BAGAIMANA reunimu tadi malam? Berjalan lancar?"
Velin yang duduk di depan meja bundar beralas bantal kecil tidak menyahut sama sekali saat Mili-teman sekamarnya itu melemparkan pertanyaan tentang reuni yang ia datangi tadi malam. Velin terlalu malas untuk membahas, mengingat tentang reuni yang kembali membawanya dalam kisah luka masa lalu.
"Yak, pelan-pelan makannya. Tidak akan ada yang mengejarmu." Mili memukul kepala Velin menggunakan sendok makan. Tidak terlalu keras, tapi mampu membuat Velin melotot kepada Mili. Sedang Mili, perempuan berkacamata itu hanya tersenyum.
"Aish ... sial! Jangan menanyakan itu lagi, Mbak," pinta Velin dengan mimik memohon. Ia ingin melupakan apa pun yang berkaitan dengan reuni. Melupakan Arga, Sean dan yang lainnya.
"Kenapa? Burukkah?" Mili mengunyah sarapannya santai, tapi matanya begitu antusias kepada Velin.
Velin mengangguk.
"Wah. Apa mereka memamerkan apa yang mereka capai selama lima tahun terakhir?"
Lagi-lagi Velin mengangguk.
"Amazing." Mili terkekeh. Bukan menertawakan penderitaan Velin melainkan menertawakan kehidupan kejam yang menimpa mereka. Mili dan Velin tidak jauh berbeda. Mereka terlahir dari kehidupan yang pas-pasan. "Itu alasan kenapa aku tidak pernah mau menghadiri acara yang berkaitan dengan sekolah. Apa pun itu."
Velin mendengkus kasar. "Bukan hanya itu, Mbak, dua lelaki paling berengsek yang pernah aku kenal kembali lagi.”
"What?" Mili berteriak. Tangannya yang memegang sendok yang masih berisi nasi goreng itu menggantung di udara.
"Mereka mendatangkan bahaya masing-masing. Aish ... seharusnya aku tidak menghadiri reuni sialan itu." Velin menggulingkan tubuhnya ke lantai seperti anak kecil yang sedang protes kepada orang tuanya karena tidak dibelikan permen.
"Yak ... yak ... berhenti bertingkah seperti anak kecil. Ingat umur," protes Mili. Bibirnya tertarik membentuk segaris senyum tipis. "Cepat habiskan sarapanmu. Setelah itu berangkat kerja."
"Ya." Velin kembali membetulkan duduknya. Tanpa protes kembali mengunyah sarapannya yang tertunda meskipun dengan wajah kesal.
"Anak pintar." Mili mengacak rambut Velin. Ia gemas melihat tingkah kekanak-kanakan yang dimiliki oleh teman sekamarnya itu.
Bolehkah Mili mengawetkannya? Velin terlalu imut meskipun kadang memasang dinding kokoh pada irang asing.
Velin tidak menyahut. Ia memilih menghabiskan sarapannya dan segera berangkat kerja.
——
Velin tersenyum ramah kepada siswi berseragam SMA yang berdiri di depan pintu, mencoba memberi layanan terbaik dari toko bunga 'Beautiful Flower' tempatnya bekerja. Sehingga langganan akan semakin bertambah. Dengan begitu semakin banyak bonus menanti dirinya dan siap masuk ke saku celana. Dan jika ia mendapatkan bonus lebih, ia ingin mentraktir Mili makan sepuasnya di restoran terbaik di kota Jakarta ini.
"Gue enggak memesan bunga sama sekali. Lo mungkin salah alamat." Siswi SMA itu berucap dengan nada dingin. Jelas sekali tidak ada kesempatan memberi waktu untuk orang lain berlama-lam di depannya.
Sombong? Mungkin! Atau memang angkuh! Ah, mungkin juga sudah menjadi sifat siswi itu.
Velin mengernyit keningnya bingung. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan catatan kecil yang isinya adalah nama-nama beserta alamat tempat ia akan mengantar beberapa bunga.
"Seira Virza Nasution, 'kan?" Velin masih menatap kertas kecil itu.
Siswi SMA itu mengangguk.
"Nah, nama dan alamatnya sama. Mana mungkin salah alamat," tukas Velin. Ia menyodorkan bunga mawar merah yang terbungkus rapi kepada Seira.
Seira hanya menatap tidak tertarik pada bunga mawar cantik itu. "Gue enggak tertarik sama sekali."
Velin menghela napas pelan."Jadi?"
Siswi SMA itu menaikkan sudut bibirnya. "Setidaknya lo bisa kasih tahu ke gue siapa yang ngirim bunga itu."
Velin masih mencoba ramah meskipun hatinya mendidih melihat tingkah mengesalkan bocah SMA di depannya itu.
"Di sini tertulis, pengirimnya adalah Hafiz Altariksyah. Adik Seira bisa lihat lebih jelas di kartu yang terdapat di bunga itu." Velin menunjuk kertas yang terdapat di antara rangkaian bunga mawar.
"Buang saja. Gue enggak tertarik." Seira memutar tubuhnya. "Ah ya ... kalau dia memesan lagi dan menyuruh lo mengantar ke sini, lo enggak usah repot-repot, buang saja di tengah jalan."
Tidak lama setelah itu suara bantingan pintu mengalun terlalu buruk di telinga Velin. Ia mendengus kasar, menatap sendu pada rangkaian bunga mawar yang ditolak mentah-mentah.
"Uh ... mengerikan sekali," gerutu Velin. Dengan gontai ia kembali ke motornya yang sudah terparkir di luar pagar rumah besar itu.
Namun, langkahnya memburu saat mata tajamnya menangkap seseorang sedang memperhatikan motor matic dengan sangat saksama. Perasaan Velin semakin buruk apalagi orang yang memperhatikan motornya berpakaian sangat aneh dan pantas dicurigai.
Jaket kulit hitam, celana jeans hitam, topi hitam, masker hitam bahkan sepatu yang dikenakan pun warnanya hitam. Ya ... manusia dengan warna serba hitam. Perasaan mencurigai semakin menjadi di hati Velin.
"Yak! Kamu maling motor, ya?" teriak Velin begitu nyaring memekakkan telinga.
Orang yang diteriaki sebagai maling itu terkejut. Ia menggelengkan kepalanya, tapi Velin yang dari awal memiliki firasat buruk tidak percaya begitu saja.
"Mana ada maling mau ngaku. Kalau ngaku mah, jaksa pasti kelelahan menangani kasus itu terus menerus di pengadilan," ketus Velin.
Dan satu tendangan mendarat di tulang kering orang yang dicurigai Velin sebagai maling itu.
"Sakit, bodoh!" Leaki itu berteriak setelah tendangan mendarat padanya.
Velin mengernyitkan keningnya. Suara bariton itu terdengar tidak asing di pendengarannya sama sekali.
Dan ya ... pemilik suara itu membuka masker serta topi hitamnya. Spontan Velin mundur beberapa langkah. Otaknya kembali bekerja tidak karuan saat lelaki yang dicurigainya itu sangat ia kenal.
"Sean ...." Velin menatap gugup ke arah lelaki itu.
"Hai, kita bertemu lagi. Takdir selalu berpihak kepada lelaki tampan seperti gue." Sean maju selangkah, dan Velin mundur selangkah.
"Ngapain kamu di sini?" Velin berusaha tidak takut menghadapi Sean, walau sebenarnya dirinya sudah sangat ingin melarikan diri saat itu juga.
Sean kembali maju selangkah, dan lagi-lagi Velin mundur selangkah.
"Seharusnya gue yang nanya, kenapa lo ada di depan rumah gue?"
Velin menatap sekilas kepada Sean lalu menatap rumah besar yang ada di belakangnya. Velin rasanya ingin menenggelamkan diri di lautan karena terlalu takut berurusan dengan Sean.
Kenapa otak kecilnya sama sekali tidak bisa menyadari jika rumah itu milik keluarga Sean. Bukankah nama siswi SMA tadi memiliki kesamaan dengan nama Sean? Sean Varza Nasution dan Seira Virza Nasution.
"Lo rindu sama gue ya? Aish ... padahal kita baru ketemu tadi malam. Dan bukannya tadi malam gue yang mengantar lo pulang? Atau lo merindukan ciuman dari bibir seksi gue ini seperti tadi malam?" Sean menunjuk pada bibirnya.
Velin mendorong Sean kuat. Sean benar-benar gila! Membahas ciuman yang ia rebut dari Velin dengan paksa.
"Minggir. Aku harus mengantar bunga-bunga ini lagi." Velin meletakkan bunga milik Seira kembali ke keranjang bunga.
Namun, dengan cepat Sean meraihnya bunga itu. "Ini untuk gue saja."
Velin tidak menolak. Ia ingin segera menyudahi berurusan dengan Sean. Masih banyak hal yang lebih penting dari pada berurusan dengan manusia absurd seperti Sean.
"Nanti malam gue jemput, ya? Gue mau ngajak lo jalan. Mungkin sewa kamar juga." Sean mengedipkan matanya kepada Velin.
Velin mendecit seperti anak burung. Otak Sean perlu dibersihkan dari pikiran-pikiran mesum yang luar biasa.
"Jangan menolak!" teriak Sean ketika motor Velin meninggalkan halaman rumah besar milik keluarganya.
Sean tersenyum tipis. Ia mencium bunga mawar itu. Kemudian membuang kartu yang ada. Dengan santai masuk ke dalam rumah besar dan siap menghadapi kenyataan baru.
"Ah, Velin." Sudut bibirnya naik membentuk seringai mematikan.
"Jadi semua akan selesai seperti ini? Bahkan saat kita belum memulai sama sekali." Seira mencoba menahan tangisnya saat lelaki yang belakangan ini memorak-porandakan hatinya menghubunginya untuk pamit dari hidup Seira.Membuat kisah baru tanpa menyelesaikan kisah lama yang telah terbentuk. Seira tidak bisa memahami meskipun telah mencoba untuk mengerti. Ia tahu, Hafiz melakukan semua itu karena janji dan juga untuk melindungi banyak orang dari amukan seorang Sean. Namun, kenapa harus perasaannya yang dikorbankan?"Maaf. Ini mungkin menyakitkan, tetapi gue gak bisa mengingkari janji yang telah gue buat sendiri. Velin butuh bantuan." Suara di ujung telepon itu terdengar serak.Seira yakin, Hafiz juga terluka sama sepertinya. Lalu kenapa memilih jalan yang menyesakkan dada?"Apa lo mencintai gue?" Seira menggigit bibirnya. Demi Tuhan, jika ditanya apa ia rela, tentu jawabannya tidak. Bagaimana ia bisa rela jika perasaan yang berusaha ia sangkal selama ini muncul di pe
Hafiz menghela napas saat ponselnya yang ada di atas meja kayu berdering. Sekilas melirik dan mengusap wajahnya frustrasi lantaran yang menelepon adalah nomor yang sama sejak sejam yang lalu.Seira Varza Nasution, gadis remaja yang ia tinggalkan di Jakarta dengan luka menganga di hati.Hafiz menatap langit-langit rumahnya yang benar-benar jauh dari kata mewah. Kemudian memejamkan mata dan menggigit bibir bagian dalamnya untuk mereda rasa sesak yang beberapa hari ini terus menghantui.Cintanya!Ia telah melukai dengan sangat kejam. Tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk tetap berada di samping. Padahal dalam sebuah jalinan kasih, jarak bukan sebuah penghalang jika saling mengerti satu sama lain. Namun, Hafiz meniadakan semuanya, tanpa kabar, tanpa jejak bahkan tanpa memberi kata yang tepat untuk perpisahan.Kenapa ia sekejam itu?Demi menepati janji. Demi menolong Velin dan Sean, ia mematahkan hati Seira. Ah, bukan
Takdir memang selalu bermain di antara insan yang bernapas. Entah itu takdir baik atau pun buruk semua berjalan beriring tanpa peduli apa seseorang sanggup untuk bertahan atau tidak sama sekali. Toh, hidup akan terus berjalan meskipun tersendat dan tertatih hingga mencapai pada tujuannya.Ya, begitu hidup. Begitulah takdir!Meskipun air mata terus mengalir bahkan berubah dari bening menjadi memerah, tidak akan ada yang bisa melepaskan siapa pun dari rencana yang Tuhan tentukan untuk manusia yang ia ciptakan dari kata kesempurnaan.Sejurus, jika dilihat dalam kaca mata awam, semua adalah kesalahan yang memilih jalan untuk terseret dalam kesesatan, tapi percayalah, tidak ada yang ingin hidup dalam ambang kehancuran di mana bayangan keresahan dan ketakutan mendiami sudut hati.Ah, semua sudah tertulis saat dalam kandungan, apa pun pilihan tidak akan berubah jalan tujuan yang sudah ditentukan. Begitu juga Velin yang sudah memilih jalan hidup
"Kepergiannya adalah kematianku!" -Sean Varza Nasution****Air mata itu menjadi satu-satunya cara untuk melepaskan semua beban di dada. Meskipun nyatanya akan tetap ada luka yang menganga bahkan menciptakan luka lama yang entah kapan sembuhnya. Seira tidak dapat memahami bagaimana Tuhan menciptakan jalan hidup seorang Sean yang begitu berantakan. Kadang kala gadis manis itu menyalahkan takdir karena membiarkan Sean merasakan yang namanya penderitaan kasat mata.Berawal dari meninggalnya sang mama adalah pembuka jalan untuk air mata dan segala yang berkaitan dengan kesesakan dada yang seolah tidak mampu terkendalikan. Meskipun Seira masih terlalu muda saat itu, tetapi ia mengerti bagaimana menderitanya seorang Sean, menangis dalam diam adalah bukti dari sesaknya jiwa seorang anak lelaki yang terlalu dekat dengan perempuan yang melahirkan mereka dengan penuh cinta.Penderitaan yang ditanggung semakin menjadi kala Sean mengalami pelecehan seksual. Astaga, hidup yang terlal
Tidak ada yang tahu bagaimana orang-orang suruhan Hardan bekerja mengurus tindakan kriminal yang Sean ciptakan, termasuk Hardan sendiri. Lelaki berumur itu hanya menerima hasil kerja tanpa diberitahu bagaimana proses yang anak buahnya lakukan. Dia menerima kabar beberapa jam yang lalu jika di vila tidak ada lagi jejak Sean tertinggal, bersih total! Seandainya polisi mengusut apa pun di sana, maka mereka akan kewalahan karena vila itu bersih seperti tidak pernah ada kejadian pembunuhan.Benar-benar luar biasa. Hardan tidak menyesal menyewa orang-orang seperti mereka.Lalu bagaimana dengan Arga? Apa masih hidup atau benar-benar sudah tidak bernyawa?Jika dipikirkan lagi bagaimana Sean menancapkan pisau di perut dan leher berulang kali, maka jawabannya sudah pasti meninggal di tempat. Lantas ke mana mayat lelaki tampan itu perginya? Tubuh penuh darah Arga telah dipindahkan ke mobil dan kemudian dibawa ke tempat jauh yang jaraknya dari vila menempuh waktu sela
Setelah Sean mematikan sambungan telepon secara sepihak, Hafiz segera berlari menuju kamar mandi sekedar untuk membasuh muka. Langsung mengambil kunci mobil beserta dompet yang ada di atas nakas tanpa mengganti pakaian. Ia masih mengenakan kaos warna putih berkerah V dan juga celana training warna hitam bekas tidur.“Sandal gue mana?” Hafiz seperti orang kebingungan mencari sandal jepitnya padahal ada di dekat kakinya.Setelah menemukan apa yang dicari, Hafiz berlari menuju garasi mobil. Ia harus cepat menyusul Sean sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Dari nada suara beserta kalimat Sean tadi di telepon, Hafiz yakin kali ini tidak ada kelonggaran yang akan diberikan oleh Sean. Ini seperti tendangan final dalam permainan bola, sungguh menegangkan.“Sial, kenapa pake mogok segala!” Hafiz memukul setir mobil karena mobil tidak kunjung menyala. “Saat genting gini malah berulah.” Terpaksa Hafiz turun dari mobilnya. Satu-satunya cara adalah menghubungi Seira ag