Hanya inilah yang bisa mengalihkan duniaku. Beruntung aku punya skill menjahit jika tidak, maka aku bisa stres dan meratapi nasib setiap hari.Di dalam rumah tangga hal yang paling terpenting adalah kejujuran. Semua pasangan hidup pasti tahu itu. Jika, kita jujur maka kepercayaan yang kita dapat.Pun sama halnya dengan rumah tangga yang aku jalani. Di sini sudah tidak lagi kejujuran antara Mas Arman denganku, maka dari itu aku sama sekali tidak percaya lagi padanya. Apa pun yang dia lakukan sekarang di mataku hanya sebatas tanggung jawabnya saja. Ucapannya pun sulit sekali untuk kupercaya.~K~U🌸🌸🌸Pagi ini aku masak capcai dan ayam goreng untukku dan Mas Arman saja.Reni rupanya mau dengar nasihat Mas Arman dia setiap pagi masak bedanya dia juga masak untuk ibu dan Intan.Di ruang makan ini hanya terdengar suara denting sendok beradu dengan piring. Entah apa yang merasuki mereka semua. Sepatah kata pun tidak terucap. Kurasa inilah saatnya aku speak up.Ika tidak ikut sarapan. Ent
“Insya Allah secepatnya, San, tentu kita tinggal di sana.”“Memang bisa, ya, bayar separo dulu? Kemarin Mbak bilang uangnya baru ada separo.”“Mudah-mudahan bisa, San. Separonya kita bayar 2 atau 3 bulan lagi. Semoga Ibuku bisa membantu.”“Aamiin, Mbak ... Aku jadi tidak sabar.”“Sama, Mbak juga, he he ....”“Mbak bagi uang dong, aku mau beli buku. Enggak banyak cuma 200 ribu rupiah saja,” pinta Intan dia sudah rapi mau berangkat ke kampus. 200 ribu enggak banyak katanya. Itu setara tenagaku 1 hari. Lagi pula aku tidak percaya dia minta untuk beli buku. Palingan juga untuk nongkrong di kafe bareng teman-temannya.“Enggak ada,” jawabku singkat.“Pelit amat Mbak? Kan, Mbak sewa ruko aja bisa masa aku minta duit 200 ribu rupiah saja tidak dikasih?”“Terserah akulah, mau kasih atau tidak. Kan, duit-duitku.”“Mbak, tolong ... please sekali ini saja,” rengek Intan.“Baiklah, tapi aku bukan kasih gratis, ya? Aku kasih pinjam. Tiga hari lagi kamu kembalikan.”“Da—pat uang dari mana aku, Mbak
Azan Maghrib berkumandang, di dapur juga sudah tidak terdengar suara mereka. Kubuka pintu perlahan, ya, mereka sudah tidak ada.Cepat-cepat aku ambil wudu dan kembali ke kamar. Kutunaikan salat lalu mengaji hingga isya.Ting![Mbak Fatki, kata Susanti kamu mau pindah, ya?]Ternyata WA dari Mbak Sulis.[Insya Allah Mbak, doakan ya, semoga diberi kemudahan. Besok mau tanya lagi ke sana.] Balasku.[Ya, Mbak, aku doakan, tapi kok aku sedih ya, nanti aku tidak ada teman lagi.] Aku tersenyum membaca balasan dari Mbak Sulis, kasihan dia, di sini hanya aku teman dekatnya. Kata dia orang-orang sini tidak ada yang mau berteman dengan ART makanya dia senang saat aku welcome padanya.[Kalau pas libur Mbak Sulis kan, bisa main.] Hiburku.[Iya, sih ... tapi, ya, tetap aja beda. Memang selamanya Mbak Fatki mau tinggal di sana?][Insya Allah ....][Suami Mbak Fatki gimana?] Kali ini aku tertawa membacanya.[Kan, ada istri muda, kok, pusing. Ha ha ....][Tapi, Mbak, kalau Mbak Fatki pindah kesenangan
“Mas, aku butuh uang untuk modal jahitanku. Tolong usahakan ada, ya?” kataku pada Mas Arman. Aku sengaja membicarakan ini di depan ibu dan juga Reni, kami sedang sarapan. Hari ini Mas Arman gajian untuk yang ke dua kalinya semenjak dia kerja di kantor.“Uang? 400 ribu rupiah kemarin sudah habis?” jawab Mas Arman. Aku tertawa mendengar jawabannya.“Jangan boros-boros jadi istri, kamu juga, kan, jahit. Pakai saja uangmu untuk modal,” sahut ibu.Brak!Kugebarak meja hingga membuat semuanya kaget.“Mas pikir pakai otak kamu, uang 400 ribu rupiah hanya cukup makan nasi dan lauk seadanya begini. Mana cukup untuk modal. Sedang kamu ngasih ke gundikmu ini 2 juta rupiah hanya untuk bayar angsuran kasur, meja rias, dan lemari. Itu namanya tidak adil! Kamu bilang mau adil, kan? Kamu harus bagi rata. Kalau tidak bisa juga maka lebih baik ceraikan aku. Tidak sudi aku punya suami seperti kamu. Lahir batin kamu menyiksaku. Dan untuk Ibu, 400 ribu rupiah dibilang boros? Ibu saja uang 400 ribu rupiah
Hitungan detik SW-ku sudah dibaca oleh Mas Arman.Dia langsung meneleponku, tapi aku sama sekali tidak berminat menjawab. Aku beralih ke FB dan IG untuk menawarkan tanahku.Ting![Jahat kamu, Dik! Rumah masih ditempati tanah sudah kamu jual!]Aku hanya tersenyum saja menanggapi WA Mas Arman. Ini baru dia yang tahu, aku tidak bisa bayangkan gimana kalau ibu dan bapak yang tahu."Mbak mau jual tanah?”Susanti sepertinya sudah membaca SW-ku karena dia sedang main HP. Aku mengangguk.“Tanah mana, Mbak? Berarti nanti kalau tanahnya laku kita bisa langsung pindah ke ruko itu, ya?” Aku mengangguk lagi.“Aku sudah tidak sabar, Mbak. Nanti di sana kita dekor ruangan khusus jahit sama ruangan yang untuk koleksi baju-baju kita, ya, Mbak. Ah, akhirnya impianku kerja di butik terwujud,” celoteh Susanti. Lucu, tapi aku aamiinkan dalam hati setiap keinginannya.“Mbak, tanah mana? Kok, malah senyum-senyum gitu?”“Tanah ini yang kita tempati,” jawabku datar. Sudah kuduga pasti Susanti akan kaget. Eksp
“Ya, begitulah. He he he .... tapi, Mbak enggak mau berlarut-larut dalam kesedihan, San. Mereka bahagia, Mbak juga harus bahagia dengan cara Mbak sendiri.“Aku setuju! Aku akan selalu dukung Mbak Fatki.”“Terima kasih ya, San. Oh, iya, obrolan tadi hanya sekedar sharing. Jangan kamu jadikan patokan. Kamu bisa cari referensi dan sumber lain yang lebih afdol dari Kiyai yang mumpuni, jangan ngaji online. Karena menuntut ilmu itu harus ada gurunya yang menjelaskan secara detail dan benar berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.”“Iya, Mbak. Siap!”“Sudahan yuk, istirahatnya! Kita jahit baju dua lagi. Setelah ini kita packing. Mbak ada janji sama Ibu yang punya ruko itu nanti temani, ya?”“Dengan senang hati. Asyik, aku jadi tidak sabar beneran pingin cepat pindah.”~K~U🌸🌸🌸Jahitan sarimbit keluarga sudah ready. Sudah kupacking rapi dan siap diambil yang punya. Sambil menunggu konsumen datang aku dan Susanti memotong kain untuk jahitan besok. Target kami besok 4 baju. Dua aku yang jahit dan du
“Apa!” bentak Mas Arman.“Jatahku mana? Kamu gajian kan, Mas?”“Giliran uang aja gasik, kamu!”“Mau kasih, enggak, Mas!” Kini aku balik membentaknya.“Ya, Ini.” Mas Arman memberikan amplop putih padaku. Rupanya dia sudah menyiapkannya terlebih dahulu karena setahuku gaji dari kantornya di transfer langsung ke rekening.“Oke, pas 15 lembar. Ini akan aku gunakan untuk tambahan sewa ruko. Sekarang aku minta untuk kita makan sehari-hari,” kataku lagi. Mas Arman tidak terima dia melototiku.“Tidak ada ini untuk Ibu dan Reni, kamu bilang harus adil, kan?”“Bulan kemarin Reni dapat 2 juta rupiah aku hanya 400 ribu. Bulan ini kamu mau kasih berapa ke gundikmu itu, Mas! Pokoknya aku minta kalau tidak, maka aku tidak akan masak apa pun untuk kamu!” Ancamku. Adil, katanya? Uang saja dia tidak bisa. Adil dari Hongkong!“Sisanya hanya tinggal 1,8 juta, Dik. Ibu minta 1 juta sisanya untuk aku dan Reni bagi dua,” ujar Mas Arman.Sebenarnya aku kasihan padanya, Ibu selalu saja merong-rong anak laki-l
Ucapan adalah doa, maka katakanlah hanya yan baik-baik saja.“Berani pergi dari rumah kamu bukan anak Ibu lagi, Man!” Ancam ibu.Mas Arman berhenti pas di tengah-tengah pintu. Melihat ke arahku lalu melihat ke dalam di mana ibu sedang berkacak pinggang. Mas Arman terlihat kebingungan. Halah pasti dia juga bakalan nurut sama ancaman ibunya. Dasar anak manja.“Aku harus temani istriku, Bu. Aku takut terjadi sesuatu pada Fatki. Kalau Ibu tidak mau anggap aku anak lagi juga tidak apa-apa yang penting aku tetap sayang pada Ibu dan hanya Ibulah satu-satunya wanita yang paling aku cintai di atas segala-galanya,” jawab Mas Arman.Aku terharu sekaligus ingin tertawa. Ternyata Mas Arman berani menyangkal perintah ibunya.Kenapa juga Mas Arman sekarang bisa membuat begitu. Ya, meski aku tahu itu tulus, tapi dulu dia sama sekali tidak pernah begitu.“Dasar anak s*tan! Pergi sana, aku doakan enggak selamat kamu!” Ibu makin emosi sampai dilemparnya centong nasi yang ada di tangannya. Perasaanku ib