Botak Redaksi Pelaksana—wajahnya memerah sampai ke botak-botaknya—nyaris saja menghantam Sam dari belakang, jika Pak Priyono tidak mengangkat sebelah tangannya dan tertawa.

“Wow, wow, wow! Hahahaha. Sam! Hahaha. Luar biasa! Kau bilang kau baru saja diserang Manto?”

“Ya, Pak!” Si Botak yang menyahut. Ruang yang dingin dan kedap dan nyaman ini membuat siapa saja yang berada di dalamnya tak memedulikan kejadian di luar—kecuali tirai tebal di jendela kaca itu dibuka. “Kelihatannya dia mabuk dan menyerang Sam, karena naskahnyalah yang disingkirkan Sam untuk memuat naskah vampir Rastri.”

“Bagaimana seorang wartawan mabuk bisa hadir di ruang redaksi dan membuat keributan? Sekali lagi, itu hal yang tak bisa dimaafkan. Apakah keamanan perusahaan tidak mengetahuinya?”

“Ini Manto, Pak.”

“Yah, itu Manto. Seperti kata Sam, anak kesayangan perusahaan. Hmh,” bisik Pak Priyo tersenyum pahit. Lalu ia menatap Sam, menggeleng-geleng, dan senyumnya kembali mengembang, katanya, “Gue suka gaya loe.” Sam tersenyum. Redaksi Pelaksana terbahak. Rastri bergabung dalam kor tawa yang seru. 

“Ya, betul. Gue suka gaya lo!” Pak Priyono berangsur-angsur menghentikan tawanya, lalu dengan suara lembutnya ia kembali meneruskan, “Terus terang, jika menuruti hawa nafsu aku akan memecat kalian berdua. Mengapa? Karena kalian telah melakukan suatu pelanggaran atas tradisi yang jelas-jelas telah disepakati dalam penerbitan ini.

Kita bukan harian klenik. Kita bukan Metropolitan Baru. Ingat itu! Kita tidak memberitakan segala macam isu dan rumor ataupun mitos yang beredar tanpa fakta nyata. Kalian adalah contoh buruk bagi rekan-rekan kalian. 

Tapi aku menyadari kota ini belum sepenuhnya pulih dari ancaman vampir. Ketika pikiran untuk memecat kalian menguat dalam benakku tadi pagi, Kapolda justru menelpon dan mengucapkan terimakasih khusus kepada koran ini karena telah lebih dulu memberitakan kehadiran vampir kembali di kota ini. Dan beliau bahkan menghimbau agar sejak saat ini pemberitaan tentang vampir agar dijadikan fokus—untuk semua media pemberitaan lokal—agar masyarakat segera melakukan antisipasi yang memadai. 

Kita semua tak ingin kota ini kembali didera wabah vampir seperti dua tahun lalu. Bayangkan—kita, yang notabene tak memfokuskan pada berita-berita vampir seperti Metropolitan Baru, justru mendahului Metropolitan Baru dalam melansir adanya vampir di kota ini dan ini dikuatkan oleh sinyalemen Kapolda.

Kalian berdua, Rastri dan Sam, patut mendapat cercaan yang paling sengit dariku karena merusak bangunan kokoh aturan yang telah kita sepakati, tetapi di lain pihak kalian, Rastri dan Sam, mendapat pujian setinggi-tingginya karena telah melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh penyampai berita sejati.”

“Jadi benar vampir kembali lagi?” potong Sam.

“Benar. Tapi kita berharap kita belum terlambat untuk menghentikan laju vampir. Nah, Rastri, Sam, kini kau mendapat dukunganku untuk mengejar seluruh fakta tentang keberadaan vampir di kota ini. Sekali lagi, seluruh fakta.

Selamat kepada kalian atas kemenangan naluri sejati kalian sebagai pemburu berita.

Selamat bekerja!”  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status