Aku benar-benar seperti melihat sisi lain suamiku. Di balik sikapnya yang selalu ramah, lembut, dan penyayang, ternyata Mas Aji bisa menjadi sesangar ini. Dan semuanya demi ... aku.
"Aku minta maaf Mbak Retno.""Uhuk! Uhuk!" Aku sampai tersedak ludahku sendiri melihat Mawar mengulurkan tangannya padaku. Dia benar-benar menuruti perintah Mas Aji.Tentu saja Mawar takut suamiku tidak memberikan uang padanya. Secara, selama ini dia selalu meminta ini dan itu pada Mas Aji. Dan, nyaris selalu dituruti.Aku menyambut tangan adik iparku sambil mengingatkan, "Berjanjilah kamu tidak akan mengulangi perbuatan burukmu itu. Selain merugikan aku secara pribadi, tindakanmu itu juga mencoreng nama keluarga kita."Hening.Mungkin di balik bungkamnya Mawar dan Mama saat ini, mereka tengah menghujatku dalam hati. Terserah! Aku tidak peduli. Yang jelas, mereka harus diberi pelajaran berharga agar tidak seenaknya sendiri."Mawar, dengar apa yang dikatakan kakak iparmu?""Aku mengerti.""Bagus. Sekarang cium tangan Mbak Retno."Mawar menoleh sesaat ke arah ibunya. Jelas masih ada penolakan dari diri gadis itu. Namun, kemudian dia mencium tanganku juga."Puas Mbak?""Puas banget," balasku dengan senyum lebar, membuat Mawar semakin kesal hingga beranjak dari ruang makan."Mawar! Mawar!" Mertuaku memanggil-manggil putrinya, tetapi tidak dihiraukan sama sekali.Dengan wajah merah padam Mama kemudian berkata, "Lihat Aji, malam ini kamu sudah menyakiti adik kandungmu sendiri, menyakiti Mama. Mama nggak nyangka kamu bisa berbuat sejahat ini pada kami.""Mama tahu benar siapa yang jahat di sini," balas Mas Aji tanpa melihat ibunya."Keterlaluan! Mama menyesal merestuimu menikah dengan janda d*rjana itu!""Namanya Retno, Ma. Dan dia istriku. Menantu Mama. Jadi tolong berbicaralah selayaknya seorang ibu pada anaknya."Mertuaku menggeleng. "Tidak sudi!"Perempuan paruh baya itu hendak pergi dari ruang makan, mungkin untuk menyusul putrinya. Namun, suara Mas Aji menghentikannya. "Tunggu, Ma.""Ada apa lagi? Masih belum cukup kamu memaki keluargamu sendiri dan memuji-muji janda itu?!""Mawar sudah meminta maaf pada Retno. Sekarang giliran Mama.""Apa katamu?!" ujar Mama setengah berteriak. Dia pasti terkejut mendengar perkataan Mas Aji, begitu pun denganku.Aku tidak menyangka Mas Aji akan meminta ibunya untuk meminta maaf padaku. Selama ini, dia selalu memintaku bersabar atas sikap Mama yang kurang baik padaku."Minta maaflah Ma. Dengan melakukannya, tidak akan membuat Mama menjadi lebih rendah. Justru itu bisa membuat segala kesalahan Mama pada Retno selama ini terampuni.""TIDAK! Sampai kapan pun Mama tidak akan pernah meminta maaf pada istrimu! Terserah jika kamu tidak akan memberikan uang bulanan lagi pada Mama. Lebih baik Mama kelaparan daripada harus kalah dari janda s*alan itu!"Kalah?Jadi mertuaku menganggap meminta maaf padaku adalah bentu kekalahan? Lalu, apa yang sebenarnya terjadi selama ini di rumah ini? Perang?Aku mengembuskan napas panjang.Mama pun kembali melangkahkan kakinya. Dia sungguh tidak merasa bersalah atas apa yang dilakukan. Mama bahkan mendahului Mas Aji yang mungkin akan mengancamnya seperti yang dilakukan pada Mawar.Aku tahu, Mama berani seperti itu lantaran dia tahu, Mas Aji tidak akan tega melihatnya hidup susah dan kekurangan, apalagi sampai kelaparan."Ma ..." panggil Mas Aji pelan saja sambil duduk kembali di tempatnya.Mama yang telah sampai di atas tangga tampak terdiam sebelum menoleh. Pasti dia merasa senang karena mungkin Mas Aji akan menarik segala ucapannya dan bahkan meminta maaf pada mertuaku itu, mungkin juga memintaku untuk meminta maaf.Aku sempat merasa khawatir Mas Aji akan melemah melihat ibunya pergi dengan kemarahan dan kekecewaan atas sikapnya. Namun ternyata aku keliru."Jika Mama tidak mau meminta maaf pada Retno, aku akan pergi dari rumah ini."Jeder!Sumpah demi apa pun, aku sangat terkejut atas perkataan Mas Aji barusan. Selama dua tahun menikah, sudah beberapa kali aku mengajaknya untuk tinggal di tempat lain. Meskipun harus mengontrak atau menyewa apartemen karena belum memiliki cukup uang untuk membeli atau membangun rumah sendiri, aku rela. Tidak masalah bagiku meninggalkan rumah mewah ini asalkan bisa hidup damai dan bahagia.Tidak dipungkiri, tinggal bersama mertua dan ipar julid terkadang membuat kewarasanku terganggu. Dan karena tidak bisa melampiaskannya, yang bisa kulakukan hanyalah menangis dan berdoa supaya diberi kekuatan, ketabahan, dan keikhlasan.Namun Mas Aji selalu menolak permintaanku lantaran dia tidak tega meninggalkan ibu dan adiknya. Setelah ayahnya meninggal, Mas Aji merasa bertanggung jawab penuh atas dua manusia menyebalkan itu. Bukan hanya menafkahi, melainkan juga menjaga dan membersamai.Maka, saat mendengar Mas Aji akan angkat kaki dari rumah ini jika ibunya tidak mau meminta maaf padaku, mulutku sampai menganga tak percaya.Dan orang yang jauh lebih terkejut dariku, tentu saja, mertuaku. Ancaman suamiku itu pasti seperti petir di siang bolong untuknya."Aku sungguh menyesal meminta Retno bersabar selama ini."Mama berbalik dan menuruni tangga. Dia menghampiri Mas Aji masih dengan wajah merah padam. Dia pasti tidak terima atas ancaman suamiku. Terlihat sekilas dia melihat ke arahku dengan tatapan penuh dengan kebencian."Jadi ... kamu tega meninggalkan Mama dan Mawar demi janda ini?" Mama menunjuk diriku. Aku tahu, mertuaku tidak akan pernah merasa kalau semua kekacauan ini terjadi karena apa yang dia lakukan. Sebaliknya, dia pasti berpikir akulah biang masalahnya."Dia bukan janda, Ma. Aku suami sah Retno.""Terserah apa katamu. Bagi Mama dia tetap sama, wanita tidak tahu diri yang telah mengubahmu menjadi seperti ini! Kamu berani melawan bahkan berbicara dengan nada tinggi pada Mama karena wanita s*alan ini."Mas Aji tersenyum kecut. "Aku sangat menyesal. Dua tahun sudah aku meminta istriku bertahan di rumah ini, rumah di mana dia sama sekali tidak dihargai sebagai seorang menantu, sebagai kakak ipar, dan sebagai manusia."Kini Mas Aji menatap ibunya dengan mata menahan air. Jika seseora
Saat kami sampai di dalam kamar, Mas Aji langsung menutup dan mengunci pintu. Lantas, dia memelukku erat."Maafkan aku ...." Mas Aji berkata lirih tetapi terasa menyayat hatiku. Dua tahun kami hidup bersama, Mas Aji tidak pernah terlihat sesedih ini. Jika aku mengeluh tentang ibu dan adiknya, dia selalu meminta maaf atas nama dua perempuan itu, lantas menghiburku dan menguatkanku untuk bersabar.Mungkin, kali ini apa yang dilakukan Mama dan Mawar sudah sangat mengoyak hatinya."Mas ...."Mas Aji mempererat pelukannya. Terdengar sesekali isakan lelaki itu."Aku minta maaf, Sayang. Maafkan aku. Mama dan Mawar sudah sangat ...." Mas Aji tidak mampu menuntaskan kalimatnya. Yang terdengar hanyalah isakannya.Aku melepas pelukannya. Kutatap wajah suamiku yang basah oleh air mata. Aku tersenyum dan menggeleng pelan sembari menyeka wajahnya. "Jangan seperti ini. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Aku sangat bersyukur memiliki suami sepertimu. Aku sama sekali tidak menyesal menikah denganmu
Di dalam kamar, Mas Aji tampak bergeming selagi aku menata kembali pakaian ke dalam lemari. "Mas Aji," panggilku tetapi tidak ada jawaban darinya. Aku menoleh untuk melihat suamiku yang duduk di atas ranjang. Keningnya tampak berkerut seperti sedang cemas memikirkan sesuatu.Aku pun beranjak dari depan lemari dan menghampirinya. Kupegang pundak suamiku. "Mas.""Ya. A-ada apa, Sayang?" Mas Aji memaksa untuk tersenyum."Kenapa? Sejak masuk ke kamar kamu hanya diam."Sebuah napas kabur dari mulut Mas Aji. Dia meraih tanganku. "Sayang, kau pasti juga merasa kalau Mama dan Mawar tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatan mereka. Maksudku, semua yang tadi dilakukan hanya karena mereka takut pada ancamanku. Aku khawatir, Mama dan Mawar akan bersikap buruk lagi padamu, terutama saat aku tidak ada di rumah. Aku khawatir ... keputusanku tetap tinggal di sini keliru."Aku menarik kedua ujung bibirku, mengetahui ternyata Mas Aji mencemaskan hal yang sama denganku. Di sisi lain, aku pun mengerti j
Pagi-pagi sekali aku sudah selesai bersih-bersih rumah dan masak. Sepertinya aku terlalu bersemangat menyambut hari baru hingga saat subuh belum datang, kedua mataku sudah tidak bisa terpejam.Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum ketika menata hidangan di atas meja makan. Terlebih saat membayangkan reaksi yang diberikan mertua dan iparku saat melihat makanan yang telah kupersiapkan dengan apik.Aku tahu, ini akan menjadi kejutan yang sangat menyenangkan. Maka, sebagai rasa sayangku pada Mama dan Mawar, sengaja pagi ini melengkapi semua dengan seduhan teh hijau. Sementara untuk Mas Aji, seperti biasa, secangkir kopi pahit telah siap untuknya. Pernah sekali aku bertanya pada suamiku perihal apa yang membuatnya lebih suka kopi pahit. Dan jawaban yang diberikan sangatlah klise, tapi tetap membuatku senang. Kata Mas Aji, itu karena rasa manisnya sudah cukup dengan melihat wajahku. Aku tersenyum-senyum sendiri menunggu semua orang turun untuk sarapan bersama. Beberapa saat b
Ruangan menjadi hening atas sisa-sisa gema dari teriakan Mama. Apakah Mama akan membuka topengnya secepat ini? Apa Mama akan kembali menunjukkan sisi buruk yang mendominasi keseluruhan dari tabiatnya selama ini?"Maksud Mama, Aji ... Retno pasti lelah menyiapkan ini semua. Dia sudah bekerja keras sejak tadi. Jadi, kamu beli makan saja seperti biasanya ya. Jangan menyusahkan istrimu. Lagipula, tidak baik juga kalau nanti kamu berbicara dengan klien. Mereka akan ... terganggu dengan bau mulut akibat masakan menji-, em ... makanan lezat tapi beraroma sedikit menyengat ini."Aku tidak mengira kalau efek peperangan kecil tadi malam begitu besar, hingga Mama merasa sungkan untuk berbicara kasar padaku. Tidak mau mengendorkan serangan, aku pun membalas, "Tidak apa-apa, Ma, aku tidak capek. Aku akan mengambil rantang untuk bekal makan siang Mas Aji. Kalau untuk napas tidak sedap, aku sudah menyiapkan ini! Permen pengusir bau mulut. Jika masih belum cukup, aku akan membawakan sikat dan pasta
"Sumpah ya Ma, nyebelin banget wanita soal*n itu. Masa kita disuruh makan petai, jengkol, ih ...! Ikan teri, ikan asin, sama apa tadi sayur kolor?""Kelor.""Ya itu, namanya aja aneh apalagi rasanya coba? Semua itu 'kan makanan orang miskin Mama! Enggak banget pokoknya kalau lidahku harus turun kasta! Nyium baunya saja aku pengen muntah, nggak kebayang deh kalau sampe harus makan! Langsung pingsan mungkin aku!" Mawar menutup mulutnya seperti orang yang mau muntah.Tidak mau kalah sang ibu pun meluapkan amarahnya."Iya, kurang ajar emang itu si janda burik! Bisa-bisanya ngerjain kita sampai seperti ini! Pagi-pagi perut lapar, bukannya masak yang bener, malah menyajikan makanan kampungan begitu. Apa dia nggak mikir, pantes nggak menyajikan makanan seperti itu? Jelas-jelas sama sekali nggak layak. Dia nggak tahu apa kalau meja tempat naruh makanan itu harganya sangat mahal? Dia benar-benar menghancurkam nilai kemewahan meja makan kita, rumah kita, harga diri kita!""Belum lagi itu Ma, ju
Sekitar pukul 13.00 Mama dan Mawar pulang. Jika biasanya saat mereka pulang dengan segala cacian yang diberikan padaku; rumah baulah, kotorlah, apalah, kali ini mereka pulang membawa senyum. Bahkan, Mama membelikan roti bakar untukku."Mawar sakit apa, Ma? Lalu, apa ... ini semua obat Mawar?" tanyaku pura-pura tidak tahu kalau iparku itu tidak sakit. Dan untuk tas-tas kertas yang mereka bawa, tentu saja itu bukan obat melainkan belanjaan mereka. Entah berapa banyak uang yang sudah mereka habiskan sepanjang pagi sampai siang ini saja."Aduh!" Mawar langsung melenguh sambil memegangi perutnya."Em, paperbag ini hadiah untuk Tante Mita."Hadiah? Tante Mita ulang tahun? Memang harus sebanyak itu? Alasan!"Dan ... untuk Mawar, kata dokter, adikmu tidak boleh makan makanan yang berbau menyengat. Perutnya menjadi sakit karena mencium bau petai dan jengkol, Nak."Apa? Sungguh aku ingin sekali tertawa mendengar dalih Mama. Jadi yang bermasalah itu perut atau hidung Mawar? Jelas-jelas Mawar bel
Selepas Aji berangkat ke kantor, Retno bersiap untuk pergi ke rumah Mita, adik kedua mertuanya. Dia mengenakan pakaian terbaiknya dengan riasan minimalis, tetapi berkelas. Meski dia tahu mertuanya memiliki maksud terselubung mengajak dirinya turut hadir dalam acara perayaan ulang tahun itu, setidaknya dia ingin tampak cantik dan elegan."Mas Aji, aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi demi kamu, aku akan menghadapi semua ini." Retno menghela napas panjang sambil terus menatap bayangannya di dalam cermin. "Jangankan keluargamu, sarang harimau pun akan aku masuki jika itu perlu, demi kamu." Retno tertawa kecil, membayangkan sang suami yang pasti akan terkekeh jika mendengar ucapannya itu.Tok, tok, tok!Terdengar suara pintu dilketuk. Lantas diikuti oleh sebuah panggilan. "Mbak, sudah siap?""Sudah, Mawar.""Kami tunggu di bawah ya.""Oke!"Retno bersicepat memasukkan barang yang perlu dibawa ke dalam tas. Dia tersenyum melihat tasnya sendiri, membayangkan bagaimana orang-oran