Mama berbalik dan menuruni tangga. Dia menghampiri Mas Aji masih dengan wajah merah padam. Dia pasti tidak terima atas ancaman suamiku. Terlihat sekilas dia melihat ke arahku dengan tatapan penuh dengan kebencian.
"Jadi ... kamu tega meninggalkan Mama dan Mawar demi janda ini?" Mama menunjuk diriku.Aku tahu, mertuaku tidak akan pernah merasa kalau semua kekacauan ini terjadi karena apa yang dia lakukan. Sebaliknya, dia pasti berpikir akulah biang masalahnya."Dia bukan janda, Ma. Aku suami sah Retno.""Terserah apa katamu. Bagi Mama dia tetap sama, wanita tidak tahu diri yang telah mengubahmu menjadi seperti ini! Kamu berani melawan bahkan berbicara dengan nada tinggi pada Mama karena wanita s*alan ini."Mas Aji tersenyum kecut. "Aku sangat menyesal. Dua tahun sudah aku meminta istriku bertahan di rumah ini, rumah di mana dia sama sekali tidak dihargai sebagai seorang menantu, sebagai kakak ipar, dan sebagai manusia."Kini Mas Aji menatap ibunya dengan mata menahan air. Jika seseorang yang tidak sanggup melihat wajah orang yang membuatnya marah, lantas kini menatapnya lekat-lekat, artinya ... murka dan kecewa bahkan tidak cukup untuk mewakili apa yang dirasakan suamiku sekarang."Aji, jangan berlebihan! Dia mendapatkan kehidupan yang layak di rumah ini. Mendapatkan tempat tinggal yang mewah beserta segala fasilitasnya, mendapatkan banyak hal yang dimimpikan oleh banyak wanita. Ada banyak wanita yang jauh lebih baik darinya di luar sana. Tetapi dia mendapatkan semua ini tanpa melakukan apa pun dengan benar. Tidak becus sebagai istri juga menantu. Semua ini terlalu berharga untuknya. Sangat tidak sepadan!"Mas Aji berdiri, tidak menggeser sedikit pun pandangannya dari Mama. "Sekarang aku semakin mengerti, seperti apa Mama dan Mawar memperlakukan istriku." Suamiku mengusap kasar air mata yang menetes dari pelupuknya.Ini kali pertama aku melihat Mas Aji menangis.Mas Aji menggeleng pelan sambil berkata lirih hampir-hampir tidak terdengar. "Sudah tidak ada alasan bagi kami untuk tinggal di rumah ini."Kedua tanganku refleks berpindah ke depan mulut. Tampaknya Mas Aji tidak hanya menggertak. Dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya untuk pergi dari tempat yang telah dia tinggali sejak kecil hingga sekarang.Aku semakin terkejut ketika tiba-tiba tangan Mas Aji meraih tanganku. "Kita pergi sekarang, Sayang. Ada banyak tempat yang lebih pantas untuk kita huni."Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Semuanya terlalu mengejutkan. Akhirnya yang keluar dari mulutku hanyalah, "Mas ...."Tepat saat kaki kami hendak menapak di tangga, suara dingin Mama terdengar memanggil, "Aji!"Mas Aji berhenti dan berbalik. Aku mengikutinya dan mendapati mertuaku menatap suamiku dengan mata membulat hampir tanpa berkedip.Mertuaku berjalan mendekat. "Kau sudah berjanji pada papamu untuk menjaga Mama dan adikmu sampai akhir hayat. Apa kau sudah lupa?"Mas Aji menggeleng. "Tidak, aku masih ingat Ma, sangat ingat.""Lalu mengapa kamu mau pergi meninggalkan kami? Kamu sengaja mengingkari janjimu. Jika Papa masih hidup, dia pasti sedih melihatmu seperti ini."Mertuaku mulai membawa-bawa mendiang suaminya karena tidak kunjung berhasil menggoyahkan tekad Mas Aji untuk pergi. Aku menatap suamiku lekat, semua masih sama.Wajah Mas Aji tetap dingin. Tanpa sesal atau rasa bersalah pada ibunya."Mama salah besar. Justru Papa akan malu melihatku membiarkan harga diri istriku diinjak-injak oleh Mama dan Mawar, bahkan mungkin oleh anggota keluarga besar kita. Harus Mama tahu, selain berjanji pada Papa, aku juga telah bersumpah di depan nisan kedua orang tua Retno. Aku bersumpah akan menjaga dan membahagiakan Retno dengan sepenuh hatiku."Mas Aji, ternyata dia masih ... mengingat semuanya. Aku kira selama ini suamiku telah lupa pada sumpahnya yang dilakukan di depan makam kedua orang tuaku saat kami sama-sama masih mengenakan busana pengantin.Detik ini juga aku bertekad dalam hati, tidak akan pernah meninggalkan suamiku, tidak akan membiarkan siapa pun merusak pernikahan kami!"Dua tahun aku berusaha menjalankan janjiku pada Papa dengan sebaik mungkin. Dan dua tahun pula aku telah mengingkari sumpahku pada kedua mertuaku." Mas Aji mengusap air matanya lagi.Tuhan ... sungguh, aku ingin sekali memeluk suamiku saat ini. Aku ingin mengatakan padanya, meski selama ini aku merasa sangat menderita atas perlakuan Mama dan Mawar, aku tidak pernah menyesal menikah dengannya. Justru, aku merasa sangat beruntung memiliki suami sepertinya.Tanpa sadar, perasaan haru, sedih, bangga, dan bahagia yang bercampur aduk di hatiku sampai membuat air mata yang sejak tadi aku tahan, akhirnya jatuh juga."Jadi kamu tetap memilih membela wanita itu dan pergi dari sini?!""Semua bergantung pada Mama. Jika Mama mau mengakui kesalahan Mama dan meminta maaf pada Retno, juga berjanji tidak akan pernah mengulangi perbuatan buruk Mama, aku bisa mencoba untuk bertahan di rumah ini.""TIDAK SUDI!" sambar Mama dengan suara sangat lantang.Mas Aji menarik salah satu ujung bibirnya. "Baik, semua sudah diputuskan." Dia tersenyum lembut padaku. "Sayang, ayo kita berkemas sekarang."Mas Aji menggandengku menaiki tangga menuju kamar kami. Sayup-sayup terdengar suara mertuaku yang terus memanggil-manggil nama putranya, juga tidak berhenti memaki diriku."Mas," lirihku dengan kening penuh dengan kerutan sambil sesekali menoleh ke belakang melihat mertuaku.Mas Aji menggeleng sebelum tersenyum dan berkata, "Jangan hiraukan Mama."Saat kami sampai di dalam kamar, Mas Aji langsung menutup dan mengunci pintu. Lantas, dia memelukku erat."Maafkan aku ...." Mas Aji berkata lirih tetapi terasa menyayat hatiku. Dua tahun kami hidup bersama, Mas Aji tidak pernah terlihat sesedih ini. Jika aku mengeluh tentang ibu dan adiknya, dia selalu meminta maaf atas nama dua perempuan itu, lantas menghiburku dan menguatkanku untuk bersabar.Mungkin, kali ini apa yang dilakukan Mama dan Mawar sudah sangat mengoyak hatinya."Mas ...."Mas Aji mempererat pelukannya. Terdengar sesekali isakan lelaki itu."Aku minta maaf, Sayang. Maafkan aku. Mama dan Mawar sudah sangat ...." Mas Aji tidak mampu menuntaskan kalimatnya. Yang terdengar hanyalah isakannya.Aku melepas pelukannya. Kutatap wajah suamiku yang basah oleh air mata. Aku tersenyum dan menggeleng pelan sembari menyeka wajahnya. "Jangan seperti ini. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Aku sangat bersyukur memiliki suami sepertimu. Aku sama sekali tidak menyesal menikah denganmu
Di dalam kamar, Mas Aji tampak bergeming selagi aku menata kembali pakaian ke dalam lemari. "Mas Aji," panggilku tetapi tidak ada jawaban darinya. Aku menoleh untuk melihat suamiku yang duduk di atas ranjang. Keningnya tampak berkerut seperti sedang cemas memikirkan sesuatu.Aku pun beranjak dari depan lemari dan menghampirinya. Kupegang pundak suamiku. "Mas.""Ya. A-ada apa, Sayang?" Mas Aji memaksa untuk tersenyum."Kenapa? Sejak masuk ke kamar kamu hanya diam."Sebuah napas kabur dari mulut Mas Aji. Dia meraih tanganku. "Sayang, kau pasti juga merasa kalau Mama dan Mawar tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatan mereka. Maksudku, semua yang tadi dilakukan hanya karena mereka takut pada ancamanku. Aku khawatir, Mama dan Mawar akan bersikap buruk lagi padamu, terutama saat aku tidak ada di rumah. Aku khawatir ... keputusanku tetap tinggal di sini keliru."Aku menarik kedua ujung bibirku, mengetahui ternyata Mas Aji mencemaskan hal yang sama denganku. Di sisi lain, aku pun mengerti j
Pagi-pagi sekali aku sudah selesai bersih-bersih rumah dan masak. Sepertinya aku terlalu bersemangat menyambut hari baru hingga saat subuh belum datang, kedua mataku sudah tidak bisa terpejam.Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum ketika menata hidangan di atas meja makan. Terlebih saat membayangkan reaksi yang diberikan mertua dan iparku saat melihat makanan yang telah kupersiapkan dengan apik.Aku tahu, ini akan menjadi kejutan yang sangat menyenangkan. Maka, sebagai rasa sayangku pada Mama dan Mawar, sengaja pagi ini melengkapi semua dengan seduhan teh hijau. Sementara untuk Mas Aji, seperti biasa, secangkir kopi pahit telah siap untuknya. Pernah sekali aku bertanya pada suamiku perihal apa yang membuatnya lebih suka kopi pahit. Dan jawaban yang diberikan sangatlah klise, tapi tetap membuatku senang. Kata Mas Aji, itu karena rasa manisnya sudah cukup dengan melihat wajahku. Aku tersenyum-senyum sendiri menunggu semua orang turun untuk sarapan bersama. Beberapa saat b
Ruangan menjadi hening atas sisa-sisa gema dari teriakan Mama. Apakah Mama akan membuka topengnya secepat ini? Apa Mama akan kembali menunjukkan sisi buruk yang mendominasi keseluruhan dari tabiatnya selama ini?"Maksud Mama, Aji ... Retno pasti lelah menyiapkan ini semua. Dia sudah bekerja keras sejak tadi. Jadi, kamu beli makan saja seperti biasanya ya. Jangan menyusahkan istrimu. Lagipula, tidak baik juga kalau nanti kamu berbicara dengan klien. Mereka akan ... terganggu dengan bau mulut akibat masakan menji-, em ... makanan lezat tapi beraroma sedikit menyengat ini."Aku tidak mengira kalau efek peperangan kecil tadi malam begitu besar, hingga Mama merasa sungkan untuk berbicara kasar padaku. Tidak mau mengendorkan serangan, aku pun membalas, "Tidak apa-apa, Ma, aku tidak capek. Aku akan mengambil rantang untuk bekal makan siang Mas Aji. Kalau untuk napas tidak sedap, aku sudah menyiapkan ini! Permen pengusir bau mulut. Jika masih belum cukup, aku akan membawakan sikat dan pasta
"Sumpah ya Ma, nyebelin banget wanita soal*n itu. Masa kita disuruh makan petai, jengkol, ih ...! Ikan teri, ikan asin, sama apa tadi sayur kolor?""Kelor.""Ya itu, namanya aja aneh apalagi rasanya coba? Semua itu 'kan makanan orang miskin Mama! Enggak banget pokoknya kalau lidahku harus turun kasta! Nyium baunya saja aku pengen muntah, nggak kebayang deh kalau sampe harus makan! Langsung pingsan mungkin aku!" Mawar menutup mulutnya seperti orang yang mau muntah.Tidak mau kalah sang ibu pun meluapkan amarahnya."Iya, kurang ajar emang itu si janda burik! Bisa-bisanya ngerjain kita sampai seperti ini! Pagi-pagi perut lapar, bukannya masak yang bener, malah menyajikan makanan kampungan begitu. Apa dia nggak mikir, pantes nggak menyajikan makanan seperti itu? Jelas-jelas sama sekali nggak layak. Dia nggak tahu apa kalau meja tempat naruh makanan itu harganya sangat mahal? Dia benar-benar menghancurkam nilai kemewahan meja makan kita, rumah kita, harga diri kita!""Belum lagi itu Ma, ju
Sekitar pukul 13.00 Mama dan Mawar pulang. Jika biasanya saat mereka pulang dengan segala cacian yang diberikan padaku; rumah baulah, kotorlah, apalah, kali ini mereka pulang membawa senyum. Bahkan, Mama membelikan roti bakar untukku."Mawar sakit apa, Ma? Lalu, apa ... ini semua obat Mawar?" tanyaku pura-pura tidak tahu kalau iparku itu tidak sakit. Dan untuk tas-tas kertas yang mereka bawa, tentu saja itu bukan obat melainkan belanjaan mereka. Entah berapa banyak uang yang sudah mereka habiskan sepanjang pagi sampai siang ini saja."Aduh!" Mawar langsung melenguh sambil memegangi perutnya."Em, paperbag ini hadiah untuk Tante Mita."Hadiah? Tante Mita ulang tahun? Memang harus sebanyak itu? Alasan!"Dan ... untuk Mawar, kata dokter, adikmu tidak boleh makan makanan yang berbau menyengat. Perutnya menjadi sakit karena mencium bau petai dan jengkol, Nak."Apa? Sungguh aku ingin sekali tertawa mendengar dalih Mama. Jadi yang bermasalah itu perut atau hidung Mawar? Jelas-jelas Mawar bel
Selepas Aji berangkat ke kantor, Retno bersiap untuk pergi ke rumah Mita, adik kedua mertuanya. Dia mengenakan pakaian terbaiknya dengan riasan minimalis, tetapi berkelas. Meski dia tahu mertuanya memiliki maksud terselubung mengajak dirinya turut hadir dalam acara perayaan ulang tahun itu, setidaknya dia ingin tampak cantik dan elegan."Mas Aji, aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi demi kamu, aku akan menghadapi semua ini." Retno menghela napas panjang sambil terus menatap bayangannya di dalam cermin. "Jangankan keluargamu, sarang harimau pun akan aku masuki jika itu perlu, demi kamu." Retno tertawa kecil, membayangkan sang suami yang pasti akan terkekeh jika mendengar ucapannya itu.Tok, tok, tok!Terdengar suara pintu dilketuk. Lantas diikuti oleh sebuah panggilan. "Mbak, sudah siap?""Sudah, Mawar.""Kami tunggu di bawah ya.""Oke!"Retno bersicepat memasukkan barang yang perlu dibawa ke dalam tas. Dia tersenyum melihat tasnya sendiri, membayangkan bagaimana orang-oran
Seperti tidak ingin sang adik terus-menerus memujiku, Mama kemudian mendekat dan merangkul Tante Santi. Tampak tangannya sedikit meremas lengan perempuan itu hingga menoleh ke arahnya."Ini Retno. Istrinya Aji. Sudah, apa kamu akan membiarkan kami berdiri terus di sini?""Te-tentu saja tidak. Ayo masuk! Semua orang sudah menunggu di dalam."Tante Santi menggandeng Mama dan Mawar untuk masuk bersama, tanpa melihatku sama sekali. Padahal, tadi matanya menempel erat padaku seperti tidak mau berpaling.Tidak masalah. Aku sudah siap dikeroyok!Aku menghela napas panjang sebelum tersenyum lebar, lantas berjalan mengikuti mereka.Ketika kakiku menginjak ruang tamu kediaman Tante Mita, tampak semua orang memang telah berkumpul, persis seperti yang dikatakan oleh Tante Santi. Aku berdiri cukup lama mengamati orang-orang yang mungkin tidak lama lagi akan mengejekku.Aku melihat tas berukuran cukup besar yang terkalung di bahuku. Aku tersenyum lagi menyadari bahwa sebenarnya tas ini kurang pas ji