Beranda / Romansa / Vonis Cinta Sang Hakim / 35. Aku Ingin Bersamamu

Share

35. Aku Ingin Bersamamu

Penulis: Cerita Tina
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-23 16:43:40
Setelah membaca pesan itu, tanpa pikir panjang, Varen bergegas meninggalkan kantor dengan hati yang kacau.

Sesampainya di rumah Viona, pintu dibuka oleh Aini. Varen berdiri didepan pintu dengan kemeja biru yang masih rapi namun wajahnya terlihat kalut dan napasnya terengah-engah

“Assalamualaikum, Bu.”

“Waalaikumsalam, masuk Nak,” Aini mempersilakan Varen masuk.

Aini kemudian memanggil Viona. Tak lama Viona keluar menemui Varen. Tatapan Varen lekat pada wajah Viona. Terlihat sembab di matanya seperti habis menangis dalam waktu yang lama. Dengan suara bergetar varen berkata,

“Vio, ada apa denganmu? Kenapa kau ingin membatalkan pernikahan kita? Apa salahku?”

Viona menunduk lama. “Bukan kak Varen yang salah. Akulah yang salah karena sudah hadir di hidup kakak.”

“Kenapa bicara begitu? Kau anugerah terbesar dalam hidupku, jangan pernah berkata begitu.” Varen menahan perih, matanya memerah.

Air mata Viona menetes. Dengan tangan gemetar ia melepaskan cincin dari jari manisnya,
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Vonis Cinta Sang Hakim   70. Pantas

    Di sisi lain, kedua napi yang kabur itu masuk kedalam sebuah mobil tua yg dijmput di luar lapas. begitu masuk mereka langsung disekap oleh orang yg sudah dulu ada dimobil itu. Muka mereka ditutup. Tangannya di ikat mreka tidak bisa melawan. Mobil itu melaju dan berhenti sebuah gudang yg jauh dr pemukiman. Mereka turun, dan langsung di arak kedlam gudang itu. Disana ada beberapa orang yg sudah menunggu dengan tersenyum puas. Yang paling mengejutkan, meraka itu adalah pak Jaya, Varen, Radit dan Lino. Mereka sudah berniat memberi hukuman yg lebih pantas kepada mereka daripada dilapas yangg bisa diatur oleh semau tuannya. "Untuk sementara biarkan mereka disini dulu." Ucap lino. Pak Jaya mengangguk, "Biar anak buah saya yg mengurusnya." Pak Jaya dan yg lainnya akhirnya keluar. Tinggallah beberapa orang anak buah pak jaya yang bertampang sangar siap melaksanakan tugasnya seperti yg telah direncanakan. *** Beberapa hari kemudian, kabar tentang dua napi yang hilang sampai ke

  • Vonis Cinta Sang Hakim   69. Kabur

    Varen menatap bergantian ke arah kedua napi tahanan itu. Lalu tangannya mengambil satu pion putih dari tengah papan. Ia memainkannya di antara jari-jari, pandangannya tajam namun tenang. “Kalian bermain dengan bagus,” katanya pelan. “Tapi ingat, permainan ini belum selesai.” Sopir berkumis menelan ludah. “Kami nggak buka mulut, Pak. Kami tahu aturan.” Varen menatapnya datar. “Bagus. Tetap seperti itu.” Ia meletakkan pion itu kembali ke papan, lalu menggesernya satu langkah ke depan hingga memojokkan raja hitam. “Skatmat,” ucapnya ringan, bibirnya terangkat dalam senyum miring. Sopir satunya menatap Lino dan Radit bergantian, menyadari bahwa ini bukan kunjungan biasa. Lino menatap datar. “Kalian pikir siapa yang memastikan kalian dapat ruang nyaman di sini? Siapa yang buat kasus kalian nggak berat?” Mereka sadar, kalau Varen adalah kepercayaan dari bos besar. Sopir yang berkumis mencoba bersikap tenang, tapi tangannya sedikit gemetar saat memegang bidak. “Kami tidak p

  • Vonis Cinta Sang Hakim   68. Tutup Mulut

    Beberapa hari kemudian. Sepulang kerja, Varen mengajak rekan kantornya bertemu diam-diam. Varen tiba di kafe yang tenang di dekat gedung pengadilan. Hakim Surya seniornya sudah duduk di pojok ruangan dengan secangkir kopi didepannya. “Jarang kau ajak aku bertemu di luar jam kerja,” ujar Surya sambil melirik jam tangannya. Varen tersenyum tipis, lalu duduk berhadapan. “Saya tidak mau membicarakan ini di kantor. Terlalu banyak telinga di sana.” Surya hanya mengangkat alis, menunggu. Varen meletakkan map tipis di atas meja. "Besok, sidang Pak Jaya akan jadi perhatian media. Saya ingin kita selesaikan dengan tenang. Pak Jaya tidak akan naik banding, dia siap menerima putusan. Tapi saya berharap para sopir yang terlibat diberi hukuman ringan saja.” Surya memandangnya lekat. “Dan yang lain? Bukti tentang pejabat yang disebut di berkas?” Varen mencondongkan tubuhnya sedikit, dan menurunkan suaranya “Tidak perlu jadi sorotan. Tidak ada gunanya membuka lebih lebar. Yang kita pe

  • Vonis Cinta Sang Hakim   67. Titik Terang

    Varen yang dulu sempat membenci apapun tentang Fidesha transport, akhirnya mencoba mengerti. Radit menahan napas mendengar pengakuan itu. “Berarti semua tuduhan yang dilayangkan ke Fidesha selama ini tidak benar.” “Betul,” sahut Pak Jaya, suaranya bergetar. “Orang-orang saya tidak bersalah. Tapi citra kami hancur. Saya sudah tak sanggup melihat usaha ini jadi ladang kejahatan. Karena itu saya buat laporan. Tapi saat ancaman makin nyata, saya takut. Sekarang saya pikir, saya tak bisa diam lagi. Saya tidak mau ada korban berikutnya.” Varen menarik napas panjang, "Apa anda tahu Kakak saya dan suaminya adalah salah satu korban dari truk Bapak " Ucap Varen bergetar. Pak Jaya sangat kaget mendengar itu. Memang benar korban terakhir dari kecelakaan truknya adalah sepasang suami istri. Tangisnya langsung pecah. Ia bergerak dari kursinya dengan posisi lutut menyentuh lantai. "Aku memohon maaf sebesar-besarnya. Aku harus apa untuk bisa menebus sedikit dari kesalahan itu?" Ucapnya lirih s

  • Vonis Cinta Sang Hakim   66. Menyusuri

    Menjelang siang, aroma masakan yang ditata Viona memenuhi meja makan. Mangkok sup terlihat mengepul. Suara orang-orang yang baru bangun mulai terdengar. Mayang mengeliat dan duduk diatas sofabed. Ia perlahan menurunkan kaki ke lantai. Namun ia kaget ketika merasakan sesuatu yang aneh dan hangat di bawah telapak kakinya. Dengan refleks, Mayang menunduk. Astaga. Yang ia injak ternyata adalah lengan Radit, yang entah sejak kapan tertidur di samping sofa beralaskan karpet tipis. “Ya ampun." Mayang buru-buru menutup mulut agar tidak berteriak. Jantungnya berdegup kencang. Wajahnya memanas. Ia memperhatikan Radit yang masih terlelap, napasnya teratur. Wajah Radit yang tertidur terlihat tegas. Tanpa sadar Mayang bergumam pelan, “Bahkan saat tidur pun dia tetap tampan.” "Tunggu, jangan-jangan dia sempat lihat aku tidur? Aduh, gawat! Apa aku ngiler semalam? Ya ampun. Kalau dia lihat, gimana coba. Jangan-jangan dia ilfeel.” Gumamnya lagi.. Mayang memeluk bantal, menutup wajahnya yang

  • Vonis Cinta Sang Hakim   65. Tak Berbekas

    Menjelang fajar, langit masih gelap dan jalanan terasa lengang. Mobil yang ditumpangi Varen dan teman-temannya melaju pelan meninggalkan halaman hotel. Begitu sampai di luar, udara terasa dingin. Radit menarik resleting jaketnya hingga menutup leher. Varen menepuk-nepuk bahunya yang kaku, matanya menyapu jalanan kosong di sekitar. Mereka memutuskan berhenti sebentar di depan minimarket mini untuk bercengkrama, sekadar menunggu kantuk reda.Varen merapikan kerah kemejanya. Saat itu ia baru menyadari bau yang menempel di tubuhnya begitu menyengat. Campuran alkohol yang tumpah di lengan bajunya dan aroma asap rokok yang tertinggal di serat kain. Rasanya lengket, seperti menempel di kulit dan sulit dihapus meskipun ia sudah beberapa kali mengibaskan kerahnya.Lino berinisiatif mengantar Tari pulang ke rumahnya. Meninggalkan Varen dan Radit berdua. Radit menyelutuk, "Ren, tidak apa-apa pulang begitu?, baumu sangat menyengat." Varen menggaruk tengkuknya, "Istriku bisa curiga, belakangan i

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status