Share

BAB 10. Ibu histeris

“Nah, benar kata Reni. Memang kamu mau tidur di kasur lantai lusuh begitu. Enggak sehat dan enggak higienis kapan mau punya anak kalau begitu,” sahut ibu membela Reni.

“Benar juga yang Ibu bilang. Aku juga tidak mau tidur di kasur lusuh terus. Dik, kamu mau kan, bantu Mamas bayar cicilannya?” Mas Arman merayuku, dia berkali-kali menciumi pipiku.

“No way! Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk kalian. Aku bukan mesin uangmu, Mas. Harusnya kamu yang kasih aku nafkah tiap hari bukan malah aku yang memberimu.”

“Tolonglah Dik, sekali ini saja.”

“Tidak! Kalau aku sudah bilang tidak ya, tidak. Siapa yang make itulah yang bayar.”

“Tapi, Dik?”

“Tidak ada tapi-tapian. Kamu itu Ren, sudah aku bilang salah cari suami. Coba kamu jadi pelakornya orang kaya aku jamin hidupmu tidak akan susah begini, mau tidur aja pusing mikirin kreditan. Pinter dikit kek, jangan cuma makan tampannya doang. Percuma kalau kere.”

“Oh, jadi kamu ngatain anakku kere?” Ibu tidak terima atas pernyataanku.

“Lah, memang kere, Bu. Kok Ibu tidak terima. Kolor saja tidak mampu beli kalau bukan istrinya yang beliin kok gaya punya istri dua.”

“Cukup! Jaga ucapanmu, Dik. Aku ini suamimu tidak pantas kamu berkata begitu. Kalau kamu tidak mau bantu ya, sudah tidak usah bicara ke mana-mana. Harga diriku kamu injak-injak!” Mas Arman pun tidak terima dikatakan demikian.

“Kamu Mas sudah dholim padaku. Demi Allah aku tidak ridho aku akan minta pertanggungjawaban darimu di akhirat nanti.” Mas Arman diam saja sedang Reni tampak sekali sangat kesal.

“Ribet amat si di rumah ini. Aku enggak bisa tenang sama sekali. Mas, aku bilangin ya, jangan pernah minta apa-apa lagi sama wanita mandul ini. Dia pelit binti medit. Mulai sekarang Mas pun tidak usah kasih uang nafkah untuknya mending ditabung buat bayar cicilan ini,” sahut Intan mengompori kakaknya.

“Gampang kalau tidak mau kasih tidak apa-apa toh aku bisa cari sendiri. Tapi, ingat aku bukan lagi istrimu, Mas dan kita ketemu nanti di pengadilan agama.”

“Apaan si, kamu ngomongnya gitu terus. Untuk apa ke sana? Ingat ya, aku ini tidak akan pernah melepaskanmu Fatki!”  Mas Arman membentakku.

“Ya, sudah, kalau begitu mana uang nafkahku hari ini.” Kutengadahkan tanganku meminta uang.

“Enak aja, kamu enggak dapat ini semua milikku mau aku kumpulin untuk bayar cicilan.” Reni menampik tanganku.

“Mas?” Mas Arman langsung memberikan uang 50 ribuan kepadaku.

“Yang ini untuk kamu, Ren.” Reni cemberut hanya dapat 50 ribu saja.

“Aaaaaa! ” Tiba-tiba ibu teriak histeris tepat di kupingku. Ponselnya sampai terlempar jauh.

Padahal tadi beliau anteng main HP dan ikutan nimbrung membela menantu kesayangannya.

“Kebiasaan deh, Ibu ini. Kalau takut lihat gambar hantu enggak usah lihat film horor.” Intan memungut HP ibu.

“Aaaaa ... bagaimana bisa seperti ini! Kurang ajar kamu, Pak!” Ibu menangis histeris.

Intan mengecek ponsel ibu.

“Apa! Kurang ajar! Dasar orang tua gila anaknya sudah besar-besar kok main perempuan lagi. Lihat ini Mas, Bapak kawin lagi!” Intan menyodorkan HP pada Mas Arman.

Kulihat ekspresi Mas Arman, wajahnya merah menahan marah. Sudah bisa kutebak itu pasti bapak yang kirim pesan pada ibu.

“Aaaa! Aku tidak bisa terima ini! Awas kamu, Pak!” Ibu terus saja berteriak dan menjambaki rambutnya sendiri.

Sementara Intan mencoba menghubungi nomor bapak. Mas Arman pun sibuk dengan ponselnya. Reni terlihat bingung dan juga marah.

Aku sebenarnya belum tahu persis apa yang dikatakan bapak dalam pesan singkatnya yang beliau kirimkan pada ibu.

“Siapa pun yang menjadi istri muda Bapak akan berurusan denganku. Tidak sudi aku punya Ibu sambung. Apalagi ibuku masih sehat dan juga masih hidup.” Intan terus saja mengomel.

“Aku tahu siapa sebenarnya istri ke dua Bapak,” sahutku. Seketika mereka melihatku nyalang.

“Katakan siapa? Apa kamu sekongkol dengan Bapak!” bentak Mas Arman.

“Ika, Art tetangga kita. Kekasih gelapmu yang sedang hamil anakmu!” jawabku lantang. Semua kaget, apalagi Reni.

"Apa! Kurang ajar kamu, Mas!" Reni memukuli Mas Arman.

“Heh, jangan ngacok ya, kamu! Mana mungkin anakku begitu!” teriak ibu tidak terima.

Mas Arman diam saja.

“Terserah mau percaya atau tidak toh itu faktanya. Aku pun baru tahu kalau Mas Arman sebejat itu.”

“Jangan asal fitnah, ya! Mentang-mentang teman-teman kamu para pembantu itu jadi kamu fitnah kakakku!” Intan pun tidak terima atas pernyataanku.

“Bagaimana bisa begini.” Ibu meraung-raung.

“Jawab Mas! Kenapa diam aja!” bentak Reni.

Mas Arman diam saja, dia bolak-balik mengacak rambutnya.

“Kita tunggu Bapak pulang biar semuanya jelas. Aku curiga ini hanya akal-akalan Mbak Fatki saja karena tidak terima Mas Arman menikah lagi,” ucap Intan.

“Terserah saja.” Kutinggalkan mereka masuk kamar.

Aku sangat lelah rasanya nyaman sekali merebahkan otot-otot yang tegang dan kaku.

Baru saja rebahan sorot lampu mobil menembus melalui kaca jendela kamarku. Aku tahu itu mobil bapak. Tepat tiga hari bapak pulang sesuai dengan ucapannya waktu berpamitan pergi.

Bergegas aku mengintip. Kusibak gorden kamar tampak bapak turun dari mobil diikuti perempuan muda. Iya, benar itu Ika.

Aku menunggu kemungkinan yang akan terjadi. Otakku rasanya tidak sampai memikirkan ini semua. Bagaimana bisa satu rumah ada dua madu. Kuayunkan kaki ke depan menyambut kedatangan bapak.

Hanya ada ibu dan Intan. Ah, Mas Arman pasti ngumpet mana berani dia keluar.

Makian keluar dari mulut ibu,  Ika bersembunyi di belakang bapak. Ibu menarik rambut Ika dan menampar Ika berkali-kali. Hebatnya Ika diam saja tidak menangis ataupun mengaduh kesakitan.

Plak!

Bapak menampar wajah ibu. Mungkin bapak kasihan pada Ika dan juga sudah sangat kesal pada ibu.

“Jangan kamu sakiti dia, Bu. Bagaimana pun juga Ika sekarang sudah menjadi istriku dan juga madumu. Mau tidak mau kamu harus terima,” ucap bapak sambil memeluk Ika.

Plak!

Bugk!

Bugk!

Ibu membalas tamparan bapak dan juga menendang selakangan bapak.

“Cuih! Tidak sudi aku mengakui dia maduku. Lebih baik kita pisah saja, Pak,” jawab ibu.

“Tidak! Aku tidak akan menceraikan kamu, Bu. Aku pun sangat sayang padamu,” tegas bapak sambil memegangi selakangannya.

“B4jingan! Serakah! Aku tidak sudi punya suami seperti kamu!” teriak ibu.

Bugk!

Ibu menendang bapak lagi.

“Sikap ibulah yang membuat aku nekat begini. Aku lelaki Bu, butuh kasih sayang dan juga kelembutan seorang istri dan Ika bisa memberikan itu semua padaku,” jawaban bapak yang menohok membuat ibu makin frustasi.

Ibu terus saja berteriak seperti orang kesurupan semua barang yang ada di dekatnya dibanting dan hancur berserakan.

“Dasar lont* doyannya sama aki-aki memang kamu enggak bisa cari yang masih single!” teriak Intan.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Dibyus Db
nice story
goodnovel comment avatar
Noor Arnilan
madu bermadu dlm satu rumah
goodnovel comment avatar
Martini In
bagus critanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status