Share

3. Kejanggalan

Author: Cerita Tina
last update Last Updated: 2025-09-06 18:06:41

Beberapa hari berikutnya, Malam itu Varen dan ibunya (Kartika) duduk di ruang keluarga. ibunya melihat anak satu-satunya itu seperti sedang berpikir keras semenjak pulang dari kantor polisi tadi.

“Sudah takdir, Ren…” suara Kartika lirih, terdengar lemah dan pasrah.

"Apa pun yang terjadi, itu sudah jalan Tuhan. Kakakmu dan suaminya, mereka dipanggil dengan cara yang tidak kita duga.”

Varen mengangguk pelan. Rahangnya mengeras karena tak bisa menerima begitu saja.

Di kantor polisi tadi, dia membaca laporan dari polisi. Kecelakaan itu tertulis sebagai tabrakan beruntun, mobil Thania dihantam dari samping oleh sebuah truk yang katanya kehilangan kendali.

Semua sesuai prosedur, semua terdokumentasi dengan rapi. Tidak ada kejanggalan bagi mereka yang membacanya sekilas.

Namun, Varen bukan sekadar pembaca biasa. Ia seorang lulusan sarjana hukum, terbiasa memperhatikan detail, terbiasa mencurigai celah.

Ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat catatan kecepatan kendaraan, posisi rem, dan keterangan saksi yang samar. Truk yang disebut-sebut oleng karena rem blong, ternyata baru saja keluar dari bengkel beberapa jam sebelumnya.

Dan anehnya, sopir itu hanya mengalami luka ringan, padahal tabrakan sekeras itu semestinya tidak meninggalkan korban selamat semudah itu.

“Ren, jangan terlalu keras pada dirimu,” ucap ibunya lagi, kini menoleh, menatap anak lelaki satu-satunya itu. “Kita sekarang harus pikirkan Theo. Anak sekecil itu membutuhkan kita.”

Ia tersenyum tipis, meski hatinya bergejolak. Dia tidak ingin Ibunya itu tahu sebelum semuanya benar-benar jelas.

“Iya, Ma. Varen tahu,” jawabnya.

Tapi dalam hati, ia bergumam lirih. "Ini bukan kecelakaan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar di balik ini. Dan aku akan menemukannya."

Dia mengenang beberapa waktu lalu saat dia masih di Amsterdam, Thania menelponnya dan mereka berbincang lama. Dia ingat kata-kata terakhir Thania sebelum kecelakaan

"Ren, jaga Theo ya kalau aku tidak ada.”

Waktu itu ia menertawakannya, menyuruh kakaknya berhenti bicara aneh. Tak pernah terpikir kalau ucapan itu akan berubah jadi wasiat.

Kini, setiap kali menatap Theo, Varen merasa seperti sedang menatap sisa hidup kakaknya. Dan ia bersumpah dalam hati, sekeras apa pun hidup menekannya, ia akan menjaga anak itu.

Bukan hanya sebagai paman, tapi juga sebagai ayah, sebagai pelindung. Namun di balik tekad itu, ada ketakutan yang selalu mengintai. Ketakutan kalau dirinya tidak cukup.

Malam itu, ketika semua sudah tertidur, Varen berdiri lama di depan foto Thania yang tersenyum lembut di pigura. Tangannya terangkat, menyentuh kaca dingin itu.

“Kak, aku janji akan jaga Theo dengan baik. Tapi, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku takut, Kak. Aku benar-benar takut…”

Air mata yang ditahannya pecah juga. Rumah itu semakin sunyi, tapi di dalam dada Varen bergemuruh , ada ribuan kata yang tak pernah sempat ia ucapkan.

Hari-hari setelahnya berjalan dengan berat. Theo sering rewel. Terkadang ia menangis tanpa sebab jelas, terkadang ia hanya duduk menatap kosong, lalu tiba-tiba merengek mencari ibunya. Tangisan kecil itu menusuk lebih dalam daripada seribu jeritan.

Kartika berusaha menenangkan cucunya. Tapi setiap kali Theo menangis, wajahnya pucat, seolah ikut menanggung semua sakit yang dipendam bocah itu. Hatinya rapuh melihat cucunya belum siap menerima kehilangan.

Kartika pun jatuh sakit. Tidak parah di awal, tapi kian memburuk. Makan sedikit, tidur sedikit dan kadang menangis diam-diam.

Varen tidak bisa menutup mata. Ia sendiri masih berjuang menata dirinya, tapi kini ada tanggung jawab lain yang jauh lebih besar.

Akhirnya, setelah berdiskusi dengan ibunya, Varen memutuskan mempekerjakan pengasuh dari yayasan, seorang perempuan tua lembut yang biasa dipanggil 'Bude Ratna.'

Theo yang belum benar-benar mengerti arti kehilangan, hanya tahu bahwa sejak hari itu, ia lebih sering diasuh oleh orang asing.

Varen diam-diam memproses berkas-berkas untuk masuk kerja sebagai hakim, profesi yang sudah lama ia incar sejak kuliah. Dia ingat kakaknya sangat mendukung pilihannya itu.

“Negeri ini butuh banyak penegak hukum yang jujur.” suara Thania itu terus terngiang di ingatan Varen.

Namun beberapa bulan kemudian, Bude Ratna, pamit pulang kampung karena urusan keluarga.

keadaan ibunya kali ini lebih parah. Dan ketika Varen mengatakan bahwa dia sudah diterima dan akan mulai bekerja sebagai hakim, ibunya seperti kehilangan sisa kekuatan yang ada padanya.

“Jangan, Ren. Mama sudah kehilangan satu anak. Jangan kamu ikuti jalan yang sama. Dunia itu kotor, penuh ancaman.”

Tapi Varen menatapnya tanpa bisa mundur.

“Justru karena itu, Ma. Dunia ini harus dibersihkan.”

“Kamu bukan Tuhan! Kamu bukan pahlawan!”

“Aku adiknya, Ma.”

Varen menatap ibunya.

"Dan aku hidup, maka aku harus berbuat sesuatu.”

Malam itu, setelah perdebatan panjang, Varen akhirnya mengemasi pakaiannya dan membawa Theo yang masih rewel dan tidak bisa diasuh ibunya, karena dengan melihat cucunya begitu kesehatannya menjadi semakin memburuk.

Varen memutuskan pindah ke rumah kontrakan dekat kantornya, tempat ia bisa fokus. Kantor tempatnya bekerja menyediakan penitipan anak di lantai dasar.

Ia sudah memeriksa sendiri tempat itu aman, bersih, dan dikelola dengan baik. Varen juga sudah menitipkan Ibunya pada kerabatnya yang tinggal dekat dengan rumah mereka. Dia pikir mungkin begini lebih baik.

Di rumah itu, ia tinggal bersama dua teman lamanya dari kampus hukum yaitu Lino dan Radit. Mereka bertiga dulu punya impian yang sama yaitu memperbaiki sistem hukum dari dalam.

Lino yang kini jadi jaksa, menyambutnya dengan pelukan. Radit, yang memilih jalur LSM dan advokasi, hanya mengangguk dan berkata,

“Waktumu mulai, Ren. Tapi jangan terlalu mengorbankan dirimu sendiri dalam prosesnya.”

Setiap pagi, Varen mengenakan jas kerjanya. Mengantar Theo ke penitipan. Naik ke ruang sidang. Dan diam-diam, dia membuka semua dokumen kasus-kasus yang dulu pernah ditangani kakaknya.

Entah mengapa dia merasa janggal atas kecelakaan misterius yang dialami Thania. Perlahan dia mulai menyelidiki berkas kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Thania.

Ia menuliskan nama-nama yang mencurigakan, menyusun, mengawasi dan mencari celah. Karena baginya, bukan hanya hukum yang sedang ditegakkan.

Tapi harga diri kakaknya yang pernah dikubur hidup-hidup oleh sistem yang terlalu licin untuk disentuh oleh tangan biasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Vonis Cinta Sang Hakim   100. Kau Selingkuh?

    Hari ulang tahun Varen yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Viona merasa lega karena rahasia yang ia pendam selama beberapa minggu terakhir akan menjadi kejutan manis untuk suaminya. Pagi itu, ia bangun lebih cepat dari biasanya. Wajahnya tampak segar, ada semangat yang sulit disembunyikan. Sambil menyiapkan sarapan, ia bersenandung riang. Ia sempat melirik jam dinding. Rencananya, sore nanti begitu Varen pulang, Viona, ibu dan mertuanya, mereka akan menyambut dengan kejutan kecil yang sudah disiapkan diam-diam. Viona tersenyum membayangkan wajah terkejut Varen nanti. Namun pagi ini ia harus tetap bersikap biasa saja, agar tidak mencurigakan. Setelah sarapan terhidang, mereka duduk berhadapan di meja makan. Viona menatap lama pada Varen. “Sayang, kamu belum cukuran ya? Kumis kecilmu mulai kelihatan,” kata Viona sambil tersenyum. Varen mengerutkan alis, “Oh ya? Hmm…” Ia melirik jam tangannya. Masih ada waktu. “Sebentar ya,” katanya, lalu masuk ke kamar mandi untuk bercukur. Seme

  • Vonis Cinta Sang Hakim   99. Hasrat Tertunda

    Varen tiba di rumah, Ia langsung memeluk Theo “Ini untuk anak baik yang selalu jaga maminya,” ucap Varen seraya menyerahkan kotak kecil berisi miniatur mobil kesukaan Theo. Bocah itu melonjak gembira dan langsung memeluk papinya.Setelah menidurkan Theo, Varen menghampiri Viona di kamar. Ia ingin menggoda istrinya dengan sedikit liar seperti biasanya. Ia mendekat, menautkan pelukannya dari belakang, mencium bahu Viona dengan lembut. Ia sudah tak tahan untuk melepaskan hasrat yang tertahan. “Aku kangen..” bisiknya. Varen membalikkan tubuhnya dan membawa istrinya ke pelukan penuh, Viona hanya bisa menatapnya antara ingin dan takut.Sayang, jangan dulu,” kata Viona pelan.Namun Varen sudah terlanjur tenggelam dalam dekapnya. Ia menindih lembut tubuh Viona, namun baru sesaat, Viona memejam, menarik napas pendek ada sesak yang tak bisa dijelaskan.Varen segera menghentikan gerakannya.“Kenapa? Aku menyakitimu?” tanyanya cepat, wajahnya panik.Viona menggeleng pelan, “Enggak… cuma, aku m

  • Vonis Cinta Sang Hakim   98. Aku Lelah

    Disisi lain, Lino baru saja tiba di bandara. Udara sore yang padat oleh deru kendaraan. Ia menepikan mobil ke area parkir bandara. Ia menatap layar ponselnya, ada pesan terakhir dari Varen semalam. Mereka memang sudah sepakat untuk bertemu hari ini, lalu bersama-sama menuju tempat Pak Jaya untuk memeriksa dan membahas perkembangan kasus para napi sopir yang dulu mereka tangani. Namun begitu ia hendak turun dari mobil, matanya menangkap sesuatu yang membuat langkahnya tertahan. Sebuah mobil yang sangat ia kenal. Mobil Varen baru saja melintas di depan matanya dan berhenti tak jauh dari situ. Kening Lino berkerut. “Mobil Varen dibawa siapa?” batinnya curiga. Ia menyipitkan mata, mencondongkan badan sedikit, mencoba mengintip di sela kaca deoan mobil. Tapi begitu melihat siapa yang turun dari sana, napasnya nyaris tercekat. “Viona?” gumamnya pelan, tak percaya. Ia memperhatikan perempuan itu yang kini berdiri dengan wajah berseri, menenteng tas kecil dan melangkah cepat men

  • Vonis Cinta Sang Hakim   97. Penumpang Rahasia

    Siang itu Radit pulang dr kantornya lebih cepat. Ia telah memesan tiket dan bersiap-siap ke bandara untuk menuju ke Surabaya menyesuaikan penerbangannya dengan Mayang. Setelah menyiapkan tas kecil, ia berangkat ke bandara. Semua terasa begitu cepat. Check in, pemeriksaan tiket, hingga akhirnya suara panggilan terdengar. “Kepada seluruh penumpang tujuan Surabaya, silakan menuju ke pintu keberangkatan...” Ia dan penumpang lainnya berjalan masuk ke koridor menuju pintu pesawat yang sudah ditentukan. Radit sudah mempersiapkan diri, ia memakai kacamata hitam, jaket dan masker, ia tak ingin mayang mengenalinya begitu saja. Dan benar saja, dipintu pesawat, Mayang sudah berdiri dengan pakaian pramugarinya, rambut yang disanggul sempurna dan senyumannya yang lembut menyambut para penumpang yang satu persatu masuk kedalam pesawat itu. Radit sangat deg-degan saat ia hampir dekat dengan kekasihnya. Begitu mereka berhadapan, "Selamat datang." Ujar mayang lembut. Radit hanya tersenyum

  • Vonis Cinta Sang Hakim   96. Rahasia Manis

    Hari itu Viona bangun lebih cepat. Ia bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia tak ingin sang mertua mendahuluinya, karena Viona benar-benar tak ingin merepotkan mertuanya. Begitu sampai ke dapur, ia langsung menyiapkan bahan-bahan yang akan di masak. Ia mengeluarkan telur, susu, dan sedikit keju. Rencananya, pagi ini ia akan membuat omelette Tapi begitu adonan telur mulai dituangkan ke wajan panas, perutnya tiba-tiba terasa mual hebat. “Uh…” Ia berlari menutup mulut, hampir tak sempat mematikan kompor. Tubuhnya gemetar menahan rasa tidak nyaman itu. “Uuuk… uuuk…” Tapi tak ada apa pun yang keluar selain air liur dan air mata kecil di ujung matanya. Kebetulan Kartika melihat Viona berlari dengan seolah-olah menahan mual. Ia pun langsung mengambil alih masakan di dapur. Setelah siap, Kartika menghampiri Luna. Ia berseru di pintu toilet "Nak, kau baik-baik saja?" Tak lama Viona keluar dengan wajah pucat, dan sedikit bekas air mata disudut matanya. "Vio tidak apa

  • Vonis Cinta Sang Hakim   95. Bucin 2

    Malamnya, Lino baru saja pulang dari futsal, keringatnya masih menempel di pelipis. Tapi entah kenapa, mobilnya melaju ke arah kosan Tari. Hanya sekadar iseng. Mungkin karena pikirannya belum selesai tentang obrolan tadi siang dengan Radit dan tentang seseorang yang kini terus muncul di benaknya.Begitu hampir sampai di depan gerbang, pandangannya menangkap sosok Tari. Gadis itu baru turun dari mobil. Ia tampak rapi, dengan kemeja longgar berwarna lembut. Sebelum masuk, Tari sempat berbincang dengan seseorang di dalam mobil. Terdengar dari suaranya itu seperti Laki-laki. Tawa kecil Tari terdengar samar di antara deru mesin.Lino berhenti melangkah.“Siapa dia?” gumamnya pelan, matanya menatap lama ke arah mereka.Senyum Tari yang biasanya membuatnya tenang kini terasa mengusik. “Senyumnya itu… menyebalkan,” ujarnya lirih, nyaris seperti orang yang sedang cemburu tapi belum berani mengakuinya bahkan pada dirinya sendiri.Ia menghela napas, lalu memilih segera memutar balik mobilnya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status