Share

2. ANCAMAN SEORANG SEAN

VELIN memarkir motornya di depan toko bunga. Setelahnya, masuk ke dalam untuk meletakkan keranjang bunga.

Dengkusan kasar terdengar jelas keluar dari bibirnya. Ia sangat kesal mengingat kejadian mengesalkan yang menimpanya tadi. Bahkan ia menyesal karena bertemu dengan 2 makhluk aneh yang memiliki ikatan darah murni itu.

"Cih ... abang dan adik sama saja, sama-sama mengesalkan. Mereka benar-benar ditakdirkan menjadi saudara." Velin menggerutu seraya mengentakkan kakinya ke lantai.

"Dasar manusia aneh. Dia bilang apa? Kangen sama bibir seksinya? Hah? Yang benar saja. Yang ada di otak sekarang ini, aku ingin menendangnya hingga ke Kutub Utara, sampai ia lupa jalan pulang." Velin masih setia menggerutu bahkan tidak menyadari jika seorang lelaki yang berdiri tidak jauh darinya sedang memperhatikannya dengan saksama.

"Aku sumpahi enggak bakalan nemu perempuan yang cocok seumur hidup." Velin masih menggerutu. Dan lelaki yang sedari tadi berdiri tidak jauh darinya mendekat.

"Kalau kamu terus menggerutu seperti itu, mungkin kamu bakalan tua sebelum waktunya."

Velin mengalihkan atensinya saat suara bariton menyapa rungunya.

"Mas Gafa enggak tahu saja sih gimana ribetnya pelanggan hari ini. Belum lagi ketemu sama orang berengsek yang sotoi minta dijitak kepalanya." Dengan nada sewot Velin sedikit curhat.

Laki-laki bernama Gafa itu tersenyum mendengar penuturan Velin. "Emang siapa yang berengsek? Mantan pacar?" goda Gafa. Lelaki itu lebih tertarik soal ketemu orang berengsek dari pada yang lain.

Velin mengerucut bibirnya. Kakinya ia entak beberapa kali ke lantai. "Aish ... Mas Gafa jahat banget, sih. Gimana punya mantan pacar kalau pacaran saja belum pernah." Velin kesal bukan main.

"Cantik begini kok belum pernah pacaran? Kok Mas enggak percaya, ya." Gafa menelisik wajah Velin dengan sangat saksama. "Enggak nemu kekurangan sama sekali," tukas Gafa lagi.

Velin semakin kesal. Kalimat Gafa benar-benar membuat mood-nya semakin kacau. Jika saja ia secantik yang dipikirkan Gafa mungkin dulu ia bakalan jadi kekasihnya Arga. Tapi nyatanya?

"Mas Gafa sebenarnya niat menghibur apa mengejek, sih? Aku kesal sama Mas Gafa." Velin menampilkan wajah tidak sukanya pada Gafa.

Ayolah, pembahasan awalnya bukan soal pacar, tapi soal seseorang yang berengsek.

"Maaf. Mas bukan maksud mengejek kok. Maaf, ya ...." Gafa mengacak rambut Velin dengan lembut. Spontan membuat Velin mengangguk.

Velin tidak pernah bisa marah terlalu lama kepada Gafa. Apalagi jika Gafa sudah mengusap rambutnya begitu lembut seperti tadi. Bagi Velin, usapan lembut itu seperti sebuah semangat baru dan seperti ungkapan cinta dalam diam. Velin sangat menyukai itu!

Sayangnya, Velin tidak bisa memiliki seseorang yang memperlakukannya dengan begitu lembut itu. Semua karyawan di toko bunga itu juga tahu jika Gafa sudah memiliki kekasih. Dan kekasih Gafa itu adalah Miska yang merupakan pemilik toko bunga tempat mereka bekerja.

Sakit? Tentu saja! Setiap hari Velin harus bertemu dengan Gafa dan Miska. Dan terkadang ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat Gafa dan Miska bercumbu di sembarangan tempat.

Luar biasa bukan?

"Vel, nanti malam temani Mas, ya." Velin sedikit tersentak saat suara Gafa kembali terdengar. Ia sempat melamun beberapa saat dan lamunannya itu lumayan melayang jauh.

"Ke mana?" Velin mendudukkan dirinya di bangku kosong. Tangannya sibuk mengikat rambutnya yang sempat berantakan karena ulah tangan Gafa.

"Ketemu sepupu Mas di kafe dekat sini," sahut Gafa. Ia kembali mengacak rambut Velin yang sudah rapi hingga kembali berantakan lagi.

Velin menatap Gafa horor. Ia lagi-lagi merapikan rambutnya. "Kenapa enggak minta ditemani sama Mbak Miska?" tanya Velin heran. Jelas heran, kekasih Gafa adalah Miska. Kenapa dirinya yang harus menemani Gafa?

Bukankah jika seperti itu, perasaan cinta seorang Velin kepada Gafa akan semakin tumbuh besar.

"Miska enggak bisa. Lagian Mas sudah minta izin kok sama Miska, dan dia setuju saja selagi itu sama kamu." Gafa menjelaskan. Ia memosisikan dirinya di samping Velin.

Velin mendengkus pasrah. "Oke. Jam berapa?"

"Jam tujuh tepat." Gafa tersenyum. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan lalu per sekian detik ia mengecup pipi Velin.

Velin mematung. Wajahnya mendadak memerah layaknya tomat dan jantungnya bahkan seperti berlomba dengan aliran darahnya.

Gafa membuatnya semakin jatuh dalam perangkap yang disebut cinta.

——

Velin mondar-mandir tidak menentu. Kadang duduk kadang berdiri. Kadang membuka pintu lalu menutup lagi. Bahkan Mili sampai pusing melihat tingkah aneh Velin. Berulang kali Mili menegur agar Velin diam dan menunggu saja, tetapi dasar Velin si keras kepala tidak mau mendengar sama sekali.

Sebenarnya, bukan sepenuhnya kemauan Velin bertingkah seperti itu. Ia hanya terlalu resah menunggu Gafa. Gafa berjanji akan menjemputnya jam 7 malam untuk bertemu dengan sepupu Gafa. Dan anehnya, hingga jam 9 malam, Gafa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi sama sekali.

Jika seperti ini, Velin kesal kepada Gafa. Bukankah sudah ia luangkan waktu untuk malam ini? Seandainya Gafa tidak memintanya, mungkin ia sudah tidur berdamai dalam mimpi indah.

"Sudahlah. Ini sudah jam sembilan. Mungkin janji sama sepupunya itu batal." Mili memberi nasihat sepintas.

"Tidak mungkin Mbak. Jika batal, pasti Mas Gafa menelepon." Velin masih setia menunggu.

"Masalahnya, ini sudah lewat dua jam dan batang hidung Gafa itu enggak tampak sama sekali. Dia niat mau ngajak kamu atau enggak, sih?" Mili kesal. Rasanya ia ingin sekali menendang tulang kering lelaki bernama Gafa itu jika ketemu.

Velin mendengkus. Apa yang dikatakan Mili ada benarnya. Ia sudah menunggu selama 2 jam, dan sampai sekarang Gafa tidak muncul. Namun, otak kecilnya mengabaikan semua itu. Baginya Gafa tidak pernah seperti ini sebelumnya. Jika mengajak Velin keluar pasti akan selalu jadi.

Lalu malam ini?

Tidak lama kemudian ketukan terdengar di pintu membuat Velin spontan mendekat ke sana. Ia menampilkan senyum manisnya. Penantiannya tidak sia-sia. Gafa pasti datang meskipun terlambat, tapi itu tidak masalah sama sekali. Tangannya terulur membuka pintu dan matanya membulat sempurna saat orang yang berdiri di depan pintu bukalah Gafa.

"Hai, honey. Gue terharu pakai banget. Ternyata lo sangat mengharapkan kedatangan gue sampai berdandan secantik ini."

Ingin sekali Velin menimpuk kepala lelaki yang berada di depannya ini dengan apa saja. Bagaimana bisa Gafa yang ia harapkan datang malah Sean yang berdiri di depan pintu.

Tanpa menunggu lama, Velin menutup pintu tetapi Sean lebih cepat dari Velin. Ia bergerak layaknya vampir hingga tanpa Velin sadari Sean sudah berada di dalam flat mereka.

"Hai, gue Sean."

Mili yang sedang duduk seraya menatap layar televisi itu mengerutkan kening karena tiba-tiba Sean berdiri di depannya. Mengulurkan tangan dan memamerkan senyum begitu manis.

Mili salah tingkah. Ia menatap intens pada Sean yang nyatanya sangat mampu membuat siapa saja jatuh hati mendadak. Mili mengelap tangannya di baju sebelum menyambut uluran tangan Sean.

"Mili," tukas Mili sembari tersenyum. "Oh, kok kamu yang datang? Kamu sepupunya Gafa, ya?" Mili terlalu polos.

Kini giliran Sean yang mengerutkan keningnya. "Gafa? Gue enggak kenal."

Mili tersenyum kikuk. "Aku kira kamu kenal."

"Ngapain kamu ke sini?" Velin menarik tangan Sean agar menjauh dari Mili. Ia tidak ingin Sean menjadi parasit yang menggerogoti Mili nantinya.

Sean mencolek pipi Velin. "Ya Tuhan, masa lo lupa sih honey, gue 'kan ke sini mau jemput lo." Kedipan mata menggoda Sean menerpa Velin.

Bisakah Velin mengubur Sean hidup-hidup malam ini? Bagaimana bisa lelaki itu tidak berubah selama ini?

"Dari mana kamu tahu tempat tinggalku?"

Velin menghindar saat menyadari Sean hendak mencium pipinya.

"Lo enggak lupa siapa gue, 'kan?" tanya Sean. Senyum merekah indah di bibirnya.

Senyum itu menakutkan. Velin bahkan gemetaran saat ini. Aliran darahnya seolah berhenti berdetak. Jika Sean seperti ini, maka bisa di pastikan ia akan hidup dalam teror.

"Sekarang lo ikut gue keluar atau gue ngajak teman lo itu? Pilihan ada di tangan lo, sih. Kalau teman lo itu yang gua ajak, mungkin besok tinggal nama sama jasad saja yang pulang."

Velin tahu itu hanya ancaman Sean, tapi Velin tidak bisa mengabaikannya. Bukankah ancaman bisa jadi nyata jika terkesan diabaikan? Dan Velin ingin menghindari itu. Walaupun selama ini, Sean tidak pernah sampai mengakhiri nyawa seseorang.

"Baiklah." Velin pasrah.

Sean tersenyum penuh kemenangan. "Selamat datang di kehidupan Sean," bisiknya tepat di telinga Velin.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status