Home / Romansa / VELIN-SEAN (INDONESIA) / 4. MEMORI KEPAHITAN

Share

4. MEMORI KEPAHITAN

Author: Ayne Kim
last update Last Updated: 2021-03-01 12:32:14

VELIN mengerjap pelan saat bias cahaya matahari masuk ke dalam kamar dan mendera di penglihatannya. Sudah terlalu pagi! Velin meregangkan otot kakunya, ternyata tidur dengan posisi duduk menekuk membuat seluruh tulang dan sarafnya kaku.

Sejenak, ia berjalan ke depan cermin panjang yang berdiri tegak di dekat lemari. Menatap wajahnya yang sungguh tidak baik-baik saja. Daripada disebut manusia, Velin malah lebih pantas disebut sebagai Zombi! Wajah sembab dengan mata bengkak akibat menangis semalam. Rambut yang berantakan karena Velin terus menjambak tanpa henti ketika emosinya meluap mengingat Sean.

Semua karena Sean! Lelaki itu benar-benar lebih mirip Iblis daripada manusia.

Dari dulu, Sean adalah masalah yang tidak mampu Velin atasi dari hidupnya. Sekuat apa pun ia menyingkirkan lelaki itu, sialnya ... Sean tetap berdiri kokoh di depannya.

Entah alasan apa yang membuat Sean begitu semangat mengganggu dirinya?

Suka? Tidak mungkin! Jika Sean menyukainya, lelaki itu tidak mungkin menyakitinya.

Masih jelas di ingatannya kejadian saat masih SMA dulu, saat Sean dengan sengaja mengguyurnya menggunakan air yang dicampur adonan telur. Kemudian menyeret paksa ke gudang dan mengurung  semalaman. Bayangkan bagaimana mentalnya saat itu.

Minta maaf? Jelas tidak!

Sean malah dengan bangganya menyebar foto Velin yang seperti anak kucing jatuh di got. Bahkan saat satpam sekolah menemukan Velin esoknya dalam keadaan pingsan, Sean sama sekali tidak merasa bersalah.

Apa lelaki itu pantas disebut manusia?

Bukan hanya itu yang dilakukan Sean padanya. Masih banyak lagi! Dan Velin tidak ingin mengingat akan itu, karena terlalu banyak kepahitan di dalamnya.

Velin kira semuanya akan baik-baik saja setelah lulus dari SMA. Kehidupan yang normal kembali, tanpa ketakutan, tanpa penindasan dan tanpa air mata. Namun, nyatanya itu hanya berlaku sementara. Sepertinya, takdir buruk masih terlalu nyaman berada di garis sisinya.

Seharusnya, Velin tidak perlu menghadiri reuni itu, sehingga ia tidak perlu bertemu dengan luka masa lalu. Seharusnya! Sialnya, semua sudah terlanjur, dan Velin menyesal akan itu.

Pertemuannya kembali dengan Sean setalah 5 tahun membuka luka lama dan membentuk luka baru yang jauh lebih mengerikan dan perih. Lelaki itu jelas seorang iblis! Reuni itu petaka!

Bagaimana tidak? Di malam reuni itu, Sean memaksa Velin pulang bersamanya tanpa peduli penolakan. Menyeret paksa tanpa memberi kesempatan untuk melarikan diri. Dan mengerikannya, di tengah jalan nan sepi, Sean dengan kejinya mencumbuinya.

“Lo milik gue!” Suara bariton itu masih terngiang di telinga. Dan lidah yang bercampur saliva masih terasa di seluruh tubuhnya. Mencap seseorang sebagai milik tanpa membutuhkan persetujuan.

“Jika menolak, orang-orang terdekat lo bakal dalam masalah.” Itu ancaman yang membuat Velin diam tanpa perlawanan saat itu.

Sean bukan manusia!

——

“Berengsek!” Teriakan menggema di dalam kamar bersamaan dengan vas bunga yang melayang tepat di cermin. Hancur berkeping! Meluapkan amarah seperti itu sedikit mengurangi beban pikiran.

Velin terduduk di lantai dingin. Menangisi takdir yang bermain terus menerus tanpa henti. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya tampak memutih. Kebenciannya pada Sean semakin besar! Lelaki itu perlu dihindari agar dunianya tidak miris dan tragis.

Ketukan di pintu kamar refleks membuat Velin mengarahkan pandangannya ke sana. Namun, ia tidak memiliki niat untuk membukanya.

Lagi, seseorang di luar itu kembali mengetuk dan sedikit brutal. Velin yakin itu Mili! Dengan cepat ia  menghapus air mata. Alasannya sederhana karena ia tidak ingin Mili tahu apa yang menimpanya.

“Vel, buka pintunya!” Suara Mili terdengar lantang. “Ini sudah siang. Sumpah, mbak khawatir.” Kemudian nada suara itu berubah menjadi pelan. Jelas, si empunya suara sangat khawatir padanya. Velin hanya menatap pintu yang tertutup.

“Baiklah, mbak tidak memaksamu keluar dari kamar. Tapi, usahakan untuk makan meskipun sesuap. Makanannya mbak letak di kulkas, nanti kamu panasi. Mbak pergi.”

Tidak ada lagi suara setelahnya. Mili sepertinya benar-benar pergi.

Sepi!

Sunyi!

Velin masih menatap pintu dan itu berlangsung beberapa menit. Kemudian mendengus kasar sebelum memutuskan memaksa kakinya untuk berjalan ke luar kamar.

Saat tiba di ruang tamu yang berhubungan langsung dengan dapur, kaki Velin lemas seketika. Sosok yang ingin ia hindari, yang memberi luka begitu perih sedang duduk beralas bantal kecil sembari menata rapi makanan di atas meja bundar.

Satu pertanyaan menyeruak di otak Velin, kenapa Sean ada di flat mereka?

Velin memutar tubuhnya. Kembali ke kamar adalah jalan terbaik untuk saat ini sebelum Sean sadar akan kehadirannya. Ia tidak ingin terus berurusan dengan Iblis yang sewaktu-waktu menyeretnya dalam masalah yang lebih mengerikan.

Cukup!

 Sialnya, sebelum kaki melangkah, lelaki itu telah menyadari kehadirannya. Kemudian bangkit menuju ke arahnya lantas membawanya menuju meja.

“Lo harus makan,” ucapnya lembut. Velin sempat terkejut akan nada itu tetapi kemudian menggeleng, ia tidak boleh terhanyut.

“Mili bilang, lo belum keluar kamar sejak pagi dan belum sarapan.” Sean mendudukkan Velin di bantalan sofa, kemudian menyodorkan semangkuk bubur ayam.

“Kenapa kamu di sini?” Pelan tetapi terdengar dingin.

Sean tersenyum simpul. “Gue khawatir.”

Velin menggigit bibir bagian dalamnya saat mendengar kalimat itu. Khawatir? Persetan dengan itu!

“Pergilah! Aku tidak butuh kamu, apalagi kekhawatiranmu.” Sekuat tenaga Velin menahan agar air matanya tidak jatuh.

“Gue pergi, tapi itu nanti.”

Velin menepis tangan Sean yang berusaha menyendokkan bubur ke mulutnya, sehingga jatuh mengotori lantai.

“Aku mohon, pergi!” Bulir-bulir air mata jatuh tanpa bisa dibendung. “Aku membencimu!” pekik Velin bersamaan dengan mangkuk bubur yang melayang ke sembarang arah.

Sean menggeram tertahan. Tangannya mengepal sempurna. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak meluapkan kemarahannya karena sikap Velin yang menurutnya terlalu berlebihan.

“Enyahlah ke neraka!” Velin berlalu menuju kamar, meninggalkan Sean yang mematung dan kekacauan di ruang tamu.

Velin menjatuhkan dirinya di lantai, menekuk kedua kakinya dan menyusupkan kepalanya, menjadikan kedua lengan sebagai bantalan.

Rasa sesak menggerogoti hatinya, terisak tanpa henti. Entah seperti apa lagi takdir yang menghampirinya. Mungkin akan ada yang lebih gila dari sekedar apa yang ia alami beberapa hari ini!

Skenario yang tercipta begitu apik!


Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • VELIN-SEAN (INDONESIA)   EXTRA PART (SEIRA)

    "Jadi semua akan selesai seperti ini? Bahkan saat kita belum memulai sama sekali." Seira mencoba menahan tangisnya saat lelaki yang belakangan ini memorak-porandakan hatinya menghubunginya untuk pamit dari hidup Seira.Membuat kisah baru tanpa menyelesaikan kisah lama yang telah terbentuk. Seira tidak bisa memahami meskipun telah mencoba untuk mengerti. Ia tahu, Hafiz melakukan semua itu karena janji dan juga untuk melindungi banyak orang dari amukan seorang Sean. Namun, kenapa harus perasaannya yang dikorbankan?"Maaf. Ini mungkin menyakitkan, tetapi gue gak bisa mengingkari janji yang telah gue buat sendiri. Velin butuh bantuan." Suara di ujung telepon itu terdengar serak.Seira yakin, Hafiz juga terluka sama sepertinya. Lalu kenapa memilih jalan yang menyesakkan dada?"Apa lo mencintai gue?" Seira menggigit bibirnya. Demi Tuhan, jika ditanya apa ia rela, tentu jawabannya tidak. Bagaimana ia bisa rela jika perasaan yang berusaha ia sangkal selama ini muncul di pe

  • VELIN-SEAN (INDONESIA)   EXTRA PART (HAFIZ)

    Hafiz menghela napas saat ponselnya yang ada di atas meja kayu berdering. Sekilas melirik dan mengusap wajahnya frustrasi lantaran yang menelepon adalah nomor yang sama sejak sejam yang lalu.Seira Varza Nasution, gadis remaja yang ia tinggalkan di Jakarta dengan luka menganga di hati.Hafiz menatap langit-langit rumahnya yang benar-benar jauh dari kata mewah. Kemudian memejamkan mata dan menggigit bibir bagian dalamnya untuk mereda rasa sesak yang beberapa hari ini terus menghantui.Cintanya!Ia telah melukai dengan sangat kejam. Tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk tetap berada di samping. Padahal dalam sebuah jalinan kasih, jarak bukan sebuah penghalang jika saling mengerti satu sama lain. Namun, Hafiz meniadakan semuanya, tanpa kabar, tanpa jejak bahkan tanpa memberi kata yang tepat untuk perpisahan.Kenapa ia sekejam itu?Demi menepati janji. Demi menolong Velin dan Sean, ia mematahkan hati Seira. Ah, bukan

  • VELIN-SEAN (INDONESIA)   EXTRA PART (VELIN)

    Takdir memang selalu bermain di antara insan yang bernapas. Entah itu takdir baik atau pun buruk semua berjalan beriring tanpa peduli apa seseorang sanggup untuk bertahan atau tidak sama sekali. Toh, hidup akan terus berjalan meskipun tersendat dan tertatih hingga mencapai pada tujuannya.Ya, begitu hidup. Begitulah takdir!Meskipun air mata terus mengalir bahkan berubah dari bening menjadi memerah, tidak akan ada yang bisa melepaskan siapa pun dari rencana yang Tuhan tentukan untuk manusia yang ia ciptakan dari kata kesempurnaan.Sejurus, jika dilihat dalam kaca mata awam, semua adalah kesalahan yang memilih jalan untuk terseret dalam kesesatan, tapi percayalah, tidak ada yang ingin hidup dalam ambang kehancuran di mana bayangan keresahan dan ketakutan mendiami sudut hati.Ah, semua sudah tertulis saat dalam kandungan, apa pun pilihan tidak akan berubah jalan tujuan yang sudah ditentukan. Begitu juga Velin yang sudah memilih jalan hidup

  • VELIN-SEAN (INDONESIA)   EPILOG

    "Kepergiannya adalah kematianku!" -Sean Varza Nasution****Air mata itu menjadi satu-satunya cara untuk melepaskan semua beban di dada. Meskipun nyatanya akan tetap ada luka yang menganga bahkan menciptakan luka lama yang entah kapan sembuhnya. Seira tidak dapat memahami bagaimana Tuhan menciptakan jalan hidup seorang Sean yang begitu berantakan. Kadang kala gadis manis itu menyalahkan takdir karena membiarkan Sean merasakan yang namanya penderitaan kasat mata.Berawal dari meninggalnya sang mama adalah pembuka jalan untuk air mata dan segala yang berkaitan dengan kesesakan dada yang seolah tidak mampu terkendalikan. Meskipun Seira masih terlalu muda saat itu, tetapi ia mengerti bagaimana menderitanya seorang Sean, menangis dalam diam adalah bukti dari sesaknya jiwa seorang anak lelaki yang terlalu dekat dengan perempuan yang melahirkan mereka dengan penuh cinta.Penderitaan yang ditanggung semakin menjadi kala Sean mengalami pelecehan seksual. Astaga, hidup yang terlal

  • VELIN-SEAN (INDONESIA)   35. ENDING STORY

    Tidak ada yang tahu bagaimana orang-orang suruhan Hardan bekerja mengurus tindakan kriminal yang Sean ciptakan, termasuk Hardan sendiri. Lelaki berumur itu hanya menerima hasil kerja tanpa diberitahu bagaimana proses yang anak buahnya lakukan. Dia menerima kabar beberapa jam yang lalu jika di vila tidak ada lagi jejak Sean tertinggal, bersih total! Seandainya polisi mengusut apa pun di sana, maka mereka akan kewalahan karena vila itu bersih seperti tidak pernah ada kejadian pembunuhan.Benar-benar luar biasa. Hardan tidak menyesal menyewa orang-orang seperti mereka.Lalu bagaimana dengan Arga? Apa masih hidup atau benar-benar sudah tidak bernyawa?Jika dipikirkan lagi bagaimana Sean menancapkan pisau di perut dan leher berulang kali, maka jawabannya sudah pasti meninggal di tempat. Lantas ke mana mayat lelaki tampan itu perginya? Tubuh penuh darah Arga telah dipindahkan ke mobil dan kemudian dibawa ke tempat jauh yang jaraknya dari vila menempuh waktu sela

  • VELIN-SEAN (INDONESIA)   34. FINAL

    Setelah Sean mematikan sambungan telepon secara sepihak, Hafiz segera berlari menuju kamar mandi sekedar untuk membasuh muka. Langsung mengambil kunci mobil beserta dompet yang ada di atas nakas tanpa mengganti pakaian. Ia masih mengenakan kaos warna putih berkerah V dan juga celana training warna hitam bekas tidur.“Sandal gue mana?” Hafiz seperti orang kebingungan mencari sandal jepitnya padahal ada di dekat kakinya.Setelah menemukan apa yang dicari, Hafiz berlari menuju garasi mobil. Ia harus cepat menyusul Sean sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Dari nada suara beserta kalimat Sean tadi di telepon, Hafiz yakin kali ini tidak ada kelonggaran yang akan diberikan oleh Sean. Ini seperti tendangan final dalam permainan bola, sungguh menegangkan.“Sial, kenapa pake mogok segala!” Hafiz memukul setir mobil karena mobil tidak kunjung menyala. “Saat genting gini malah berulah.” Terpaksa Hafiz turun dari mobilnya. Satu-satunya cara adalah menghubungi Seira ag

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status