đ¸đ¸đ¸Menikah dan berumah tangga adalah ibadah terpanjang dalam hidup kita. Di dalamnya ada syarat dan rukun ibadah yang harus terpenuhi agar ibadah kita sah dan diterima Allah SWT. Bukan seperti ini, entah rumah tangga seperti apa yang sedang kami jalani. Orang tua yang sejatinya menjadi panutan nyatanya sama saja keblinger dan mementingkan egonya masing-masing. Aku sedang berusaha bisa jika aku lelah dan menyerah aku akan tinggalkan semuanya.~K~Uđ¸đ¸đ¸"Kalau enggak mau kasih lebih baik kita pisah!â Baru saja aku terlelap karena minum obat suara cempreng ibu mertuaku memekakkan telinga hingga membangunkanku.âBu, jangan begitulah. Keuangan kita menipis. Kemarin kan, kamu sudah aku kasih uang 500 ribu rupiah masa sudah habis?â Itu suara bapak mertuaku. Ah, pasi mereka berdebat masalah uang lagi.âAku tidak mau tahu! Uang Cuma 500 ribu rupiah sudah habislah, sudah aku belanjakan kebutuhan dapur dan juga skincare. Kamu belikan wanita Lac*r itu spring bed dan lemari saja sanggup. Ak
âAh, beraninya cuma omong doang! Dengar ya, Ika, jadi manusia itu enggak usah jumawa kamu status istri ke dua saja sombong pakai ngatain aku segala. Apa kamu tidak ingat kemarin-kemarin kamu itu siapa dan temenan sama siapa!â Mbak Sulis mengambil Syifa dari pangkuanku dan berlalu pulang.âMbak Fatki, aku pulang dulu ya, engap ada penampakan setan di antara kita,â pamitnya. Aku mengiyakan.âHeh, mau ke mana kamu!â Ika mencegatku. Aku diam saja malas mau menjawab.âJangan masuk dulu! Belikan aku pecel lontong di warung pojok lapangan sana, ya! Jangan pedes. Ini uangnya!â Ika melemparkan uang 10 ribu rupiah tepat di wajahku.Tak menjawab sepatah kata pun aku menangkis tangannya yang menghalangi jalanku lalu masuk rumah. Baru beberapa langkah Ika sudah memburuku dan menarik jilbabku. Kepalaku sampai mendongak ke belakang.âPunya kuping dan mulut itu di pakai. Aku ini ibu mertuamu jadi, kamu harus hormat padaku!â ucapnya lagi.Aku balik badan dan memelintir tangannya ke belakang kuat sekal
đ¸đ¸đ¸âAku akan adukan semuanya pada Mas Sam!â Ancam Ika. Sam adalah panggilan singkat dari nama bapak mertuaku Samsudin.âAdukan saja, aku tidak takut!â jawab ibu.âMas sini minta duit aku sama Ibu mau ke pasar mau beli sepatu,â pinta Intan.âMas enggak ada duit, Tan. Uang Mas sudah Mas bagi dua untuk Fatki dan Reni, ini juga Mas pusing gimana caranya bayar kreditan kasur,â jawab Mas Arman.âCk, apes banget sih gue. Kenapa harus dilahirkan di tengah-tengah keluarga miskin dan basurd begini,â gerutu Intan.âPokoknya Ibu tidak mau tahu! Cepetan mana uangnya!âMas Arman merogoh kantong celananya dan memberi ibu uang 50 ribuan dua lembar.âCuma segini? Mana cukup!ââEnggak ada lagi, Bu. Kalau enggak mau aku ambil lagi, nih.ââAyo, Tan. Kita pergi. Nanti kalau kurang kita minta sama bapakmu saja.â Ibu menarik lengan Intan. Mereka berdua pergi.âSudah sana, Mas kerja.ââHari ini aku enggak kerja, aku mau berduaan dengan kamu. Lagi pula motornya enggak ada. Aku malas jalan kaki,â jawab Mas
đ¸đ¸đ¸âDik, aku rindu padamu,â ucap Mas Arman. Kalau dulu sebelum kehadiran orang ke tiga maka aku akan sangat bahagia jika Mas Arman berkata seperti itu tapi, kini jangankan senang hati pun ikut sakit.âAku ngantuk Mas, aku mau tidur,â tolakku halus.âKamu tidak bisa seperti ini terus, Dik. Kamu pun istriku. Wajib bagiku dan bagimu memenuhi kebutuhan lahir batin,â ucap Mas Arman lagi.âLakukan sesuka hatimu, Mas. Aku memang tidak berhak menolak. Anggap saja sebagai baktiku yang terakhir. Barang kali esok atau lusa kita tidak bisa bersama lagi,â jawabku lirih. Air mataku mengalir begitu saja. Aku benar-benar benci keadaanku sekarang.Sepertinya Mas Arman tidak mengindahkan ucapanku dan tidak memedulikanku dia terlalu menikmati permainannya sendiri. Dia tetap memilih menuntaskan hasratnya. Lalu mendengkur menggapai mimpi.Sakit hati jiwa dan raga. Aku benar-benar seperti orang yang tidak punya harga diri. Kuraih selimut untuk menutup tubuhku dan pergi ke kamar mandi membersihkan diri.
âOgah! Uangku itu tidak ada hak siapa pun. Aku juga sudah memberikan separonya pada ibuku. Kamu itu Mas, harusnya kasih aku nafkah bukan malah minta uangku!â pekik Reni.âAku sudah penuhi kewajibanku. Nafkah untukmu bayar kreditan. Ini sisanya bagi tiga aku, ibu, dan juga Fatki.â Wow aku tersanjung dengan ucapan Mas Arman. Dia kesambet jin mana ya, kok jadi benar gitu otaknya.âOh, tidak bisa! Fatki sudah bisa cari duit sendiri. Ibu lihat sendiri jahitannya banyak dan sudah ada Susanti anak tetangga yang bantu dia jahit,â tolak ibu.âBenar yang Ibu bilang. Mendingan uangnya untuk aku aja Mas, aku juga berhak dapat bagian,â ujar Intan.âHah, kalian ini apa-apan si! Kenapa jadi kalian yang ngatur aku! Pusing tahu enggak! Uang segitu diributkan. Pokoknya aku tidak mau tahu keputusanku tetap tidak bisa diganggu gugat!â teriak Mas Arman. Kalau Mas Arman sudah marah begitu maka baik Intan ataupun ibu langsung diam.âIni uangnya. Fatki, ini bagianmu!â Aku menghampiri mereka yang duduk di sof
Aku tidak mau menyimpan di dapur yang ada nanti hilang tak berbekas. Biar saja aku dibilang pelit pasalnya mereka para penghuni rumah ini jika membeli makanan aku sama sekali tidak pernah dikasih.âMas, apaan sih! Malu tahu!ââKenapa musti malu, kamu kan, istriku?ââMalu dilihat orang. Meski suami istri, tapi tidak boleh menunjukkan kemesraan secara langsung pada orang lain.ââEnggak ada orang, kok!ââItu Susanti kamu anggap hantu?â Tadi Susanti mau masuk tidak jadi karena ada Mas Arman yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Jadilah, dia balik badan dan menunggu di luar.âEh, kok! Perasaan tadi enggak ada siapa-siapa.â Mas Arman tampak salah tingkah.âAda apa sih, Mas. Kayaknya lagi seneng.ââHem ... aku memang lagi seneng, Dik. Kamu tahu kan, kalau Reni hamil.â Hatiku mencelos. Aku tadi lupa tentang kehamilan Reni. Sekarang justru suamiku sendiri yang mengingatkannya.âOh, iya.ââKok, jadi manyun gitu bibirnya? Meski Reni hamil aku tidak akan melupakanmu, Dik. Makanya sekarang aku m
âIya, lah. Aku enggak bisa tidur kalau panas. Enak pakai baju begini,â jawabnya cuek.âKamu ngapain di situ, Mas?ââAâaku tadi ketiduran nonton bola, tahunya si Ika sudah merayuku,â jawab Mas Arman terbata.âAku sebentar sudah malas berurusan dengan hal beginian, tapi kalau sikapmu masih tidak dirubah besok lebih baik kamu pergi dari sini pulang ke kontrakanmu. Kata Bapak kamu sakit-sakitan ini kok, kamu sehat walafiat,â tegasku.Baik, ibu maupun Reni ke luar kamar. Pasti mereka heran kenapa ada ribut-ribut.âAda apa, Mas? Loh, kok, kancing bajumu kebuka? Kok, Ika pakai baju begitu?â tanya Reni.Ika semakin jumawa dia justru membusungkan dadanya. Merasa jadi pemenang.âEh, dasar perempuan enggak ada akhlak. Kegatelan!â Ibu tiba-tiba memukul kepala Ika pakai remot TV.Ika yang tidak terima dengan serangan ibu pun membalas dengan melempar bantal sofa.Hitungan detik mereka terlibat gulat. Mas Arman berusaha memisahkan, tapi sepertinya percuma. Teriakan dan tangisan saling bersahutan.Ak
Hanya inilah yang bisa mengalihkan duniaku. Beruntung aku punya skill menjahit jika tidak, maka aku bisa stres dan meratapi nasib setiap hari.Di dalam rumah tangga hal yang paling terpenting adalah kejujuran. Semua pasangan hidup pasti tahu itu. Jika, kita jujur maka kepercayaan yang kita dapat.Pun sama halnya dengan rumah tangga yang aku jalani. Di sini sudah tidak lagi kejujuran antara Mas Arman denganku, maka dari itu aku sama sekali tidak percaya lagi padanya. Apa pun yang dia lakukan sekarang di mataku hanya sebatas tanggung jawabnya saja. Ucapannya pun sulit sekali untuk kupercaya.~K~Uđ¸đ¸đ¸Pagi ini aku masak capcai dan ayam goreng untukku dan Mas Arman saja.Reni rupanya mau dengar nasihat Mas Arman dia setiap pagi masak bedanya dia juga masak untuk ibu dan Intan.Di ruang makan ini hanya terdengar suara denting sendok beradu dengan piring. Entah apa yang merasuki mereka semua. Sepatah kata pun tidak terucap. Kurasa inilah saatnya aku speak up.Ika tidak ikut sarapan. Ent