LOGIN"Kenapa Mama nggak bilang kalau Bas menikah sama Gumi? Sejak kapan dan kenapa aku nggak diundang?"
"Mama juga nggak diundang." "Informasi sekrusial ini kenapa Mama nggak kasih tau dari awal?" "Karena mereka mau cerai. Bas itu udah mengajukan gugatan ke pengadilan. Mereka bahkan udah sidang perdana, dan tinggal nunggu ketok palu." "Terus karena mereka udah otw cerai, informasi ini jadi nggak penting lagi?" "Bukan gitu, Sasa." Nah, inilah yang tidak kusuka, Mama selalu punya seribu satu alasan yang membuatku justru terlibat dalam masalah. Memang apa susahnya menjelaskan sepak terjang seluruh kehidupan Gumi, yang mungkin tidak akan sampai lima menit? "Oke," bisikku menarik embuskan napas panjang. Mencoba mengatur nada suara tetap rendah dari balik bilik toilet supaya tidak terdengar yang lain. "Siapa lagi orang yang terlibat sama kehidupan Gumi?" "Nggak banyak." "Tolong jangan sembunyi-sembunyi Ma, ini berkaitan sama penyamaran aku juga." "Mama benar-benar minta maaf, Sa, Mama nggak bermaksud kasih informasi setengah-setengah, tapi kamu tahu sendiri beberapa hari terakhir ini, Mama pusing, ada banyak yang harus dikerjakan, Mama juga bingung dengan keadaan Gumi. Konsentrasi Mama jadi terbelah." Hidungku kembang kempis. "Kamu juga kan, tahu, Gumi itu orangnya seperti apa. Dia implusif, pernikahan dengan Bas ini berlangsung dadakan dan diam-diam karena Bas nggak mau karirnya sebagai vokalis terganggu. Mungkin karena itu dia mengajukan cerai, padahal mereka baru nikah enam bulan. Gumi nggak ngasih tahu kamu mungkin karena kamu sibuk kuliah terus, Sasa." Sialan, aku tidak bisa mendebat ini. Sebagai mahasiswa jurusan arsitektur, jadwalku memang seperti romusa. Tiap ada libur sedikit, aku memanfaatkannya untuk tidur. Selama tinggal di asrama aku praktis menjadi katak dalam tempurung yang tidak mengenal dunia luar. Di satu sisi hubungan kami pun cukup unik, kami jarang berkomunikasi seperti layaknya saudara kembar. Selagi aku belum mendengar kabar kematiannya berarti Gumi masih hidup, begitu juga sebaliknya. Kami tidak akan repot-repot untuk menghubungi duluan. Mendadak teringat sesuatu, aku meremas ponsel dan bertanya dengan suara berbisik parau. "Apa mereka punya anak? Atau Gumi sempat hamil?" "Setahu Mama enggak." Kuembuskan napas lega. "Jadi nggak ada lagi yang perlu ditanyakan? Semuanya aman?" "Sebentar, gimana sama orang tua Bas?" "Apa?" "Mereka masih hidup?" "Ya masih, Sasa." Aku meringis. "Hubungan mereka baik-baik aja dan tinggal di Jakarta juga tapi mereka jarang ikut campur sama urusan Bas. Anak zaman sekarang kan, gitu. Semuanya mau diatur sendiri. Gumi juga sama—" "Gum?" Pintu toilet digedor-gedor. Aku buru-buru menutup ponsel. "Ya?" "Lo nggak pa-pa?" Ya ampun bisa tidak Rigen santai sedikit, aku belum selesai diskusi. Tapi daripada Mama semakin tantrum karena aku menganggu kesibukannya, kuputuskan untuk mengakhiri telepon. "Masakannya terlalu pedas ya?" "Ma udah dulu, nanti aku telepon lagi," sahutku ke ponsel lalu menyalakan keran sebagai alibi sebelum perlahan membuka pintu. "Sorry lama, sekalian cuci muka." Rigen mendesah. "Lo biasanya nggak suka makanan yang terlalu pedas. Mau gue beliin yang lain buat makan siang?" "Makasih banyak, aku nggak pa-pa." Bersyukur Rigen nurut, jemarinya menuding atap. "Bas udah nunggu di lantai dua, gue sama Ghozali keluar dulu." "Ka-kalian mau ke mana?" Aku panik. Dia mengeluarkan rokok dari saku celana dan mengedipkan sebelah mata. Sebelum aku mampu protes, langkah-langkahnya yang gesit sudah lenyap di koridor. Sial. Kalau dilihat dari cara mereka merespon sudah jelas Rigen dan Ghozali tidak tahu jika Gumi dan Bas sedang dalam proses perceraian. Bagaimana ini? Dengan gontai aku melangkah hati-hati menuju lantai dua, merasa ngeri dengan bangunannya yang seperti akan ambruk. Begitu sudah di atas, aku menguak salah satu pintu yang sedikit terbuka. Bas sedang menggebrak-gebrak karpet berdebu di salah satu jendela yang sudah dibuka, dia mengenakan masker, jaketnya sudah dilepas menyisakan kaos putih yang membalut tubuhnya dengan pas. Aku bisa melihat ada tato yang mengintip dari balik kain tipis di bagian lengannya. Mendadak jantungku berdebar. Debu-debu bertebaran di bawah sinar matahari dan berputar-putar di sekeliling kepalanya, membuat dia kelihatan— "Brengsek." Yeah brengsek. "Di mana sapunya?" Dia bicara padaku ya? "Megumi?" "Oh? Maaf-maaf aku pikir udah ada..." Aku terlonjak kaget saat karpet diempasnya hingga meninggalkan bunyi bedebum di lantai. Sementara langkahnya perlahan maju. "A-aku ambil ke bawah, Kak!" Kira-kira bagaimana cara Gumi memanggilnya? Aku malu sekali sempat mengenalkan diri pada Bas padahal dia tahu siapa aku dan apa yang kulakukan. "Jangan main-main Gumi," katanya saat aku kocar-kacir ke lantai satu dan membawa peralatan bersih-bersih. "Kami menerima kamu karena hasil diskusi, jadi manfaatkan kesempatan ini dengan baik." Aku menelan ludah. "Baik Kak." Melihat alis Bas mengerut tidak senang aku langsung mengoreksi. "Bas." Dengusan kasar. "Saya nggak tahu permainan apalagi yang coba kamu mainkan, tapi sebaiknya kamu berhenti sebelum semuanya semakin kacau." Tahu bagaimana cara dia mengancam? Sambil menimpakan aku dengan bobot kardus besar dari bawah ranjang. "Pindahkan keluar." Terhuyung-huyung aku melakukan yang dia perintahkan. "Ada lagi, Kak?" Dia hanya sibuk menyapu. "Oke, aku bantu bersihkan etalase." "Jangan dulu—" Tapi terlambat, aku menggeser benda itu ke samping, engselnya bergetar lalu bunyi retakan terdengar, diikuti kacanya yang seketika runtuh. Bas dengan gesit segera menyambar lenganku untuk menjauh. "Sialan." Dia menyumpah serapah sementara aku shock, detak jantung berpacu cepat melihat lemari kaca berisi piringan hitam itu setengah bolong, pecahannya berhamburan di atas karpet. "Ada yang luka? Kamu kena?" tanyanya meraba-raba kedua lenganku. "I-itu ternyata ringkih," kataku merana. Bas menghela napas berat, lalu kusadari kalau wajahnya terluka. Noda merah dengan cepat timbul, membuat garis pendek di sebelah pipinya. "Kakak kenapa tiba-tiba begini?" Astaga, apakah serpihan yang berterbangan sempat mengenainya? "Aku cari kotak P3K, sebentar." "Gumi." "Di mana kalian menyimpannya? Di laci kamar mandi? Atau di dapur?" "Gumi." "Kakak duduk dulu di sin—" Pergelangan tanganku dicekal kuat, mataku membelalak ketika dengan hati-hati ingin menyentuh wajahnya. "Apa yang kamu lakukan?" geramnya. "Ma-maaf, Kak." Hidungnya kembang kempis. "Kamu nggak perlu akting kalau hanya berdua." Lalu dengan jengkel dia menyentak sapu yang terjatuh di lantai, membersihkan pecahan yang tertinggal di atas karpet. Kutelan ludah susah payah. Oke, memang tidak ada perceraian baik-baik, entah dosa apa yang telah Gumi lakukan padanya, tapi wajah Bas berubah muram, rahangnya mengeras, kilatan benci tampak jelas di matanya saat menatapku. ***Secara refleks aku segera memberontak, namun Mas Pj bukanlah tandinganku. Dia begitu kuat, dan begitu bertekad. Bibirnya yang panas menempel di bibirku, mengulum lembut, memaksa bibirku untuk membuka, mendesakkan lidahnya. "Brengsek!" Aku meronta-ronta, lalu dengan sekuat tenaga mendorong dadanya mundur, langsung melompat bangkit siaga. Mataku membelalak, napas terengah dengan bibir menebal. Kami sama-sama terkejut. "Gumi..." bisiknya tak mengerti. Mukanya merah padam, kelihatan kebingungan. "Kenapa?" Dia mencoba menyentuh wajahku, tapi aku segera menepisnya. "Ma-mas yang ke-kenapa?" Sial, aku benci ini, aku benci jika kekuranganku terlihat oleh orang lain, dadaku bergemuruh sedangkan tanganku mulai gemetar ketakutan. "Kamu nggak pa-pa?" "Aku udah menikah," semburku marah, sebisa mungkin bersikap berani. Harap dicatat, Mas Pj juga sudah memiliki istri! "So?" tanyanya tampak tak berdosa. "Kamu lagi datang bulan?" Aku tercengang. "Aku kangen banget sama kamu Gumi,
Tentu saja aku tidak menginap di gedung The Blues. Ketika selesai membersihkan kamar, pandanganku berkunang-kunang, jadi kuputuskan langsung pulang. Aku beralasan belum membawa pakaian sebagai upaya melarikan diri. Dan kurasa Bas senang dengan keputusan tersebut. Dia menjelaskan. "Nggak masalah kalau kamu nggak nyaman tinggal di sini, tapi usahakan selalu datang tepat waktu karena kita harus kerja." Hei, memangnya dia sendiri nyaman sekamar sama calon mantan istri? Aku tidak tahu kenapa mereka menyembunyikan proses perceraian, tapi jujur bukankah harusnya Gumi pun merasa tersinggung karena selama menikah, dia menjadi istri yang tidak dianggap dan tidak pernah dipublikasikan. Kalau aku jadi Gumi pasti aku sudah menuntut alasan. Kini selagi dalam perjalanan pulang, aku memilih melipir sejenak membeli nasi kebuli untuk makan malam. Gara-gara siang tadi dipaparkan fakta mengejutkan, napsu makanku langsung lenyap. "Berapa semuanya, Bu?" tanyaku begitu si penjual, Ibu Sulastri m
"Kenapa Mama nggak bilang kalau Bas menikah sama Gumi? Sejak kapan dan kenapa aku nggak diundang?""Mama juga nggak diundang.""Informasi sekrusial ini kenapa Mama nggak kasih tau dari awal?""Karena mereka mau cerai. Bas itu udah mengajukan gugatan ke pengadilan. Mereka bahkan udah sidang perdana, dan tinggal nunggu ketok palu.""Terus karena mereka udah otw cerai, informasi ini jadi nggak penting lagi?""Bukan gitu, Sasa."Nah, inilah yang tidak kusuka, Mama selalu punya seribu satu alasan yang membuatku justru terlibat dalam masalah. Memang apa susahnya menjelaskan sepak terjang seluruh kehidupan Gumi, yang mungkin tidak akan sampai lima menit?"Oke," bisikku menarik embuskan napas panjang. Mencoba mengatur nada suara tetap rendah dari balik bilik toilet supaya tidak terdengar yang lain. "Siapa lagi orang yang terlibat sama kehidupan Gumi?""Nggak banyak.""Tolong jangan sembunyi-sembunyi Ma, ini berkaitan sama penyamaran aku juga.""Mama benar-benar minta maaf, Sa, Mama nggak berm
Karena bertempur tanpa tahu medan yang akan kita jalani termasuk bunuh diri jadi aku sudah menghafal wajah-wajah penting termasuk anggota The Blues yang lain termasuk sang drummer, Rigen.Dia segera menyongsongku, aku melotot ngeri saat tubuhku yang mungil tenggelam dalam pelukannya yang sesak sementara sapu terjepit di antara kami.Aku menggeliat berusaha melepaskan diri. "Bisa santai sedikit nggak—""Gue pikir lo nggak datang. Minggu lalu gue telepon nomor lo tapi yang angkat petugas ambulan. Setelah itu lo hilang tanpa kabar. Lo yakin nggak pa-pa?" tanyanya mengurai pelukan kami hanya untuk memindai penampilanku.Wajahku memucat. "Itu—""Kelihatannya sih, nggak pa-pa. Syukurlah, gue udah overthinking. Gue pikir lo mengalami kecelakaan terus tiba-tiba koma," tambahnya, tampak puas setelah memastikan aku sehat walafiat.Astaga, apakah semua pria The Blues memiliki kebiasaan buruk memotong lawan bicaranya saat mengobrol?"Bas, lo ingat kan? Minggu lalu?"Kutatap Bas dengan mata membol
"Mama yakin ini tempatnya?"Mengeratkan genggaman tas gitar di bahu sambil meremas ponsel yang menempel di telinga, aku menatap bangunan di hadapanku dengan tidak pasti.Sebagai orang yang dijuluki buta maps, aku sudah berusaha berulang kali memastikan, membaca setiap jalan, sampai menghafal setiap tikungan. Namun alih-alih sebuah bangunan megah seperti yang terpampang di foto, aku justru menemukan sebuah bangunan dua lantai yang nyaris ambruk.Halamannya dipenuhi kotak sampah yang membumbung tinggi, catnya sudah memudar dan mengelupas di sana-sini, kaca jendelanya tampak memburam. Secara keseluruhan The Blues lebih pantas disebut sebagai rumah jagal daripada sebuah studio musik."Pokoknya kalau ketemu gedung warna biru, berarti kamu sudah berada di tempat yang tepat. Kamu tinggal masuk aja, Sa.""Gimana kalau mereka sadar?""Kita sudah bahas ini semalam. Mereka nggak akan memerhatikan kamu secara detail. Selama kamu bisa memainkan gitar seperti Gumi, semuanya pasti aman."Masalahnya,







