VELIN mendengkus berkali-kali lantaran terlalu bosan berada di tempat yang sama sekali tidak pernah ia datangi selama ini. Musik yang berdentum sangat keras membuat indra pendengarannya terasa berdengung. Belum lagi aroma alkohol yang menyengat di penciumannya. Tempat yang sangat buruk!
Beberapa orang bahkan sudah terlena akan musik yang mengentak itu. Menggoyangkan tubuh mereka ke kanan dan kiri. Berdempet atau lebih tepatnya saling menempel, lalu beraksi dengan cumbuan penuh gairah.
Sial!
Velin ingin sekali menendang Sean! Lelaki dengan tampang di atas rata-rata itu malah terlihat sangat menikmati setiap gerakan perempuan yang menjadi pasangannya di lantai dansa. Bergelayut manja di dada bidang Sean, bahkan dengan sangat jelas perempuan itu menghadiahi kecupan-kecupan kecil di dada itu.
Dan Sean tidak protes! Mana mungkin protes jika lelaki itu menikmati? Lihat saja tangan nakalnya sudah masuk ke dalam gaun merah menyala yang panjangnya hanya sebatas paha. Jika menungging sudah pasti bagian dalamnya terpampang nyata.
Namun, yang dipermasalahkan oleh Velin, kenapa Sean membawanya ke tempat ini jika pada akhirnya ia ditinggal dan Sean memilih berdansa dengan perempuan yang lebih mirip pelacur.
Bukan maksud Velin ingin berdansa dengan Sean. Dia juga ogah berdempet dengan lelaki yang menyebalkan layaknya iblis itu.
Velin hanya tidak terima dia ditinggalkan begitu saja. Tempat ini terlalu asing untuknya.
Saat Velin masih dalam taraf menggerutu dalam hati, seorang lelaki mendekat. Tampak jelas jika niatnya sungguh buruk.
"Sendirian saja, Neng?"
Velin mengalihkan atensinya pada lelaki yang baru saja berbicara padanya. Tanpa basa basi duduk di samping Velin. Terlalu dekat, bahkan Velin bisa merasakan embusan napas lelaki itu di wajahnya.
Bau alkohol!
Velin menggeserkan duduknya ke belakang. Memberi jarak! Namun, lelaki yang entah siapa namanya itu ikut bergeser, mengikis jarak dengan Velin.
"Tolong, bergeser?" Velin berucap dengan nada takut-takut.
Lelaki itu tersenyum, tampak jelas jika wajahnya penuh dengan ekspresi menggoda. Bayangkan saja lelaki itu telah terpengaruh dengan alkohol.
"Seperti ini?" Lelaki itu semakin memperkecil jarak. Bahkan dadanya hampir bersentuhan pada dada kecil Velin. Tangannya ikut merambat ke lengan halus yang terbebas dari kain.
"Apa yang kamu lakukan? Menjauh dariku!" pekik Velin. Amarah dan rasa takutnya bercampur menjadi satu. Tubuhnya mulai gemetaran karena lelaki itu sepertinya tidak akan pernah mau lepas dari Velin.
Sejenak Velin melirik kepada Sean yang masih berdansa. Dia butuh bantuan lelaki itu agar terbebas dari orang yang semakin lama semakin mendekat. Bahkan sekarang sudah mulai mengelus pahanya.
"Menyingkir dariku, berengsek!" teriak Velin sembari mendorong lelaki itu.
"Jangan jual mahal, cantik. Ah ... atau kamu mau kita menuntaskan ini di kamar? Aku tahu di mana kamar yang nyaman untuk kita," kata lelaki itu sembari mencium wajah Velin.
Namun, sialnya ciuman itu tidak mendarat di wajah Velin, melainkan di atas meja kaca di mana beberapa minuman alkohol tersusun.
"Jangan pernah sentuh milik gue!" Sean menekan leher lelaki yang hampir mencium Velin ke atas meja menggunakan kakinya. "Lo bisa mati di tangan gue!" peringatnya lagi.
Merasa sudah puas memberi ancaman kepada lelaki yang masih belum diketahui namanya itu, Sean beralih kepada Velin yang kini meringkuk di pojok dengan tubuh gemetar ketakutan.
Sean berjongkok di depan Velin, menyamakan tubuhnya dengan perempuan yang tengah terisak. Tanpa menunggu perintah dari siapa pun, Sean merengkuh tubuh mungil itu membawanya dalam pelukan hangat.
"Tenanglah! Gue di sini," ucapnya sembari mengecup pucuk kepala Velin berulang- ulang.
Velin masih terisak.
"Jangan takut!" Masih terus mengecup pucuk kepala Velin.
Isak tangis itu belum juga berhenti, meskipun Sean terus menenangkannya. Velin benar-benar takut! Takut kepada lelaki yang barusan melecehkannya dan juga takut pada Sean yang seperti orang kesetanan.
Sean benar-benar membawanya dalam masalah!
——
Tidak ada yang bersuara setelah keduanya keluar dari tempat hiburan malam itu. Sean hanya fokus menyetir sedang Velin menghadap ke jendela, memilih menatap keluar. Ia menggigit bibirnya kuat untuk meredam tangisnya.
Ia membenci Sean! Karena Sean, ia hampir saja jadi sasaran empuk seorang lelaki hidung belang. Hampir saja kehormatan yang selama ini ia jaga direnggut oleh orang asing yang entah siapa.
Sean harus dihindari!
"Vel," panggil Sean. Tangannya menyentuh rambut Velin yang berantakan. Velin tidak peduli. Menulikan pendengarannya dari segala hal yang keluar dari mulut Sean.
"Sudah sampai," kata Sean lagi. Ia segera keluar dari mobil dan memutar ke samping untuk membuka pintu agar Velin bisa segera keluar.
Sebelum Sean membuka pintu, Velin telah lebih dulu melakukannya.
"Gue antar sampai ke atas," tukas Sean.
Velin menoleh pada Sean. Menghapus sisa air matanya dan berkata, "tidak perlu!"
Terkesan sangat datar dan dingin. Bahkan Sean merasa bulu kuduknya meremang mendengar kalimat singkat itu.
"Gue enggak bisa biarin lo sendirian ke atas. Lo enggak baik-baik saja." Sean dengan gigihnya membujuk Velin agar ia antar ke flat.
"Aku benci kamu!" pekik Velin lantang. Lantas mendaratkan satu tamparan sempurna di pipi Sean.
"Karena kamu, aku hampir kehilangan apa yang selama ini aku jaga!" teriak Velin tepat di wajah Sean.
"Maaf," ucap Sean pelan. Matanya menunjukkan sorot terluka. Ia tahu, yang diucapkan Velin itu benar. Karena dirinya, perempuan manis itu hampir diperkosa oleh lelaki brengsek yang entah siapa namanya.
Dengan gerakan lembut Sean meraih Velin membawanya dalam pelukan, tapi perempuan itu dengan sekuat tenaga mendorong Sean.
"Menjauh dariku! Aku membencimu!" Tangisnya kembali pecah. Velin berlalu meninggalkan Sean yang termangu di tempatnya.
Langkah Velin semakin mengencang saat tiba di depan flat. Ia membuka pintu dan masuk begitu saja ke dalam tanpa menyalakan lampu.
Velin menutup pintu dengan kuat tanpa peduli pada penghuni lain di rumah kecil itu. Kemudian menuju kamar dan mengurung diri.
Mili yang mendengar bunyi pintu yang kuat terbangun dari tidurnya. Menatap jam beker yang terdapat di atas nakas. Jarum jam sudah menunjuk pada sepertiga malam.
"Apa itu Velin?" monolognya. Dengan pelan turun dari ranjangnya menuju pintu.
Mili berjalan sembari mengucek matanya berkali-kali. Demi Tuhan, ia masih sangat mengantuk tapi mendengar suara keras membuatnya mau tidak mau harus bangun dan mencari tahu. Ada dua kemungkinan saat ini, pertama, bisa saja itu Velin, dan yang kedua, bisa saja itu adalah maling.
Sapu sudah ada di tangan sebagai alat perlawanan jika benar itu adalah maling. Mengendap-endap menuju kamar Velin. Tangannya terulur untuk membuka knop pintu tapi terkunci. Seberapa kuat pun Mili mencoba membuka, pintu itu tidak bisa terbuka.
"Vel, kamu di dalam? Vel, itu kamu 'kan?" Mili waspada pada sekitarnya sembari terus mengetuk pintu kamar Velin.
Tidak ada sahutan. Samar-samar Mili mendengar isak tangis yang tertahan.
"Vel, buka pintu! Ada apa?" Mili mencoba membuka pintu kamar Velin namun masih sama tidak bisa terbuka.
"Jangan bikin mbak takut dong. Ada apa sih?" teriak Mili lagi.
Bunyi pintu terbuka terdengar, Velin menyembulkan kepalanya di balik pintu yang terbuka sedikit. "Aku tidak apa-apa, Mbak." Suara yang keluar terdengar serak meskipun ia telah berusaha menormalkannya.
"Kamu menangis? Ada apa?" Mili semakin penasaran. Meskipun situasi gelap, Mili yakin jika Velin tengah menangis.
"I'm fine." Lalu menutup pintu kamarnya. Velin tidak ingin menceritakan apa yang telah terjadi padanya. Ia tidak ingin Mili khawatir dan menjadi beban nantinya. Biarkan ia sendiri yang menanggung apa yang perlu ia tanggung nantinya.
"Jadi semua akan selesai seperti ini? Bahkan saat kita belum memulai sama sekali." Seira mencoba menahan tangisnya saat lelaki yang belakangan ini memorak-porandakan hatinya menghubunginya untuk pamit dari hidup Seira.Membuat kisah baru tanpa menyelesaikan kisah lama yang telah terbentuk. Seira tidak bisa memahami meskipun telah mencoba untuk mengerti. Ia tahu, Hafiz melakukan semua itu karena janji dan juga untuk melindungi banyak orang dari amukan seorang Sean. Namun, kenapa harus perasaannya yang dikorbankan?"Maaf. Ini mungkin menyakitkan, tetapi gue gak bisa mengingkari janji yang telah gue buat sendiri. Velin butuh bantuan." Suara di ujung telepon itu terdengar serak.Seira yakin, Hafiz juga terluka sama sepertinya. Lalu kenapa memilih jalan yang menyesakkan dada?"Apa lo mencintai gue?" Seira menggigit bibirnya. Demi Tuhan, jika ditanya apa ia rela, tentu jawabannya tidak. Bagaimana ia bisa rela jika perasaan yang berusaha ia sangkal selama ini muncul di pe
Hafiz menghela napas saat ponselnya yang ada di atas meja kayu berdering. Sekilas melirik dan mengusap wajahnya frustrasi lantaran yang menelepon adalah nomor yang sama sejak sejam yang lalu.Seira Varza Nasution, gadis remaja yang ia tinggalkan di Jakarta dengan luka menganga di hati.Hafiz menatap langit-langit rumahnya yang benar-benar jauh dari kata mewah. Kemudian memejamkan mata dan menggigit bibir bagian dalamnya untuk mereda rasa sesak yang beberapa hari ini terus menghantui.Cintanya!Ia telah melukai dengan sangat kejam. Tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk tetap berada di samping. Padahal dalam sebuah jalinan kasih, jarak bukan sebuah penghalang jika saling mengerti satu sama lain. Namun, Hafiz meniadakan semuanya, tanpa kabar, tanpa jejak bahkan tanpa memberi kata yang tepat untuk perpisahan.Kenapa ia sekejam itu?Demi menepati janji. Demi menolong Velin dan Sean, ia mematahkan hati Seira. Ah, bukan
Takdir memang selalu bermain di antara insan yang bernapas. Entah itu takdir baik atau pun buruk semua berjalan beriring tanpa peduli apa seseorang sanggup untuk bertahan atau tidak sama sekali. Toh, hidup akan terus berjalan meskipun tersendat dan tertatih hingga mencapai pada tujuannya.Ya, begitu hidup. Begitulah takdir!Meskipun air mata terus mengalir bahkan berubah dari bening menjadi memerah, tidak akan ada yang bisa melepaskan siapa pun dari rencana yang Tuhan tentukan untuk manusia yang ia ciptakan dari kata kesempurnaan.Sejurus, jika dilihat dalam kaca mata awam, semua adalah kesalahan yang memilih jalan untuk terseret dalam kesesatan, tapi percayalah, tidak ada yang ingin hidup dalam ambang kehancuran di mana bayangan keresahan dan ketakutan mendiami sudut hati.Ah, semua sudah tertulis saat dalam kandungan, apa pun pilihan tidak akan berubah jalan tujuan yang sudah ditentukan. Begitu juga Velin yang sudah memilih jalan hidup
"Kepergiannya adalah kematianku!" -Sean Varza Nasution****Air mata itu menjadi satu-satunya cara untuk melepaskan semua beban di dada. Meskipun nyatanya akan tetap ada luka yang menganga bahkan menciptakan luka lama yang entah kapan sembuhnya. Seira tidak dapat memahami bagaimana Tuhan menciptakan jalan hidup seorang Sean yang begitu berantakan. Kadang kala gadis manis itu menyalahkan takdir karena membiarkan Sean merasakan yang namanya penderitaan kasat mata.Berawal dari meninggalnya sang mama adalah pembuka jalan untuk air mata dan segala yang berkaitan dengan kesesakan dada yang seolah tidak mampu terkendalikan. Meskipun Seira masih terlalu muda saat itu, tetapi ia mengerti bagaimana menderitanya seorang Sean, menangis dalam diam adalah bukti dari sesaknya jiwa seorang anak lelaki yang terlalu dekat dengan perempuan yang melahirkan mereka dengan penuh cinta.Penderitaan yang ditanggung semakin menjadi kala Sean mengalami pelecehan seksual. Astaga, hidup yang terlal
Tidak ada yang tahu bagaimana orang-orang suruhan Hardan bekerja mengurus tindakan kriminal yang Sean ciptakan, termasuk Hardan sendiri. Lelaki berumur itu hanya menerima hasil kerja tanpa diberitahu bagaimana proses yang anak buahnya lakukan. Dia menerima kabar beberapa jam yang lalu jika di vila tidak ada lagi jejak Sean tertinggal, bersih total! Seandainya polisi mengusut apa pun di sana, maka mereka akan kewalahan karena vila itu bersih seperti tidak pernah ada kejadian pembunuhan.Benar-benar luar biasa. Hardan tidak menyesal menyewa orang-orang seperti mereka.Lalu bagaimana dengan Arga? Apa masih hidup atau benar-benar sudah tidak bernyawa?Jika dipikirkan lagi bagaimana Sean menancapkan pisau di perut dan leher berulang kali, maka jawabannya sudah pasti meninggal di tempat. Lantas ke mana mayat lelaki tampan itu perginya? Tubuh penuh darah Arga telah dipindahkan ke mobil dan kemudian dibawa ke tempat jauh yang jaraknya dari vila menempuh waktu sela
Setelah Sean mematikan sambungan telepon secara sepihak, Hafiz segera berlari menuju kamar mandi sekedar untuk membasuh muka. Langsung mengambil kunci mobil beserta dompet yang ada di atas nakas tanpa mengganti pakaian. Ia masih mengenakan kaos warna putih berkerah V dan juga celana training warna hitam bekas tidur.“Sandal gue mana?” Hafiz seperti orang kebingungan mencari sandal jepitnya padahal ada di dekat kakinya.Setelah menemukan apa yang dicari, Hafiz berlari menuju garasi mobil. Ia harus cepat menyusul Sean sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Dari nada suara beserta kalimat Sean tadi di telepon, Hafiz yakin kali ini tidak ada kelonggaran yang akan diberikan oleh Sean. Ini seperti tendangan final dalam permainan bola, sungguh menegangkan.“Sial, kenapa pake mogok segala!” Hafiz memukul setir mobil karena mobil tidak kunjung menyala. “Saat genting gini malah berulah.” Terpaksa Hafiz turun dari mobilnya. Satu-satunya cara adalah menghubungi Seira ag
"Ini mau ke mana, Arga?" Velin melirik kanan dan kiri, mencoba mencari tahu hendak ke mana mobil Arga menuju.Arga tidak menyahut hanya diam sembari menyeringai.Velin menghela napas kasar. Arga gila! Lelaki itu menyeretnya secara kasar dari flat bahkan saat dirinya masih baru bangun dari tidur nyenyak. Ia masih menggunakan baju tidur, belum sempat cuci muka, mandi dan juga gosok gigi. Velin tidak habis pikir apa yang lelaki di sampingnya itu pikirkan."Kita mau ke mana, Arga?" Nada suara Velin meninggi. Mencoba memberi perlawanan meskipun hanya dengan teriakan. Velin ingin sekali menjambak rambut Arga, mungkin menendang bagian bawah lelaki itu agar berhenti menyetir dan mengantarnya pulang, tetapi ia tidak ingin mengambil risiko, bisa-bisa mereka mengalami kecelakaan nanti."Liburan." Arga menyahut singkat.Netra Velin menatap tajam pada Arga. Liburan? Yang benar saja. Lelucon macam apa yang tengah mainkan oleh Arga. "Ini bukan waktunya liburan, Arga. Aku
Yang Sean tahu, Velin itu miliknya. Yang ia yakini sepanjang hidup tanpa peduli jika banyak orang di luar sana mencoba mematahkan dalil yang terlontar dari mulutnya. Selagi hatinya bahagia, kenapa harus memedulikan pendapat insan yang tidak ada sangkut-paut dalam takdirnya. Terlalu memusingkan dan bisa-bisa membuatnya menghakimi mereka dengan cara menghilangkan nyawa.Sean sangat membenci jika miliknya disentuh apalagi berniat merebut darinya."Abang mau ke mana? Periksa jiwa, ya?" Seira melemparkan pertanyaan membuat Sean menghentikan langkahnya tepat di samping sofa yang di duduki sang adik."Tahu aja lo, ya." Senyum Sean mengembang sempurna layaknya orang bodoh.Seira memutar bola matanya. "Abang benaran gila ternyata. Mana ada orang yang ketemu psikiater bahagia?""Ada. Gue pastinya." Senyum masih dipertahankan oleh Sean dari wajahnya.Ia terlalu bahagia hari ini. Alasannya sederhana, karena semalaman dia dan Velin menghabiskan waktu ber
"Pink atau putih?" Hafiz menggaruk kepala yang tidak gatal saat kebingungan memilih warna terbaik dari dua warna yang ada di depannya saat ini. Pink yang terlalu genit yang pasti sangat dibenci oleh calon kekasihnya, dan putih yang mudah kotor yang tidak ia sukai. "Pink aja kali, ya?" Kembali membuat pertanyaan untuk dirinya sendiri sembari menatap objek yang menarik perhatiannya sejak beberapa menit yang lalu. Dua benda cantik yang dipajang di etalase.Hafiz menghela napas pelan. Astaga, ia begitu bingung menentukan warna yang pantas untuk Seira kenakan. Tidak mungkin membeli kedua-duanya, sudah pasti calon kekasihnya itu akan menatapnya horor sembari berdiam diri seharian. Seira itu aneh, tapi Hafiz cinta."Aish, ini terlalu sulit," kata Hafiz sembari mengacak rambutnya frustrasi. Seandainya Siera itu cewek manis yang menyukai warna pink, maka dia tidak akan sebingung ini. "Kenapa harus pink sama putih, sih?" Kembali menghela napas dan kali ini terdengar kasar."Maaf, Mas