Kusempatkan membuka ponselku sebentar. Mas Arman mengirim banyak sekali pesan, dan juga berkali-kali meneleponku, tapi aku malas membacanya.
“Pagi Bu Fatki, sebelum pulang sarapan dulu, ya? Apakah ada yang bisa saya bantu lah?” Seorang petugas pengantar makanan pasien datang tepat saat aku sedang beres-beres barang mau pulang.
“Tidak usah, Mbak. Terima kasih,” tolakku halus. Lalu mereka pergi mengantarkan makanan ke ruangan lain.
“Pulang ke mana, Nak? Kok kamu sendirian dari kemarin keluargamu ke mana?” Ibu paruh baya yang dirawat di sebelahku ikut bersuara. Pasti beliau juga penasaran kenapa aku sendirian. Pulang pun sendiri.
“Ada Bu, mereka di rumah,” jawabku singkat. Aku tersenyum getir. Mata kukerjapkan berkali-kali agar tidak menangis.
Ah, tentu saja mereka sedang berbahagia. Ibu sedang senang menghitung uang amplop sedang Mas Arman masih dengan maduku.
“Pulangnya ke mana, Nak?” tanya beliau lagi.
“Kampung Tugurejo, Bu?”
“Wah, satu arah nanti biar bareng anakku saja, Nak. Dia mau pulang sebentar mau ambil baju ganti.”
“Tidak usah, Bu. Takut merepotkan. Aku harus ambil obat dulu.”
“Enggaklah, santai saja, Nak. Nanti dia juga pulangnya agak siangan. Masih nunggu kakaknya gantian di sini.” Aku mengangguk setuju.
Jujur aku harus hemat uang mulai sekarang. Ongkos ke rumah lumayan kalau naik taxi online 25 ribuan.
Sekilas mata kami bertemu, anak ibu itu tersenyum ramah padaku meski tidak ikut berbicara.
Aku segera sarapan, walaupun masih sedikit lemas dan ogah makan tetap aku paksakan aku butuh tenaga belum tentu nanti aku sampai rumah bisa makan. Tidak menangis saja masih untung.
Aku dirawat menggunakan BPJS jadi tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Alhamdulillah. Meski hanya sanggup membayar kelas dua, tapi ini sangat memudahkanku.
BPJS kesehatan yang bayar tentu saja aku dari hasil keringatku, hasil menjahitku.
Setelah selesai beberes dan sarapan aku menuju apotek untuk mengambil obat alhamdulillah tidak antre. Mungkin karena masih terlalu pagi.
Saat aku kembali ke ruangan tempatku dirawat sudah ramai. Ternyata keluarga pasien di sebelahku yang datang.
“Mbak, namanya siapa? Mari pulang!” sapa anak ibu tadi.
“Fatki, namanya Fatki. Kan, sudah ada namanya itu di ranjang pasien,” jawab ibunya. Aku tersenyum mengiyakan.
Sepanjang perjalanan kami saling diam. Aku yang sibuk dengan pikiranku membayangkan bagaimana nanti di rumah membuatku malas berbicara.
Sedang Mas yang bersamaku sibuk mendengarkan musik sambil mengikuti liriknya.
“Mas, aku turun di sini saja. Rumahku sedikit masuk gang sana, jadi mobil tidak bisa masuk,” kataku berbohong. Aku tidak mungkin diantar laki-laki lain sampai depan rumahku. Bisa menjadi bomerang untukku sendiri.
“Oh, iya, baiklah. Sebentar aku menepi dulu.”
“Terima kasih banyak ya, Mas. Salam untuk ibunya.” Dia hanya mengiyakan dengan isyarat tangan. Lalu pergi.
Kuayunkan kaki ini perlahan. Kalau mau menuruti hawa nafsu aku malas sekali pulang ke sana. Aku tidak sudi lagi menjadi istri Mas Arman, tapi aku pun tidak mau pulang dulu ke rumah orang tuaku mereka sudah sepuh pasti akan sedih setelah tahu nasibku begini. Lagi pula itu rumah yang kami tempati berdiri di atas tanahku.
Tanah dapat dibeli dari menjual seluruh perhiasanku dulu waktu aku gadis. Rumah memang yang membangun orang tua Mas Arman dan juga sedikit uang Mas Arman. Kalau aku pergi begitu saja nanti mereka semakin keenakan.
Saat melewati lapangan dekat rumah kami banyak orang menatapku aneh. Mungkin ada yang iba, atau malah mereka senang atas penderitaanku.
Ada Mbak Sulis sedang mengasuh anak majikannya. Begitu melihatku dia melambaikan tangan dan memberi isyarat agar menelepon. Aku iyakan saja.
Ujung lapangan adalah rumah kami. Terlihat sepi. Hatiku semakin deg-degan. Kulihat seorang wanita muda sedang menjemur pakaian di halaman kami. Oh, itu jelas bukan istri Mas Arman. Aku sedikit tahu dari Mbak Sulis tentang istri muda Mas Arman. Karena kami juga sering bertemu kalau ke swalayan. Ya, Echa atau Reni bekerja di swalayan tidak jauh dari sini.
Begitu melihatku dia tertegun dan segera masuk rumah.
Aku pun segera masuk rumah. Rasanya ingin istirahat.
“Assalamualaikum ....”
Begitu mendengar salamku aktivitas di rumah ini terhenti. Mereka melihatku seperti melihat setan. Kaget dan salah tingkah. Mas Arman sedang duduk di sofa ruang tamu bersama seorang wanita. Bukan duduk bersebelahan. Wanita itu duduk di pangkuan Mas Arman.Meski aku syok, tapi berusaha untuk biasa saja. Ternyata wanita yang menjemur pakaian tadi bukan istri baru Mas Arman. Mungkin saudara ibu.
“Fatki!” panggil ibu mertuaku. Mas Arman langsung merapikan pakaiannya dan menghampiriku.
“Ka—mu sudah pulang, Nak?” Aku mengangguk saja.
"Dik, kamu pulang kok, enggak bilang-bilang? Kan, bisa Mas jemput," sahut Mas Arman
“Em ... ini kami kemarin tidak ke sana sedikit sibuk.” Ibu mertuaku mengajakku duduk. Mas Arman pun ikut duduk di sebelahku.
“Em ... gimana ya, ngomongnya. Fakti ... Arman ....”
Kini aku menatap lekat-lekat suamiku. Kucari jawaban di sana meski aku sudah tahu jawabannya.
Mas Arman tidak berani membalas tatapanku, dia langsung menunduk ke bawah. Wanita itu diam saja di pojok sambil memainkan ponselnya.
“Dik, Mas minta maaf. Itu namanya Reni Echa Sari, adik madumu. Kami sudah menikah kemarin. Itu kenapa Mas tidak menjagamu di rumah sakit. Maafkan Mas,” ucap Mas Arman lancar jaya meski tidak berani menatapku.
“Iya, yang dibilang Arman benar, Ibu harap kamu bisa menerima keputusan kami,” sahut ibu.
Bagaikan dihujam seribu mata pisau hatiku sakit teramat sakit.
“Kenapa?” Hanya itu yang bisa kukatakan.
“Kami ingin cucu sedang kamu sudah dua tahun menikah dengan Arman belum memberi kami cucu. Kamu sudah tiga kali keguguran. Kami takut kalian tidak akan punya anak. Arman subur Reni juga subur tentu mereka akan cepat punya anak nantinya. Bukan hanya kami yang bahagia, kamu juga akan bahagia. Anak mereka anakmu juga.” Ibu mertuaku menjawab dengan ucapan sangat lembut, tapi berhasil membunuhku secara perlahan.
Bagaimana beliau tahu kami tidak akan punya anak. Memang beliau Tuhan? Aku pun tidak ingin seperti ini. Aku pun sedih atas musibah ini. Aku juga ingin punya anak seperti wanita-wanita di luar sana. Aku pun tidak mandul buktinya aku bisa hamil sampai tiga kali.
Aku hanya butuh istirahat karena rahimku lemah. Tega sekali beliau berkata seperti itu. Bagaimana kalau posisinya di rubah, aku yang menjadi Arman dan Arman yang menjadi aku? Pasti sebagai seorang ibu beliau akan marah dan sedih. Ini benar-benar tidak bisa diterima nalarku.
“Iya, Dik. Ibu benar. Tolong maafkan aku. Mas janji akan adil pada kalian,” timpal Mas Arman.
“A—aku ingin istirahat.” Tanpa mau mendengarkan lagi penjelasan dari mulut busuk mereka aku segera masuk kamar.
Kenapa bau wangi kamarku berubah. Kamarnya pun sangat berantakan. Kubuka lemari untuk mengambil baju ganti, tapi bajuku tidak ada satu pun di sini. Penataannya pun sangat tidak rapi. Ke mana baju-bajuku?
“Dik, em ... kamar ini dipinta Reni, pakaian dan semua perlengkapanmu sudah dipindahkan di kamar belakang.” Aku berhenti mencari bajuku setelah mendengar suara Mas Arman dari pintu.
Oh, ternyata bukan hanya suamiku saja yang dipintanya. Kamar dan lemari ini juga diembatnya.Tidak mau membalas ucapan Mas Arman Kutinggalkan dia begitu saja. Penghuni rumah ini tidak ada yang bersuara. Mereka hanya menatapku sekilas saja.
Air mataku tumpah begitu masuk kamar ini. Biarlah orang menganggapku lemah dan cengeng dengan menangis aku bisa merasa sedikit lega.
Ketukan pintu kuhiraukan. Aku tidak mau ke luar. Sudah lebih dari lima jam aku di kamar ini.
Kamar ini mengingatkan awal-awal kami menikah dulu. Tepatnya pengantin baru. Kasur lusuh yang kutiduri ini menjadi saksi bisu perjuangan kami. Sekarang aku kembali ke asal sini. Spring bed empuk yang mereka tiduri hasil jerih payahku bekerja sewaktu gadis. Bukan hanya itu. Semua isi perabotan di rumah ini aku yang beli pakai uang pribadiku.
Kuperiksa bajuku satu per satu, tas, hijab, sepatu dan buku-bukuku Alhamdulillah tidak ada yang kurang. Ini pun sudah ditata rapi aku yakin yang mengerjakan ini Mas Arman.
Cacing di perutku seolah berdemo minta makan. Aku segera ke luar dan mengambil makan.
Ada menu lengkap hari ini. Aku tidak mau mengajak yang lain ataupun menawari mereka makan. Aku sekarang tidak mau peduli lagi. Seperti mereka yang tidak peduli dengan diriku.Tinggal suapan terakhir diserobot Mas Arman. Dia duduk di sebelahku. Memandangku dan membelai rambutku.
“Aku juga lapar, belum makan. Kita makan berdua, ya?” ucapnya memohon.
“Aku sudah kenyang.”
“Tega sekali, padahal aku kelaparan. Nambah lagi ya, kita makan berdua,” pintanya.
“Tidak. Aku sudah kenyang.” Aku hendak beranjak dari meja makan ini.
Mas Arman menarik tanganku dibawanya aku dalam pelukannya. Dulu aku akan bahagia diperlakukan seperti ini dan dengan segera membalas pelukannya.
Sekarang hanya sakit yang aku rasakan. Tubuh kekar ini, bau khas badannya sudah dinikmati wanita lain selain diriku.
Reni berjalan ke arah kami sambil memainkan ponselnya. Begitu melihat kami dia langsung berbalik dan masuk kamar. Terdengar pintu ditutup dengan sangat kuat hingga kaca jendela ikut bergetar.
Mas Arman langsung mengurangi pelukannya. Ibu memandang sinis padaku.
“Tahu dirilah, Fatki. Kalau mau mesra-mesraan jangan sampai terlihat Reni. Dia juga istrinya Arman pasti sekarang dia sedih. Arman kamu samperin itu Reni. Jangan sampai dia stres dan sedih nanti susah hamil,” tegur ibu.
Mas Arman bak kerbau dicucuk hidungnya dia bergegas masuk kamar. Menuruti kemauan ibunya.
“Kamu yang habis makan ini?” tanya ibu. Beliau menunjuk piring kotor bekasku makan.
“Iya.”
“Enggk sopan! Kami semua belum makan kok, kamu sudah makan duluan!” omel ibu.
Aku tidak mau mendengar omelannya kutinggal ibu sendiri. Aku kembali masuk kamar.
Aku bingung entah apa yang harus aku lakukan sekarang ini. Mau keluar pun yang ada jadi bahan olok-olokan mereka.
“Mbak, boleh masuk?”
“Masuk aja,” jawabku malas.
“Mbak, aku mau main nih, bagi uang dong. Kemarin itu kan, jahitan Mbak Fatki banyak. 200 ribu rupiah aja,” rengek Intan adik iparku.
“Enggak ada.”
“Pelit banget sih! Pantas saja enggak punya anak! Pantas saja Kakakku menikah lagi.” Sumpah demi apa pun hatiku sakit sekali mendengar ucapan Intan.
“Iya, aku pelit! Saking pelitnya sampai tiap hari kamu pergi kuliah aku yang ongkosin dan kasih uang jajan! Pergi sana!” Usirku.
“Ngusir? Ini rumah orang tuaku loh, Mbak Fakti aja sana yang pergi!” jawab Intan sedikit berteriak.
“Ini memang rumah orang tuamu, tapi kamu harus tahu, ini tanahku. Orang tuamu bangun rumah di atas tanahku.” Intan kaget aku bicara lantang padanya.
Aku memang tidak pernah bicara kasar dan bernada kuat. Mulai hari ini mungkin akan terbiasa.
“Ada apa sih, ribut-ribut!” sahut ibu dari dapur. Kamar ini memang terhubung langsung dengan dapur.
“Ini Bu, Mbak Fakti dimintain duit enggak kasih malah ngusir kita. Dia bilang ini tanah dia! Ibu hanya numpang di sini!” jawab Intan dengan teriakan cemprengnya.
“Apa! Oh, dasar mantu durhaka! Pantas saja selau keguguran ternyata sifatnya dengki sama orang tua!” maki ibu.
Kudorong tubuh Intan hingga dia terjatuh ke luar dari kamar. Kututup pintu dengan kekuatan super hingga menimbulkan suara yang amat memekikkan telinga.
“Heh! Dasar kamu ya, b4b* bisa beli pintu kamu!” Kututup kupingku dengan headset aku tidak mau dengar makian ibu lagi.
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal