Namun, ia langsung menahannya, karena takut akan pengaruh besar dari seorang Charles William.
Meski begitu, tetap saja ia merasa kesal, karena merasa telah menyia-nyiakan waktunya di perusahaan itu selama 5 tahun ini.
“Lima tahun! Kau menyia-nyiakan 5 tahunku dengan memberikan kapal ini kepada seorang kapten amatir yang bahkan…”
“Berbicara dengan tema bajak laut sekarang, huh?” Viona memotong kata-katanya. “Jika Anda keberatan, Anda boleh meninggalkan kapal, Tuan Camilo. Dengan senang hati aku akan menyiapkan sekoci untuk membawamu ke pelabuhan terdekat.”
Pria bernama Camilo itu kini menggerutu, berusaha menahan amarahnya. Pada akhirnya, dia pun pergi dengan kedua tangan terkepal.
“Tidak perlu! Aku tahu ke mana harus pergi!”
Setelah menunggu beberapa saat, Viona bertanya pada yang lain apakah masih ada yang ingin keluar dari ruang rapat. Ia bahkan memberikan peringatan kepada mereka yang memutuskan untuk tetap tinggal.
“Charles tidak akan keberatan jika ada yang memilih untuk pergi. Namun siapa pun yang kemudian memilih untuk bertahan, setelah itu mereka tidak boleh meninggalkan kapal ini.”
Salah satu dari mereka mengangkat tangan. “Setidaknya, beri tahu kami dulu alasan dibalik semua ini. Mengapa Charles memilih orang yang tak jelas ini untuk memimpin Counterbrand?”
“Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu. Jika Anda keberatan, Anda bisa pergi. Kami masih punya banyak orang yang bisa menggantikan semua posisi di sini,” kata Viona.
Orang yang mengutarakan pertanyaan itu segera pergi. Setelah itu, beberapa orang lainnya juga memilih untuk meninggalkan ruangan. Hingga akhirnya, hanya tersisa 7 orang di ruangan itu selain Viona dan Victor.
“Ada lagi? Setelah ini, kalian tidak akan bisa keluar, lho?” kata Viona mengingatkan.
Ketujuh orang itu tidak memberikan jawaban apa pun. Dua di antaranya adalah perempuan paruh baya. Selebihnya adalah para pria yang memang mampu menjaga ketenangannya sejak awal.
Salah satu dari lima pria itu kemudian mengatakan sesuatu sambil tersenyum tipis ke arah Victor.
“Sudah lama sekali, ya? Victor?” ucapnya secara retoris.
“Suatu kehormatan bagiku karena Paman Benjamin masih mengingat namaku,” jawab Victor sambil tersenyum tipis, sedikit menurunkan pandangannya.
“Terakhir kali kita bertemu, itu sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Tidak mungkin aku bisa mengenali wajahmu setelah sekian lama. Tapi aku tahu pasti kalau itu kamu, karena Charles tidak akan pernah bercanda tentang masalah seserius ini,” jawab lelaki tua bernama Benjamin Smith itu.
Para pejabat lainnya saling memandang setelah dialog kecil antara Victor dan Benjamin. Padahal, pria bernama Benjamin itu adalah salah satu wakil presiden perusahaan tersebut, dan terlihat jelas bahwa Benjamin cukup mengenal Victor.
“Apakah kau memiliki hubungan khusus dengan Charles?” tanya pria lain bernama Joseph Colter kepada Victor.
“Apa kau belum menyadarinya?” kata wanita cantik berusia 47 tahun bernama Emilia Werner. “Dapat dipastikan dia adalah satu-satunya putra Charles William yang selama ini dirahasiakan itu. Kalau tidak, Viona tidak akan membuat kondisi yang seolah-olah mengikat kita setelah memilih untuk bertahan di sini.”
“Ya, aku senang semua yang memutuskan bertahan adalah orang-orang yang sangat aku kenal dan bisa aku percayai,” ucap Viona, sembari berjalan menuju meja yang terdapat sebuah telepon di atasnya. “Tapi aku ingatkan, kondisi yang aku sebutkan tadi berasal dari Charles sendiri.”
Setelah itu Viona menekan beberapa tombol di telepon itu, dan sesaat kemudian terdengar suara seorang pria menjawab panggilan.
“Tolong bawakan file-file itu ke sini!” perintah Viona.
[Baik, Bu!]
Setelah menunggu beberapa saat, datanglah seorang pegawai membawakan berkas yang diminta Viona. Berkas-berkas itu adalah agenda yang perlu mereka bahas dalam pertemuan itu.
Dan di situlah perhatian Victor teralihkan saat dia mengetahui bahwa pegawai yang mengantarkan berkas tersebut tidak lain adalah Oliver, pria sombong yang dia temui tadi di kamar kecil.
Tentu saja Oliver juga tercengang di sana, saat mendapati Victor sedang duduk di salah satu kursi di antara para eksekutif.
“Victor?” Dia bergumam dengan ekspresi tidak percaya.
“Oh, bukankah itu Oliver kesayangan kita?” balas Victor sedikit bercanda.
Victor dengan entengnya mengajak Oliver untuk ikut dalam rapat dan duduk di sebelahnya. Tentu Oliver tampak begitu serba salah jika harus duduk di sana, berada di jajaran petinggi perusahaan.
“Hei, apa yang kau lakukan di sini?” Oliver berbisik.
Victor hanya tersenyum, tak memberikan jawaban langsung, membiarkan Oliver menemukan sendiri jawaban yang dia butuhkan.
Masing-masing eksekutif tersebut menyampaikan poin-poin permasalahan yang ingin diangkat dalam rapat, serta solusi yang mereka berikan satu per satu.
Saat ini, Victor tidak dapat mengikuti pembicaraan apa pun yang disebutkan dalam pertemuan tersebut. Pasalnya sejak awal ia belum memiliki persiapan apa pun, sementara ia juga sedang memikirkan masalah serius terkait perceraiannya dengan Emma.
Namun untungnya, para eksekutif tersebut sepertinya bisa memahami posisi dan kondisinya. Sehingga mereka tidak terlalu memaksa Victor untuk segera memberikan tanggapan atas apa yang mereka kemukakan dalam pertemuan tersebut.
Mereka hanya memberi Victor kesempatan untuk mempelajari gambaran besar masalah Counterbrand sebanyak yang dia bisa pahami. Namun kemudian, Emilia Werner yang sedikit usil, memprovokasi Victor untuk memberikan tanggapan.
“Jadi bagaimana menurutmu, Victor? Kamu telah melihat perkembangan beberapa pemain besar di semua sektor. Ada diantara kita yang kebetulan memberikan masukan yang sama, agar kita berusaha mencari sektor pasar baru dengan tetap bertahan dan bersaing dengan apa yang sedang kita kerjakan. Apakah kamu punya saran lain?”
Victor memasang wajah kosong. Dia kemudian mengalihkan perhatiannya ke Benjamin, tapi Benjamin menutup matanya dengan menahan senyum, membiarkan Victor mencoba merasakan apa rasanya menjadi seorang pemimpin.
“Yah, umm, kita bisa saja mencoba sebuah start-up yang fokus utamanya pada digital. Atau mungkin sesuatu yang berfokus pada media sosial,” ungkap Victor dengan sedikit ragu.
Dia kemudian nyengir menahan canggung setelah menyelesaikan kata-kata gagapnya itu.
“Maksudmu, sebuah start-up bisnis yang berbasis platform digital?” wanita itu merespons dengan raut wajah tak pasti.
“Nah, berhubung Anda berniat mencoba sesuatu yang baru, mungkin sebaiknya Anda mepersiapkan diri untuk sudut pandang baru juga. Mengapa tidak memulainya dengan mendengarkan pendapat dari seseorang seperti Oliver ini,” kata Victor sambil mengalihkan perhatian mereka ke Oliver yang duduk di sebelahnya.
Wajah Oliver langsung terlihat begitu pucat, dan hanya bisa menunduk ke arah meja yang sama sekali tidak ada berkas di atasnya.
Viona malah memejamkan mata dan menggelengkan kepala menanggapi keusilan Victor tersebut.
Ponsel Victor tiba-tiba berdering. Dia bermaksud menolak panggilan tersebut. Tapi dia berubah pikiran saat mengetahui bahwa itu adalah panggilan Benigno, mantan bosnya di toko pizza.
Barulah di situ dia teringat bahwa dia masih harus mengurus masalahnya dengan mantan bosnya itu.
[Hei, Victor! Bukankah kau berjanji padaku untuk membayar semuanya dua kali lipat? Di mana kau sekarang? Jangan bilang kau kabur dan tidak berniat membayarnya]
“Maafkan Tuan Benigno. Aku lupa. Aku akan ke sana untuk menyelesaikannya sekarang juga.”
Setelah menutup telepon, Victor mendapati semua mata tertuju padanya. Padahal orang-orang itu sengaja mematikan ponselnya untuk menghormati jalannya rapat itu. Namun Victor malah seenaknya menjawab panggilan seperti itu.
Namun begitu, Victor menggunakan hal itu sebagai alasan untuk menghindari rapat tersebut dan memutuskan untuk pergi.
“Kalian tahu, Oliver ini sempat berbicara padaku tadi tentang pentingnya memiliki ide terobosan yang bisa mendatangkan keuntungan. Mengapa kalian tidak mencoba mendengarkan idenya terlebih dahulu? Siapa tahu, kalian akan melihat perspektif yang benar-benar baru mengenai kondisi pasar di sektor lain.”
Victor kemudian bangkit dari tempat duduknya dan menepuk bahu Oliver dengan mendekatkan wajahnya ke telinga Oliver.
“Semoga beruntung!” bisiknya.
Oliver tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia bahkan tidak berani mengangkat wajahnya, masih menunduk dengan raut wajah pucat.
Semakin Victor menunjukkan wajah serba salahnya, pria itu semakin yakin bahwa Victor benar-benar seorang pencuri. Dalam benaknya, ketakutan Victor adalah ketakutan pencuri yang baru saja tertangkap.“Pencuri mana mau mengaku kalau dia adalah seorang pencuri?” kata seorang laki-laki dari kerumunan.“Logika macam apa itu?” bantah Victor pada orang yang baru saja menuduhnya. “Mereka yang bukan pencuri pun, tidak mau mengakui dirinya sebagai pencuri? Dasar bodoh!”“Kamu benar-benar pandai berkilah! Aku yakin kau pasti sudah berlatih berkilah setiap hari,” kata pria bernama Andrew itu sambil masih memegang kerah baju Victor.“Sudah kubilang, aku tidak mencoba mencuri tasnya!”“Oh, benar juga! Kenapa tak kau katakana saja itu pada polisi nanti. Tapi untuk saat ini, aku perlu…”Andrew menarik tangannya ke belakang, hendak melayangkan pukulan. Namun tiba-tiba seorang lelaki tua memukul punggung Andrew dengan tongkat.“Dia mengatakan yang sebenarnya! Kau dan gadismu itu perlu berterima kasih p
Hari Sabtu pun datang, sama seperti hari-hari Sabtu lainnya bagi sebagian orang. Tapi itu berbeda untuk Emma. Dia masih tertidur meski sudah lewat tengah hari.Dia masih mengenakan pakaian yang sama yang dia kenakan untuk bekerja tadi malam. Tempat tidurnya berantakan dengan salah satu sepatunya di atas bantal. Ada juga beberapa kaleng bir kosong di mana-mana.Sejak bekerja paruh waktu sebagai operator drive thru di “Peccato Legale”, bar milik pria bernama Robert itu, Emma harus bekerja lembur hingga lewat tengah malam.Meskipun dia kembali ke motel sebelum jam 3 pagi, dia baru tertidur sebelum fajar. Bahkan itu hanya setelah dia menghabiskan beberapa kaleng bir. Tapi sekarang, minuman keras itu masih mempermainkan pikirannya.Alkohol itu begitu efektif dalam menghentikan otaknya menghasilkan hormon kecemasan sejak tadi malam. Itu juga efektif membuatnya melupakan semua masalahnya.Namun, ketika efek minuman kerasnya mereda, kecemasannya justru meningkat. Sekarang dia mengalami sesuat
Jimmy menyajikan kopi untuk mereka. Setelah itu, dia sedikit menykamurkan bokongnya di atas meja, dan mulai berbicara untuk memancing perhatian mereka ke arahnya.“Aku tahu kamu adalah Viona Emery, wakil presiden di Counterbrand. Aku tidak akan menyembunyikan siapa diriku di depan orang sepertimu. Jadi, apakah kamu sudah selesai menghakimi diriku?” dia bertanya dengan percaya diri.Viona tersenyum dengan sedikit berceletuk. “Aku tidak datang ke sini untuk memintamu bekerja untukku, tapi hanya untuk menemani orang di sebelahku ini, pemimpin di perusahaan Counterbrand,” jelas Viona.“Eh?!” Jimmy menjawab dengan sedikit terkejut dan senyuman yang tidak pasti, tak menyangka bahwa klien barunya adalah seorang presiden sebuah perusahaan besar.Melihat betapa tenangnya Victor saat ini, Jimmy langsung mengubah sikapnya. Dia merapikan rambut dan pakaiannya sedikit, dan duduk di kursinya dengan memulai sikap profesionalnya.“Jimmy Farion siap melayani anda, menyelesaikan masalah tanpa masalah!
Ia mulai ragu dengan niatnya untuk berbuat sesuatu di lelang tersebut. Sepertinya dia harus menerima tawaran apapun yang akan datang pada cincin yang akan dia jual.“Sudah, suruh mereka pergi,” kata Victor kepada Emma.Kedua orang itu pun pergi begitu saja bahkan sebelum Emma menyuruh mereka pergi.“Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Viona.“Kita bicarakan saja nanti. Kita temui saja pengacara itu dulu!” Jawab Victor sambil bangkit dari sofa dengan wajah lelah.Pada akhirnya, mereka meninggalkan rumah dengan Viona yang mengendarai Ferrari untuknya. Victor sama sekali tak membuat wajah tak bersemangatnya, tak menyembunyikan betapa kecewanya ia pada Viona.Meski begitu, dia tahu bahwa tak bisa juga menyalahkannya. Viona sudah mengatakan bahwa dia tidak akan mengasuhnya lagi. Bagaimana pun, tentu dia menyadari bahwa sebagian besar masalah ini disebabkan oleh kesalahannya sendiri, perselisihan pribadinya dengan Emma.Tapi tetap saja…“Bagaimana kamu bisa kepikiran menggunaka
Victor berdiri di sana sambil memalingkan wajahnya, terlihat sangat sulit menerima apa yang disampaikan Viona kepadanya.Seperti kekhawatiran Viona sebelumnya, jelas perkataannya telah melukai harga diri Victor karena kebaikannya dianggap kenaifan.Victor memang tidak pernah menerima setiap kali ayahnya mengatakan bahwa kebaikannya itu adalah sebuah kesalahan. Dia merasa nyaman dengan dirinya, tapi ayahnya melihatnya sebagai sebuah kelemahan dalam dunia bisnis.Viona tidak mengatakan sepatah kata pun setelah itu dan membiarkannya. Dia duduk di sofa dan menyalakan TV. Tidak ada yang ingin dia tonton, hanya berusaha mengalihkan perhatiannya dari Victor, sambil membiarkan Victor tenggelam dalam pikirannya.Tanpa memberikan jawaban pada Viona, Victor langsung memesan taksi, berniat keluar rumah tersebut dan pulang ke rumahnya sendiri. Tapi tiba-tiba, Viona memanggilnya dari ruang tamu dan bergegas menghampirinya.“Apa lagi?” Victor bertanya.“Aku sudah bertanya sebelumnya. Apakah kamu jad
Dia memang tidak tahu apa-apa tentang identitas asli Victor, selain apa yang dia ketahui tentang dirinya sebagai pengantar pizza.Motif awalnya memberi tahu orang-orang ini tentang Victor hanyalah agar mereka merampok Victor, atau mungkin membuatnya ketakutan setengah mati dengan kemunculan mereka. Dia hanya ingin mengerjai Victor untuk membalaskan kekesalannya, tak lebih.“Tolong, kasihani aku! Niatku hanya ingin memberi pelajaran pada bocah itu, dan membiarkan anak buahmu bersenang-senang dengan apa pun yang ingin mereka lakukan padanya,” pinta Benigno sambil menangis lirih.Marco menjadi semakin tidak sabaran, dan kemudian mengokang pistolnya, seolah-olah akan menembak mati pria gendut itu. Namun salah satu temannya segera menghentikannya dengan dingin.“Tunggu sebentar, Marco!” kata pria itu sebelum menepuk bahu Marco dua kali. “Ikutlah denganku sebentar!”Marco mengikuti pria itu ke ruangan lain, masih di dalam toko pizza. Dilihat dari tingkah laku Marco saat ini, sepertinya pria