"Al, bagaimana laporan keuangan bulan ini? Sudah ada?""Iya, sudah, Bu. Nanti saya kirim filenya ke Ibu.""Baiklah, terima kasih. Pinjaman Bapak sudah kembali?""Belum, Bu. Malah Bapak pinjam lagi. Sudah dibilang apa yang pernah Ibu sampaikan, tapi Bapak bilang itu mendesak.""Pinjam berapa?""Kali ini Bapak pinjam tiga puluh juta rupiah, Bu."Aku menelan salivaku. "Oh baik, terima kasih infonya."Aku langsung menggebrak meja. Bisa-bisanya Mas Radit pinjam uang sebanyak itu. Buat siapa lagi kalau bukan buat Istri mudanya.Aku pun belum cek tabungan bersama kami. Tabungan itu Mas Radit yang pegang. Aku takut rekening itu juga terpakai oleh mereka.Kemudian Alam mengirim pesan kalau dia sudah memberikan laporan keuangan toko. Aku mengecek satu persatu. Sepertinya tidak ada yang perlu dicurigai, untuk urusan toko, Mas Radit masih amanah. Hanya saja jumlah pinjamannya yang semakin tinggi.Saat itu gawaiku berbunyi, membuatku terperanjat mendengar suaranya."Kania, aku sudah dapat info da
Pesan masuk di aplikasi hijauku. [Kania, mengapa kamu menjual rumah kita? Kamu dimana sekarang?] tanya Mas Radit.'Akhirnya kamu ingat dengan kami, Mas,' batinku.[Rahasia. Kamu tak boleh tau tempat tinggalku sekarang. Kenapa sampai saat ini tak kau ajukan talakmu sampai pengadilan?][Kania, mau kamu apa? Setelah kamu melukai Seli, sekarang kamu mau menjauhkanku dengan Kyra.]Kemudian aku melakukan tangkapan layar untuk dikirim pada Mas Radit, sebenarnya dialah yang mentalakku lebih dulu. Aku ke sana hanya mengonfirmasikan tentang talak itu.[Ini bukti kalau aku ke sana untuk mencarimu. Aku ingin tau alasanmu menceraikanku melalui pesan singkat.][Apa? Kapan aku mengirimkan ini? Aku tak pernah mengetik ini.][Tanya saja sama istri kesayanganmu. Dia sendiri juga yang telah melukai tangan dan wajahnya. Kamu juga harus mencurigai kehamilannya. Kutemukan kejanggalan pada kehamilan istri tersayang mu. Sudah, jangan menghubungiku lagi. Kita sudah tak ada hubungan apapun.][Tidak Kania. Aku
"Waalaikumsalam, eh ada Bang Dokter, yuk masuk!" sapa Mama."Iya, Tante. Maaf mengganggu. Kalian tinggal di sini?""Iya. Kamu kok bisa tau, Bang?""Aku lihat mobilmu masuk rumah ini tadi.""Rumahku di sebelah, Kania.""Ya Allah, tetanggaan dong ternyata kita. Kebetulan ya, Alhamdulillah. Mama jadi bisa nitip Kania sama Bang dokter.""Memangnya Tante mau pulang?""Iya, Haris. Tante harus kembali ke Purwakarta. Papanya Kania sakit." Suara Mama memelas."Sabar, Tan. Haris doakan semoga Om cepat sembuh," kata Bang Haris."Ngomong-ngomong mau minum apa nih?" tanyaku."Apa saja. Kopi deh kalau ada."Oke." Aku memanggil Bik Susi. "Bik, tolong buatkan kopi sama susu buatku ya. Mama mau apa?""Saya tolong ambilkan air putih saja, Bik," jawab Mama."Baik, Bu." Bik Susi kembali ke belakang.Kami melanjutkan obrolan. Aku izin dulu ke kamar untuk menidurkan Kyra. Mama yang mengobrol dengan Bang Haris.Saat di kamar, aku teringat lagi kejadian tadi. Saat aku membuat Mas Radit pergi dari toko. Dia d
"Ayo, lebih baik kita pulang. Percuma kamu di sini terus, yang ada malah kamu semakin sakit hati, Kania!" Bang Haris memberikan tangannya saat aku sedang berjongkok menghadap pintu rumah Mas Radit.Aku menyambut tangannya. Ikut dengannya menuju mobilku. Ia menaikkanku ke kursi penumpang, sementara kunci mobilnya ia berikan pada orang kepercayaannya. Ia akan mengemudikan mobilku."Terima kasih, Bang," kataku ketika di dalam mobil.Bang Haris tersenyum tipis. Ia menoleh sebentar."Aku ikut prihatin, Kania. Tapi, kamu harus kuat. Kamu nggak boleh sedih terus. Ikhlaskan uang itu, Insya Allah, kamu bakal dapat rezeki lain yang lebih berkah," ucap Sang Dokter."Aku tak percaya Mas Radit setega itu padaku dan Kyra. Uang itu tabungan kami tiap bulan. Aku sisihkan uang pemberian darinya ke sana juga. Bagaimana tak perih, Bang. Aku yang menyimpannya tiap bulan, Seli yang menikmatinya," ucapku geram."Sabar, Kania. Aku paham dengan keadaanmu. Tapi kamu juga harus ingat, ada Kyra yang membutuhkan
"Betul, Bu. Bagaimana prosesnya? Saya kurang faham, Bu.""Ini berkas yang harus ibu persiapkan. Nanti saya yang urus, ibu dan suami tinggal tunggu panggilan pengadilan saja. Biasanya ada beberapa persidangan. Di awal ada mediasi, lalu jika tetap akan bercerai persidangan tetap dilanjutkan, sampai akhirnya pada putusan hakim.""Baik, Bu. Saya paham.""Oke."Setelah itu, aku pulang. Aku berjanji padanya untuk memberikan berkas-berkas itu besok.***Aku bingung ketika sampai rumah, sudah ada sebuah mobil terparkir. Aku sudah bisa menduga, itu mobil Ibu Mertuaku.'Mau apa dia ke sini?' batinku.Aku takut Ibu menyakiti Kyra. Ibu tak mau cucu pertama di anak-anaknya perempuan. Semua harus laki-laki seperti tradisi keluarganya.Sebenarnya aku tak paham dengan pemikiran seperti ini. Sangat bertentangan dengan takdir. Allah lah yang menakdirkan kita memiliki anak laki-laki atau perempuan. Walau memang ada ikhtiar juga untuk mendapatkan anak laki-laki atau perempuan itu. Tapi, balik lagi pada
Kata-kata Ibu masih terngiang di pikiranku."Ibu lihat kalian masih saling mencintai. Bisakah kalian bersama kembali? Mencoba memulai lagi semua yang sudah usai?"Saat itu aku hanya tersenyum getir, bergeming, tak mau menjawab pertanyaan itu. Bagiku itu terlalu sia-sia. Memang aku masih mencintainya, tapi aku tak mungkin bersama lagi dengan Mas Radit. Semua sudah ditakdirkan seperti ini. Hanya Kyra yang membuat kami masih bisa terlihat bersama. Gadis kecilku yang sudah ditinggal ayahnya saat masih berusia belum genap satu bulan.Saat ku menatap putri kecilku, tiba-tiba ia menjadi resah. Kyra menangis terus. Sesaat kemudian, aku berikan air susuku padanya. Tapi Kyra menolak. Mungkin dia tidak lapar. Lalu aku menggendongnya. Ia pun bisa lebih tenang dalam gendonganku. Lalu kucoba meletakkannya dalam box bayi. Dia kembali menangis. Setelah ku gendong, ia kembali tenang. Begitulah seterusnya. Hingga aku berbicara dengannya."Kyra sayang, Mama sedang capek, Nak. Bisakah Kyra tidur dalam
"Sudah, Bang. Aku sekarang sedang bahagia. Omset bisnis penjualan herbal secar online naik tiga kali lipat. Setelah aku kemarin kehilangan uangku, Allah segera menggantinya, Bang. Alhamdulillah," kataku setelah aku agak tercengang sebentar."Alhamdulillah, aku ikut senang. Kamu jangan sedih terus ya! Tetap semangat, Kania!"Iya, Bang. Makasih ya dukungannya!"Aku menutup teleponnya. Ibu baru datang dengan mobilnya di depan."Bu, kok baru datang jam segini?""Iya, tadi Ibu berselisih paham dengan Radit. Ibu kan berusaha cari buku kehamilan yang kamu bilang. Eh, ketauan sama si Seli. Akhirnya dia ngadu pada suaminya. Radit malah marah sama Ibu. Ibu heran Radit malah tak mau usaha untuk mencari kebenaran mengenai istrinya. Ibu tau sih dulu waktu mereka pacaran, Radit cinta banget sama Seli. Sampai ditolak itu dia benar-benar terpukul." Ibu baru menceritakan hal ini padaku. Sejarah tentang percintaan Radit dan Seli memang aku tau. Tapi, Radit sampai sebegitu mencintai Seli, aku pun baru
Aku mengirimkan berkas perceraianku ke pengacara yang bernama Ibu Marisa. "Bu, berkas persyaratan untuk perceraian saya dan suami, sudah saya kirim via ojek online. Mohon maaf, saya terlambat mengirimkan berkas yang ibu minta. Nanti kalau masih kurang kabari saja ya Bu!" ucapku pada Bu Marisa di sambungan telepon."Baik, Bu. Nanti saya kabari lagi. Insya Allah dalam waktu dekat akan ada panggilan ya. Ibu bersiap saja.""Baik, Bu. Terima kasih, ya!""Sama-sama. Untuk DP pembayaran jasa sudah saya transfer ya, Bu," kataku."Terima kasih, ya, Bu Kania.""Sama-sama."Aku melanjutkan perjalanan ke toko. Saat di jalan, aku melihat toko yang dipunyai Mas Radit. Ternyata walau hanya satu toko, tapi lumayan besar untuk pemula.Aku berhenti sejenak, melihat Mas Radit keluar dari mobilnya bersama Seli. Lalu Radit tak segan-segan menggandeng Seli untuk memasuki toko mereka. Seli bergelayut manja di samping Mas Radit, Mas Radit pun nyaman-nyaman saja saat melakukannya.Aku menarik napas kasar. Ak