Bab 24*Khanza dan Inaya meminta ikut ke rumah sakit setelah tahu mamanya sedang dirawat. Keduanya mengganti baju sekolah dan meminta Angga untuk mengantar ke sana. Angga menuruti, karena ia tahu kedua adiknya juga sangat menyayangi sang mama, sama seperti dirinya yang tak ingin Nindita terluka.“Khanza ... Inaya!” panggil Angga saat dua adiknya akan masuk ke mobil.Dua gadis cantik itu menoleh, bersiap untuk mendengarkan apa yang dikatakan oleh kakaknya.“Jangan bilang dulu ke mama kalau kalian diganggu orang gi la ya. Kak Angga takut mama makin drop karena ngerasa bersalah. Kalian tau kan mama gimana? Tadi tuh mama mau jemput kalian, tapi tiba-tiba jatuh karena pusing.”Angga seolah sedang mengajak dua adiknya untuk bekerja sama. Ia tak yakin dengan Inaya yang masih terlalu kecil, tapi melihat raut wajah Khanza, Angga yakin seandainya pun ia tahu papanya menikah lagi, dan Angga meminta untuk tak memberitahu mamanya sementara, Khanza terlihat bisa bekerja sama. Melindungi sebuah hat
Bab 25*“Mbak ....” Angga memanggil karena melihat Ellia yang sedari tadi hanya menatap kosong pada dinding lift yang sedang mereka naiki.“Mbak El!” Gadis itu masih termenung, hingga Angga membuat gerakan tangan di depan wajahnya.“Hah, iya? Apa, Ga?” sahut Ellia tak fokus.“Gue WhatsApp kok nggak dibales?” tanya Angga.“Ada ya? Sorry gue nggak liat hape.” Ellia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Mengecek pesan dari Angga yang tak ia balas sejak tadi.“Udahlah. Udah nyampe sini juga.”Pintu lift terbuka. Angga dan Ellia berada di lantai empat, di mana apartemen Selly berada.Angga mempercepat langkahnya hingga Ellia tertinggal beberapa langkah karena tak bisa mengejar langkah jenjang lelaki itu. Saat sampai di depan pintu apartemen, Angga menekan bel berkali-kali, tapi tak ada sambutan dari dalam sana. Tak ada tanda-tanda akan ada yang membuka pintu. Ah, pikiran Angga menjadi benar-benar tak karuan. Mungkin Bima dan Selly sedang bersenang-senang di dalam sana dan tak ingin ada y
Bab 26*Kondisi Nindita sudah jauh lebih baik. Demamnya berangsur turun, dan ia sudah lebih bertenaga dari pada sebelumnya. Hal itu membuat ibu tiga anak itu ingin segera pulang ke rumah. Apalagi melihat Angga yang sangat sibuk mengantar jemput adik-adiknya juga mengurusi dirinya.“Kapan boleh pulang, Dok?” Nindita bertanya pada dokter yang baru saja memeriksanya.“Tensinya udah kembali normal, panasnya juga turun. Nanti ibu minum obat ini dulu, kita lihat perkembangannya lagi. Masih pusing?” tanya dokter yang memakai kaca mata itu.“Pas bangun aja pusingnya, Dok. Tapi, nanti normal lagi.”“Oke, sore ini ibu boleh pulang. Tapi, tetap rutin minum obat dan istirahat yang cukup.”Nindita mengangguk, ia menatap Angga yang juga terlihat bahagia dengan pernyataan dokter tadi. Bersama dengan perawat, dokter berusia empat puluhan tahun itu keluar dari ruang rawat.“Senang banget bisa pulang hari ini, mama kangen banget sama rumah, Ga.” Nindita membelai tangan putra sulungnya yang tengah dudu
Bab 27*“Welcome home, Sayang!” seru Bima dari dalam rumah begitu Nindita melewati pintu. Tangan Bima direntangkan seolah siap memberi pelukan hangat pada Nindita yang baru saja kembali ke rumah.Angga menatap dingin pada Bima seraya menahan amarah dan tangan yang mulai terkepal. Ia berusaha keras untuk mengontrol diri. Sementara Nindita terhenti. Ia menatap Bima dengan wajah sedikit masam, sama sekali tak terpikirkan bahwa Bima benar-benar tak menghubunginya selama ia sakit.Bima yang ditatap seperti itu sedikit terpaku. Untuk pertama kali Nindita menatapnya seolah sedang mengintimidasi. Ia diam di tempat dengan wajah yang sedikit pias. Senyum yang semula terukir kini perlahan redup karena melihat wajah Nindita. Ia ingin memeluk, tapi Nindita sama sekali tak merespon. Membuat Bima bertanya-tanya dengan resah, mungkin saja istrinya sudah tahu rahasia besarnya selama ini.“Aku kecewa sama kamu, Mas!” ucap Nindita begitu dingin.Angga menatap mama yang masih berdiri di sampingnya. Ia m
Bab 28.“Wakatobi?” Angga berkata sinis seraya meletakkan ponselnya secara kasar di atas meja.Bima yang tengah duduk sambil menikmati secangkir teh sore itu menoleh, ia melihat Angga dengan amarah yang terpendam di wajahnya.Lelaki dewasa itu menatap ponsel yang masih menyala. Terlihat sebuah video keindahan laut dan pulau Wakatobi. Gabungan keindahan alam yang dikagumi banyak orang. Video itu berasal dari akun Instagram Selly. Ia mengunggah pemandangan alam tempat mereka berwisata beberapa hari lalu, kali ini dengan pose dua pasang kaki yang menginjak pasir dan air lautan yang biru.Video itu membuat Angga semakin memupuk kebencian untuk Bima dan Selly. Ia merasa wanita itu seperti tengah memancing kemarahannya. Selly dengan rasa percaya dirinya menganggap Bima akan selalu berada di pihaknya, atau bahkan miliknya seutuhnya. Tak peduli ada seorang anak yang kehilangan rasa hormat pada papanya sendiri karena ulahnya.Keduanya mungkin berpikir semua butuh waktu untuk Angga menerima. N
Bab 29.“Aku bisa pulang lebih awal hari ini, ayo keluar jalan-jalan.”Bima masih di kantor saat ia menelepon Selly untuk mengajaknya keluar jalan-jalan. Sejak kepulangannya dari Wakatobi, ia belum pernah menginap di apartemen istri mudanya. Bima belum bisa mencari alasan yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama Selly. Bima hanya datang ke apartemen saat pulang kerja, atau saat ia meminta izin pada Nindita untuk keluar mencari udara di malam hari.Ia juga memberi alasan lembur kerja agar bisa singgah dan menemui Selly yang setiap kali ia rindukan.“Males,” jawab Selly singkat di seberang sana. Ia merajuk karena suasana dan waktu semakin tak terkendali untuk bisa terus menerus menempel dengan suaminya.“Ngambek ya?” tanya Bima sedikit tertawa. Ia mengerti istri mudanya tak bisa terima dengan keadaannya saat ini. Namun, mau bagaimana lagi, ia harus bisa membagi waktu agar tak ketahuan Nindita.Selly diam. Seperti wanita lainnya, saat ia merajuk, ia ingin ada yang mengerti dan dibuju
Bab 30.“Semoga kalian bertengkar!” Angga tersenyum sinis di depan pintu cafe. Ia melanjutkan langkahnya menuju parkiran dan mengambil motor yang sedari tadi diparkirkan di sana.Angga sudah terlalu lama berada di cafe itu, duduk di suatu sudut dengan masker terpasang rapi di wajahnya. Ia sibuk berpura-pura membaca buku, demi melihat adegan memuakkan dari papa dan mama baru yang tak pernah ingin diakuinya. Ia mengamati bagaimana Selly mengadu dan menangis entah karena apa, karena suasana ramai dan riuh pengunjung sangat tidak mendukung untuk menguping pembicaraan mereka. Ditambah alunan musik pop yang semakin membuat Angga menggelengkan kepala.Sebuah ide gi la terpikirkan oleh Angga, seperti bola lampu kuning yang muncul di atas kepalanya, layaknya di sebuah film-film kartun yang sering ditonton Inaya. Ia keluar dari cafe dan membeli satu buket bunga di toko yang terletak tepat di sebelah cafe. Lagi-lagi Angga tersenyum sinis saat ide itu semakin menjadi-jadi. Ia menuliskan sebuah s
Bab 31.Bima pulang lebih awal dai kantor, ia mampir di apartemen Selly seperti biasanya. Jam masih menunjukkan pukul tiga lewat saat ia masuk ke apartemen. Hanya waktu itu yang dimiliki Bima untuk berduaan dengan istri mudanya.“Hai, Mas!” Selly menyambut kedatangan Bima saat lelaki itu baru saja memasuki ruang utama.Selly bergelayut manja di lengan sang suami, seperti yang sering ia lakukan. Langsung saja Bima menghujaninya dengan kecupan kerinduan, seolah memang sudah lama tak bertemu.“Aku masak spesial buat kamu lho, Mas.”Selly berkata dengan bangga karena ia menyiapkan makanan untuk Bima. Itu artinya ia ingin menunjukkan bahwa ia juga bisa menjadi istri yang sempurna, melakukan tugas seperti yang dilakukan Nindita selama ini.“Oh ya?” tanya Bima penasaran. Biasanya Selly lebih memilih untuk memesan makanan di luar.“Iya dong. Sebenarnya aku lumayan pinter masak sih, Mas. Tapi ...,” Sely menjeda ucapannya seraya tersenyum pada Bima.“Tapi apa?” tanya Bima.“Lumayan malas juga