Saat kami sampai di dalam kamar, Mas Aji langsung menutup dan mengunci pintu. Lantas, dia memelukku erat.
"Maafkan aku ...." Mas Aji berkata lirih tetapi terasa menyayat hatiku.Dua tahun kami hidup bersama, Mas Aji tidak pernah terlihat sesedih ini. Jika aku mengeluh tentang ibu dan adiknya, dia selalu meminta maaf atas nama dua perempuan itu, lantas menghiburku dan menguatkanku untuk bersabar.Mungkin, kali ini apa yang dilakukan Mama dan Mawar sudah sangat mengoyak hatinya."Mas ...."Mas Aji mempererat pelukannya. Terdengar sesekali isakan lelaki itu."Aku minta maaf, Sayang. Maafkan aku. Mama dan Mawar sudah sangat ...." Mas Aji tidak mampu menuntaskan kalimatnya. Yang terdengar hanyalah isakannya.Aku melepas pelukannya. Kutatap wajah suamiku yang basah oleh air mata. Aku tersenyum dan menggeleng pelan sembari menyeka wajahnya. "Jangan seperti ini. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Aku sangat bersyukur memiliki suami sepertimu. Aku sama sekali tidak menyesal menikah denganmu. Justru aku bahagia, Mas.""Tapi Mama dan Mawar sudah-""Tsuuut ... sudah. Melihatmu tadi berusaha menjaga martabatku di depan keluargamu adalah cinta yang membuatku tidak akan pernah bisa meninggalkanmu, Mas." Aku meraih tangan suamiku dan menciumnya. "Aku berjanji padamu, walau apa pun yang terjadi, aku akan selalu menjadi istri yang baik untukmu.""Terima kasih banyak, Sayang. Aku beruntung memiliki istri sepertimu." Mas Aji mendekapku lagi. "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu.""Aku juga."Aku lega, melihat Mas Aji sudah mampu tersenyum ketika melepas pelukannya. Dia lantas mengajakku berkemas agar bisa cepat pergi dari rumah ini."Barang-barang lainnya akan aku ambil setelah kita mendapatkan tempat tinggal yang baru. Untuk sementara, kita tidur di hotel dulu. Anggap saja, kita sedang bulan madu, Sayang." Mas Aji tersenyum genit sambil mencubit pelan pipiku."Mas, apa kamu serius akan meninggalkan rumah ini? Maksudku ... ada banyak kenangan berhargamu di sini."Mas Aji memegang kedua pundakku. "Sayang, aku belum pernah seserius ini. Kamu benar, ada banyak kenangan berhargaku di rumah ini, tapi ada banyak juga kenangan burukmu di sini." Mas Aji membelai lembut pipiku. "Jadi, ayo kita bersenang-senang sekarang!" ucapnya lagi terdengar begitu bersemangat.Namun, sorot mata Mas Aji tidak bisa membohongiku. Pasti sangat berat baginya untuk menjalani keputusan ini.Sebagaimana saat dia mengajakku masuk ke dalam kamar, kali ini ketika keluar pun tangan kanan Mas Aji menggenggam tanganku erat seperti tidak mau dipisahkan. Sementara itu, tangan kirinya membawa koper berisi pakaian kami berdua.Begitu kami menuruni tangga, tampak Mama duduk di kursi, sedangkan Mawar berdiri menunggu. Mungkin ketika aku dan Mas Aji berkemas, mertuaku memberitahu pada Mawar bahwa kami akan meninggalkan rumah ini.Kutatap Mas Aji lagi. Terlihat rahangnya mengeras melihat ibu dan adiknya selagi berbisik, "Jangan lepaskan tanganku, Sayang.""Mas Aji, mau ke mana?" tanya Mawar ketika kami telah sampai di lantai dasar."Pergi," jawab Mas Aji singkat sebelum kembali melangkahkan kaki melewati ibunya.Mawar menyergap tangan kiri suamiku. Dengan mata berkaca-kaca dia memelas, "Mas Aji, tolong jangan pergi. Jangan tinggalkan kami. Aku mohon. Mama pasti sangat sedih memikirkan Mas Aji."Entah karena tulus tidak ingin ditinggal kakaknya atau karena tidak mau kehilangan uang jajan dan kuliahnya, yang jelas wajah Mawar terlihat menyedihkan."Tidak, Mawar. Selama Mama tidak mengakui kesalahannya dan meminta maaf pada Mbak Retno, aku akan pergi." Mas Aji menarik tangannya dan menoleh padaku. "Ayo Sayang.""Mas! Mas Aji!" jerit Mawar sambil terisak. "Mama, jangan diam saja. Mas Aji mau pergi, Ma. Aku tidak mau kehilangan Mas Aji, Ma. Mama cepat minta maaf pada Mbak Retno. Jangan sampai semua terlambat, Ma." Terdengar rengekan Mawar pada mertuaku.Aku menoleh ke belakang, tetapi belum sampai terlihat dua perempuan itu, suamiku sudah mengingatkan, "Lihat ke depan, Sayang."Dan, saat kami tiba di ambang pintu utama, derap langkah kaki yang berlari membuatku menengok ke belakang lagi."Mas Aji!""Aji!"Dua suara itu memanggil suamiku hampir bersamaan.Mawar telah berdiri di dekat kami menahan tangan Mas Aji, sedangkan mertuaku berjalan mendekat. Tidak seperti sebelumnya, wajah mertuaku tidak sekeras tadi."Aji, apa kamu sangat marah pada Mama sampai tidak mau berbalik untuk melihat wajah Mama?"Memang, suamiku masih menghadap ke luar, memunggungi ibu dan adiknya. Dia pun tidak menjawab pertanyaan ibunya. Mas Aji hanya diam mematung."Mas ..." lirihku.Yang terjadi berikutnya cukup mengejutkanku. Mama meraih kedua tanganku dan berkata lembut. "Maafkan Mama. Mama bersalah padamu Retno. Mama sudah keterlaluan, sering bersikap kasar, memarahimu, dan bahkan sering membentakmu. Mama juga ... telah berkata buruk tentangmu di depan banyak orang. Mama menyesal, tolong maafkan Mama, Retno."Mertuaku menangis. Dia hendak menempelkan kedua tanganku di keningnya, tetapi buru-buru aku menarik tanganku."Jangan, Ma.""Retno, maafkan Mama. Mama menyesal. Tolong maafkan Mama."Mertuaku mengulangi ucapannya, tetapi dengan suara yang kian mengiba. Hal itu membuat Mas Aji berbalik dan menatap ibunya."I-iya, Ma. Aku maafkan Mama," jawabku."Tapi berjanjilah Mama tidak akan pernah bersikap buruk lagi pada istriku!" ujar Mas Aji tegas."I-iya, Mama berjanji. Ma-mama akan berubah. Ma-mama akan bersikap baik pada Retno, menantu Mama. Tapi Mama mohon, kalian tetap tinggal di sini. Jangan tinggalkan kami.""Iya, Mas, tetaplah di rumah ini," sahut Mawar.Mas Aji menghela napas panjang sebelum berkata, "Baiklah, asalkan kalian mau menerima dan memperlakukan Retno dengan baik, aku akan mencoba untuk tetap tinggal di sini."Mama dan Mawar mengangguk kompak."Terima kasih, Nak." Mertuaku memeluk Mas Aji dengan air mata berlinang. Mungkin, dia begitu ketakutan kehilangan putranya. "Terima kasih, Retno. Terima kasih karena kamu mau memaafkan Mama." Sekarang, giliran Mama memelukku. Membuatku merasa senang sekaligus waspada."Sama-sama, Ma.""Kamu memang menantu yang baik," imbuhnya.Aku tersenyum tipis. Aku tahu, ini bukanlah akhir dari perang. Sebaliknya, ini adalah awal mula terjadinya peperangan.Bukan maksudku curiga pada mertuaku. Namun, rasanya terlalu ganjil jika seseorang berubah 180 derajat dalam waktu sekejap saja.Meski aku belum tahu rencana Mama dan Mawar di balik ini semua, aku telah siap menghadapi perang bahkan hingga berdarah-darah sekalipun. Satu yang pasti, bagaimanapun caranya, aku bersumpah, yang akan memenangkan peperangan di depan mata ini adalah ... AKU.Mengira Retno akan berbuat macam-macam padanya, jelas Mayang merasa terintimidasi. Wajahnya yang pucat semakin pucat karena takut menantu yang tersakiti akan membalaskan dendam. Keringat sampai keluar membasahi keningnya atas bayangan buruk yang terlintas di kepalanya. Menyadari ekspresi ketakutan yang ditunjukkan mertuanya, Retno bertanya untuk memastikan. "Mama kenapa? Mama takut padaku?" Mayang ingin sekali kabur dari kamarnya, tetapi itu mustahil dilakukan. Jangankan berlari atau beranjak dari ranjang, duduk saja dia tak bisa. "Mama, kata dokter, Mama harus makan dan minum obat teratur. Aku sudah membuat sup ayam kesukaan Mama. Aku akan menyuapi Mama." Retno menyendok sup untuk diberikan pada Mayang. Dia benar-benar membuat Mayang ketakutan karena mengira ada racun atau zat berbahaya dalam sup tersebut. Dalam hati Mayang memaki dirinya sendiri karena memiliki tangan yang tidak berguna. Ingin rasanya Mayang menepis mangkuk di tangan Retno hingga terjatuh dan supnya tumpah semu
"Halo, dengan siapa ini?""Sa-saya, Paijo Mbak. Itu, sopir barunya Nyonya."Retno mengerutkan kening. "Nyonya?""Anu, itu, maksud saya, Bu Mayang.""Ya, Pak, saya menantunya. Ada apa?" ucap Retno setelah terdiam beberapa saat."Oh, menantunya, bukan anaknya ya. Itu Mbak, Nyonya pingsan. Saya sudah telepon dokter, tapi belum datang. Saya telepon Mbak karena semalam Nyonya sempat minta untuk diteleponkan, tapi tidak jadi. Jika Mbak tidak repot, tolong datang ke rumah Nyonya, ya Mbak.""Aku sudah di depan Pak Paijo. Bapak tunggu di kamar Mama saja."Retno menutup telepon masih dengan jantung berdetak cepat. "Ada apa, Sayang?""Mama pingsan, Mas."Retno dan Aji turun dari mobil mereka yang telah terparkir di halaman rumah Mayang. Aji menggandeng istrinya untuk jalan bersama ke dalam rumah.Namun, saat berada di depan pintu utama, Aji sempat berhenti. Hal buruk yang pernah terjadi di rumah itu terlintas di kepalanya. Bayangan itu buyar setelah dia mendengar suara Retno yang mengajaknya se
Belum sampai Mawar menuntaskan ucapannya, Retno telah memotong dengan berkata, "Jika aku datang sebagai seorang ibu, aku pasti sudah tertawa melihat orang yang pernah memasukkan obat penggugur kandungan di minumanku dipenjara. Jika aku datang sebagai seorang istri yang hendak dipisahkan dari suaminya dengan intrik menjijikkan, aku pasti menambah penderitaanmu dengan memberikan sumpah serapah bahkan tamparan." Mawar terdiam. Dia jelas masih sangat ingat pada apa yang dilakukan ke Retno. "Apa kamu melihatku melakukan itu?" Mawar masih diam meski dalam hati dia menjawab, 'tidak'. Alih-alih menunjukkan rasa senang atau puas melihat dirinya dipenjara, Mawar justru melihat kecemasan dan kesedihan di wajah kakak iparnya itu, sorot mata dan raut muka yang dia harapkan ditunjukkan Aji kemarin. Retno menghela napas panjang. "Aku tidak akan lupa bahwa suamiku adalah kakakmu. Itu artinya, kamu adikku juga. Walau aku berharap memiliki adik yang lebih baik, aku tidak bisa menolak kekurangan dari
Setelah semalam Retno berhasil meyakinkan Aji, pagi-pagi sekali keduanya tampak telah meninggalkan rumah. Mereka pergi berdua dengan mengendarai sebuah mobil. Aji sendiri yang menyetir mobil tersebut.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Jika Aji terlihat mengembuskan napas panjang, Retno tampak tersenyum."Ayo kita turun, Mas," ajak Retno sambil memegang tangan Aji yang masih berada di kemudi.Dengan wajah cemas Aji menjawab, "Sayang, aku minta maaf. Tapi tampaknya aku akan menunggumu di sini saja.""Kamu tidak ikut masuk saja, Mas?""Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan wajahnya. Jadi, aku pikir sebaiknya aku menjaga agar tidak bertemu dengannya lagi untuk sementara waktu sampai ya ... aku merasa siap." Aji memaksa untuk tersenyum.Tepat sekali, Retno dan Aji memang pergi ke kantor polisi tempat di mana Mawar di penjara sementara hingga proses persidangannya dilangsungkan.Meski awalnya Aji mencemaskan Retno jika menem
Sepulangnya Aji dari kantor polisi, tidak dipungkiri ada keresahan di hatinya. Jika ditanya apakah dia marah dan kecewa pada Mawar atau tidak, jelas sudah jawabannya. Sejatinya Aji begitu murka hingga tangannya bergetar sampai sekarang. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran adik perempuannya itu.Tapi, Aji mencoba untuk tidak terlalu pusing akan hal tersebut. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya. Dan untuk itu, Aji akan merahasiakan kabar buruk tentang Mawar dari istrinya. Dia tidak ingin Retno menjadi khawatir karena ini. Bahkan sebelum masalah besar itu menimpa, Retno sudah mencemaskan ibu dan adiknya. Tidak tahu bagaimana perasaan Retno jika Mawar dipenjara karena menjadi pengguna dan pengedar narkoba.‘Aku harus bersikap seolah semua baik-baik saja. Dan keluarga kecilku memang baik-baik saja. Jadi Aji, kamu harus tenang.’ Aji berbicara pada dirinya sendiri tanpa suara. Aji sudah berdiri di depan pintu beberapa menit lalu sekadar untuk menyiapkan diri, supaya Retno ti
“Tolong Pak, Bu, lepaskan aku. Aku tidak salah. Semua barang haram itu punya pacarku.” Mawar merengek sambil memegangi jeruji besi. Tidak ada respons dari polisi yang berjaga hingga membuat Mawar frustrasi.“Pak, Bu, aku hanya korban. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Dia memohon lagi.“Jangan berisik! Semua bukti sudah jelas. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kamu pasti akan dipenjara. Dan jika kamu tidak kooperatif dengan kami, saya pastikan kamu akan mendapat hukuman lebih lama. Orang-orang sepertimu adalah sampah yang merusak saja!” Polisi wanita yang sejak tadi mencoba tuli, pada akhirnya kehilangan kesabaran juga.“Bagaimana reaksi keluarganya?” tanya polisi lainnya pada polwan itu.“Ibunya tidak bisa datang karena terkena stroke. Menurut penuturan sopirnya, tubuhnya tidak bisa digerakkan, hanya bisa berbicara, itupun tidak jelas.”“Apa?” lirih Mawar mendengar kabar buruk tentang sang mama. Seketika kakinya terasa lemas hingga dia terduduk bersandar di jeruji besi. Bu