Sudah barang tentu ucapan rekan kerja yang memotong perkataannya itu membuat rahang Aji mengeras. Dia memberikan tatapan tajam mengintimidasi, menghapus semua ekspresi ramah yang tadi sempat dia berikan. Melihat hal itu, Roni pun menelan ludah. Sepertinya dia sudah salah bicara. Meski ucapannya tadi hanya bercanda, tampaknya Aji sangat tidak berkenan. Dia pun memegang pundak pria di hadapannya itu.“Aji, aku-““Kamu tidak tahu apa-apa,” potong Aji seperti ingin membalas Roni. Roni yang terkejut dengan reaksi Aji pun menjadi kian tergagap. “A-aku-““Ini hadiah dari istriku. Kamu mengucapkan selamat ulang tahun padaku kemarin. Dan istriku membelikan mobil ini padaku.”Mulut Roni menganga. Dia sungguh tidak mengira jika Aji ternyata berasal dari keluarga yang perekonomiannya jauh di atas dirinya. Penampilan manajer pemasaran yang baru itu terlihat terlalu sederhana untuk seseorang yang berada. Terlebih, kemarin Aji juga mengendarai mobil keluaran lama yang dia pikir masih belum lunas c
Jeder!Sudah barang tentu dengan refleks Siska nyaris berteriak atas jawaban yang terdengar seperti petir di siang bolong. “Apa?!”Itu adalah arloji yang sangat berharga, mewah, dan tentunya mahal. Akan tetapi, Aji memberikannya begitu saja pada orang lain. Satpam? Seorang satpam. Mengenaskan!Bagaimana mungkin Siska tidak ingin pingsan mendengarnya!‘Aji, kamu benar-benar sudah menbanting kemewahan dari arloji itu dengan membiarkannya melekat di pergelangan tangan seorang rendahan!’“Kenapa Sis? Apa kamu keberatan aku memberikannya pada orang yang lebih membutuhkan?”‘Iya, dong! Segitu cintanya kamu sama Retno!’ Siska berusaha keras untuk tersenyum dan mendustai kata hatinya. “Tidak, Ji. Aku senang kalau memang itu berada di tangan yang tepat.”“Syukurlah kalau begitu. Aku tahu, kamu memang orang baik.”Hati Siska tersenyum getir. Namun, bukannya menyerah, Siska justru kian terobsesi untuk merebut Aji dari sang istri. ‘Retno harus merasakan sakit hati dan penghinaan yang lebih besar
Menjelang siang, sebuah surat datang menggemparkan kediaman mewah nan permai keluarga Santi. Surat itu diterima oleh sang pembantu dan dibaca langsung oleh Santi yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu. Dan, seketika itu pula adik dari mertua Retno itu jatuh pingsan.Tentu saja hal tersebut membuat sang pembantu panik. Dia berteriak meminta tolong berulangkali karena megahnya rumah membuat suaranya menjadi tidak cukup terdengar.Beberapa saat kemudian, Beny, si anak bungsu, pergi ke ruang tamu dengan wajah geram. Kebetulan, waktu itu selain pembantu dan Santi, hanya ada Beny di rumah.“Ada apa sih Bi?! Ganggu orang tidur saja.” Beny masih belum sadar, jika ibu tergeletak tidak sadarkan diri di sofa.“Mas Beny, Nyonya Mas. Nyonya-”Beny yang sudah sangat kesal pun memotong ucapan pembantunya. “Mama lagi, ngapain juga tidur di sini? Kalau ada tamu ‘kan malu-maluin.” Dia berkacak pinggang. “Bi, bangunin Mama dong. Suruh pindah ke kamar aja. Gabut banget molor di sini.”“Tapi Mas Beny
Tidak ingin hal buruk terjadi pada Santi, keluarga pun memanggil dokter ke rumah meski perempuan itu telah sadarkan diri. Mereka semua berkumpul di kamar Santi yang luas, menunggu dokter memeriksa.Terlihat Rudi, suami Santi, yang biasanya di jam ini masih berada di kampus, sekarang duduk di samping Santi, memegang tangannya erat.“Bagaimana, Dok?”“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ibu Santi baik-baik saja. Beliau masih lemas karena masih terlalu kaget. Saya akan resepkan obat untuk mempercepat pemulihan.” Dokter menuliskan resep dan menyerahkannya pada Rudi. “Mohon dijaga agar Ibu Santi cukup istirahat.”“Baik, Dok. Terima kasih banyak.” Rudi menggeser pandangan pada anak keduanya. “Rico, kamu antarkan Dokter ke depan.”Rico mengangguk mengerti. Dia pun pergi meninggalkan kamar ibunya bersama sang dokter. Dan, setelahnya, mereka mulai membicarakan apa yang sebenarnya terjadi.“Semua ini gara-gara menantu Mbak Mayang yang lakn*t itu!” Santi memegangi kepalanya dan berusakha untuk d
Menjelang waktu pulang sang suami, seperti biasa, Retno keluar dari kamar dan turun ke ruang tamu demi menyambut kedatangan Aji. Dia mengerutkan kening saat melihat mertua dan iparnya telah berada di ruang tamu.Sebenarnya itu bukan pemandangan aneh. Sesekali mereka memang bersantai di ruang tamu saat sore, tetapi tidak dalam kondisi seperti orang cemas. Namanya juga bersantai, misalnya lihat-lihat belanjaan di toko online, baca-baca katalog make up, tas, dan sejenisnya, atau bergosip sambil ketawa-ketiwi. Namun kali ini tampak lain. Benar, Mayang dan Mawar terlihat mondar-mandir sambil membicarakan hal yang sepertinya sangat serius.“Bagaimana ini, Ma?”“Mama tidak tahu. Kita tunggu saja kakakmu pulang. Mama telepon dari tadi tidak diangkat. Kamu juga WA nggak dibalas ‘kan?” Mawar mengangguk lesu. “Pokoknya kalau kakakmu sudah pulang, jangan bersikap berlebihan, kita tanyakan baik-baik mengapa dia sampai melaporkan Tante Santi ke kantor polisi.”‘Apa? Mas Aji melaporkan Tante Santi
Mayang menghela napas panjang, memikirkan tindakan putranya yang gegabah dan memancing perpecahan keluarga. “Kenapa, Ma?”“A-apa? Apanya yang kenapa, Nak?” Mayang kebingungan lagi. Sudah beberapa kali pertanyaan biasa dari Retno membuatnya tampak gugup merespons.“Tadi Mama menghela napas berat. Apa ada masalah, Ma? Mama bisa cerita ke aku.”Mawar memutar kedua bola matanya. Dia sangat kesal, marah, dan benci pada iparnya itu setengah mati. Dia sungguh muak mendengar Retno terus bertanya kenapa, kenapa, dan kenapa.‘Memang ada masalah. Masalah yang sangat besar. Biang masalah. ya KAMU, Mbak! Sumber dari segala masalah!’ batin Mawar sambil mengepalkan tangan kuat-kuat. Jika bukan karena imbauan ibunya untuk menjaga ucapan dan tidak menyinggung Retno, sudah pasti dia akn melabrak Retno.“Tidak, Mama hanya ya ... menunggu Aji pulang. Kok belum sampai juga. Dia sudah terlambat lima belas menit.”Retno melihat jam kecil di tangannya. ‘Benar, Mas Aji telat pulang. Kenapa ya? Tidak biasanya
Retno telah siap, tetapi dia masih duduk di depan cermin. Perempuan itu terlihat tersenyum tipis saat menyadari bahwa bayangannya sekarang sangat berbeda dari dia biasanya. ‘Apa yang akan dikatakan suamiku jika melihatku sekarang?’ Retno manahan tawa membayangkan wajah lucu sang suami. Ting! Baru saja dia memikirkan Aji, sebuah pesan dari lelaki itu telah masuk. [Sayang, aku sudah di depan. Kamu langsung ke sini ya. Kalau Mama atau Mawar tanya, bilang aja kalau kamu ada janji makan malam. Baiknya, nggak usah bilang kalo sama aku ya, Sayang. Aku nggak mau nanti mereka ikut ke depan dan menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan. Cinta kamu.] Sebuah napas kabur dari mulut Retno. Dia sangat mengerti mengapa suaminya demikian. Melihat bagaimana mertua dan iparnya menunggu Aji saja sudah jelas, akan ada banyak pertanyaan yang sudah disiapkan. Sementara suaminya, mungkin sedang sangat malas untuk membicarakan perihal laporan yang telah diurus kepolisian. “Mama dan Mawar pasti akan sang
Aji berdiri di samping mobil, terus menatap ke arah gerbang yang memang sengaja tidak dihampiri agar tidak dibuka. Sesekali dia menengok jam tangan. Sejujurnya, Aji merasa sedikit gugup. Dia khawatir jika di restoran nanti terjadi perselisihan atau pertengkaran antara Retno dan Siska. Walau dia tahu istrinya bukanlah seorang yang suka ribut dan cenderung tenang, tidak ada jaminan sang istri akan tetap demikian, terlebih jika Siska sengaja memancing masalah. “Yang aku lakukan ini sangat berisiko. Semoga saja, Siska tidak mengatakan sesuatu yang memang seharusnya tidak diucapkan pada lelaki yang telah menikah.”Tepat setelah Aji berkata pada dirinya sendiri, gerbang terbuka sedikit dan seseorang yang sangat cantik, hingga kata cantik tidak cukup untuk mewakilinya, menyembul dari dalam.“Mas,” sapa perempuan itu dengan senyum lebar, kemudian berjalan mendekati sang suami.Sebagaimana Retno, Aji pun berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Bedanya, Aji tidak tersenyum. Mulut lelaki it