Beranda / Rumah Tangga / Vonis Mandul Dari Mertuaku / Bab 4 - Komplotan Penindas

Share

Bab 4 - Komplotan Penindas

Penulis: Skynario
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-20 17:43:15

Kata orang, hidup di pedesaan jauh lebih menentramkan jiwa. Jikapun penat mengisi kepala, banyak cara untuk melepasnya di alam bebas. Hidup berdampingan dengan alam agaknya menjadi idaman banyak orang, setidaknya itu yang diimpikan oleh Calluna dulu.

Memilih menjauh dari hiruk pikuk kota, dia memutuskan mengabdi pada negara dengan memberikan kontribusinya di dunia pendidikan, lalu bertemu dengan sosok pria yang membuatnya jatuh cinta. Dulu, susah senang bersama, tapi sekarang semuanya telah berubah. Sakha menikmati kesenangannya, tapi Calluna hanya menerima ampas dukanya.

“Calluna, kau sudah akan pulang?” Suara di belakang Calluna membuatnya menoleh. Yudit, sahabat sekaligus guru bahasa inggris di sekolah tempat Calluna mengajar, berlari kecil menghampiri Calluna dengan senyum lebar. “Hari ini ada pameran tembikar di kota ‘kan? Apa kau ikut pergi dengan suamimu?” tanyanya sambil menyamakan langkah.

Hari ini Calluna bertekad untuk tidak menyembunyikan keresahan hatinya pada siapapun, kecuali para murid. Dia tersenyum getir, membiarkan perasaan kecewa membanjiri wajahnya. “Tidak, hanya Sakha dan Ibu mertua yang pergi.”

“Tidak diajak lagi?” Seolah sudah terbiasa mendengarkan keluhan rumah tangga Calluna, Yudit dengan mudah menebak. Hembusan napas beratnya seakan menunjukkan dia juga merasakan keresahan yang sama.

Calluna mengangguk lemas. “Sudah biasa, tapi, hal ini aku pastikan tidak akan terjadi lagi.”

Hiruk pikuk murid-murid menggema di belakang mereka. Suara derap langkah kaki saling bersahutan, tidak mampu membuat fokus Yudit goyah. “Apa maksudmu?”

“Aku sudah mengajukan cerai.”

Satu kalimat itu berhasil merubah seluruh gurat emosi di wajah Yudit, bahkan kini dia refleks membelalak dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Perceraian, sebuah kata yang tidak pernah, bahkan mungkin tidak terpikirkan akan keluar dari mulut wanita berwajah polos seperti Calluna. Di balik wajahnya yang lembut, senyumnya yang hangat, sorot mata teduh di balik kelopak ganda itu, menyimpan sebuah bom waktu yang siap meledak.

“Kau serius?”

Kembali Calluna mengangguk. Dia mengeluarkan sebuah map dari tasnya, lalu tersenyum penuh kemenangan. Wanita di depannya terkesiap, kehilangan kata.

“Aku …. Tidak mau lagi menjadi budak Keluarga Dewandaru. Aku lelah dituntut untuk memberikan anak padahal aku yakin rahimku sehat.”

*

Hamparan kebun buah mangga membentang luas sejauh mata memandang. Gurat hijau muda keoranyean bagai palet warna terang yang menyegarkan mata. Aroma manis menguar lembut membelai penciuman Calluna sepanjang langkahnya pulang ke rumah.

Momen ini menjadi momen yang paling Calluna sukai. Kesendirian. Membuat pikirannya lebih jernih, di tengah prahara rumah tangganya yang semakin runyam.

Dia masih menggenggam erat berkas cerai dari pengadilan. Seolah dokumen itu adalah aset paling berharga di hidup Calluna. Seperti batas antara hidup dan mati, masa lalu dan masa depan.

Saat Calluna sampai di rumah, dia tidak menemukan siapapun. Tanda sang suami dan ibu mertua telah bertolak ke kota untuk menjual keramik dari pabrik mereka.

“Lihatlah, putri mahkota Keluarga Dewandaru baru saja pulang.” Calluna baru hendak bernapas lega kala keinginannya menjalani hari lebih santai lenyap sudah karena cibiran itu.

Suara lantang itu menyeruak mengisi setiap sudut rumah menyambut kedatangan Calluna. Enyah itu adalah sebuah sapaan atau ajang bagi Shanaz menarik syaraf-syaraf stres di kepala Calluna agar menegang.

Dia menoleh, mendapati dua orang wanita duduk di sofa ruang tamu. Satu, wanita berambut panjang hitam legam, mengenakan blus longgar warna kuning pastel dipadu rok plisket coklat tua adalah sosok yang baru saja melemparkan cibiran untuk Calluna, adalah Shanaz Dewandaru—kakak iparnya. Sedangkan satu wanita lain di depannya, memiliki rambut sepundak yang bergelombang. Kulitnya yang putih kontras dengan dres marun klasik dari jenama fesyen kawakan itu tersenyum lembut ke arah Calluna.

Calluna termenung sejenak, sebelum berkata, “Kak Shanaz? Kau sudah datang?”

“Sudah dua jam aku sampai di rumah dan tidak ada makanan. Apa kau mulai lalai dengan tanggung jawabmu sebagai istri Sakha? Kau akan membiarkannya pulang tanpa makanan?” hardik Shanaz, suaranya meninggi.

“Aku sudah katakan pada Sakha akan pulang terlambat. Sepertinya dia melupakan hal itu.”

"Omong kosong! Adikku tidak seceroboh yang kau katakan."

"Tapi nyatanya seperti itu, Kak." Calluna menegaskan lagi. Otot-otot di lehernya mencuat tipis. Hampis habis sudah kesabaran Calluna menghadapi 'beban keluarga' seorang janda gatal semacam Shanaz.

Ya, selain Sakha yang tak piawai mengelola aset dan bisnis keluarga, ada Shanaz, sang putri sulung yang menggantungkan hidup pada keluarga ini beserta ketiga anaknya. Tentunya, tiga anak itu berasal dari tiga ayah yang berbeda.

Membayangkan fakta itu, dan membandingkan bagaimana sikap Shanaz pada Calluna sekarang, rasanya Calluna ingin tertawa miris. Keluarga ini, pandai menghina tapi dungu saat berkaca.

Shanaz berdecak sinis, dia beralih pada wanita di depannya. “Lihatlah, Diva. Bagaimana ibuku tidak sakit kepala menghadapi menantu seperti dia? Dia terlalu malas dan mandul. Tidak ada yang bisa diharapkan darinya.”

Wanita bernama Diva Anastasia itu tersenyum. Setiap pergerakannya terlihat elegan sebab dia adalah salah satu pewaris usaha galeri seni terbesar di desa ini. Kata orang, Sakha yang merupakan pewaris pabrik tembikar terbesar di desa itu, cocok dengan sesama anak pebisnis. Diva Anastasia salah satunya.

“Aku harap kalian tidak terlalu keras terhadap Calluna,” ucap Diva. Suaranya mendayu pelan. “Dia sudah berusaha sebaik mungkin. Kau harus menghargainya.”

“Kami sudah sering mentoleransi kesalahannya. Tapi, memang dia keras kepala. Maklum saja, menantu yang dipungut dari jalanan tidak mungkin bisa menyetarakan posisi adikku.”

Diva bangkit dari duduknya, menghampiri Calluna yang berdiri kokoh tak jauh dari mereka demi mempertahankan harga diri. “Ucapanmu keterlaluan, Shanaz.” Diva meraih tangan Calluna, mengusapnya lembut. “Aku turut prihatin dengan apa yang terjadi padamu, Calluna. Kalau aku jadi kamu, aku juga pasti sakit hati mendengar cercaan dari Shanaz barusan.”

“Apa yang sedang kau lakukan, Diva? Kenapa kau membelanya?” Suara Shanaz di belakang mereka menghentak-hentak tak terima. Tetapi Diva tetap tenang. Sikapnya itu justru menimbulkan banyak tanya di kepala Calluna.

“Aku tidak membelanya, aku bersimpati padanya. Sebuah hal yang tidak bisa kau lakukan, Shanaz,” balas Diva menusuk. Shanaz mendengus kesal.

“Kau tidak perlu bersimpati padaku, Diva. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Calluna, sejak tadi membiarkan perdebatan kecil antara Diva dengan Shanaz mengalir begitu saja dan kini dia bicara untuk dirinya sendiri. Tidak peduli sebesar apapun bentuk simpati yang diberikan Diva sebab bagiannya, dua wanita di depannya kini sama-sama penjilat.

Diva tertawa maklum, seringai licik tiba-tiba muncul di wajah cantiknya. “Aku harap kau menerima ketulusanku. Sebab, setelah ini, mungkin saja kau bercerai dalam keadaan tidak membawa sepeserpun pun nafkah dari Sakha .”

Suasana di ruangan itu berbalik dengan mudah. Aura penuh simpatik berubah instan menjadi aura intimidasi dari dua orang pewaris yang menginjak harga diri Calluna dengan begitu kejam.

“Memang, wanita seperti dia harus sadar diri. Ayahku memungutnya karena kasihan, diberi tempat tinggal dan dirawat dengan baik malah menggigit. Anjing saja jauh lebih tahu diri darimu.” Shanaz kembali bersuara. Kali ini ucapannya sudah melampaui batas.

Gelak tawa merendahkan dari Diva dan Shanaz pecah memenuhi ruangan. Tatapan mengejek bertubi-tubi menghujani Calluna sedangkan dia hanya diam. Sebab bicara terlalu banyak tidak akan mempermudah jalannya untuk bercerai dan mendapatkan haknya sebagai seorang istri.

“Angkatlah dagumu tinggi-tinggi. Sebaliknya, akan kupastikan kau menjadi istri pewaris termiskin yang pernah ada,” balas Calluna tenang, tapi menghunus, penuh penekanan diselingi senyum sinis yang tenggelam di wajah polosnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Vonis Mandul Dari Mertuaku   Bab 5 - Akhir dan Awal

    Derik jangkrik bising di telinga. Langit kehitaman menggantung rendah di balik jendela besar di sisi ruang keluarga. Meja panjang lengkap dengan delapan kursi yang ditata rapi di sekelilingnya membentang mengisi area tengah ruangan itu. Tetapi, penghuninya hanya mengisi setengah dari jumlah kursi keseluruhan. Seharian rumah itu tak cukup hening meski ditinggal oleh nyonya besar dan putranya, masih ada Shanaz, sang pewaris kedua yang kerap kali memicu riuh dan membuat Calluna sakit kepala.Tidak ada satupun yang bersuara di antara mereka. Kecuali pandangan Nyonya Mahestri yang memindai satu per satu orang di sana. Mulutnya bungkam tapi kedua matanya menjelaskan semuanya. “Apa yang kau lakukan pada Diva, Calluna?” Pertanyaan bernada dingin itu pada akhirnya terlontar juga. Calluna mengangkat pandangannya. Masih terlihat tenang. “Aku tidak melakukan apapun padanya. Tidak bicara banyak pun menyakiti dia secara fisik,” sahut Calluna. “Aku peringatkan padamu, ya, Calluna. Diva adalah tam

  • Vonis Mandul Dari Mertuaku   Bab 4 - Komplotan Penindas

    Kata orang, hidup di pedesaan jauh lebih menentramkan jiwa. Jikapun penat mengisi kepala, banyak cara untuk melepasnya di alam bebas. Hidup berdampingan dengan alam agaknya menjadi idaman banyak orang, setidaknya itu yang diimpikan oleh Calluna dulu. Memilih menjauh dari hiruk pikuk kota, dia memutuskan mengabdi pada negara dengan memberikan kontribusinya di dunia pendidikan, lalu bertemu dengan sosok pria yang membuatnya jatuh cinta. Dulu, susah senang bersama, tapi sekarang semuanya telah berubah. Sakha menikmati kesenangannya, tapi Calluna hanya menerima ampas dukanya. “Calluna, kau sudah akan pulang?” Suara di belakang Calluna membuatnya menoleh. Yudit, sahabat sekaligus guru bahasa inggris di sekolah tempat Calluna mengajar, berlari kecil menghampiri Calluna dengan senyum lebar. “Hari ini ada pameran tembikar di kota ‘kan? Apa kau ikut pergi dengan suamimu?” tanyanya sambil menyamakan langkah. Hari ini Calluna bertekad untuk tidak menyembunyikan keresahan hatinya pada siap

  • Vonis Mandul Dari Mertuaku   Bab 3 - Sirkus Rumah Tangga

    Jelaga kehitaman mengepul di ujung tungku pembakaran tembikar, nampak dari kejauhan. Sebuah toko tembikar berdiri kokoh di sebuah bangunan ruko paling besar di wilayah itu, disesaki oleh beberapa pengunjung yang sedang melihat-lihat. Bunyi derit roda tembikar dari area belakang toko tempat para pekerja membuat tembikar memenuhi telinga. Tapi pendengaran Calluna seperti tuli. Ia membiarkan orang-orang di belakangnya mencibir saat menyadari kehadirannya di sana. Calluna melangkah menuju meja kerja Sakha bersama satu kotak bekal sarapan dan makan siang di sudut ruang pajangan lantai satu. Suara-suara halus menyelinap dari celah-celah rak tinggi berisi berbagai model tembikar. Berita kemandulannya sudah tersebar. Nyatanya gosip menyebar lebih cepat dari hembusan angin hangat di pagi hari ini. Kotak bekal tiga tingkat itu Calluna letakkan di atas meja kerja, sedikit menghentak. “Aku akan pulang sedikit terlambat hari ini. Tapi kupastikan makan malam untukmu dan ibu sudah siap sebelum ka

  • Vonis Mandul Dari Mertuaku   Bab 2 - Menuntut Hak

    Seketika waktu terasa berjalan lebih lambat bagi Calluna. Dunia berputar di bawah kaki nyonya besar sekaligus mertuanya ini. Sosok angkuh yang selalu membanggakan dirinya di depan orang lain dan menginjak harga diri Calluna begitu kejam.Calluna dibuat semakin muak dengan bagaimana sosok suami yang dia cinta kini bersikap santai. Seolah tidak ada ancaman apapun dalam pernikahan mereka.“Kalau dalam waktu tiga bulan ke depan kau belum juga hamil, aku akan menikahkan putraku dengan Diva dan kupastikan kau tidak akan setara dalam hal apapun dengan mereka,” ucap Nyonya Mahestri. Menyebut satu nama yang selama ini menjadi bayangan kelam rumah tangganya dengan Sakha . Ketegangan di ruang makan semakin menjadi. Calluna melirik Sakha, berharap pria itu akan sedikit saja membelanya. Tetapi apa yang dia dapatkan hanya cemoohan tersirat dari raut wajah santai sang suami. Dengan suara rendah, terlampau kecewa Calluna berkata. “Keputusan macam apa itu, Bu?” Calluna menarik napas dalam. Memberi c

  • Vonis Mandul Dari Mertuaku   Bab 1 - Direndahkan Mertua

    “Sudah aku katakan sejak lama, istrimu ini mandul. Kau masih keras kepala membelanya.” Ruangan itu cukup luas untuk menggemakan suara seorang wanita paruh baya yang duduk di ujung meja makan. Tatapannya tajam, memandang sinis pada sang menantu di kursi sebelah kanannya. “Kalau dulu kau menikah dengan Diva, mungkin aku sudah memiliki dua cucu!” ucap Nyonya Mahestri penuh desakan dalam kalimatnya. “Bu, kau tahu seberapa besar usahaku untuk memberimu cucu, tapi … ,” Sakha, putranya menyahut. Dia bicara pada Nyonya Mahestri tapi lirikannya tajam tertuju pada Calluna. “Mungkin benar apa yang tertulis di dalam hasil tes hari ini.” “Apa kau sadar akhirnya kalau istrimu ini mandul?” Nyonya Mahestri menekankan lagi. “Kita sudah melakukan semua pemeriksaan dengan baik, Dokter Juna juga temanku sejak SMA. Aku kenal baik dengannya dan dia memiliki reputasi sangat baik. Tidak mungkin dia melakukan kesalahan.” Di tengah perbincangan ibu dan anak itu, Calluna duduk sambil menenggelamkan wajahn

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status