Home / Rumah Tangga / Vonis Mandul Dari Mertuaku / Bab 3 - Sirkus Rumah Tangga

Share

Bab 3 - Sirkus Rumah Tangga

Author: Skynario
last update Last Updated: 2025-08-19 18:16:18

Jelaga kehitaman mengepul di ujung tungku pembakaran tembikar, nampak dari kejauhan. Sebuah toko tembikar berdiri kokoh di sebuah bangunan ruko paling besar di wilayah itu, disesaki oleh beberapa pengunjung yang sedang melihat-lihat. Bunyi derit roda tembikar dari area belakang toko tempat para pekerja membuat tembikar memenuhi telinga. Tapi pendengaran Calluna seperti tuli. Ia membiarkan orang-orang di belakangnya mencibir saat menyadari kehadirannya di sana. 

Calluna melangkah menuju meja kerja Sakha  bersama satu kotak bekal sarapan dan makan siang di sudut ruang pajangan lantai satu. Suara-suara halus menyelinap dari celah-celah rak tinggi berisi berbagai model tembikar. Berita kemandulannya sudah tersebar. Nyatanya gosip menyebar lebih cepat dari hembusan angin hangat di pagi hari ini. 

Kotak bekal tiga tingkat itu Calluna letakkan di atas meja kerja, sedikit menghentak. “Aku akan pulang sedikit terlambat hari ini. Tapi kupastikan makan malam untukmu dan ibu sudah siap sebelum kalian pulang dari kota.” ucap Calluna datar. Masih ada luka di sorot matanya. Luka yang masih segar menumpu luka lain yang tak kunjung mengering. 

Kepala Sakha  yang tenggelam di antara tembikar-tembikar berbagai bentuk dan corak di meja itu, lantas mengangkat pandangannya. Tatapannya meneduh seraya meraih tangan Calluna dalam genggaman. 

“Calluna, kau tidak serius dengan perkataanmu semalam, bukan?” tanya Sakha.  Tatapannya memaku mata Calluna, menuntut jawaban. 

“Sudah aku katakan, aku tidak pernah bercanda. Aku–” 

Belum sempat kalimat Calluna usai, terpaksa menggantung di udara karena pergerakan Sakha yang meraih tubuhnya dalam pelukan. 

“Tolong jangan lakukan itu, Calluna,” pinta Sakha . “Aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Kalau kita bercerai, bagaimana dengan toko ini?” 

Calluna berusaha keras melepaskan kungkungan Sakha di tubuhnya. Tetapi, sebesar apapun usaha, Calluna berakhir pasrah di sana. 

“Kau tidak bersikap lembut seperti ini saat ibumu mencercaku semalam.” 

Sinar di mata Sakha berubah sendu, iris hitam legamnya nyaris tenggelam ditelan kabut ketakutan. Pegangannya kian erat, meski Calluna berusaha berbagai cara untuk enyah. 

“Aku bersalah, Calluna. Aku tidak punya pilihan lain semalam. Maafkan aku.”

“Maaf?” Mata Calluna mengerling tidak percaya. “Kau mudah mengatakan kata maaf semudah menghardikku!” 

“Aku sungguh menyesal tidak membelamu. Kau tahu sendiri, ibu bisa saja mendepak kita dari rumah jika kita tidak bisa memenuhi keinginannya. Aku tidak ingin itu terjadi. Mau tak mau–” 

“Mau tak mau kau menjadikan aku kambing hitam? Persetan Sakha! Aku sudah muak dengan semua ini. Berhenti membujukku dan ceraikan aku secepatnya!” 

Ucapan lantang yang keluar dari mulut Calluna sontak mengalihkan perhatian banyak mata di toko itu. Para pengunjung yang sedang melihat-lihat koleksi tembikar, para pekerja toko yang hanya menggeleng gelisah tapi memilih membungkam mulut mereka demi segepok uang gaji yang tidak seberapa untuk menyambung hidup. 

Sedang, kontras dengan tatapan-tatapan menjemukan dari mereka, satu sosok hadir di sana tanpa menunjukkan gelagat peduli. Berdiri di ujung rak pajangan dengan kedua mata memicing.

Meja kerja Sakha berderit, akibat pergerakan Calluna yang memberontak. Tembikar-tembikar berbentuk tabung bergoyang, nyaris jatuh tapi dalam hitungan detik Sakha berhasil menyelamatkan aset keluarga itu.

“Calluna, kumohon kendalikan dirimu!” kata Sakha setengah panik. Wajahnya semerah udang rebus. “Kita bisa bicarakan ini baik-baik.” 

Lirikan para pengunjung semakin intens, beberapa tak tahan untuk tidak mencibir. Hingga satu diantara mereka bersuara, “Sakha, wanita mandul sepertinya sudah seharusnya kau ceraikan. Lagipula usianya tiga tahun lebih tua darimu, kau masih muda dan bisa mencari wanita lain.” Seorang wanita paruh baya berkata dari balik salah satu rak yang dekat dengan posisi pasangan suami istri itu. Berjalan mendekat ke arah mereka dengan langkah pelan, tapi teratur. Bersama dengan sebuah piring tembikar dengan motif bunga kecil warna biru di tangan.

Cara wanita itu menatap Calluna tak kalah tajam dengan sang mertua. Penuh ketidaksukaan dan setiap kata yang terlontar dari mulutnya hanya berisi kebencian. 

Dia menyapu pandangannya pada Calluna, dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Rasanya seperti dikuliti hidup-hidup di depan banyak mata. 

“Tenang saja, Bu. Aku sudah menuntut cerai pada Sakha, tapi dia yang tidak ingin kehilanganku.” Calluna berkata dingin tapi kalimatnya berhasil membuat bola mata wanita itu membelalak. 

“Kau benar-benar tidak tahu sopan santun!” Wanita itu menggeram kesal. 

Kini tidak ada sepasang mata pun yang absen dari perdebatan tiga orang itu. Calluna tidak peduli, dia hendak bersuara lagi, menentang, memberikan pembelaan atas harga diri yang diinjak. 

“Aku hanya mengatakan fakta … .” 

Belum usai Calluna berucap, tangan Sakha  menghentikan semua kata yang sudah bertengger di ujung lidahnya. “Calluna, sudahlah. Jangan membangkang ucapan orang yang lebih tua dari kita.” 

“Lagi?” Calluna bergumam rendah, suaranya menunjukkan kekecewaan mendalam. “Bahkan kau tidak bisa membelaku sebagai istri saat aku dihina. Kau membiarkan itu terjadi seolah-olah aku tidak memiliki perasaan. Benar ‘kan? Lebih baik kita bercerai.” 

Calluna menghempaskan pegangan Sakha  di tangannya. Begitu juga dengan pria itu yang berusaha meraih Calluna kembali ke dalam pelukan. Begitu seterusnya. Membiarkan semua mata menyaksikan keretakan rumah tangga mereka seperti sebuah adegan sirkus. Konyol. 

Namun, tidak dengan sosok yang berdiri di depan wanita paruh baya tadi. Dia melangkah maju ke depan meja kerja Sakha  yang berfungsi sekaligus sebagai meja kasir, meletakkan sebuah guci tembikar dengan model antik di sana. 

Penampilannya cukup santai untuk seseorang dengan tampang dingin dan gestur penuh perhitungan seperti dirinya. Kemeja lengan pendek warna putih gading, dipadukan dengan celana jin biru tua. Cukup modis jika dibandingkan dengan Sakha  yang hanya mengenakan kaus polo hitam dan celana bahan warna putih.

“Aku tahu kata-kataku lancang, tapi, tidakkah para pelanggan toko ini datang untuk menikmati dan membeli tembikar terbaik alih-alih menonton drama rumah tangga kalian?” kata pria itu dingin, seraya mengeluarkan sebuah dompet hitam dari saku belakang celananya lalu berkata lagi. “Aku ingin memesan lima puluh buah tembikar dengan motif yang sama seperti ini. Bisakah kau menyiapkannya dalam waktu satu minggu?” tanyanya pada Sakha . 

Senyum Sakha  mendadak cerah, tanpa banyak kata dia menyingkirkan sejenak tangannya dari tubuh Calluna. Membiarkan sang istri mematung dalam kebingungan. Di sisi lain, reaksi Sakha saat ini kontras dengan ekspresi Calluna yang datar namun sorot matanya menyimpan banyak tanya. 

Menit berlalu lambat saat matanya bertemu dengan iris teduh keoranyean milik pria itu. Vibrasi aneh menjalar dari ujung kaki Calluna, hingga membuatnya tak bisa berkutik. Sadar terlalu lama ‘terhubung’ dengan pria itu, Calluna lantas memutus kaitan tak kasat mata diantara mereka secara sepihak, seperti gunting yang tidak segan memisahkan dua hal tanpa rasa bersalah. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Vonis Mandul Dari Mertuaku   Bab 5 - Akhir dan Awal

    Derik jangkrik bising di telinga. Langit kehitaman menggantung rendah di balik jendela besar di sisi ruang keluarga. Meja panjang lengkap dengan delapan kursi yang ditata rapi di sekelilingnya membentang mengisi area tengah ruangan itu. Tetapi, penghuninya hanya mengisi setengah dari jumlah kursi keseluruhan. Seharian rumah itu tak cukup hening meski ditinggal oleh nyonya besar dan putranya, masih ada Shanaz, sang pewaris kedua yang kerap kali memicu riuh dan membuat Calluna sakit kepala.Tidak ada satupun yang bersuara di antara mereka. Kecuali pandangan Nyonya Mahestri yang memindai satu per satu orang di sana. Mulutnya bungkam tapi kedua matanya menjelaskan semuanya. “Apa yang kau lakukan pada Diva, Calluna?” Pertanyaan bernada dingin itu pada akhirnya terlontar juga. Calluna mengangkat pandangannya. Masih terlihat tenang. “Aku tidak melakukan apapun padanya. Tidak bicara banyak pun menyakiti dia secara fisik,” sahut Calluna. “Aku peringatkan padamu, ya, Calluna. Diva adalah tam

  • Vonis Mandul Dari Mertuaku   Bab 4 - Komplotan Penindas

    Kata orang, hidup di pedesaan jauh lebih menentramkan jiwa. Jikapun penat mengisi kepala, banyak cara untuk melepasnya di alam bebas. Hidup berdampingan dengan alam agaknya menjadi idaman banyak orang, setidaknya itu yang diimpikan oleh Calluna dulu. Memilih menjauh dari hiruk pikuk kota, dia memutuskan mengabdi pada negara dengan memberikan kontribusinya di dunia pendidikan, lalu bertemu dengan sosok pria yang membuatnya jatuh cinta. Dulu, susah senang bersama, tapi sekarang semuanya telah berubah. Sakha menikmati kesenangannya, tapi Calluna hanya menerima ampas dukanya. “Calluna, kau sudah akan pulang?” Suara di belakang Calluna membuatnya menoleh. Yudit, sahabat sekaligus guru bahasa inggris di sekolah tempat Calluna mengajar, berlari kecil menghampiri Calluna dengan senyum lebar. “Hari ini ada pameran tembikar di kota ‘kan? Apa kau ikut pergi dengan suamimu?” tanyanya sambil menyamakan langkah. Hari ini Calluna bertekad untuk tidak menyembunyikan keresahan hatinya pada siap

  • Vonis Mandul Dari Mertuaku   Bab 3 - Sirkus Rumah Tangga

    Jelaga kehitaman mengepul di ujung tungku pembakaran tembikar, nampak dari kejauhan. Sebuah toko tembikar berdiri kokoh di sebuah bangunan ruko paling besar di wilayah itu, disesaki oleh beberapa pengunjung yang sedang melihat-lihat. Bunyi derit roda tembikar dari area belakang toko tempat para pekerja membuat tembikar memenuhi telinga. Tapi pendengaran Calluna seperti tuli. Ia membiarkan orang-orang di belakangnya mencibir saat menyadari kehadirannya di sana. Calluna melangkah menuju meja kerja Sakha bersama satu kotak bekal sarapan dan makan siang di sudut ruang pajangan lantai satu. Suara-suara halus menyelinap dari celah-celah rak tinggi berisi berbagai model tembikar. Berita kemandulannya sudah tersebar. Nyatanya gosip menyebar lebih cepat dari hembusan angin hangat di pagi hari ini. Kotak bekal tiga tingkat itu Calluna letakkan di atas meja kerja, sedikit menghentak. “Aku akan pulang sedikit terlambat hari ini. Tapi kupastikan makan malam untukmu dan ibu sudah siap sebelum ka

  • Vonis Mandul Dari Mertuaku   Bab 2 - Menuntut Hak

    Seketika waktu terasa berjalan lebih lambat bagi Calluna. Dunia berputar di bawah kaki nyonya besar sekaligus mertuanya ini. Sosok angkuh yang selalu membanggakan dirinya di depan orang lain dan menginjak harga diri Calluna begitu kejam.Calluna dibuat semakin muak dengan bagaimana sosok suami yang dia cinta kini bersikap santai. Seolah tidak ada ancaman apapun dalam pernikahan mereka.“Kalau dalam waktu tiga bulan ke depan kau belum juga hamil, aku akan menikahkan putraku dengan Diva dan kupastikan kau tidak akan setara dalam hal apapun dengan mereka,” ucap Nyonya Mahestri. Menyebut satu nama yang selama ini menjadi bayangan kelam rumah tangganya dengan Sakha . Ketegangan di ruang makan semakin menjadi. Calluna melirik Sakha, berharap pria itu akan sedikit saja membelanya. Tetapi apa yang dia dapatkan hanya cemoohan tersirat dari raut wajah santai sang suami. Dengan suara rendah, terlampau kecewa Calluna berkata. “Keputusan macam apa itu, Bu?” Calluna menarik napas dalam. Memberi c

  • Vonis Mandul Dari Mertuaku   Bab 1 - Direndahkan Mertua

    “Sudah aku katakan sejak lama, istrimu ini mandul. Kau masih keras kepala membelanya.” Ruangan itu cukup luas untuk menggemakan suara seorang wanita paruh baya yang duduk di ujung meja makan. Tatapannya tajam, memandang sinis pada sang menantu di kursi sebelah kanannya. “Kalau dulu kau menikah dengan Diva, mungkin aku sudah memiliki dua cucu!” ucap Nyonya Mahestri penuh desakan dalam kalimatnya. “Bu, kau tahu seberapa besar usahaku untuk memberimu cucu, tapi … ,” Sakha, putranya menyahut. Dia bicara pada Nyonya Mahestri tapi lirikannya tajam tertuju pada Calluna. “Mungkin benar apa yang tertulis di dalam hasil tes hari ini.” “Apa kau sadar akhirnya kalau istrimu ini mandul?” Nyonya Mahestri menekankan lagi. “Kita sudah melakukan semua pemeriksaan dengan baik, Dokter Juna juga temanku sejak SMA. Aku kenal baik dengannya dan dia memiliki reputasi sangat baik. Tidak mungkin dia melakukan kesalahan.” Di tengah perbincangan ibu dan anak itu, Calluna duduk sambil menenggelamkan wajahn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status