Share

BAB 2 Reni namanya.

Kusempatkan membuka ponselku sebentar. Mas Arman mengirim banyak sekali pesan, dan juga berkali-kali meneleponku, tapi aku malas membacanya. 

“Pagi Bu Fatki, sebelum pulang sarapan dulu, ya? Apakah ada yang bisa saya bantu lah?” Seorang petugas pengantar makanan pasien datang tepat saat aku sedang beres-beres barang mau pulang.

“Tidak usah, Mbak. Terima kasih,” tolakku halus. Lalu mereka pergi mengantarkan makanan ke ruangan lain.

“Pulang ke mana, Nak? Kok kamu sendirian dari kemarin keluargamu ke mana?” Ibu paruh baya yang dirawat di sebelahku ikut bersuara. Pasti beliau juga penasaran kenapa aku sendirian. Pulang pun sendiri.

“Ada Bu, mereka di rumah,” jawabku singkat. Aku tersenyum getir. Mata kukerjapkan berkali-kali agar tidak menangis.

Ah, tentu saja mereka sedang berbahagia. Ibu sedang senang menghitung uang amplop sedang Mas Arman masih dengan maduku.

“Pulangnya ke mana, Nak?” tanya beliau lagi.

“Kampung Tugurejo, Bu?”

“Wah, satu arah nanti biar bareng anakku saja, Nak. Dia mau pulang sebentar mau ambil baju ganti.”

“Tidak usah, Bu. Takut merepotkan. Aku harus ambil obat dulu.”

“Enggaklah, santai saja, Nak. Nanti dia juga pulangnya agak siangan. Masih nunggu kakaknya gantian di sini.” Aku mengangguk setuju. 

Jujur aku harus hemat uang mulai sekarang. Ongkos ke rumah lumayan kalau naik taxi online 25 ribuan. 

Sekilas mata kami bertemu, anak ibu itu tersenyum ramah padaku meski tidak ikut berbicara.

Aku segera sarapan, walaupun masih sedikit lemas dan ogah makan tetap aku paksakan aku butuh tenaga belum tentu nanti aku sampai  rumah bisa makan. Tidak menangis saja masih untung.

Aku dirawat menggunakan BPJS jadi tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Alhamdulillah. Meski hanya sanggup membayar kelas dua, tapi ini sangat memudahkanku. 

BPJS kesehatan yang bayar tentu saja aku dari hasil keringatku, hasil menjahitku.

Setelah selesai beberes dan sarapan aku menuju apotek untuk mengambil obat alhamdulillah tidak antre. Mungkin karena masih terlalu pagi.

Saat aku kembali ke ruangan tempatku dirawat sudah ramai. Ternyata keluarga pasien di sebelahku yang datang.

“Mbak, namanya siapa? Mari pulang!” sapa anak ibu tadi.

“Fatki, namanya Fatki. Kan, sudah ada namanya itu di ranjang pasien,” jawab ibunya. Aku tersenyum mengiyakan.

Sepanjang perjalanan kami saling diam. Aku yang sibuk dengan pikiranku membayangkan bagaimana nanti di rumah membuatku malas berbicara.

Sedang Mas yang bersamaku sibuk mendengarkan musik sambil mengikuti liriknya.

“Mas, aku turun di sini saja. Rumahku sedikit masuk gang sana, jadi mobil tidak bisa masuk,” kataku berbohong. Aku tidak mungkin diantar laki-laki lain sampai depan rumahku. Bisa menjadi bomerang untukku sendiri.

“Oh, iya, baiklah. Sebentar aku menepi dulu.”

“Terima kasih banyak ya, Mas. Salam untuk ibunya.” Dia hanya mengiyakan dengan isyarat tangan. Lalu pergi.

Kuayunkan kaki ini perlahan. Kalau mau menuruti hawa nafsu aku malas sekali pulang ke sana. Aku tidak sudi lagi menjadi istri Mas Arman, tapi aku pun tidak mau pulang dulu ke rumah orang tuaku mereka sudah sepuh pasti akan sedih setelah tahu nasibku begini. Lagi pula itu rumah yang kami tempati berdiri di atas tanahku.

Tanah dapat dibeli dari menjual seluruh perhiasanku dulu waktu aku gadis. Rumah memang yang membangun orang tua Mas Arman dan juga sedikit uang Mas Arman. Kalau aku pergi begitu saja nanti mereka semakin keenakan.

Saat melewati lapangan dekat rumah kami banyak orang menatapku aneh. Mungkin ada yang iba, atau malah mereka senang atas penderitaanku.

Ada Mbak Sulis sedang mengasuh anak majikannya. Begitu melihatku dia melambaikan tangan dan memberi isyarat agar menelepon. Aku iyakan saja.

Ujung lapangan adalah rumah kami. Terlihat sepi. Hatiku semakin deg-degan. Kulihat seorang wanita muda sedang menjemur pakaian di halaman kami. Oh, itu jelas bukan istri Mas Arman. Aku sedikit tahu dari Mbak Sulis tentang  istri muda Mas Arman. Karena kami juga sering bertemu kalau ke swalayan. Ya, Echa atau Reni bekerja di swalayan tidak jauh dari sini.

Begitu melihatku dia tertegun dan segera masuk rumah.

Aku pun segera masuk rumah. Rasanya ingin istirahat. 

“Assalamualaikum ....” 

Begitu mendengar salamku aktivitas di rumah ini terhenti. Mereka melihatku seperti melihat setan. Kaget dan salah tingkah. Mas Arman sedang duduk di sofa ruang tamu bersama seorang wanita. Bukan duduk bersebelahan. Wanita itu duduk di pangkuan Mas Arman.

Meski aku syok, tapi berusaha untuk biasa saja. Ternyata wanita yang menjemur pakaian tadi bukan istri baru Mas Arman. Mungkin saudara ibu.

“Fatki!” panggil ibu mertuaku. Mas Arman langsung merapikan pakaiannya dan menghampiriku.

“Ka—mu sudah pulang, Nak?” Aku mengangguk saja.

"Dik, kamu pulang kok, enggak bilang-bilang? Kan, bisa Mas jemput," sahut Mas Arman

“Em ... ini kami kemarin tidak ke sana sedikit sibuk.” Ibu mertuaku mengajakku duduk. Mas Arman pun ikut duduk di sebelahku.

“Em ... gimana ya, ngomongnya. Fakti ... Arman ....” 

Kini aku menatap lekat-lekat suamiku. Kucari jawaban di sana meski aku sudah tahu jawabannya.

Mas Arman tidak berani membalas tatapanku, dia langsung menunduk ke bawah. Wanita itu diam saja di pojok sambil memainkan ponselnya.

“Dik, Mas minta maaf. Itu namanya Reni Echa Sari, adik madumu. Kami sudah menikah kemarin. Itu kenapa Mas tidak menjagamu di rumah sakit. Maafkan Mas,” ucap Mas Arman lancar jaya meski tidak berani menatapku.

“Iya, yang dibilang Arman benar, Ibu harap kamu bisa menerima keputusan kami,” sahut ibu.

Bagaikan dihujam seribu mata pisau hatiku sakit teramat sakit. 

“Kenapa?” Hanya itu yang bisa kukatakan.

“Kami ingin cucu sedang kamu sudah dua tahun menikah dengan Arman belum memberi kami cucu. Kamu sudah tiga kali keguguran. Kami takut kalian tidak akan punya anak. Arman subur Reni juga subur tentu mereka akan cepat punya anak nantinya. Bukan hanya kami yang bahagia, kamu juga akan bahagia. Anak mereka anakmu juga.” Ibu mertuaku menjawab dengan ucapan sangat lembut, tapi berhasil membunuhku secara perlahan.

Bagaimana beliau tahu kami tidak akan punya anak. Memang beliau Tuhan? Aku pun tidak ingin seperti ini. Aku pun sedih atas musibah ini. Aku juga ingin punya anak seperti wanita-wanita di luar sana. Aku pun tidak mandul buktinya aku bisa hamil sampai tiga kali.

 Aku hanya butuh istirahat karena rahimku lemah. Tega sekali beliau berkata seperti itu. Bagaimana kalau posisinya di rubah, aku yang menjadi Arman dan Arman yang menjadi aku? Pasti sebagai seorang ibu beliau akan marah dan sedih. Ini benar-benar tidak bisa diterima nalarku.

“Iya, Dik. Ibu benar. Tolong maafkan aku. Mas janji akan adil pada kalian,” timpal Mas Arman.

“A—aku ingin istirahat.” Tanpa mau mendengarkan lagi penjelasan dari mulut busuk mereka aku segera masuk kamar.

Kenapa bau wangi kamarku berubah. Kamarnya pun sangat berantakan. Kubuka lemari untuk mengambil baju ganti, tapi bajuku tidak ada satu pun di sini. Penataannya pun sangat tidak rapi. Ke mana baju-bajuku?

“Dik, em ... kamar ini dipinta Reni, pakaian dan semua perlengkapanmu sudah dipindahkan di kamar belakang.” Aku berhenti mencari bajuku setelah mendengar suara Mas Arman dari pintu. 

Oh, ternyata bukan hanya suamiku saja yang dipintanya. Kamar dan lemari ini juga diembatnya. 

Tidak mau membalas ucapan Mas Arman Kutinggalkan dia begitu saja. Penghuni rumah ini tidak ada yang bersuara. Mereka hanya menatapku sekilas saja.

Air mataku tumpah  begitu masuk kamar ini. Biarlah orang menganggapku lemah dan cengeng dengan menangis aku bisa merasa sedikit lega.

Ketukan pintu kuhiraukan. Aku tidak mau ke luar. Sudah lebih dari lima jam aku di kamar ini.

Kamar ini mengingatkan awal-awal kami menikah dulu. Tepatnya pengantin baru. Kasur lusuh yang kutiduri ini menjadi saksi bisu perjuangan kami. Sekarang aku kembali ke asal sini. Spring bed empuk yang mereka tiduri hasil jerih payahku bekerja sewaktu gadis. Bukan hanya itu. Semua isi perabotan di rumah ini aku yang beli pakai uang pribadiku.

Kuperiksa bajuku satu per satu, tas, hijab, sepatu dan buku-bukuku Alhamdulillah tidak ada yang kurang. Ini pun sudah ditata rapi aku yakin yang mengerjakan ini Mas Arman.

Cacing di perutku seolah berdemo minta makan. Aku segera ke luar dan mengambil makan.

Ada menu lengkap hari ini. Aku tidak mau mengajak yang lain ataupun menawari mereka makan. Aku sekarang tidak mau peduli lagi. Seperti mereka yang tidak peduli dengan diriku.

Tinggal suapan terakhir diserobot Mas Arman. Dia duduk di sebelahku. Memandangku dan membelai rambutku.

“Aku juga lapar, belum makan. Kita makan berdua, ya?” ucapnya memohon.

“Aku sudah kenyang.”

“Tega sekali, padahal aku kelaparan. Nambah lagi ya, kita makan berdua,” pintanya.

“Tidak. Aku sudah kenyang.” Aku hendak beranjak dari meja makan ini. 

Mas Arman menarik tanganku dibawanya aku dalam pelukannya. Dulu aku akan bahagia diperlakukan seperti ini dan dengan segera membalas pelukannya.

 Sekarang hanya sakit yang aku rasakan. Tubuh kekar ini, bau khas badannya sudah dinikmati wanita lain selain diriku. 

Reni berjalan ke arah kami sambil memainkan ponselnya. Begitu melihat kami dia langsung berbalik dan masuk kamar. Terdengar pintu ditutup dengan sangat kuat hingga kaca jendela ikut bergetar.

Mas Arman langsung mengurangi pelukannya. Ibu memandang sinis padaku.

“Tahu dirilah, Fatki. Kalau mau mesra-mesraan jangan sampai terlihat Reni. Dia juga istrinya Arman pasti sekarang dia sedih. Arman kamu samperin itu Reni. Jangan sampai dia stres dan sedih nanti susah hamil,” tegur ibu. 

Mas Arman bak kerbau dicucuk hidungnya dia bergegas masuk kamar. Menuruti kemauan ibunya.

“Kamu yang habis makan ini?” tanya ibu. Beliau menunjuk piring kotor bekasku makan.

“Iya.”

“Enggk sopan! Kami semua belum makan kok, kamu sudah makan duluan!” omel ibu.

Aku tidak mau mendengar omelannya kutinggal ibu sendiri. Aku kembali masuk kamar.

Aku bingung entah apa yang harus aku lakukan sekarang ini. Mau keluar pun yang ada jadi bahan olok-olokan mereka.

“Mbak, boleh masuk?” 

“Masuk aja,” jawabku malas.

“Mbak, aku mau main nih, bagi uang dong. Kemarin itu kan, jahitan Mbak Fatki banyak. 200 ribu rupiah aja,” rengek Intan adik iparku.

“Enggak ada.” 

“Pelit banget sih! Pantas saja enggak punya anak! Pantas saja Kakakku menikah lagi.” Sumpah demi apa pun hatiku sakit sekali mendengar ucapan Intan.

“Iya, aku pelit! Saking pelitnya sampai tiap hari kamu pergi kuliah aku yang ongkosin dan kasih uang jajan! Pergi sana!” Usirku. 

“Ngusir? Ini rumah orang tuaku loh, Mbak Fakti aja sana yang pergi!” jawab Intan sedikit berteriak.

“Ini memang rumah orang tuamu, tapi kamu harus tahu, ini tanahku. Orang tuamu bangun rumah di atas tanahku.” Intan kaget aku bicara lantang padanya. 

Aku memang tidak pernah bicara kasar dan bernada kuat. Mulai hari ini mungkin akan terbiasa.

“Ada apa sih, ribut-ribut!” sahut ibu dari dapur. Kamar ini memang terhubung langsung dengan dapur.

“Ini Bu, Mbak Fakti dimintain duit enggak kasih malah ngusir kita. Dia bilang ini tanah dia! Ibu hanya numpang di sini!” jawab Intan dengan teriakan cemprengnya.

“Apa! Oh, dasar mantu durhaka! Pantas saja selau keguguran ternyata sifatnya dengki sama orang tua!” maki ibu.

Kudorong tubuh Intan hingga dia terjatuh ke luar dari kamar. Kututup pintu dengan kekuatan super hingga menimbulkan suara yang amat memekikkan telinga.

“Heh! Dasar kamu ya, b4b* bisa beli pintu kamu!” Kututup kupingku dengan headset aku tidak mau dengar makian ibu lagi.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tukang nulis
kok kesel ya bacanya..
goodnovel comment avatar
Sun Nadhe
klo sy yg jalanin..pasti tiap hari nyanyi lg dewa" ingin kuracun dirimu...agar dirimu tau berapa bangsat dirimu " anj....suami edaaaan(dah lah ngomel" kan jdinya ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status