Bab 15*“Sah?”“Sah!” ucap para saksi dalam pernikahan Selly dan Bima.Selly dan Bima menikah di Jogja, di rumah paman satu-satunya dari pihak ayah. Selly meminta pamannya untuk menjadi wali nikahnya. Ia hanya menikah secara siri, hanya sah menurut agama. Bima tak bisa menikahinya secara legal hukum negara, karena ia tak mendapat izin dari Nindita. Ah, bukan tak mendapat izin, tapi memang nikah secara sembunyi-sembunyi di belakang Nindita.Selly setuju dengan itu semua. Ia sama sekali tak mempermasalahkan, asalkan sah menurut agama. Ia sama sekali tak berpikir efek jika terjadi sesuatu ke depannya. Buta. Benar-benar dibutakan oleh cinta semu.Setelah berjuang meyakinkan ibunya, akhirnya Selly bisa menikah dengan akad nikah yang dirayakan secara sederhana. Hanya ada keluarganya, saksi, dan keluarga pamannya sebagai pemilik rumah.“Kalau ibu dan Om Arya nggak setuju, aku akan mengakui diri sebagai anak zina dan meminta wali hakim untuk menikahkan kami.” Selly mengancam ibunya karena me
Bab 16*Angga sudah tiba di sekolah di pagi yang begitu cerah. Ia memarkirkan motornya di parkiran khusus siswa. Sejenak lelaki bertubuh atletis itu merapikan rambutnya yang sedikit rusak tatanannya karena memakai helm. Setelah dirasa rapi, ia berjalan menuju kelasnya. Sempat ia lihat beberapa siswi yang berjalan dari gerbang masuk, memperhatikannya dan berbisik pada teman di sampingnya. Sudah biasa. Angga sudah terbiasa mendapatkan perhatian seperti itu. Biasanya dari siswi-siswi yang diam-diam menyukainya.Di rumah dan di sekolah, Angga sama-sama sudah tak nyaman. Jika sedang di sekolah ia teringat mamanya di rumah. Angga khawatir jika mamanya tiba-tiba mengetahui rahasia itu semua, dan ia akan menangis terluka, sedangkan Angga tidak ada di rumah. Saat di rumah, Angga lebih lagi merasa jenuh. Jenuh melihat wajah menyebalkan itu. Ia harus terus-menerus menghindar dengan mendekam diri di kamar dan beralasan belajar. Padahal ia hanya menghindari papanya dan pertanyaan sang mama tentan
Bab 17*Angga sama sekali tak menghiraukan panggilan dua temannya itu. Ia tetap berjalan lurus menuju satu tempat yang memungkinkan untuk menemukan sosok yang ia cari.Bara Dewangga. Ia pernah bertarung dengan Angga untuk memenangkan menjadi kapten tim basket di sekolah. Namun, Angga yang dipilih untuk menjadi kapten, dan Bara pun mundur bahkan untuk menjadi anggota tim. Ia tak ingin satu tim dengan Angga, karena ia merasa banyak orang akan berputar di dunia Angga. Sementara ia hanya akan menjadi orang yang tak terlihat, meskipun kemampuan yang ia rasa sama dengan Angga.Angga berdiri di depan pintu kelas IPS, di mana anak-anak di kelas itu sedang becanda satu sama lain dengan kaki yang dinaikkan ke atas meja. Sebagiannya sedang menulis entah apa. Mereka menoleh saat melihat sosok Angga berdiri di depan pintu dengan wajah merah padam.“Ada yang lihat Bara?” tanya Angga dingin pada siapa pun yang berada di sana.Tak ada yang menjawab. Mereka hanya mengendikkan bahu karena memang tidak
Bab 18.Bu Airin akhirnya menghubungi orangtua dari dua siswa bandel yang ada di depannya. Angga dan Bara tak ada yang mau menghubungi orangtuanya karena takut, juga tahu diri sedang berbuat salah.Bu Airin langsung menelepon Bima yang saat itu sedang sibuk di kantor. Bima menghubungi istrinya dan mengabarkan itu, seperti terhantam palu di hati Nindita saat mendengar itu. Bima meninggalkan pekerjaan di kantor, dan langsung bergegas ke sekolah. Napasnya memburu menahan amarah, Angga sudah keterlaluan sekarang. Sejak TK Bima menyekolahkannya, baru hari ini anak itu bertengkar hebat dengan teman-temannya. Hari ini juga untuk pertama kali Bima datang ke sekolah karena Angga bermasalah.Bima tiba di sekolah, ia langsung masuk ke ruang BK, di mana kepala sekolah sudah menunggu.“Selamat pagi, Pak!” sapa Bima begitu masuk ke ruang BK.Semua yang berada di dalam tersenyum ramah menyambut kedatangannya. Bima menjabat tangan kepala sekolah dan menangkupkan tangannya di depan Bu Airin, karena w
Bab 19*Pulang sekolah, guru-guru mengarahkan siswanya untuk ke aula. Kepala sekolah akan memberikan pengumuman tentang kasus yang baru saja terjadi di sekolah itu. Ia mengumpulkan siswa-siswi untuk menyuruh mereka menghapus semua foto yang sempat disebarkan oleh Bara.Angga tak tahu harus meletakkan mukanya di mana saat kepala sekolah menegaskan itu. Ia bingung harus senang atau sedih, yang pastinya dikatakan atau tidak, itu sama-sama memalukan. Ia dipermalukan oleh papanya sendiri.Kepala sekolah dengan tegas mengingatkan siswa-siswinya, jika kedapatan masih ada yang menyebarkan, maka akan diskors atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Ini tidak menyangkut tentang urusan sekolah, tapi mengenai privasi orang lain yang tak perlu disebarluaskan dan terjadi di sekolah.Lelaki yang berdiri di depan dan memegang mikrofon itu juga menegaskan bagaimana hukumnya memfitnah seseorang, dan kabar yang beredar tanpa kejelasan seperti yang terjadi hari ini, itu tergolong fitnah. Pak Ariyanto juga
Bab 20.“Angga, buka pintunya!” teriak Nindita dari luar kamar. Ia terus menerus menekan handel pintu kamar Angga yang dikunci dari dalam.Nindita menunggu Angga pulang sekolah. Ia khawatir dengan keadaan anak sulungnya itu. Perempuan itu juga merasa ada hal yang tidak ia ketahui, yang disembunyikan Angga. Pasalnya, Angga berubah drastis sejak beberapa waktu lalu. Nindita tak tahu sebab apa.Mesin motor Angga terdengar, hingga membuat Nindita bangun dari kursi di teras. Ia berdiri dan ingin menyambut Angga. Lebih tepatnya bertanya banyak hal karena desakan rasa penasaran dan khawatir yang menguasainya.Angga mematikan mesin motornya, sejenak ia diam di atas motor, terlihat urung ingin melepaskan helm. Melihat mamanya yang berdiri menunggunya, membuat ia merasa kembali kecewa pada diri sendiri. Entahlah, hati Angga terasa campur aduk. Kecewa, marah, merasa malu pada teman-temannya. Lengkap sudah.Nindita terus menatap putranya, menunggu Angga mendekat. Dari jarak beberapa meter ia mel
Bab 21.Angga datang lebih awal ke sekolah. Suasana masih lumayan sepi saat ia datang ke kantin dan memesan semangkuk bubur ayam juga segelas teh hangat. Pagi tadi saat Angga turun dari kamar dan menuju meja makan, ia melihat nasi lemak dan mie goreng yang menggugah selera. Sepertinya Nindita memang sengaja memasak menu sarapan kesukaan Angga, agar anak itu tahu bahwa mamanya begitu perhatian. Bahwa tak sepatutnya ia mencari perhatian dengan membuat kenakalan di luar sana.Namun, selera yang tadinya singgah seketika hilang. Angga kehilangan nafsu makan saat ia melihat Bima duduk di salah satu kursi, lalu Inaya dan Khanza duduk di sebelahnya. Angga terdiam sejenak, tak tahu harus bersikap bagaimana. Satu banding tiga. Ada tiga orang yang ia sayangi di sana, hanya satu orang yang sangat melukai hatinya, tapi satu orang itu yang memang. Sakit hati dan kecewanya lebih banyak mengambil alih suasana hatinya. Ia bahkan mengabaikan celoteh Inaya yang begitu semangat dengan menu sarapan pagi
Bab 22.“Ros, boleh tukar tempat duduk, nggak?” pinta Dinda pada salah satu teman sekelasnya.Sejenak Ros menatap bingung pada Dinda. Permintaan yang aneh, karena sejak dulu ia tak pernah ingin menukar posisi dari meja terdepan itu.Tak hanya Ros yang merasa tak paham dengan permintaan Dinda, tapi Angga tak sengaja mendengar, yang duduk di dekat dinding deretan ke tiga juga menatap Dinda dengan raut wajah penuh tanya.“Lo serius?” Ros bertanya ingin memastikan.Dinda mengangguk seraya tersenyum. Setelah itu, ia mengambil buku-bukunya dan pindah ke meja yang semulanya ditempati oleh Ros.Dinda mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum melihat Angga yang duduk di samping mejanya masih menatap tak percaya pada kelakuan gadis itu.“Balik, Din. Bisa-bisa nilai lu turun kayak gue. Atau bahkan lu ketularan gue yang nggak semangat belajar. Sana!” Angga bangun dari kursinya, ia memegang lengan Dinda dan menyuruhnya balik untuk duduk di tempat semula.“Eh, tenang deh! Gue tetap Dinda yang dulu