Varen yang dulu sempat membenci apapun tentang Fidesha transport, akhirnya mencoba mengerti. Radit menahan napas mendengar pengakuan itu. “Berarti semua tuduhan yang dilayangkan ke Fidesha selama ini tidak benar.” “Betul,” sahut Pak Jaya, suaranya bergetar. “Orang-orang saya tidak bersalah. Tapi citra kami hancur. Saya sudah tak sanggup melihat usaha ini jadi ladang kejahatan. Karena itu saya buat laporan. Tapi saat ancaman makin nyata, saya takut. Sekarang saya pikir, saya tak bisa diam lagi. Saya tidak mau ada korban berikutnya.” Varen menarik napas panjang, "Apa anda tahu Kakak saya dan suaminya adalah salah satu korban dari truk Bapak " Ucap Varen bergetar. Pak Jaya sangat kaget mendengar itu. Memang benar korban terakhir dari kecelakaan truknya adalah sepasang suami istri. Tangisnya langsung pecah. Ia bergerak dari kursinya dengan posisi lutut menyentuh lantai. "Aku memohon maaf sebesar-besarnya. Aku harus apa untuk bisa menebus sedikit dari kesalahan itu?" Ucapnya lirih s
Menjelang siang, aroma masakan yang ditata Viona memenuhi meja makan. Mangkok sup terlihat mengepul. Suara orang-orang yang baru bangun mulai terdengar. Mayang mengeliat dan duduk diatas sofabed. Ia perlahan menurunkan kaki ke lantai. Namun ia kaget ketika merasakan sesuatu yang aneh dan hangat di bawah telapak kakinya. Dengan refleks, Mayang menunduk. Astaga. Yang ia injak ternyata adalah lengan Radit, yang entah sejak kapan tertidur di samping sofa beralaskan karpet tipis. “Ya ampun." Mayang buru-buru menutup mulut agar tidak berteriak. Jantungnya berdegup kencang. Wajahnya memanas. Ia memperhatikan Radit yang masih terlelap, napasnya teratur. Wajah Radit yang tertidur terlihat tegas. Tanpa sadar Mayang bergumam pelan, “Bahkan saat tidur pun dia tetap tampan.” "Tunggu, jangan-jangan dia sempat lihat aku tidur? Aduh, gawat! Apa aku ngiler semalam? Ya ampun. Kalau dia lihat, gimana coba. Jangan-jangan dia ilfeel.” Gumamnya lagi.. Mayang memeluk bantal, menutup wajahnya yang
Menjelang fajar, langit masih gelap dan jalanan terasa lengang. Mobil yang ditumpangi Varen dan teman-temannya melaju pelan meninggalkan halaman hotel. Begitu sampai di luar, udara terasa dingin. Radit menarik resleting jaketnya hingga menutup leher. Varen menepuk-nepuk bahunya yang kaku, matanya menyapu jalanan kosong di sekitar. Mereka memutuskan berhenti sebentar di depan minimarket mini untuk bercengkrama, sekadar menunggu kantuk reda.Varen merapikan kerah kemejanya. Saat itu ia baru menyadari bau yang menempel di tubuhnya begitu menyengat. Campuran alkohol yang tumpah di lengan bajunya dan aroma asap rokok yang tertinggal di serat kain. Rasanya lengket, seperti menempel di kulit dan sulit dihapus meskipun ia sudah beberapa kali mengibaskan kerahnya.Lino berinisiatif mengantar Tari pulang ke rumahnya. Meninggalkan Varen dan Radit berdua. Radit menyelutuk, "Ren, tidak apa-apa pulang begitu?, baumu sangat menyengat." Varen menggaruk tengkuknya, "Istriku bisa curiga, belakangan i
Sementara itu, di rumah Viona. Mayang masih semangat bernyanyi karaoke. Suaranya terdengar sampai ke lorong kamar. Theo yang sedang bermain di kamarnya keluar sambil mengerutkan kening. Ia berjalan kecil mendekati Mayang. “Tante May, berisik!” keluhnya kesal. Rio dan Viona yang sedang duduk di ruang tamu ikut tertawa melihatnya. “Cukup, Kak. Telingaku hampir berdarah,” sindir Rio sambil menutup telinganya pura-pura kesakitan. Mayang langsung menghentikan nyanyiannya dan berekspresi manyun. “Kalian ini kurang asik. Tak bisakah kita bersenang-senang sebentar?” protesnya. Viona tertawa kecil sambil menggeleng. “Tidak ada yang larang May, tapi kecilin volumenya. Gelasku sampai bergetar." Mayang hanya terkekeh. Musik masih mengalun dari speaker, minuman dingin dan makanan ringan memenuhi meja depan mereka. Theo berlarian kesana-kemari dengan tawa riangnya, sesekali digendong Rio dengan gaya pesawat terbang hingga bocah itu menjerit kegirangan. Mayang duduk di sofa sambil mem
Mereka masih melanjutkan pesta kecil itu. Beberapa perempuan penghibur mulai masuk dengan senyum genit untuk menghibur para pria hidung belang itu.Varen hanya melirik sekilas, tidak terlalu menanggapi mereka. Ia menggeser duduknya, mencoba mengalihkan perhatian dan berpura-pura fokus mengajak beberapa pria itu membahas hal-hal yang menurutnya lebih menarik.Seorang pria di ujung meja, dengan wajah yang sedikit memerah karena alkohol, menyeletuk sambil menatap Varen.“Ren, kau sudah bekerja untuk Tuan Orion, jangkauanmu sudah tinggi. Tapi apakah kau masih mau membantu kita?”Suasana mendadak sedikit meredup, seolah semua orang ingin mendengar jawaban Varen.Varen menegakkan punggungnya, pura-pura tenang. “Apa yang Bapak maksud?”Pria itu adalah pejabat dari lembaga keuangan. Dengan senyum tipis ia melanjutkan, “Ada satu kasus perdata yang mengganggu. Seorang pengusaha menolak menyetor ‘kontribusi khusus’ pada jaringan kita. Ia ngotot membawa masalah ini ke pengadilan. Kami butuh kau
Mayang tiba di depan rumah Viona dan menekan bel. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan Viona yang menyambutnya dengan senyum ceria. “Aku kangen sekali,” ucap Mayang dengan nada riang sambil memeluk Viona. Viona tertawa kecil, membalas pelukan itu. Dari dalam kamar, Varen keluar sambil mengenakan jaketnya dengan tergesa-gesa. “May, titip istriku ya,” ujarnya santai. Mayang mengangkat alis, pura-pura cemberut. “Emang Kak Varen mau ke mana?” tanyanya basa-basi. Varen menyeringai, “Mau dugem bentar sama Radit,” jawabnya dengan nada menggoda. Mayang langsung mendecih. “Enak ya party tapi istrinya ditinggalin,” celetuknya setengah bercanda. Varen tertawa. “Kalian juga bisa kok senang-senang di rumah. Di bawah rak TV ada mic wireless, kalau mau karaokean tinggal nyalakan saja,” kata Varen sambil memakai sepatu Mayang menjadi antusias, matanya berbinar. “Serius? Wah, ya sudah kalau begitu, pergi sana!” katanya sambil tertawa lepas. Viona hanya menggeleng pelan melihat interaksi