“Nah, benar kata Reni. Memang kamu mau tidur di kasur lantai lusuh begitu. Enggak sehat dan enggak higienis kapan mau punya anak kalau begitu,” sahut ibu membela Reni.
“Benar juga yang Ibu bilang. Aku juga tidak mau tidur di kasur lusuh terus. Dik, kamu mau kan, bantu Mamas bayar cicilannya?” Mas Arman merayuku, dia berkali-kali menciumi pipiku.
“No way! Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk kalian. Aku bukan mesin uangmu, Mas. Harusnya kamu yang kasih aku nafkah tiap hari bukan malah aku yang memberimu.”
“Tolonglah Dik, sekali ini saja.”
“Tidak! Kalau aku sudah bilang tidak ya, tidak. Siapa yang make itulah yang bayar.”
“Tapi, Dik?”
“Tidak ada tapi-tapian. Kamu itu Ren, sudah aku bilang salah cari suami. Coba kamu jadi pelakornya orang kaya aku jamin hidupmu tidak akan susah begini, mau tidur aja pusing mikirin kreditan. Pinter dikit kek, jangan cuma makan tampannya doang. Percuma kalau kere.”
“Oh, jadi kamu ngatain anakku kere?” Ibu tidak terima atas pernyataanku.
“Lah, memang kere, Bu. Kok Ibu tidak terima. Kolor saja tidak mampu beli kalau bukan istrinya yang beliin kok gaya punya istri dua.”
“Cukup! Jaga ucapanmu, Dik. Aku ini suamimu tidak pantas kamu berkata begitu. Kalau kamu tidak mau bantu ya, sudah tidak usah bicara ke mana-mana. Harga diriku kamu injak-injak!” Mas Arman pun tidak terima dikatakan demikian.
“Kamu Mas sudah dholim padaku. Demi Allah aku tidak ridho aku akan minta pertanggungjawaban darimu di akhirat nanti.” Mas Arman diam saja sedang Reni tampak sekali sangat kesal.
“Ribet amat si di rumah ini. Aku enggak bisa tenang sama sekali. Mas, aku bilangin ya, jangan pernah minta apa-apa lagi sama wanita mandul ini. Dia pelit binti medit. Mulai sekarang Mas pun tidak usah kasih uang nafkah untuknya mending ditabung buat bayar cicilan ini,” sahut Intan mengompori kakaknya.
“Gampang kalau tidak mau kasih tidak apa-apa toh aku bisa cari sendiri. Tapi, ingat aku bukan lagi istrimu, Mas dan kita ketemu nanti di pengadilan agama.”
“Apaan si, kamu ngomongnya gitu terus. Untuk apa ke sana? Ingat ya, aku ini tidak akan pernah melepaskanmu Fatki!” Mas Arman membentakku.
“Ya, sudah, kalau begitu mana uang nafkahku hari ini.” Kutengadahkan tanganku meminta uang.
“Enak aja, kamu enggak dapat ini semua milikku mau aku kumpulin untuk bayar cicilan.” Reni menampik tanganku.
“Mas?” Mas Arman langsung memberikan uang 50 ribuan kepadaku.
“Yang ini untuk kamu, Ren.” Reni cemberut hanya dapat 50 ribu saja.
“Aaaaaa! ” Tiba-tiba ibu teriak histeris tepat di kupingku. Ponselnya sampai terlempar jauh.
Padahal tadi beliau anteng main HP dan ikutan nimbrung membela menantu kesayangannya.
“Kebiasaan deh, Ibu ini. Kalau takut lihat gambar hantu enggak usah lihat film horor.” Intan memungut HP ibu.
“Aaaaa ... bagaimana bisa seperti ini! Kurang ajar kamu, Pak!” Ibu menangis histeris.
Intan mengecek ponsel ibu.
“Apa! Kurang ajar! Dasar orang tua gila anaknya sudah besar-besar kok main perempuan lagi. Lihat ini Mas, Bapak kawin lagi!” Intan menyodorkan HP pada Mas Arman.
Kulihat ekspresi Mas Arman, wajahnya merah menahan marah. Sudah bisa kutebak itu pasti bapak yang kirim pesan pada ibu.
“Aaaa! Aku tidak bisa terima ini! Awas kamu, Pak!” Ibu terus saja berteriak dan menjambaki rambutnya sendiri.
Sementara Intan mencoba menghubungi nomor bapak. Mas Arman pun sibuk dengan ponselnya. Reni terlihat bingung dan juga marah.
Aku sebenarnya belum tahu persis apa yang dikatakan bapak dalam pesan singkatnya yang beliau kirimkan pada ibu.
“Siapa pun yang menjadi istri muda Bapak akan berurusan denganku. Tidak sudi aku punya Ibu sambung. Apalagi ibuku masih sehat dan juga masih hidup.” Intan terus saja mengomel.
“Aku tahu siapa sebenarnya istri ke dua Bapak,” sahutku. Seketika mereka melihatku nyalang.
“Katakan siapa? Apa kamu sekongkol dengan Bapak!” bentak Mas Arman.
“Ika, Art tetangga kita. Kekasih gelapmu yang sedang hamil anakmu!” jawabku lantang. Semua kaget, apalagi Reni.
"Apa! Kurang ajar kamu, Mas!" Reni memukuli Mas Arman.
“Heh, jangan ngacok ya, kamu! Mana mungkin anakku begitu!” teriak ibu tidak terima.
Mas Arman diam saja.
“Terserah mau percaya atau tidak toh itu faktanya. Aku pun baru tahu kalau Mas Arman sebejat itu.”
“Jangan asal fitnah, ya! Mentang-mentang teman-teman kamu para pembantu itu jadi kamu fitnah kakakku!” Intan pun tidak terima atas pernyataanku.
“Bagaimana bisa begini.” Ibu meraung-raung.
“Jawab Mas! Kenapa diam aja!” bentak Reni.
Mas Arman diam saja, dia bolak-balik mengacak rambutnya.
“Kita tunggu Bapak pulang biar semuanya jelas. Aku curiga ini hanya akal-akalan Mbak Fatki saja karena tidak terima Mas Arman menikah lagi,” ucap Intan.
“Terserah saja.” Kutinggalkan mereka masuk kamar.
Aku sangat lelah rasanya nyaman sekali merebahkan otot-otot yang tegang dan kaku.
Baru saja rebahan sorot lampu mobil menembus melalui kaca jendela kamarku. Aku tahu itu mobil bapak. Tepat tiga hari bapak pulang sesuai dengan ucapannya waktu berpamitan pergi.
Bergegas aku mengintip. Kusibak gorden kamar tampak bapak turun dari mobil diikuti perempuan muda. Iya, benar itu Ika.
Aku menunggu kemungkinan yang akan terjadi. Otakku rasanya tidak sampai memikirkan ini semua. Bagaimana bisa satu rumah ada dua madu. Kuayunkan kaki ke depan menyambut kedatangan bapak.
Hanya ada ibu dan Intan. Ah, Mas Arman pasti ngumpet mana berani dia keluar.
Makian keluar dari mulut ibu, Ika bersembunyi di belakang bapak. Ibu menarik rambut Ika dan menampar Ika berkali-kali. Hebatnya Ika diam saja tidak menangis ataupun mengaduh kesakitan.
Plak!
Bapak menampar wajah ibu. Mungkin bapak kasihan pada Ika dan juga sudah sangat kesal pada ibu.
“Jangan kamu sakiti dia, Bu. Bagaimana pun juga Ika sekarang sudah menjadi istriku dan juga madumu. Mau tidak mau kamu harus terima,” ucap bapak sambil memeluk Ika.
Plak!
Bugk!
Bugk!
Ibu membalas tamparan bapak dan juga menendang selakangan bapak.
“Cuih! Tidak sudi aku mengakui dia maduku. Lebih baik kita pisah saja, Pak,” jawab ibu.
“Tidak! Aku tidak akan menceraikan kamu, Bu. Aku pun sangat sayang padamu,” tegas bapak sambil memegangi selakangannya.
“B4jingan! Serakah! Aku tidak sudi punya suami seperti kamu!” teriak ibu.
Bugk!
Ibu menendang bapak lagi.
“Sikap ibulah yang membuat aku nekat begini. Aku lelaki Bu, butuh kasih sayang dan juga kelembutan seorang istri dan Ika bisa memberikan itu semua padaku,” jawaban bapak yang menohok membuat ibu makin frustasi.
Ibu terus saja berteriak seperti orang kesurupan semua barang yang ada di dekatnya dibanting dan hancur berserakan.
“Dasar lont* doyannya sama aki-aki memang kamu enggak bisa cari yang masih single!” teriak Intan.
🌸🌸🌸“Intan cukup! Dia ibumu jadi kamu mulai sekarang harus hormat!” bentak bapak.“Sampai aku mati pun tidak sudi mengakui dia sebagai ibuku. Aku pun tidak sudi punya bapak seperti kamu! Bagiku kamu sudah mati!” Intan menunjuk tepat di wajah bapak.“Mau kamu protes seperti apa pun tidak akan merubah keadaan, Bapak sudah menikah dengan Ika dan Bapak akan mempertanggungjawabkan ini semua,” jawab bapak.Aku jadi bingung, apa bapak tidak tahu kalau Ika ini kekasih gelapnya Mas Arman. Tapi, menurut pengakuan Mbak Sulis bapak tahu kalau Ika waktu itu sedang hamil bahkan bapak yang membawa Ika ke rumah sakit.“Fatki, Bapak minta tolong malam ini Ika tidur sama kamu dulu ya?”“Em ... maaf Pak, tidak bisa, kamarku sempit ada banyak barang juga. Kain yang mau aku jahit aku bawa masuk ke kamar,” jawabku bohong.“Baiklah kalau begitu malam ini Intan tidur sama Ibu Ika, ya?” ucap bapak lagi.“Tidak sudi!” Intan masuk kamar dibantingnya pintu kamar dengan kuat. Disusul ibu.Sebenarnya ada kamar
🌸🌸🌸Menikah dan berumah tangga adalah ibadah terpanjang dalam hidup kita. Di dalamnya ada syarat dan rukun ibadah yang harus terpenuhi agar ibadah kita sah dan diterima Allah SWT. Bukan seperti ini, entah rumah tangga seperti apa yang sedang kami jalani. Orang tua yang sejatinya menjadi panutan nyatanya sama saja keblinger dan mementingkan egonya masing-masing. Aku sedang berusaha bisa jika aku lelah dan menyerah aku akan tinggalkan semuanya.~K~U🌸🌸🌸"Kalau enggak mau kasih lebih baik kita pisah!” Baru saja aku terlelap karena minum obat suara cempreng ibu mertuaku memekakkan telinga hingga membangunkanku.“Bu, jangan begitulah. Keuangan kita menipis. Kemarin kan, kamu sudah aku kasih uang 500 ribu rupiah masa sudah habis?” Itu suara bapak mertuaku. Ah, pasi mereka berdebat masalah uang lagi.“Aku tidak mau tahu! Uang Cuma 500 ribu rupiah sudah habislah, sudah aku belanjakan kebutuhan dapur dan juga skincare. Kamu belikan wanita Lac*r itu spring bed dan lemari saja sanggup. Ak
“Ah, beraninya cuma omong doang! Dengar ya, Ika, jadi manusia itu enggak usah jumawa kamu status istri ke dua saja sombong pakai ngatain aku segala. Apa kamu tidak ingat kemarin-kemarin kamu itu siapa dan temenan sama siapa!” Mbak Sulis mengambil Syifa dari pangkuanku dan berlalu pulang.“Mbak Fatki, aku pulang dulu ya, engap ada penampakan setan di antara kita,” pamitnya. Aku mengiyakan.“Heh, mau ke mana kamu!” Ika mencegatku. Aku diam saja malas mau menjawab.“Jangan masuk dulu! Belikan aku pecel lontong di warung pojok lapangan sana, ya! Jangan pedes. Ini uangnya!” Ika melemparkan uang 10 ribu rupiah tepat di wajahku.Tak menjawab sepatah kata pun aku menangkis tangannya yang menghalangi jalanku lalu masuk rumah. Baru beberapa langkah Ika sudah memburuku dan menarik jilbabku. Kepalaku sampai mendongak ke belakang.“Punya kuping dan mulut itu di pakai. Aku ini ibu mertuamu jadi, kamu harus hormat padaku!” ucapnya lagi.Aku balik badan dan memelintir tangannya ke belakang kuat sekal
🌸🌸🌸“Aku akan adukan semuanya pada Mas Sam!” Ancam Ika. Sam adalah panggilan singkat dari nama bapak mertuaku Samsudin.“Adukan saja, aku tidak takut!” jawab ibu.“Mas sini minta duit aku sama Ibu mau ke pasar mau beli sepatu,” pinta Intan.“Mas enggak ada duit, Tan. Uang Mas sudah Mas bagi dua untuk Fatki dan Reni, ini juga Mas pusing gimana caranya bayar kreditan kasur,” jawab Mas Arman.“Ck, apes banget sih gue. Kenapa harus dilahirkan di tengah-tengah keluarga miskin dan basurd begini,” gerutu Intan.“Pokoknya Ibu tidak mau tahu! Cepetan mana uangnya!”Mas Arman merogoh kantong celananya dan memberi ibu uang 50 ribuan dua lembar.“Cuma segini? Mana cukup!”“Enggak ada lagi, Bu. Kalau enggak mau aku ambil lagi, nih.”“Ayo, Tan. Kita pergi. Nanti kalau kurang kita minta sama bapakmu saja.” Ibu menarik lengan Intan. Mereka berdua pergi.“Sudah sana, Mas kerja.”“Hari ini aku enggak kerja, aku mau berduaan dengan kamu. Lagi pula motornya enggak ada. Aku malas jalan kaki,” jawab Mas
🌸🌸🌸“Dik, aku rindu padamu,” ucap Mas Arman. Kalau dulu sebelum kehadiran orang ke tiga maka aku akan sangat bahagia jika Mas Arman berkata seperti itu tapi, kini jangankan senang hati pun ikut sakit.“Aku ngantuk Mas, aku mau tidur,” tolakku halus.“Kamu tidak bisa seperti ini terus, Dik. Kamu pun istriku. Wajib bagiku dan bagimu memenuhi kebutuhan lahir batin,” ucap Mas Arman lagi.“Lakukan sesuka hatimu, Mas. Aku memang tidak berhak menolak. Anggap saja sebagai baktiku yang terakhir. Barang kali esok atau lusa kita tidak bisa bersama lagi,” jawabku lirih. Air mataku mengalir begitu saja. Aku benar-benar benci keadaanku sekarang.Sepertinya Mas Arman tidak mengindahkan ucapanku dan tidak memedulikanku dia terlalu menikmati permainannya sendiri. Dia tetap memilih menuntaskan hasratnya. Lalu mendengkur menggapai mimpi.Sakit hati jiwa dan raga. Aku benar-benar seperti orang yang tidak punya harga diri. Kuraih selimut untuk menutup tubuhku dan pergi ke kamar mandi membersihkan diri.
“Ogah! Uangku itu tidak ada hak siapa pun. Aku juga sudah memberikan separonya pada ibuku. Kamu itu Mas, harusnya kasih aku nafkah bukan malah minta uangku!” pekik Reni.“Aku sudah penuhi kewajibanku. Nafkah untukmu bayar kreditan. Ini sisanya bagi tiga aku, ibu, dan juga Fatki.” Wow aku tersanjung dengan ucapan Mas Arman. Dia kesambet jin mana ya, kok jadi benar gitu otaknya.“Oh, tidak bisa! Fatki sudah bisa cari duit sendiri. Ibu lihat sendiri jahitannya banyak dan sudah ada Susanti anak tetangga yang bantu dia jahit,” tolak ibu.“Benar yang Ibu bilang. Mendingan uangnya untuk aku aja Mas, aku juga berhak dapat bagian,” ujar Intan.“Hah, kalian ini apa-apan si! Kenapa jadi kalian yang ngatur aku! Pusing tahu enggak! Uang segitu diributkan. Pokoknya aku tidak mau tahu keputusanku tetap tidak bisa diganggu gugat!” teriak Mas Arman. Kalau Mas Arman sudah marah begitu maka baik Intan ataupun ibu langsung diam.“Ini uangnya. Fatki, ini bagianmu!” Aku menghampiri mereka yang duduk di sof
Aku tidak mau menyimpan di dapur yang ada nanti hilang tak berbekas. Biar saja aku dibilang pelit pasalnya mereka para penghuni rumah ini jika membeli makanan aku sama sekali tidak pernah dikasih.“Mas, apaan sih! Malu tahu!”“Kenapa musti malu, kamu kan, istriku?”“Malu dilihat orang. Meski suami istri, tapi tidak boleh menunjukkan kemesraan secara langsung pada orang lain.”“Enggak ada orang, kok!”“Itu Susanti kamu anggap hantu?” Tadi Susanti mau masuk tidak jadi karena ada Mas Arman yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Jadilah, dia balik badan dan menunggu di luar.“Eh, kok! Perasaan tadi enggak ada siapa-siapa.” Mas Arman tampak salah tingkah.“Ada apa sih, Mas. Kayaknya lagi seneng.”“Hem ... aku memang lagi seneng, Dik. Kamu tahu kan, kalau Reni hamil.” Hatiku mencelos. Aku tadi lupa tentang kehamilan Reni. Sekarang justru suamiku sendiri yang mengingatkannya.“Oh, iya.”“Kok, jadi manyun gitu bibirnya? Meski Reni hamil aku tidak akan melupakanmu, Dik. Makanya sekarang aku m
“Iya, lah. Aku enggak bisa tidur kalau panas. Enak pakai baju begini,” jawabnya cuek.“Kamu ngapain di situ, Mas?”“A—aku tadi ketiduran nonton bola, tahunya si Ika sudah merayuku,” jawab Mas Arman terbata.“Aku sebentar sudah malas berurusan dengan hal beginian, tapi kalau sikapmu masih tidak dirubah besok lebih baik kamu pergi dari sini pulang ke kontrakanmu. Kata Bapak kamu sakit-sakitan ini kok, kamu sehat walafiat,” tegasku.Baik, ibu maupun Reni ke luar kamar. Pasti mereka heran kenapa ada ribut-ribut.“Ada apa, Mas? Loh, kok, kancing bajumu kebuka? Kok, Ika pakai baju begitu?” tanya Reni.Ika semakin jumawa dia justru membusungkan dadanya. Merasa jadi pemenang.“Eh, dasar perempuan enggak ada akhlak. Kegatelan!” Ibu tiba-tiba memukul kepala Ika pakai remot TV.Ika yang tidak terima dengan serangan ibu pun membalas dengan melempar bantal sofa.Hitungan detik mereka terlibat gulat. Mas Arman berusaha memisahkan, tapi sepertinya percuma. Teriakan dan tangisan saling bersahutan.Ak