Aku tidak mau menyimpan di dapur yang ada nanti hilang tak berbekas. Biar saja aku dibilang pelit pasalnya mereka para penghuni rumah ini jika membeli makanan aku sama sekali tidak pernah dikasih.“Mas, apaan sih! Malu tahu!”“Kenapa musti malu, kamu kan, istriku?”“Malu dilihat orang. Meski suami istri, tapi tidak boleh menunjukkan kemesraan secara langsung pada orang lain.”“Enggak ada orang, kok!”“Itu Susanti kamu anggap hantu?” Tadi Susanti mau masuk tidak jadi karena ada Mas Arman yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Jadilah, dia balik badan dan menunggu di luar.“Eh, kok! Perasaan tadi enggak ada siapa-siapa.” Mas Arman tampak salah tingkah.“Ada apa sih, Mas. Kayaknya lagi seneng.”“Hem ... aku memang lagi seneng, Dik. Kamu tahu kan, kalau Reni hamil.” Hatiku mencelos. Aku tadi lupa tentang kehamilan Reni. Sekarang justru suamiku sendiri yang mengingatkannya.“Oh, iya.”“Kok, jadi manyun gitu bibirnya? Meski Reni hamil aku tidak akan melupakanmu, Dik. Makanya sekarang aku m
“Iya, lah. Aku enggak bisa tidur kalau panas. Enak pakai baju begini,” jawabnya cuek.“Kamu ngapain di situ, Mas?”“A—aku tadi ketiduran nonton bola, tahunya si Ika sudah merayuku,” jawab Mas Arman terbata.“Aku sebentar sudah malas berurusan dengan hal beginian, tapi kalau sikapmu masih tidak dirubah besok lebih baik kamu pergi dari sini pulang ke kontrakanmu. Kata Bapak kamu sakit-sakitan ini kok, kamu sehat walafiat,” tegasku.Baik, ibu maupun Reni ke luar kamar. Pasti mereka heran kenapa ada ribut-ribut.“Ada apa, Mas? Loh, kok, kancing bajumu kebuka? Kok, Ika pakai baju begitu?” tanya Reni.Ika semakin jumawa dia justru membusungkan dadanya. Merasa jadi pemenang.“Eh, dasar perempuan enggak ada akhlak. Kegatelan!” Ibu tiba-tiba memukul kepala Ika pakai remot TV.Ika yang tidak terima dengan serangan ibu pun membalas dengan melempar bantal sofa.Hitungan detik mereka terlibat gulat. Mas Arman berusaha memisahkan, tapi sepertinya percuma. Teriakan dan tangisan saling bersahutan.Ak
Hanya inilah yang bisa mengalihkan duniaku. Beruntung aku punya skill menjahit jika tidak, maka aku bisa stres dan meratapi nasib setiap hari.Di dalam rumah tangga hal yang paling terpenting adalah kejujuran. Semua pasangan hidup pasti tahu itu. Jika, kita jujur maka kepercayaan yang kita dapat.Pun sama halnya dengan rumah tangga yang aku jalani. Di sini sudah tidak lagi kejujuran antara Mas Arman denganku, maka dari itu aku sama sekali tidak percaya lagi padanya. Apa pun yang dia lakukan sekarang di mataku hanya sebatas tanggung jawabnya saja. Ucapannya pun sulit sekali untuk kupercaya.~K~U🌸🌸🌸Pagi ini aku masak capcai dan ayam goreng untukku dan Mas Arman saja.Reni rupanya mau dengar nasihat Mas Arman dia setiap pagi masak bedanya dia juga masak untuk ibu dan Intan.Di ruang makan ini hanya terdengar suara denting sendok beradu dengan piring. Entah apa yang merasuki mereka semua. Sepatah kata pun tidak terucap. Kurasa inilah saatnya aku speak up.Ika tidak ikut sarapan. Ent
“Insya Allah secepatnya, San, tentu kita tinggal di sana.”“Memang bisa, ya, bayar separo dulu? Kemarin Mbak bilang uangnya baru ada separo.”“Mudah-mudahan bisa, San. Separonya kita bayar 2 atau 3 bulan lagi. Semoga Ibuku bisa membantu.”“Aamiin, Mbak ... Aku jadi tidak sabar.”“Sama, Mbak juga, he he ....”“Mbak bagi uang dong, aku mau beli buku. Enggak banyak cuma 200 ribu rupiah saja,” pinta Intan dia sudah rapi mau berangkat ke kampus. 200 ribu enggak banyak katanya. Itu setara tenagaku 1 hari. Lagi pula aku tidak percaya dia minta untuk beli buku. Palingan juga untuk nongkrong di kafe bareng teman-temannya.“Enggak ada,” jawabku singkat.“Pelit amat Mbak? Kan, Mbak sewa ruko aja bisa masa aku minta duit 200 ribu rupiah saja tidak dikasih?”“Terserah akulah, mau kasih atau tidak. Kan, duit-duitku.”“Mbak, tolong ... please sekali ini saja,” rengek Intan.“Baiklah, tapi aku bukan kasih gratis, ya? Aku kasih pinjam. Tiga hari lagi kamu kembalikan.”“Da—pat uang dari mana aku, Mbak
Azan Maghrib berkumandang, di dapur juga sudah tidak terdengar suara mereka. Kubuka pintu perlahan, ya, mereka sudah tidak ada.Cepat-cepat aku ambil wudu dan kembali ke kamar. Kutunaikan salat lalu mengaji hingga isya.Ting![Mbak Fatki, kata Susanti kamu mau pindah, ya?]Ternyata WA dari Mbak Sulis.[Insya Allah Mbak, doakan ya, semoga diberi kemudahan. Besok mau tanya lagi ke sana.] Balasku.[Ya, Mbak, aku doakan, tapi kok aku sedih ya, nanti aku tidak ada teman lagi.] Aku tersenyum membaca balasan dari Mbak Sulis, kasihan dia, di sini hanya aku teman dekatnya. Kata dia orang-orang sini tidak ada yang mau berteman dengan ART makanya dia senang saat aku welcome padanya.[Kalau pas libur Mbak Sulis kan, bisa main.] Hiburku.[Iya, sih ... tapi, ya, tetap aja beda. Memang selamanya Mbak Fatki mau tinggal di sana?][Insya Allah ....][Suami Mbak Fatki gimana?] Kali ini aku tertawa membacanya.[Kan, ada istri muda, kok, pusing. Ha ha ....][Tapi, Mbak, kalau Mbak Fatki pindah kesenangan
“Mas, aku butuh uang untuk modal jahitanku. Tolong usahakan ada, ya?” kataku pada Mas Arman. Aku sengaja membicarakan ini di depan ibu dan juga Reni, kami sedang sarapan. Hari ini Mas Arman gajian untuk yang ke dua kalinya semenjak dia kerja di kantor.“Uang? 400 ribu rupiah kemarin sudah habis?” jawab Mas Arman. Aku tertawa mendengar jawabannya.“Jangan boros-boros jadi istri, kamu juga, kan, jahit. Pakai saja uangmu untuk modal,” sahut ibu.Brak!Kugebarak meja hingga membuat semuanya kaget.“Mas pikir pakai otak kamu, uang 400 ribu rupiah hanya cukup makan nasi dan lauk seadanya begini. Mana cukup untuk modal. Sedang kamu ngasih ke gundikmu ini 2 juta rupiah hanya untuk bayar angsuran kasur, meja rias, dan lemari. Itu namanya tidak adil! Kamu bilang mau adil, kan? Kamu harus bagi rata. Kalau tidak bisa juga maka lebih baik ceraikan aku. Tidak sudi aku punya suami seperti kamu. Lahir batin kamu menyiksaku. Dan untuk Ibu, 400 ribu rupiah dibilang boros? Ibu saja uang 400 ribu rupiah
Hitungan detik SW-ku sudah dibaca oleh Mas Arman.Dia langsung meneleponku, tapi aku sama sekali tidak berminat menjawab. Aku beralih ke FB dan IG untuk menawarkan tanahku.Ting![Jahat kamu, Dik! Rumah masih ditempati tanah sudah kamu jual!]Aku hanya tersenyum saja menanggapi WA Mas Arman. Ini baru dia yang tahu, aku tidak bisa bayangkan gimana kalau ibu dan bapak yang tahu."Mbak mau jual tanah?”Susanti sepertinya sudah membaca SW-ku karena dia sedang main HP. Aku mengangguk.“Tanah mana, Mbak? Berarti nanti kalau tanahnya laku kita bisa langsung pindah ke ruko itu, ya?” Aku mengangguk lagi.“Aku sudah tidak sabar, Mbak. Nanti di sana kita dekor ruangan khusus jahit sama ruangan yang untuk koleksi baju-baju kita, ya, Mbak. Ah, akhirnya impianku kerja di butik terwujud,” celoteh Susanti. Lucu, tapi aku aamiinkan dalam hati setiap keinginannya.“Mbak, tanah mana? Kok, malah senyum-senyum gitu?”“Tanah ini yang kita tempati,” jawabku datar. Sudah kuduga pasti Susanti akan kaget. Eksp
“Ya, begitulah. He he he .... tapi, Mbak enggak mau berlarut-larut dalam kesedihan, San. Mereka bahagia, Mbak juga harus bahagia dengan cara Mbak sendiri.“Aku setuju! Aku akan selalu dukung Mbak Fatki.”“Terima kasih ya, San. Oh, iya, obrolan tadi hanya sekedar sharing. Jangan kamu jadikan patokan. Kamu bisa cari referensi dan sumber lain yang lebih afdol dari Kiyai yang mumpuni, jangan ngaji online. Karena menuntut ilmu itu harus ada gurunya yang menjelaskan secara detail dan benar berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.”“Iya, Mbak. Siap!”“Sudahan yuk, istirahatnya! Kita jahit baju dua lagi. Setelah ini kita packing. Mbak ada janji sama Ibu yang punya ruko itu nanti temani, ya?”“Dengan senang hati. Asyik, aku jadi tidak sabar beneran pingin cepat pindah.”~K~U🌸🌸🌸Jahitan sarimbit keluarga sudah ready. Sudah kupacking rapi dan siap diambil yang punya. Sambil menunggu konsumen datang aku dan Susanti memotong kain untuk jahitan besok. Target kami besok 4 baju. Dua aku yang jahit dan du