šøšøšø
Aku was-was menunggu hari ini . Entah kenapa aku merasa hari ini akan ada peristiwa penting di rumah ini. Perang dunia mungkin. Yang jelas setelah membaca status W* Ika aku jadi tidak tenang.
āMbak, pinjam tas ini, ya?ā Intan nyelonong masuk kamar tanpa izin dan mengambil tas baruku yang ada di cantolan paku dekat lemari.
āEnggak boleh! Pakai saja tasmu!ā Kurebut tas yang sudah bertengger cantik di bahu Ika.
āPelit banget sih, Mbak!ā teriaknya.
āEmang, kan, kamu sendiri yang bilang aku pelit. Jadi, sekalian aja deh!ā jawabku santai.
āIbuuuuu!ā Nah, kan, mulai lagi ngadunya. Kalau dulu akan segera aku berikan, tapi tidak untuk hari ini dan selanjutnya. Cukup sudah aku baik hati pada mereka yang tidak punya hati.
āAda apa, si, Intan! Pagi-pagi sudah teriak-teriak tidak jelas!ā sahut ibu sewot.
āAku mau pinjam tas itu, tapi enggak dikasih sama Mbak Fatki! Hanya tas itu yang matching dengan baju dan sepatu yang aku pakai, Bu,ā rengek Intan.
āPerkara tas saja ribut! Kasih pinjamkan pada Intan, pelit amat jadi orang!ā bentak ibu.
āTidak! Ini milikku tidak ada orang lain yang boleh memakainya. Kalau mau tas baru ya, beli sana jangan bisanya hanya nebeng. Lagi pula nih, sudah banyak tasku yang kamu pinjam tidak dikembalikan.ā
āTuh, kan, Bu. Pelit banget Mbak Fatkinya!ā teriak Intan.
āFatki pinjami Intan, nanti juga dikembalikan. Cuma tas itu yang matching sama bajunya,ā bela ibu.
āKamu mau kuliah apa mau gaya-gayaan. Aku enggak mau kasih pinjam. Sudah sana pergi dari kamar ini!ā Usirku.
Pintu kamarku ditendang-tendang oleh Intan makian dan cacian terlontar dari mulut lemesnya. Untung saja kupingku sudah kebal.
Sesuai rencana aku hari ini mau ke pasar belanja kain dan juga ke toko bunga. Aku mau beli beberapa bunga untuk kupajang di depan jendela kamar.
Karena perut lapar aku mau sarapan sereal dulu nanti aku akan makan di luar saja.
Begitu ke luar dari kamar, ruang dapur sudah seperti kapal pecah membaut jiwa beberesku meronta-ronta. Sangat berantakan.
āFakti, rapi banget kamu mau ke mana?ā tanya ibu.
āKe pasar cari kain.ā
āKamu suami capek-capek kerja malahan pergi-pergi. Istri itu harus taat di rumah kalau suami sedang cari nafkah. Kamu lihat dapur ini? Berantakan bukan? Sudah sana bereskan!ā titah ibu.
āOgah, yang berantakan kan, Ibu dan menantu kesayangan Ibu. Kenapa aku yang disuruh beresin.ā
āReni kerja jadi kamu yang harus bereskan.ā
āAku pun kerja, meski bukan kerja di toko dengan seragam rapi. Tuh, sudah banyak jahitan menanti.ā
āJawab saja kamu itu! Pokoknya beresin!ā bentak ibu.
āTidak. Aku tidak mau, Bu. Aku sibuk.ā
āSibuknya kamu bisa ditunda. Sudah sana ganti baju lagi. Lagi pula istri itu di rumah aja jangan ke mana-mana!ā
āIbu juga pergi ke mana-mana saat bapak enggak ada di rumah. Jadi, tidak usah ngajarin aku kalau kelakuan Ibu pun tidak bisa dicontoh. Sudah ah, aku telat. Aku mau berangkat. Assalamualaikum.ā Tidak kudengar ibu menjawab salamku yang ada malah makian dan sumpah serapan yang diucapkannya.
āFatki?ā sapa seorang pedagang sepatu padaku.
āBenar. Siapa, ya?ā
āIlham, masa lupa. Teman Aliyah kamu,ā jawabnya ramah.
āOh, iya. Apa kabar kamu Ilham. Hampir saja aku lupa.ā
āAlhamdulillah ... sehat.ā
Entah dari mana datangnya tiba-tiba Mas Arman sudah tiba di sini dan memukuli Ilham.
Jeritan ibu-ibu yang sedang belanja pun menambah suasana jadi makin kacau.
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipiku.
āBerani sekali kamu selingkuh di belakangku. Istri itu di rumah saat suami kerja bukan malah keluyuran begini!ā bentak Mas Arman.
āAku ke sini bukan untuk main. Aku belanja kain. Kenapa kamu menuduhku yang tidak-tidak!ā bantahku tidak terima.
āBelanja kamu bilang? Lalu ini siapa!ā Mas Arman menunjuk Ilham. Dia cemburu tidak jelas.
āIni orang kesurupannya apa, ya? Mas Ini wajarlah ramah pada pembeli dia kan, penjual sepatu,ā sahut ibu-ibu yang tadi teriak-teriak.
Kerumunan kembali bubar. Kuhampiri Ilham dan meminta maaf padanya.
āSudah tidak perlu merasa bersalah begitu Fakti, suamimu hanya salah paham saja. Aku yang harusnya minta maaf. Gara-gara aku jadi kamu ditampar suamimu,ā jawab Ilham.
Aku tersenyum kecut menanggapi ucapannya. Lalu aku pamitan dan masuk ke dalam toko kain yang mau aku beli. Mas Arman masih mematung di depan cukup lama sampai ada seseorang yang menghampiri dan mengajaknya pergi.
Sampai rumah sudah sore. Aku memang sengaja pulang lama. Rasanya sumpek di rumah terus, sekalian aku tanya-tanya ruko di pasar yang baru mau lounching.
Tabunganku memang tidak cukup, tapi aku bisa minta tolong sama ibuku di kampung mudah-mudahan ada dan cukup untuk menyewa.
Mas Arman dan Reni duduk mesra di ruang tamu. Aku sama sekali tidak berniat untuk menyapanya.
Di ruang tengah ibu dan intan sedang nonton TV.
Kuletakkan semua kain yang aku bawa ke lemari di ruang jahitku.
Kulongok dapur sudah kinclong lagi entah siapa yang membereskan.
āDik, Mas minta maaf, ya? Tadi sudah kasar padamu,ā ucap Mas Arman tiba-tiba dia memeluk dari belakang.
Aku diam saja tidak mau menanggapi. Hatiku sakit.
Kulepaskan pelukan Mas Arman dan merapikan lagi belanjaanku.
āSudah enggak usah lebai gitu, Arman. Nanti yang ada istrimu makin ngelunjak,ā ucap ibu dari dapur.
āKebagusan banget jadi perempuan!ā sahut Intan.
āKenapa, Tan? Masalah buat kamu? Aku memang bagus sejak lahir. Lihat kamu masih gadis badan sudah melar begitu macam emak-emak anak tiga,ā kataku telak.
āAku bukan gemuk dan melar aku hanya berisi saja, alias semok begitu kata orang-orang di luar sana,ā protes Intan.
āMaknya kalu tidak mau di ganggu dan dikatain orang enggak usah mulai duluan.ā Kutinggalkan mereka ke ruang tengah sambil nonton TV.
Terdengar suara mobil dari depan. Kukira bapak yang pulang ternyata mobil pengangkut barang-barang.
Ada spring bed, lemari baju, dan juga meja rias. Aku tahu pasti itu pesanan Reni semua.
āWah, bagus sekali spring bednya. Kamu beli kenapa enggak bilang dulu sama aku, Ren?ā ucap Mas Arman. Dia pasti kecewa.
āBiarin. Kalau ngomong juga belum tentu kamu izinin kan, Mas? Jadi, diam saja yang penting bayar cicilannya tiap bulan,ā jawab Reni santai. Aku rasanya ingin tertawa terbahak-bahak, tapi kuurungkan.
āApa? Kamu kredit?ā Ibu dan Mas Arman kompakkan kagetnya.
āBiasa aja sih, Mas. Enggak usah heran gitu yang penting bisa bayar, kan?ā ujar Reni.
āBiasa aja kamu bilang? Ini pasti mahal, Ren. Dapat duit dari mana aku?ā Mas Arman tampak frustasi.
āMurah Mas ... cicilan semuanya cuma 3,4 juta per bulan kok,ā jawab Reni enteng.
āDuit segitu kami bilang cuma? Dapat dari mana aku!ā bentak Mas Arman.
āKan, ada Fatki dia juga kerja kan, minta bantu dia juga lah. Kan, sekarang kita keluarga. Fatki juga istri kamu jadi kita ini satu kesatuan yang harus saling menolong dan memberi,ā jawab Reni lagi.
āNah, benar kata Reni. Memang kamu mau tidur di kasur lantai lusuh begitu. Enggak sehat dan enggak higienis kapan mau punya anak kalau begitu,ā sahut ibu membela Reni.āBenar juga yang Ibu bilang. Aku juga tidak mau tidur di kasur lusuh terus. Dik, kamu mau kan, bantu Mamas bayar cicilannya?ā Mas Arman merayuku, dia berkali-kali menciumi pipiku.āNo way! Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk kalian. Aku bukan mesin uangmu, Mas. Harusnya kamu yang kasih aku nafkah tiap hari bukan malah aku yang memberimu.āāTolonglah Dik, sekali ini saja.āāTidak! Kalau aku sudah bilang tidak ya, tidak. Siapa yang make itulah yang bayar.āāTapi, Dik?āāTidak ada tapi-tapian. Kamu itu Ren, sudah aku bilang salah cari suami. Coba kamu jadi pelakornya orang kaya aku jamin hidupmu tidak akan susah begini, mau tidur aja pusing mikirin kreditan. Pinter dikit kek, jangan cuma makan tampannya doang. Percuma kalau kere.āāOh, jadi kamu ngatain anakku kere?ā Ibu tidak terima atas pernyataanku.āLah,
šøšøšøāIntan cukup! Dia ibumu jadi kamu mulai sekarang harus hormat!ā bentak bapak.āSampai aku mati pun tidak sudi mengakui dia sebagai ibuku. Aku pun tidak sudi punya bapak seperti kamu! Bagiku kamu sudah mati!ā Intan menunjuk tepat di wajah bapak.āMau kamu protes seperti apa pun tidak akan merubah keadaan, Bapak sudah menikah dengan Ika dan Bapak akan mempertanggungjawabkan ini semua,ā jawab bapak.Aku jadi bingung, apa bapak tidak tahu kalau Ika ini kekasih gelapnya Mas Arman. Tapi, menurut pengakuan Mbak Sulis bapak tahu kalau Ika waktu itu sedang hamil bahkan bapak yang membawa Ika ke rumah sakit.āFatki, Bapak minta tolong malam ini Ika tidur sama kamu dulu ya?āāEm ... maaf Pak, tidak bisa, kamarku sempit ada banyak barang juga. Kain yang mau aku jahit aku bawa masuk ke kamar,ā jawabku bohong.āBaiklah kalau begitu malam ini Intan tidur sama Ibu Ika, ya?ā ucap bapak lagi.āTidak sudi!ā Intan masuk kamar dibantingnya pintu kamar dengan kuat. Disusul ibu.Sebenarnya ada kamar
šøšøšøMenikah dan berumah tangga adalah ibadah terpanjang dalam hidup kita. Di dalamnya ada syarat dan rukun ibadah yang harus terpenuhi agar ibadah kita sah dan diterima Allah SWT. Bukan seperti ini, entah rumah tangga seperti apa yang sedang kami jalani. Orang tua yang sejatinya menjadi panutan nyatanya sama saja keblinger dan mementingkan egonya masing-masing. Aku sedang berusaha bisa jika aku lelah dan menyerah aku akan tinggalkan semuanya.~K~Ušøšøšø"Kalau enggak mau kasih lebih baik kita pisah!ā Baru saja aku terlelap karena minum obat suara cempreng ibu mertuaku memekakkan telinga hingga membangunkanku.āBu, jangan begitulah. Keuangan kita menipis. Kemarin kan, kamu sudah aku kasih uang 500 ribu rupiah masa sudah habis?ā Itu suara bapak mertuaku. Ah, pasi mereka berdebat masalah uang lagi.āAku tidak mau tahu! Uang Cuma 500 ribu rupiah sudah habislah, sudah aku belanjakan kebutuhan dapur dan juga skincare. Kamu belikan wanita Lac*r itu spring bed dan lemari saja sanggup. Ak
āAh, beraninya cuma omong doang! Dengar ya, Ika, jadi manusia itu enggak usah jumawa kamu status istri ke dua saja sombong pakai ngatain aku segala. Apa kamu tidak ingat kemarin-kemarin kamu itu siapa dan temenan sama siapa!ā Mbak Sulis mengambil Syifa dari pangkuanku dan berlalu pulang.āMbak Fatki, aku pulang dulu ya, engap ada penampakan setan di antara kita,ā pamitnya. Aku mengiyakan.āHeh, mau ke mana kamu!ā Ika mencegatku. Aku diam saja malas mau menjawab.āJangan masuk dulu! Belikan aku pecel lontong di warung pojok lapangan sana, ya! Jangan pedes. Ini uangnya!ā Ika melemparkan uang 10 ribu rupiah tepat di wajahku.Tak menjawab sepatah kata pun aku menangkis tangannya yang menghalangi jalanku lalu masuk rumah. Baru beberapa langkah Ika sudah memburuku dan menarik jilbabku. Kepalaku sampai mendongak ke belakang.āPunya kuping dan mulut itu di pakai. Aku ini ibu mertuamu jadi, kamu harus hormat padaku!ā ucapnya lagi.Aku balik badan dan memelintir tangannya ke belakang kuat sekal
šøšøšøāAku akan adukan semuanya pada Mas Sam!ā Ancam Ika. Sam adalah panggilan singkat dari nama bapak mertuaku Samsudin.āAdukan saja, aku tidak takut!ā jawab ibu.āMas sini minta duit aku sama Ibu mau ke pasar mau beli sepatu,ā pinta Intan.āMas enggak ada duit, Tan. Uang Mas sudah Mas bagi dua untuk Fatki dan Reni, ini juga Mas pusing gimana caranya bayar kreditan kasur,ā jawab Mas Arman.āCk, apes banget sih gue. Kenapa harus dilahirkan di tengah-tengah keluarga miskin dan basurd begini,ā gerutu Intan.āPokoknya Ibu tidak mau tahu! Cepetan mana uangnya!āMas Arman merogoh kantong celananya dan memberi ibu uang 50 ribuan dua lembar.āCuma segini? Mana cukup!āāEnggak ada lagi, Bu. Kalau enggak mau aku ambil lagi, nih.āāAyo, Tan. Kita pergi. Nanti kalau kurang kita minta sama bapakmu saja.ā Ibu menarik lengan Intan. Mereka berdua pergi.āSudah sana, Mas kerja.āāHari ini aku enggak kerja, aku mau berduaan dengan kamu. Lagi pula motornya enggak ada. Aku malas jalan kaki,ā jawab Mas
šøšøšøāDik, aku rindu padamu,ā ucap Mas Arman. Kalau dulu sebelum kehadiran orang ke tiga maka aku akan sangat bahagia jika Mas Arman berkata seperti itu tapi, kini jangankan senang hati pun ikut sakit.āAku ngantuk Mas, aku mau tidur,ā tolakku halus.āKamu tidak bisa seperti ini terus, Dik. Kamu pun istriku. Wajib bagiku dan bagimu memenuhi kebutuhan lahir batin,ā ucap Mas Arman lagi.āLakukan sesuka hatimu, Mas. Aku memang tidak berhak menolak. Anggap saja sebagai baktiku yang terakhir. Barang kali esok atau lusa kita tidak bisa bersama lagi,ā jawabku lirih. Air mataku mengalir begitu saja. Aku benar-benar benci keadaanku sekarang.Sepertinya Mas Arman tidak mengindahkan ucapanku dan tidak memedulikanku dia terlalu menikmati permainannya sendiri. Dia tetap memilih menuntaskan hasratnya. Lalu mendengkur menggapai mimpi.Sakit hati jiwa dan raga. Aku benar-benar seperti orang yang tidak punya harga diri. Kuraih selimut untuk menutup tubuhku dan pergi ke kamar mandi membersihkan diri.
āOgah! Uangku itu tidak ada hak siapa pun. Aku juga sudah memberikan separonya pada ibuku. Kamu itu Mas, harusnya kasih aku nafkah bukan malah minta uangku!ā pekik Reni.āAku sudah penuhi kewajibanku. Nafkah untukmu bayar kreditan. Ini sisanya bagi tiga aku, ibu, dan juga Fatki.ā Wow aku tersanjung dengan ucapan Mas Arman. Dia kesambet jin mana ya, kok jadi benar gitu otaknya.āOh, tidak bisa! Fatki sudah bisa cari duit sendiri. Ibu lihat sendiri jahitannya banyak dan sudah ada Susanti anak tetangga yang bantu dia jahit,ā tolak ibu.āBenar yang Ibu bilang. Mendingan uangnya untuk aku aja Mas, aku juga berhak dapat bagian,ā ujar Intan.āHah, kalian ini apa-apan si! Kenapa jadi kalian yang ngatur aku! Pusing tahu enggak! Uang segitu diributkan. Pokoknya aku tidak mau tahu keputusanku tetap tidak bisa diganggu gugat!ā teriak Mas Arman. Kalau Mas Arman sudah marah begitu maka baik Intan ataupun ibu langsung diam.āIni uangnya. Fatki, ini bagianmu!ā Aku menghampiri mereka yang duduk di sof
Aku tidak mau menyimpan di dapur yang ada nanti hilang tak berbekas. Biar saja aku dibilang pelit pasalnya mereka para penghuni rumah ini jika membeli makanan aku sama sekali tidak pernah dikasih.āMas, apaan sih! Malu tahu!āāKenapa musti malu, kamu kan, istriku?āāMalu dilihat orang. Meski suami istri, tapi tidak boleh menunjukkan kemesraan secara langsung pada orang lain.āāEnggak ada orang, kok!āāItu Susanti kamu anggap hantu?ā Tadi Susanti mau masuk tidak jadi karena ada Mas Arman yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Jadilah, dia balik badan dan menunggu di luar.āEh, kok! Perasaan tadi enggak ada siapa-siapa.ā Mas Arman tampak salah tingkah.āAda apa sih, Mas. Kayaknya lagi seneng.āāHem ... aku memang lagi seneng, Dik. Kamu tahu kan, kalau Reni hamil.ā Hatiku mencelos. Aku tadi lupa tentang kehamilan Reni. Sekarang justru suamiku sendiri yang mengingatkannya.āOh, iya.āāKok, jadi manyun gitu bibirnya? Meski Reni hamil aku tidak akan melupakanmu, Dik. Makanya sekarang aku m