Beberapa hari berikutnya, Malam itu Varen dan ibunya (Kartika) duduk di ruang keluarga. ibunya melihat anak satu-satunya itu seperti sedang berpikir keras semenjak pulang dari kantor polisi tadi.
“Sudah takdir, Ren…” suara Kartika lirih, terdengar lemah dan pasrah. "Apa pun yang terjadi, itu sudah jalan Tuhan. Kakakmu dan suaminya, mereka dipanggil dengan cara yang tidak kita duga.” Varen mengangguk pelan. Rahangnya mengeras karena tak bisa menerima begitu saja. Di kantor polisi tadi, dia membaca laporan dari polisi. Kecelakaan itu tertulis sebagai tabrakan beruntun, mobil Thania dihantam dari samping oleh sebuah truk yang katanya kehilangan kendali. Semua sesuai prosedur, semua terdokumentasi dengan rapi. Tidak ada kejanggalan bagi mereka yang membacanya sekilas. Namun, Varen bukan sekadar pembaca biasa. Ia seorang lulusan sarjana hukum, terbiasa memperhatikan detail, terbiasa mencurigai celah. Ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat catatan kecepatan kendaraan, posisi rem, dan keterangan saksi yang samar. Truk yang disebut-sebut oleng karena rem blong, ternyata baru saja keluar dari bengkel beberapa jam sebelumnya. Dan anehnya, sopir itu hanya mengalami luka ringan, padahal tabrakan sekeras itu semestinya tidak meninggalkan korban selamat semudah itu. “Ren, jangan terlalu keras pada dirimu,” ucap ibunya lagi, kini menoleh, menatap anak lelaki satu-satunya itu. “Kita sekarang harus pikirkan Theo. Anak sekecil itu membutuhkan kita.” Ia tersenyum tipis, meski hatinya bergejolak. Dia tidak ingin Ibunya itu tahu sebelum semuanya benar-benar jelas. “Iya, Ma. Varen tahu,” jawabnya. Tapi dalam hati, ia bergumam lirih. "Ini bukan kecelakaan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar di balik ini. Dan aku akan menemukannya." Dia mengenang beberapa waktu lalu saat dia masih di Amsterdam, Thania menelponnya dan mereka berbincang lama. Dia ingat kata-kata terakhir Thania sebelum kecelakaan "Ren, jaga Theo ya kalau aku tidak ada.” Waktu itu ia menertawakannya, menyuruh kakaknya berhenti bicara aneh. Tak pernah terpikir kalau ucapan itu akan berubah jadi wasiat. Kini, setiap kali menatap Theo, Varen merasa seperti sedang menatap sisa hidup kakaknya. Dan ia bersumpah dalam hati, sekeras apa pun hidup menekannya, ia akan menjaga anak itu. Bukan hanya sebagai paman, tapi juga sebagai ayah, sebagai pelindung. Namun di balik tekad itu, ada ketakutan yang selalu mengintai. Ketakutan kalau dirinya tidak cukup. Malam itu, ketika semua sudah tertidur, Varen berdiri lama di depan foto Thania yang tersenyum lembut di pigura. Tangannya terangkat, menyentuh kaca dingin itu. “Kak, aku janji akan jaga Theo dengan baik. Tapi, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku takut, Kak. Aku benar-benar takut…” Air mata yang ditahannya pecah juga. Rumah itu semakin sunyi, tapi di dalam dada Varen bergemuruh , ada ribuan kata yang tak pernah sempat ia ucapkan. Hari-hari setelahnya berjalan dengan berat. Theo sering rewel. Terkadang ia menangis tanpa sebab jelas, terkadang ia hanya duduk menatap kosong, lalu tiba-tiba merengek mencari ibunya. Tangisan kecil itu menusuk lebih dalam daripada seribu jeritan. Kartika berusaha menenangkan cucunya. Tapi setiap kali Theo menangis, wajahnya pucat, seolah ikut menanggung semua sakit yang dipendam bocah itu. Hatinya rapuh melihat cucunya belum siap menerima kehilangan. Kartika pun jatuh sakit. Tidak parah di awal, tapi kian memburuk. Makan sedikit, tidur sedikit dan kadang menangis diam-diam. Varen tidak bisa menutup mata. Ia sendiri masih berjuang menata dirinya, tapi kini ada tanggung jawab lain yang jauh lebih besar. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan ibunya, Varen memutuskan mempekerjakan pengasuh dari yayasan, seorang perempuan tua lembut yang biasa dipanggil “Bude Ratna.” Theo yang belum benar-benar mengerti arti kehilangan, hanya tahu bahwa sejak hari itu, ia lebih sering diasuh oleh orang asing. Varen diam-diam memproses berkas-berkas untuk masuk kerja sebagai hakim, profesi yang sudah lama ia incar sejak kuliah. Dia ingat kakaknya sangat mendukung pilihannya itu. “Negeri ini butuh banyak penegak hukum yang jujur.” suara Thania itu terus terngiang di ingatan Varen. Namun beberapa bulan kemudian, Bude Ratna, pamit pulang kampung karena urusan keluarga. keadaan ibunya kali ini lebih parah. Dan ketika Varen mengatakan bahwa dia sudah diterima dan akan mulai bekerja sebagai hakim, ibunya seperti kehilangan sisa kekuatan yang ada padanya. “Jangan, Ren. Mama sudah kehilangan satu anak. Jangan kamu ikuti jalan yang sama. Dunia itu kotor, penuh ancaman.” Tapi Varen menatapnya tanpa bisa mundur. “Justru karena itu, Ma. Dunia ini harus dibersihkan.” “Kamu bukan Tuhan! Kamu bukan pahlawan!”“Aku adiknya, Ma.”
Varen menatap ibunya. "Dan aku hidup. Maka aku harus berbuat sesuatu.” Malam itu, setelah perdebatan panjang, Varen akhirnya mengemasi pakaiannya dan membawa Theo yang masih rewel dan tidak bisa diasuh ibunya, karena dengan melihat cucunya begitu kesehatannya menjadi semakin memburuk. Varen memutuskan pindah ke rumah kontrakan dekat kantornya, tempat ia bisa fokus. Kantor tempatnya bekerja menyediakan penitipan anak di lantai dasar. Ia sudah memeriksa sendiri tempat itu aman, bersih, dan dikelola dengan baik. Dia juga sudah menitipkan Ibunya pada kerabatnya yang tinggal dekat dengan rumah mereka. Dia pikir mungkin begini lebih baik. Di rumah itu, ia tinggal bersama dua teman lamanya dari kampus hukum yaitu Lino dan Radit. Mereka bertiga dulu punya impian yang sama yaitu memperbaiki sistem hukum dari dalam. Lino yang kini jadi jaksa, menyambutnya dengan pelukan. Radit, yang memilih jalur LSM dan advokasi, hanya mengangguk dan berkata, “Waktumu mulai, Ren. Tapi jangan terlalu mengorbankan dirimu sendiri dalam prosesnya.” Setiap pagi, Varen mengenakan jas kerjanya. Mengantar Theo ke penitipan. Naik ke ruang sidang. Dan diam-diam, dia membuka semua dokumen kasus-kasus yang dulu pernah ditangani kakaknya. Entah mengapa dia merasa janggal atas kecelakaan misterius yang dialami Thania. Perlahan dia mulai menyelidiki berkas kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Thania. Ia menuliskan nama-nama yang mencurigakan, menyusun, mengawasi dan mencari celah. Karena baginya, bukan hanya hukum yang sedang ditegakkan. Tapi harga diri kakaknya yang pernah dikubur hidup-hidup oleh sistem yang terlalu licin untuk disentuh oleh tangan biasa.Keesokan harinya, Theo sudah terlihat lebih ceria. Wajahnya tak lagi sepucat kemarin, keringat dingin yang sempat membasahi pelipisnya sudah hilang. Varen duduk di tepi ranjang, menatap termometer yang baru saja ia pakai untuk memeriksa Theo. Angka yang tertera menunjukkan suhu normal. Sebuah helaan napas lega lolos dari bibirnya.Tanpa menunda, ia memotret hasil suhu di termometer itu, lalu mengirimkan ke Viona dengan sebuah pesan. “Syukurlah, demam Theo sudah turun. Sepertinya obat yang kamu berikan kemarin bekerja dengan baik. Terima kasih, Vio.”Beberapa detik kemudian, layar ponselnya menyala. Balasan dari Viona masuk.“Alhamdulillah, aku ikut lega, Kak. Aku sempat khawatir kalau demamnya makin tinggi.”Varen tersenyum membaca pesan itu. Namun sebelum ia sempat mengetik balasan lain, notifikasi baru muncul lagi. “Oia Kak, kemarin aku bertemu dengan Bu Kartika, beliau ibunya Kak Varen kan?”Deg. Jantung Varen bergetar. Matanya refleks terbelalak kecil. Ia terdiam sesaat, membiark
Malam itu, rumah terasa sunyi. Setelah makan malam, Theo langsung masuk ke kamar. Varen memperhatikan ada yang aneh pada Theo malam ini. Dia hanya mau makan sedikit, dan tampak seperti tidak bersemangat. Varen kemudian mengikutinya ke kamar dan membawakan susu hangat. Namun Theo kelihatan gelisah di ranjang, tubuh kecilnya meringkuk, wajahnya memerah. Sesekali ia merengek, “Om… aku kangen mami,, hmm juga mami Viona” suaranya bergetar, membuat hati Varen ikut mencelos. Varen hanya bisa mengusap punggung kecil itu, mencoba menenangkan. “Iya, Nak. nanti kita ketemu lagi sama tante Viona, ya.” Tapi ia sendiri tak yakin kapan dan bagaimana harus mencari alasan. Dia tak berani mengajak Viona bertemu, apalagi dengan alasan Theo yang merindukannya. Biasanya mereka hanya bertemu kebetulan dirumah Niki, tapi sejak Niki menolaknya waktu itu, Varen jadi segan untuk mampir apalagi tanpa alasan jelas. Theo terus merajuk, suaranya makin lirih, hingga akhirnya ia menyerah dalam tangis kecilnya, ia
Keesokan harinya di kantor. Setelah sidang yang cukup melelahkan, Varen kembali ke ruangannya. Jasnya ia letakkan di sandaran kursi, lalu ia duduk, menghela napas panjang. Refleks, tangannya meraih ponsel di meja, membuka aplikasi sosmed kebiasaan barunya belakangan ini.Tak lama sebuah notifikasi kecil muncul, update story dari Viona. Tanpa pikir panjang, ia klik. Story itu sederhana saja foto ruang dinasnya dengan caption singkat. Tapi entah kenapa, hanya melihat itu saja dadanya terasa lebih ringan.Tak sadar, jarinya terpeleset, menekan emotikon love eyes. Seketika Varen kaget, wajahnya memucat. “Astagfirullah… gimana cara batalinnya?” Ia buru-buru mencari opsi undo, tapi terlambat. Ada tanda “Seen” di bawahnya. Beberapa detik kemudian, notifikasi masuk Viona membalas dengan emotikon senyum.Varen mematung, jantungnya berdebar cepat. “Waduh….”Daripada berlarut dalam canggung, ia nekat membuka percakapan. "Eh maaf tadi gak sengaja, hehe. Gimana kabarnya, Viona?’Tak lama, balasan
Pagi itu langit cerah, udara Sabtu terasa lebih ringan. Varen membawa Theo menjenguk Kartika. Sudah lama ia ingin datang, apalagi Theo selalu senang kalau bertemu Omanya. Mereka sampai dengan membawa bungkusan dimsum kesukaan Kartika.Ibunya, seorang perempuan keturunan Tionghoa muslim, dia terlihat sedikit lebih segar hari itu. Keriput di wajahnya tampak lebih tenang, senyumnya tulus menyambut anak dan cucunya yang datang.Mereka duduk santai di ruang tamu.“Bagaimana kerjamu, Ren?” tanya ibunya sambil menata piring dimsum.“Alhamdulillah, lancar, Bu. Suasana kantor juga baik, rekan-rekan ramah semua.”“Syukurlah.” Sang ibu tersenyum, mendengar anaknya beradaptasi dengan bagus dilingkungan kerjanya.Mereka bersantai di ruang tamu sambil melanjutkan perbincangan ringan. Suasana hangat itu tiba-tiba terusik ketika ponsel Varen berbunyi. Ada pesan masuk dari Niki. Sebuah video pendek. Varen menonton sekilas, ternyata itu video saat makan malam dulu di foodcourt. Terlihat jelas, Viona se
Hari berikutnya, Varen menjalani rutinitas seperti biasanya. Namun hari itu, dia baru sampai kerumah pada jam 10 malam. Lelah masih tersisa di wajahnya setelah seharian lembur. Ia membuka kemeja yang lengannya sudah kusut, meletakkan tas kerja di kursi, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu.Theo sudah lebih dulu terlelap sejak perjalanan pulang. Tubuh mungilnya dibaringkan di kamar, masih memeluk boneka beruang hadiah terakhir dari Thania dulu. Varen sempat menatap lama anak itu sebelum keluar kamar. Ada sesuatu yang menusuk dadanya tiap kali melihat Theo tidur dengan damai. Seolah dunia ini tega merenggut kebahagiaan kecil anak itu dengan cara yang terlalu kejam.Pintu depan terbuka, Radit masuk dengan langkah berat, dasinya sudah dilonggarkan, wajahnya penat. Tanpa banyak bicara, ia melempar jas ke sandaran kursi lalu rebah di sofa seberang Varen. “Lembur juga?” tanyanya singkat. Varen hanya mengangguk, sama-sama tak punya energi untuk bicara panjang.Tak lama Lino keluar d
Sudah hampir 20 menit, mereka masih bercengkerama riang di meja foodcourt. Anak-anak menikmati makanan dengan penuh tawa, sementara percakapan orang dewasa berjalan ringan, meski sesekali terasa canggung.Tak lama kemudian, Viona melihat jam tangannya. Ia menegakkan tubuh, lalu tersenyum tipis.“Maaf ya, aku harus berangkat dulu. Jam kerjaku sudah dekat.”Theo spontan menatapnya dengan wajah merajuk. “Mami, jangan pergi dulu.”Viona menunduk, mengusap lembut kepala bocah itu. “Theo kan anak baik. Besok-besok kita bisa ketemu lagi. Sekarang tante Vio harus kerja, supaya bisa bantu orang-orang sakit.”Sebelum benar-benar pergi, ia mengeluarkan kotak cupcake kecil yang tadi mereka “rebutkan” di rak kue dan menyodorkannya pada Theo.“Ini untukmu.”Mata Theo berbinar cerah. “Makasih, Mami!” Ia langsung memeluk Viona sebentar, hangat dan tulus, sebelum melambaikan tangan.“Dah, Mami…” suaranya menggema hingga Viona menghilang di keramaian.Lino terdiam, menatap adegan itu dengan bingung. “M