Seketika waktu terasa berjalan lebih lambat bagi Calluna. Dunia berputar di bawah kaki nyonya besar sekaligus mertuanya ini. Sosok angkuh yang selalu membanggakan dirinya di depan orang lain dan menginjak harga diri Calluna begitu kejam.
Calluna dibuat semakin muak dengan bagaimana sosok suami yang dia cinta kini bersikap santai. Seolah tidak ada ancaman apapun dalam pernikahan mereka. “Kalau dalam waktu tiga bulan ke depan kamu belum juga hamil, aku akan menikahkan putraku dengan Diva dan kupastikan kamu tidak akan setara dalam hal apapun dengan mereka,” ucap Nyonya Mahestri. Menyebut satu nama yang selama ini menjadi bayangan kelam rumah tangganya dengan Sakha . Ketegangan di ruang makan semakin menjadi. Calluna melirik Sakha, berharap pria itu akan sedikit saja membelanya. Tetapi apa yang dia dapatkan hanya cemoohan tersirat dari raut wajah santai sang suami. Dengan suara rendah, terlampau kecewa Calluna berkata. “Keputusan macam apa itu, Bu?” Calluna menarik napas dalam. Memberi celah untuk oksigen mengisi ruang dadanya yang hampa. “Apa pengorbananku selama ini tidak ada artinya?” “Apa kamu benar-benar berusaha selama tiga tahun ini?” balas Nyonya Mahestri. “Kalau kamu sungguh-sungguh berniat memberiku cucu, pasti sudah ada hasilnya sekarang.” “Bu, ini semua di luar kendaliku.” Calluna membela diri. “Bagaimana aku bisa hamil jika Sakha masih minum alkohol? Jelas di sini bukan aku yang mandul tapi—” ucapan Calluna menggantung, pandangannya bergeser pada sang suami. “Kamu mau bilang aku yang mandul?” Setelah sekian lama hanya menjadi penonton, padahal jelas dia menjadi salah satu pelaku yang menoreh luka menganga di hati Calluna saat ini, Sakha mulai bersuara lagi. “Calluna, sudahlah.” Sakha bangkit dari tempat duduknya. Melepas dasi yang melingkar miring di leher. “Jangan melempar kesalahan padaku. Asal kamu tahu, di luar sana banyak temanku yang peminum, istrinya bisa cepat hamil! Kamu terima saja kenyataannya.” Nyonya Mahestri pun tak terima putranya disalahkan. Dia mendorong pundak Calluna sedikit kasar. “Sakha benar. Kalau rahimmu subur, sebanyak apapun Sakha minum alkohol, kamu tetap hamil juga. Ini ‘kan, tidak,” selorohnya sinis. Terdengar helaan napas jengah dari Sakha . “Dengar saja apa kata Ibu. Bagaimanapun Ibu satu-satunya orang tua yang aku miliki saat ini. Kalau bukan karena ibu, kita tidak akan hidup cukup sampai saat ini. Anggap saja dengan kamu melahirkan anak, kamu membalas budi ibuku karena telah mengangkat derajatmu di mata masyarakat desa.” Pedih. Pedih sekali rasanya menerima kanyataan bahwa di sini hanya Calluna yang tidak memiliki sandaran untuk mengutarakan perasaannya. Bahkan sang suami justru ikut mendukung keputusan gila Nyonya Mahestri. Diam-diam, Calluna menemukan wanita paruh baya itu tersenyum penuh kemenangan. “Aku tidak ingin ribut-ribut lagi. Ibu masih berbaik hati memberikan kesempatan terakhir untukmu, mengandung anak kita. Kamu tidak mau ‘kan aku dijodohkan dengan Diva dan menjadi istri tua?” Menemukan celah untuk kembali mendesak Calluna, Nyonya Mahestri berkata lagi, “Sakha benar. Ini kesempatan terakhir untukmu membuktikan bahwa Sakha tidak salah memilihmu sebagai istri,” ucapnya. “Kamu tidak punya pilihan lain, Calluna. Hidupmu saat ini ada di tanganku dan ibu. Kamu akan kembali ke jalanan jika berani menentang.” Calluna menelan ludah berat. Sesuatu di dadanya siap meledak. Dia sama sekali tidak memiliki hak untuk bicara, atau bahkan diperjuangkan setelah apa yang dia berikan untuk Keluarga Dewandaru. Sesuatu di hatinya bergumul. Tekanan di kepala Calluna semakin berat. Ingin meledak, menuntut diluapkan. ‘Aku tidak tahan lagi!’ batinnya. Calluna tidak tinggal diam, dengan gerakan anggun, setiap gerak-geriknya penuh perhitungan, dia berdiri. Begitu juga dengan sorot mata penuh tekad yang kini menyala-nyala. Sedang sang mertua masih terus berceloteh. “Kalau bukan karena suamiku memungutmu dari jalanan, mana mungkin kamu bisa hidup enak seperti sekarang, Calluna. Jadi, balas niat baik keluarga ini dengan memberikan keturunan atau enyah dari rumahku!” “Apakah ini sebuah ancaman, Bu? Sakha?” sahut Calluna tenang, bergantian menatap ibu mertua dan suaminya. “Aku memberimu peringatan!” Raut wajah Calluna masih menyirat luka tapi, senyum samarnya menyimpan banyak rahasia. “Kalau begitu, aku minta kamu ceraikan aku sekarang juga, Sakha,” kata Calluna final. Ekspresi dua orang di depannya menegang. Riasan pipi di wajah Nyonya Mahestri merah padam seakan menjelaskan bahwa keputusan Calluna barusan adalah ajang mengibarkan bendera perang yang lebih ganas dari sebelumnya. “Apa kamu gila, Calluna?!” Sakha berteriak. Urat-urat di lehernya mencuat. “Kamu menantangku, huh?!” Sakha membentak, suaranya lantang menggema. Sedang Calluna, tatapannya tak kalah tajam. Kepalanya mendongak membalas sikap angkuh sang suami. “Aku tidak pernah bercanda dengan ucapanku! Sudah cukup kalian menginjak harga diriku selama ini. Aku akan menuntut cerai dan menuntut hakku!”Angin berhembus tipis menerpa wajah Calluna yang ditekuk malas. Jalanan berbatu sepanjang perjalanan menuju sekolah, mengguncang tubuhnya berkali-kali mengundang mual bergejolak di perutnya. Dia tidak mungkin melompat dari motor yang kini dia tumpangi bersama Kaelen. Memutuskan berjalan kaki ke sekolah tempatnya mengajar pun dirasa tak cukup bijak lagi saat ini. Saat dia melirik jam tangan dengan bulat kecil di pergelangannya, dia hanya memiliki waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai ke sekolah. Semesta memang seolah tidak akan membiarkan Calluna bergerak sendiri. Apalagi setelah dia terikat dalam hubungan dingin bernama pernikahan. Beberapa kali Calluna memejamkan matanya, menghalau kejut yang kerap datang karena ban motor terpaksa menggerus kerikil-kerikil tumpul di bawahnya. “Saya mengizinkan kamu untuk mengeratkan pegangan pada seragam saya kalau kamu takut,” ucap Kaelen, sekilas melirik ekspresi aneh istrinya dari spion sebelah kiri. Sadar Kaelen sedang memperhatikannya
Jessie memutari seluruh gedung kantornya mencari keberadaan sang sahabat yang sejak tadi pagi tidak menampakkan batang hidungnya. Tidak ada satu informasi pun yang ia dapat sebagai petunjuk tentang wanita itu. Sekian kali Jessie mencoba menghubungi ponsel Lita, selalu berujung dengan suara Mbak-Mbak operator telepon. “Duh, Lita. Lo kemana, sih?” Jessie mulai frustasi mencari sahabatnya. Ia bahkan menghentakkan kukunya setiap kali ia menyentuh layar ponsel. Mengetikkan pesan yang selalu berakhir dengan centang satu warna hitam di aplikasi pesan singkat. Disaat bersamaan, seorang pria dengan tubuh gagah berjalan menghampiri Jessie yang terlihat kebingungan.“Ada apa, Jessie? Kenapa kamu terlihat gelisah?” tanya pria itu. Jessie lekas mengangkat kepalanya melihat kehadiran seseorang yang belakangan membuat degup jantungnya meningkat tajam. “Um, anu Pak. Saya mencari Lita. Dari tadi pagi saya belum melihat dia di kantor. Saya coba hubungi juga susah sekali. Nomornya tidak aktif, dan p
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.
Berjalan mengendap-endap dengan sepasang sepatu hak tinggi dan gaun pengantin dengan ekor panjang adalah sesuatu yang menyiksa bagi Na Hye Jin. Langkahnya tergopoh, tetapi tekadnya sudah bulat keluar dari neraka yang diciptakan oleh ayahnya sendiri. “Nona Hye Jin! Jangan lari kamu!” Suara tegas dan berat di belakang Hye Jin terus bergaung. Disusul dengan derap langkah cepat dua orang pria berbadan besar dan tinggi. Dia terus berlari, meski suara ribut itu semakin mendekat. “Aku tidak akan menikah dengan Min Jae! Aku tidak akan menggadaikan hidupku demi pria serakah itu!” gumam Hye Jin sambil terus memacu langkahnya. Area yang dia lewati saat ini adalah area khusus karyawan. Beberapa orang berseragam memandangnya bingung namun tidak satu pun yang berniat menolong. Kejam, memang! Bahkan meski Hye Jin disandera oleh keluarga Lee Min Jae–pria yang dijodohkan dengannya hari ini–sekalipun, uang yang akan bicara.Sepatu yang menghambat langkahnya, dilempar asal entah kemana. Pergerakan c
“Mau sampai kapan mama harus nunggu Jelita? Nathan? Kalian sudah menikah hampir tujuh tahun tapi belum juga memberi mama cucu. Mama juga mau, lho, kaya teman-teman mama setiap arisan pasti banggain cucu mereka.” Ucapan wanita paruh baya yang berstatus sebagai ibu kandung Nathan membuat hati Jelita terasa seperti dihujam ribuan jarum. Ini bukan pertama kalinya ia dan sang suami, Nathan, mendengar pertanyaan yang lebih terdengar sebagai cibiran di telinga keduanya.Sebagai kepala keluarga, Nathan menyadari ucapan mamanya telang menyinggung perasaan sang istri. Ia mengambil langkah untuk kembali memberikan pengertian pada ibunya tentang masalah cucu yang selalu menjadi perbincangan panas mereka.“Ma, kami sudah berusaha. Mungkin memang belum waktunya. Aku dan Jelita yakin, Tuhan pasti akan memberikan kami keturunan.” “Mama tahu, Nathan. Tapi kaku bayangin, dong. Tujuh tahun! Apa yang sudah kamu dapat dari pernikahan ini? Lihat sekarang, karena kecerobohan istrimu, kamu jadi lumpuh. Bag
Suasana rumah sakit hari ini lebih sepi dari biasanya, beberapa petugas mondar-mandir dengan langkah yang lebih santai. Kiev masih mengikuti langkah reza menuju ruangan lelaki itu.“Ruangan lo gak ada yang lebih jauh?” Tanya Kiev yang merasa sedikit lelah mengikuti Reza. Kiev memang selalu memanggil Reza dengan nama panggilan kesayangannya yakni, Phuphu, saat mereka hanya berdua atau berada di lingkungan yang orang-orangnya mengenal mereka dengan baik.“Bentar lagi sampai, kok. Itu sudah kelihatan.” Jari Reza menunjuk ke arah satu ruangan yang berada di paling ujung koridor. Ruangan itu sangat besar, terlihat dari jarak pintu ruangan itu dengan yang lain.Sesampainya mereka di ruangan Reza, Kiev dipersilakan duduk dan menunggu seraya Dokter itu mengambil sesuatu dari dalam lemari di belakang mejanya.“Apa ini?” Reza menyodorkan selembar hasil rontgen milik Wahyu.“Kiev..Kiev..lo selama kuliah ngapain aja? Masa ini aja gak tahu apaan.” Reza menggelengkan kepalanya menyayangkan sahabatn