Share

BAB 9. Ibu Syok tahu bapak menikah lagi.

šŸŒøšŸŒøšŸŒø

Aku was-was menunggu hari ini . Entah kenapa aku merasa hari ini akan ada peristiwa penting di rumah ini. Perang dunia mungkin. Yang jelas setelah membaca status W* Ika aku jadi tidak tenang.

ā€œMbak, pinjam tas ini, ya?ā€ Intan nyelonong masuk kamar tanpa izin dan mengambil tas baruku yang ada di cantolan paku dekat lemari.

ā€œEnggak boleh! Pakai saja tasmu!ā€ Kurebut tas yang sudah bertengger cantik di bahu Ika.

ā€œPelit banget sih, Mbak!ā€ teriaknya.

ā€œEmang, kan, kamu sendiri yang bilang aku pelit. Jadi, sekalian aja deh!ā€ jawabku santai.

ā€œIbuuuuu!ā€ Nah, kan, mulai lagi ngadunya. Kalau dulu akan segera aku berikan, tapi tidak untuk hari ini dan selanjutnya. Cukup sudah aku baik hati pada mereka yang tidak punya hati.

ā€œAda apa, si, Intan! Pagi-pagi sudah teriak-teriak tidak jelas!ā€ sahut ibu sewot.

ā€œAku mau pinjam tas itu, tapi enggak dikasih sama Mbak Fatki! Hanya tas itu yang matching dengan baju dan sepatu yang aku pakai, Bu,ā€ rengek Intan.

ā€œPerkara tas saja ribut! Kasih pinjamkan pada Intan, pelit amat jadi orang!ā€ bentak ibu.

ā€œTidak! Ini milikku tidak ada orang lain yang boleh memakainya. Kalau mau tas baru ya, beli sana jangan bisanya hanya nebeng. Lagi pula nih, sudah banyak tasku yang kamu pinjam tidak dikembalikan.ā€

ā€œTuh, kan, Bu. Pelit banget Mbak Fatkinya!ā€ teriak Intan.

ā€œFatki pinjami Intan, nanti juga dikembalikan. Cuma tas itu yang matching sama bajunya,ā€ bela ibu.

ā€œKamu mau kuliah apa mau gaya-gayaan. Aku enggak mau kasih pinjam. Sudah sana pergi dari kamar ini!ā€ Usirku.

Pintu kamarku ditendang-tendang oleh Intan makian dan cacian terlontar dari mulut lemesnya. Untung saja kupingku sudah kebal.

Sesuai rencana aku hari ini mau ke pasar belanja kain dan juga ke toko bunga. Aku mau beli beberapa bunga untuk kupajang di depan jendela kamar.

Karena perut lapar aku mau sarapan sereal dulu nanti aku akan makan di luar saja.

Begitu ke luar dari kamar, ruang dapur sudah seperti kapal pecah membaut jiwa beberesku meronta-ronta. Sangat berantakan.

ā€œFakti, rapi banget kamu mau ke mana?ā€ tanya ibu.

ā€œKe pasar cari kain.ā€

ā€œKamu suami capek-capek kerja malahan pergi-pergi. Istri itu harus taat di rumah kalau suami sedang cari nafkah. Kamu lihat dapur ini? Berantakan bukan? Sudah sana bereskan!ā€ titah ibu.

ā€œOgah, yang berantakan kan, Ibu dan menantu kesayangan Ibu. Kenapa aku yang disuruh beresin.ā€

ā€œReni kerja jadi kamu yang harus bereskan.ā€

ā€œAku pun kerja, meski bukan kerja di toko dengan seragam rapi. Tuh, sudah banyak jahitan menanti.ā€

ā€œJawab saja kamu itu! Pokoknya beresin!ā€ bentak ibu.

ā€œTidak. Aku tidak mau, Bu. Aku sibuk.ā€

ā€œSibuknya kamu bisa ditunda. Sudah sana ganti baju lagi. Lagi pula istri itu di rumah aja jangan ke mana-mana!ā€

ā€œIbu juga pergi ke mana-mana saat bapak enggak ada di rumah. Jadi, tidak usah ngajarin aku kalau kelakuan Ibu pun tidak bisa dicontoh. Sudah ah, aku telat. Aku mau berangkat. Assalamualaikum.ā€ Tidak kudengar ibu menjawab salamku yang ada malah makian dan sumpah serapan yang diucapkannya.

ā€œFatki?ā€ sapa seorang pedagang sepatu padaku.

ā€œBenar. Siapa, ya?ā€

ā€œIlham, masa lupa. Teman Aliyah kamu,ā€ jawabnya ramah.

ā€œOh, iya. Apa kabar kamu Ilham. Hampir saja aku lupa.ā€

ā€œAlhamdulillah ... sehat.ā€

Entah dari mana datangnya tiba-tiba Mas Arman sudah tiba di sini dan memukuli Ilham.

Jeritan ibu-ibu yang sedang belanja pun menambah suasana jadi makin kacau.

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipiku.

ā€œBerani sekali kamu selingkuh di belakangku. Istri itu di rumah saat suami kerja bukan malah keluyuran begini!ā€ bentak Mas Arman.

ā€œAku ke sini bukan untuk main. Aku belanja kain. Kenapa kamu menuduhku yang tidak-tidak!ā€ bantahku tidak terima.

ā€œBelanja kamu bilang? Lalu ini siapa!ā€ Mas Arman menunjuk Ilham. Dia cemburu tidak jelas.

ā€œIni orang kesurupannya apa, ya? Mas Ini wajarlah ramah pada pembeli dia kan, penjual sepatu,ā€ sahut ibu-ibu yang tadi teriak-teriak.

Kerumunan kembali bubar. Kuhampiri Ilham dan meminta maaf padanya.

ā€œSudah tidak perlu merasa bersalah begitu Fakti, suamimu hanya salah paham saja. Aku yang harusnya minta maaf. Gara-gara aku jadi kamu ditampar suamimu,ā€ jawab Ilham.

Aku tersenyum kecut menanggapi ucapannya. Lalu aku pamitan dan masuk ke dalam toko kain yang mau aku beli. Mas Arman masih mematung di depan cukup lama sampai ada seseorang yang menghampiri dan mengajaknya pergi.

Sampai rumah sudah sore. Aku memang sengaja pulang lama. Rasanya sumpek di rumah terus, sekalian aku tanya-tanya ruko di pasar yang baru mau lounching.

Tabunganku memang tidak cukup, tapi aku bisa minta tolong sama ibuku di kampung mudah-mudahan ada dan cukup untuk menyewa.

Mas Arman dan Reni duduk mesra di ruang tamu. Aku sama sekali tidak berniat untuk menyapanya.

Di ruang tengah ibu dan intan sedang nonton TV.

Kuletakkan semua kain yang aku bawa ke lemari di ruang jahitku.

 Kulongok dapur sudah kinclong lagi entah siapa yang membereskan.

ā€œDik, Mas minta maaf, ya? Tadi sudah kasar padamu,ā€ ucap Mas Arman tiba-tiba dia memeluk dari belakang.

Aku diam saja tidak mau menanggapi. Hatiku sakit.

Kulepaskan pelukan Mas Arman dan merapikan lagi belanjaanku.

ā€œSudah enggak usah lebai gitu, Arman. Nanti yang ada istrimu makin ngelunjak,ā€ ucap ibu dari dapur.

ā€œKebagusan banget jadi perempuan!ā€ sahut Intan.

ā€œKenapa, Tan? Masalah buat kamu? Aku memang bagus sejak lahir. Lihat kamu masih gadis badan sudah melar begitu macam emak-emak anak tiga,ā€ kataku telak.

ā€œAku bukan gemuk dan melar aku hanya berisi saja, alias semok begitu kata orang-orang di luar sana,ā€ protes Intan.

ā€œMaknya kalu tidak mau di ganggu dan dikatain orang enggak usah mulai duluan.ā€ Kutinggalkan mereka ke ruang tengah sambil nonton TV.

Terdengar suara mobil dari depan. Kukira bapak yang pulang ternyata mobil pengangkut barang-barang.

Ada spring bed, lemari baju, dan juga meja rias. Aku tahu pasti itu pesanan Reni semua.

ā€œWah, bagus sekali spring bednya. Kamu beli kenapa enggak bilang dulu sama aku, Ren?ā€ ucap Mas Arman. Dia pasti kecewa.

ā€œBiarin. Kalau ngomong juga belum tentu kamu izinin kan, Mas? Jadi, diam saja yang penting bayar cicilannya tiap bulan,ā€ jawab Reni santai. Aku rasanya ingin tertawa terbahak-bahak, tapi kuurungkan.

ā€œApa? Kamu kredit?ā€ Ibu dan Mas Arman kompakkan kagetnya.

ā€œBiasa aja sih, Mas. Enggak usah heran gitu yang penting bisa bayar, kan?ā€ ujar Reni.

ā€œBiasa aja kamu bilang? Ini pasti mahal, Ren. Dapat duit dari mana aku?ā€ Mas Arman tampak frustasi.

ā€œMurah Mas ... cicilan semuanya cuma  3,4 juta per bulan kok,ā€ jawab Reni enteng.

ā€œDuit segitu kami bilang cuma? Dapat dari mana aku!ā€ bentak Mas Arman.

ā€œKan, ada Fatki dia juga kerja kan, minta bantu dia juga lah. Kan, sekarang kita keluarga. Fatki juga istri kamu jadi kita ini satu kesatuan yang harus saling menolong dan  memberi,ā€ jawab Reni lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status