Share

BAB 3 Rahasia Bapak mertua.

Aku tertegun membaca ulang chatinganku dengan Mbak Sulis. Astaghfirullah ... ternyata suamiku sebejad itu. Aku bingung antara percaya atau tidak. Aku menikah memang baru seumur jagung baru dua tahun, tapi aku paham benar sifat suamiku.

Menurut pengakuan Mbak Sulis suamiku menghamili Art bernama Ika. Rasanya kok ada yang janggal. Yang dihamili Ika kenapa yang dinikahi Reni.

Tok! 

Tok!

“Dik, mari makan. Ini sudah malam kamu belum makan,” ajak Mas Arman.

“Iya ... tunggu sebentar.” Kurapikan rambut yang acak-acakan lalu keluar.

Di meja makan sudah kumpul semuanya termasuk bapak mertuaku dan juga Reni.

Bapak mertuaku ini tipe orang suami takut istri. Apa pun yang dilakukan istrinya dia hanya bisa bilang iya meskipun dia tidak setuju dan juga terkekang. Aku kadang kasihan pada beliau, tapi aku pun tidak bisa berbuat lebih.

Tatapanku fokus pada Reni. Dia terlihat seksi sekali. Masa makan malam bareng keluarga berpakaian begitu. Baju tidur tanpa lengan berbahan satin dan pendek se paha.

Astaghfirullah ... aku selama ini pun tidak pernah berbaju haram begitu kalau tidak di kamar bersama suamiku.

“Ayo, Dik. Ini dimakan yang banyak, ya? Kamu harus lekas sembuh.” Mas Arman menyendokkan nasi ke piringku dan juga sayur mayur.

“Eghem!” Reni berdehem tidak suka. Mas Arman tidak peduli malah dia menyuapiku.

“Arman!” tegur ibu.

“Apa Bu, aku harus adil. Fatki juga istriku dia sedang sakit jadi tolong Ibu tidak usah ikut-ikutan,” jawab Mas Arman tanpa menoleh pada ibu. Dia tetap menyuapiku.

“Tapi, enggak gitu juga Arman. Kasihan itu Reni,” sahut ibu lagi.

“Aku seharian sudah dengan Reni. Jadi, dia tidak bisa protes kalau aku memperlakukan Fatki begini. Bagaimana pun juga Fatki istri pertamaku dia juga berhak atas diriku.” Aku tertegun mendengar jawaban Mas Arman.

“Cukup, Mas. Aku sudah kenyang.”

“Sedikit lagi. Kamu harus makan banyak, Dik. Biar cepat sehat.” Aku menurut saja.

Reni terlihat sangat kesal. Dia tidak makan hanya mengaduk-aduk nasi saja. Mulutnya mengerucut khas orang marah.

“Nah, pinter istrinya Mamas. Kalau makan begini kan, nanti pasti cepat pulih.” Mas Arman mengelap mulutku pakai tangannya dan memberikanku minum.

“Terima kasih, Mas,” ucapku tulus.

“Sama-sama, Sayang.” Kini Mas Arman beralih pada piring nasi yang di depannya. Makan lahap tanpa peduli dengan orang sekitar.

Aku bingung. Kalau Mas Arman sebejat yang dibicarakan Mbak Sulis tentu gelagatnya akan mencurigakan. Baiklah aku akan uji nyalinya.

“Bu, kenal Mbak Ika enggak? Itu art rumah paling ujung. Dia sekarang sudah tidak kerja lagi. Dia pulang kampung,” tanyaku pada ibu.

Ibu terlihat gugup begitu juga Mas Arman dia langsung menghentikan kunyahannya.

“Ka—mu kenal di mana, Fatki?” tanya ibu terbata-bata. Aku jadi semakin curiga jangan-jangan mereka memang kenal dan sudah tahu.

“Ibu ini gimana? Aku kan, penjahit. Mbak Ika beberapa kali menjahit baju padaku. Kasihan dia hamil, tapi pacarnya tidak bertanggung jawab.” Wajah ibu memerah seperti menahan sesuatu. Mas Arman pun seperti salah tingkah.

“Mbak Fatki ini enggak gaul ya, masa temenan sama pembantu. Akrab lagi. Temenan itu sama orang yang masa depannya cerah Mbak biar ketularan sukses.” Intan ikut menimpali. Ck, ini bocah kalau ngomong suka tidak direm.

“Ibu tidak kenal, Fatki. Benar kata Intan kamu kurangi bergaul dengan pembantu model Ika sama Sulis itu. Kamu tahu kan, Sulis itu tukang gosip,” jawab ibu. Kini pandangan beliau beralih pada Mas Arman.

“Kalian membicarakan orang lain tanpa peduli padaku di sini?” protes Reni. Ya ampun, dia sudah seperti anak kecil saja yang minta diperhatikan.

“Maaf Sayang bukan begitu. Ibu hanya menjawab pertanyaan Fatki. Ayo, dimakan lagi. Biar kamu selalu sehat dan cepat punya anak.” Ibu mertuaku begitu manis bicara pada Reni. Dua tahun aku menjadi menantunya sama sekali tidak pernah diperlakukan begitu.

“Aku mau disuapin sama Mas Arman, Bu.”

“Arman suapin Reni. Kamu harus adil!” titah ibu. Mas Arman pun menyuapi Reni.

Aku? Tentu saja cemburu. Ah, tapi ya, sudahlah. Aku harus membiasakan ini.

“Pak, Bu, ada yang mau aku bicarakan serius.” Bapak dan ibu beralih melihatku begitu juga Mas Arman.

“Em ... begini. Mas Arman sekarang sudah menikah lagi. Jadi, dia berkewajiban memberi tempat tinggal. Istri tidak bisa dicampur dalam satu atap. Itu sudah aturan agama. Jadi ....”

“Maksudnya kamu mau ngusir aku dari sini!” Reni berteriak memotong ucapanku.

“Kalau kamu sadar diri. Baguslah,” jawabku tegas.

Brak!

Ibu menggebrak meja makan.

“Fatki! Jangan ajari kami tentang agama. Aku jauh lebih tahu dari kamu. Kalau kamu tidak mau campur dengan madumu tidak masalah. Kamu bisa angkat kaki dari sini.” Ibu menuding wajahku.

“Dengan senang hati, Bu. Aku pun tidak mau tinggal di sini. Besok aku mau cari kontrakan. Oh, iya, semua isi rumah ini akan aku bawa karena ini milikku.” Aku tidak kalah tegas dengan ancaman ibu.

“Apa? Enak saja. Pergi ya, pergi aja jangan bawa apa pun.” Intan ikut bersuara. Dasar bocah tidak tahu akhlak.

“Kamu tidak usah ikut campur Intan. Kamu lupa semua aku yang beli dari hasil jerih payahku? Aku doakan semoga kamu nantinya tidak akan dimadu oleh suamimu agar kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan.” 

“Apaan sih, Mbak. Aku ini cantik, normal, sehat. Mana mungkin suamiku nantinya poligami. Memang Mbak Fatki enggak normal tiga kali hamil tiga kali pula keguguran,” jawabnya sinis. 

Aku menutup mataku mencoba untuk tidak memasukkan ucapan Intan ke dalam hatiku.

“Cantik? Punya kaca, kan? Bahkan aku jauh lebih cantik dari kamu. Untuk menduakan istri itu tidak memandang cantik atau tidak, Tan. Mungkin nafsu yang diutamakan. Contohnya Mas Arman kamu punya mata kan, bisa bedakan lebih cantik mana antara aku dan Reni,” jawabku telak. Mereka semua ternganga mendengar ucapanku. 

Mereka pasti heran. Wanita lemah lembut yang selalu mengalah berani membela diri dan menjatuhkan harga diri orang lain.

“Cukup! Meski kamu jauh lebih cantik dariku, tapi kamu hanya seorang penjahit yang penghasilannya tidak seberapa. Berbeda denganku gajiku jutaan dan aku kerja di tempat bagus.” Reni rupanya tidak mau kalah. 

“Gajiku kecil? He-he lucu sekali. Kalau gajiku kecil aku tidak bisa membeli perabotan di rumah ini, tidak bisa ikut bayar kuliahnya Intan, tidak bisa bayar BPJS keluarga ini setiap bulan, tidak bisa bayar air, listrik, dan juga beras setiap bulan. Enggak usah bangga! Kamu hanya pelayanan toko. Sedang aku bos untuk usahaku sendiri.” 

“Cukup! Kamu kenapa jadi hitung-hitungan begini Dik? Jadi, kamu tidak ikhlas selama ini bantu aku?” protes Mas Arman.

“Tidak! Setelah aku tahu kamu menikah diam-diam maka aku tidak akan pernah ikhlas,” jawabku tegas. Ya Tuhan, maafkan aku ampuni aku sudah bersikap begini pada suamiku.

“Jadi, mau kamu apa?” Pada akhirnya Mas Arman menanyakan itu juga padaku.

“Aku mau pisah Mas, aku rasa tidak sanggup menjalani poligami ini.”

“Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mau menceraikan kamu! Oke, aku ngalah beri aku waktu untuk mencarikan kontrakan untuk Reni.”

“Aku beri waktu dua hari.”

“Eh, sinting ini perempuan. Mana bisa begitu. Kamu kira nyari kontrakan seperti nyari keong di sawah. Banyak dan gampang gitu?” timpal ibu.

“Banyak kok, kontrakan. Asal ada duitnya.”

“Enggak! Meski aku punya duit aku tidak mau pergi dari sini!” tolak Reni terang-terangan.

“Ya, sudah kalau tidak mau pergi juga tidak apa-apa. Aku bisa pergi dari sini. Oh, iya, Bu. Masih ingat kan, perjanjian kita. Ibu akan membayar tanah ini jika tidak maka rumah ini akan menjadi milikku dengan bayaran separuh harga.” Mata Ibu membelalak sempurna dan terlihat sekali kesal padaku.

“Apa yang dibilang Fatki benar. Arman harus mencari rumah untuk madunya. Mereka tidak bisa tinggal satu atap.” Akhirnya bapak ikut bersuara.

“Diamlah, Pak. Ini urusan kami. Bapak diam saja,” sahut ibu murka. Bapak yang merasa tidak dihargai pergi begitu saja ke kamarnya.

“Dik, kita bisa bicarakan baik-baik tanpa perlu emosi. Mas tahu kamu sedang sakit dan juga marah padaku, tapi tolong jangan bawa-bawa orang rumah. Mas yang salah sudah mau menuruti saran Ibu. Kamu harus tahu Mas tetap mencintaimu lebih dari siapa pun termasuk Reni.” Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak. Cinta kok mendua alasan orang tua lagi.

Kulirik Reni dia menahan tangisnya.

“Kamu dengar sendiri kan, Ren. Kalau Mas Arman cinta mati padaku. Kamu harusnya sadar diri. Kamu hanya dijadikan mesin pencetak anak saja oleh mertua dan suamiku. Dasar bod*h mauan saja diperalat.”

Plak!

“Kurang ajar sekali kamu, Fatki!” Ibu menampar pipiku. Panas dan sakit sekali rasanya.

“Akui saja, Bu. Kalau aku berpisah dengan anak Ibu pun tidak akan menyesal. Jadi, Ibu tidak perlu main kasar. Aku bisa membalas tamparan Ibu, tapi aku sadar aku bukan iblis seperti Ibu.” Kutinggalkan mereka semua masuk ke kamar. 

Mas Arman mengejarku. 

“Dik, tunggu.” Didorongnya pintu kamar yang akan aku tutup.

“Pergilah, Mas. Aku tidak mau kamu ada di sini.”

“Mas minta maaf. Mas janji akan memperbaiki semua keadaan ini. Tolong jangan pergi tinggalkan Mas, ya?” Mas Arman memelukku erat sekali.

“Aku tidak bisa janji, Mas. Ini terlalu menyakitkan.” Mas Arman tidak menjawab lagi dia tetap memelukku.

“Pergi sana, nanti Ibu marah lagi. Kamu harus kerja lembur bukan? Reni kan, haru segera hamil.”

 “Tidak mau, Mas mau di sini bersamamu. Semalam Mas sudah bersama Reni.” 

Kubiarkan saja Mas Arman. Terserah dia kalau mau tidur lesehan di sini.

~K~U🌸🌸🌸

Aku terbangun saat ada telepon masuk. Kulihat jam sudah pukul 11 malam. Ternyata ibuku yang telepon ada apa ya malam-malam begini telepon. 

“Assalamu’alaikum, Bu.”

“W*’alaikumsalam ... kamu sudah tidur ya, Nak. Maaf ya, malam-malam begini Ibu mengganggu.”

“Enggak apa-apa, Bu. Ada apa? Apakah Bapak sakit lagi?” tanyaku to the point. Aku benar-benar khawatir karena bapak sudah sepuh jadi sering sakit.

“Alhamdulillah ... Bapak sehat, Nak.”

“Alhamdulillah ....”

“Anu, ini Nak, Ibu mau kasih tahu. Besok itu anaknya Bu Sumini mau menikah, tapi anu ....”

“Anu apa, Bu? Ah, aku tahu Ibu malu ya, mau minta untuk kondangan?”

“He-he bukan, Nak. Insya Allah hasil dari kebun dan sawah cukup kalau hanya untuk makan berdua,” jawab ibu tertawanya renyah sekali.

“Lalu anu apa?” 

“Anu itu, diundangnya kok tertera nama bapak mertuamu. Pak Samsudin. Alamatnya pun sama dengan alamat rumahmu.” Degh. Aku kaget dan sangat syok mendengar pengakuan ibu.

“Ah, yang benar, Bu? Lagi pula Bu Sumini itu siapa si, orangnya yang mana?”

“Kamu tidak kenal. Ibu yang kenal karena kami sering ketemu kalau pengajian bulanan. Desa sebelah rumahnya. Karena kenal itulah Ibu dapat undangan.”

“Aduh, aku kok jadi bingung sendiri ya, Bu?” jawabku jujur.

“Ibu pun bingung. Harus datang atau tidak. Kasihan Bu Sumini juga kalau Ibu kasih tahu yang sebenarnya.”

Kami saling diam. Ibu benar beliau memberitahuku.

“Kamu yang bicarakan dengan Ibu mertuamu ya, Nak,” pinta ibu.

“I—ya Bu, nanti aku yang bilang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status