Marco memarkirkan mobil Range Rovernya di halaman sebuah rumah minimalis yang dikombinasi warna putih dan abu-abu. Sudah lama ia tidak menginjakkan kakinya di rumah mewah itu. Kedua orangtuanya dan saudarinya tinggal disana. Semenjak Marco mempunyai bisnisnya sendiri dan sudah memiliki cukup uang untuk membeli penthouse yang sekarang ia tempati, ia meminta izin kepada kedua orangtuanya untuk tinggal sendiri dan belajar mandiri. Ketika kedua orangtuanya mengizinkan ia langsung memilih penthouse sebagai tempat tinggalnya.
Kebetulan, teman satu angkatannya ketika kuliah adalah pengembang penthouse itu. Jadi ia dengan mudah memiliki penthouse itu. Sebelum orangtuanya mengizinkan Marco pindah ke penthousenya mereka meminta agar dirinya tetap pulang ke rumahnya secara rutin agar mereka tidak merasa kehilangan anak laki-laki mereka. Dengan menyetujui syarat itu, akhirnya Marco dengan mantap menempati penthousenya.
Baru sampai di depan pintunya, Marco melihat ada seorang laki-laki yang mungkin ia lihat umurnya masih lebih muda dibanding dirinya. Laki-laki itu sedang duduk berhadapan dengan kedua orangtuanya. Marco melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang tamu hendak menyapa kedua orangtuanya dan kemudian masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Namun, baru beberapa langkah untuk masuk ke dalam ia mendengar ibunya sedang menangis dan memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Marco langsung mempercepat langkahnya dan masuk ke dalam ruang tamu yang memang di design tidak terlalu besar namun cukup untuk menampung lima sampai sepuluh orang di dalamnya.
“Mam, Pap!” sapa Marco pada kedua orangtuanya lalu, mencium tangan mereka bergantian.
“Marco kamu sudah pulang?” tanya maminya yang kemudian buru-buru menyeka air matanya.
“Iya, malam ini Marco mau menginap disini ya.” Katanya sambil tersenyum.
“Co, sini duduk.” Pinta papinya menunjuk sebuah kursi single sitter di sebelah laki-laki yang berusia lebih muda darinya itu.
Ia juga melihat ada beberapa koper yang ditaruh di sebelah kursi yang di tempati yang mungkin dilihat secara sekilas usianya masih seumuran dengan adik dan calon istrinya, Kalea. Marco juga menyadari jika laki-laki itu sepertinya sangat familiar dengannya dan entah pernah bertemu dengannya dimana. Marco hanya menurut ketika papinya meminta untuk duduk bergabung bersama dengan mereka.
“Ada apa Pap?” tanya Marco bingung ketika ia duduk dan menatap papinya yang sepertinya ingin berbicara serius dengannya.
“Kenalkan, ini Mario. Dan Mario ini Marco, anak sulung papi bersama dengan Mami Marlina.”
Laki-laki muda itu mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Walaupun gurat wajahnya tidak menampakkan kesedihan. Tapi jelas lelaki bernama Mario itu tidak senang dengan keberadaan Marco.
“Mario.” Katanya memperkenalkan diri.
“Marco.” Menerima jabatan tangannya.
“Co, mulai hari ini. Mario akan tinggal bersama dengan kita. Dan Mario ini adalah anak dari tante Arlen.” Kata maminya dengan suara sepertinya ragu-ragu.
Marco masih menyimak keterangan yang mungkin kedua orangtuanya akan jelaskan siapa sebenarnya laki-laki muda yang berada di sebelahnya itu.
“Tante Arlen dan papi sudah menikah beberapa tahun lalu dan Mario ini adalah anak papi dan tante Arlen.” Jelas papinya yang kali ini bersuara dengan sedikit kikuk dan berkaca-kaca menatap anak sulungnya itu.
“APA?!” mata Marco terbelalak mendengar penjelasan singkat dari papinya.
Maminya kini sudah tak sanggup lagi menahan air matanya. Isak tangis dari maminya mulai terdengar di ruangan itu.
“Jangan bercanda, Pi. Tante Arlen itu, sepupu Mami. Maksud Papi apa bicara seperti itu? Mam, tolong jelaskan sejelas-jelasnya.” Marco mulai menuntut penjelasan lebih pada kedua orangtuanya.
Mario bergeming, ia masih duduk terpaku di tempatnya dan hanya bisa terdiam menyaksikan pemandangan keluarga dari papinya. Arlen jelas tidak mungkin melakukan
“Papi yang salah, Co! maka maafkan papimu ini, Nak!” kata Marvel mengakui kesalahannya di masa lampau.
Marco melihat Mario dengan tatapan tajamnya dan beralih kepada papinya yang merasa bersalah karna telah mengkhianati keluarganya. Laki-laki paruh baya itu menunduk dalam penuh penyesalan.
“Astaga! Jadi selama ini tante Arlen pergi ke US karna menyembunyikan ini semua?” tebak Marco pada keadaan yang sekarang ia sudah faham kebenarannya.
Papinya hanya mengangguk dengan tatapan penuh rasa bersalah kepada istri dan anak-anaknya.
“Apa ketika Papi dan tante Arlen menikah Mami mengetahui dan mengizinkannya?” tanya Marco kali ini dengan nada yang sangat amat kecewa pada pria yang sudah membesarkan dan menjadi panutannya.
Maminya hanya bisa menangis mendengar kalimat demi kalimat yang Marco dan suaminya lontarkan. Tentunya suasana disana sedang tidak dalam suasana yang kondusif. Marlena kemudian berjalan mendekati Marco yang sedang menatap tajam ke arah papinya.
“Sayang, dengarkan mami. Saat itu, kami berdua diambang perceraian. Semua pasangan, pasti ingin semuanya baik-baik saja. Kami berdua juga ingin semuanya berjalan dengan normal dan sempurna. Tante Arlen dan papimu memang sudah bersahabat sejak kecil dan kami berdua bisa menikah juga karna tante Arlen yang menjadi perantara Tuhan untuk mempertemukan kami. Ketika kami diambang perceraian, papimu dan tante Arlen melakukan kesalahan. Ketika tante Arlen dinyatakan hamil anak Papimu, mami sungguh benar-benar kecewa dengan mereka berdua. Sampai akhirnya mami meminta mereka berdua menikah dan membesarkan anak yang sedang dikandungnya saat itu. Biar bagaimanapun anak yang dikandung tante Arlen, sama sekali tidak bersalah. Yang salah hanya kedua orangtuanya yang lalai, Co. Mami juga meminta tante Arlen untuk pergi dari Indonesia, itulah sebabnya tante Arlen pergi dari Indonesia setelah resmi dinikahi oleh papimu. Agar kamu dan Marriane tidak mengetahui hal ini dulu. Mami juga yang meminta tante Arlen untuk membesarkan Mario.” Jelas mami dengan air mata yang sudah menganak sungai.
“Astaga Mami! Kenapa Mami seperti ini?” Marco langsung memeluk maminya yang berjongkok di depannya dan menangis.
Mami tidak menjawab pertanyaan Marco. Bulir-bulir kristal yang jatuh dari sudut mata coklat milik mami tidak bisa dihentikan hingga akhirnya Marco membawa maminya masuk ke dalam kamar. Marco dan maminya meninggalkan Mario dan papinya untuk melanjutkan pembicaraan mereka berdua. Marco hanya tidak ingin membuat maminya semakin terluka dan sakit. Walaupun, penyebab anak lelaki itu lahir ke dunia adalah juga atas permintaannya. Tapi tetap saja, maminya tidak sekuat itu untuk menghadapi ini semua.
******
“Mami, istirahat dulu ya. Marco mau ke kamar dulu. Mami sudah makan?” tanya Marco begitu selesai memakaikan selimut untuk maminya.
“Sudah, Co! mami ga laper. Mami hanya mau istirahat.” Ucap Marlina dengan nada yang agak sedikit bergetar.
“Baiklah. Kalau Mami perlu apapun, tolong kasih tau Marco ya!” katanya dengan penuh kelembutan.
“Iya sayang.” Maminya sedikit memasang senyuman, walaupun masih meneteskan air mata kesedihan.
Marco kemudian berdiri dan melangkahkan kakinya keluar. Tapi belum saja ia keluar dari kamar orangtuanya, Marco mendengar isak tangis maminya kembali terdengar. Marco yang tidak tega langsung membalikkan tubuhnya dan segera melangkah mendekati maminya dan memeluknya.
“Mami yang salah, Co! mami yang salah!” kata Marlin yang tangisnya kini semakin menjadi.
Marco membawa Marlin ke pelukannya.
“Harusnya saat itu, mami tidak meminta bercerai dengan papimu. Sehngga ia tidak mencari pelampiasan di luar sana. Dan mami lebih tidak menyangka lagi kenapa harus sepupu mami yang menjadi wanita lain dari papimu. Mami tidak membenci Mario, mami juga sayang padamu dan Marriane. Tapi kenapa saat itu mami bodoh sekali. Mami sungguh berdosa pada kalian, Co.” Katanya merancau, masih dengan tangisannya.
Terlihat ada penyesalan di mata mami saat ini.
“Apa papi sudah menceraikan tante Arlen?” tanya Marco begitu memegang tangan maminya dan menatap dalam kepada wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kelembutan juga kasih sayang itu.
“Belum. Tante Arlen meminta haknya untuk tinggal di Indonesia dan hidup bersama dengan papimu,” ujar mami sambil mencoba mengatur nafasnya.
Mungkin inilah alasan, kenapa maminya bisa sampai sehisteris barusan.
“Gila! Kenapa dia berusaha menghancurkan keluarga kita sekarang?” Marco mengusap wajahnya kasar.
“Karna ketika dia mengandung Mario, mami sedang mengandung adikmu, Marriane. Itu salah satu alasan mami meminta papimu untuk menikahi Arlen. Mami tau, jika Arlen menggugurkan kandungannya. Dia pasti akan tersiksa dan merasakan kehilangan. Mami juga seorang ibu yang ingin anak yang mami kandung bisa tumbuh besar di rahim kami dengan sehat dan membesarkan anak-anak yang mami lahirkan. Jadi mami mengizinkan mereka berdua menikah, walaupun hati mami begitu hancur melihatnya. Setelah mereka menikah dan sekarang Mario juga sudah besar. Ia menuntut hak lebih sebagai istri papimu juga. Hak yang sama dengan milik mami.” Marlina menjelaskan lagi duduk permasalahannya.
“Tapi Mami ga punya keinginan untuk bercerai dengan papi lagi kan?” tanya Marco menatap dalam sang mami.
“Tidak, Marco. Hanya sekali saja mami melakukan kesalahan dan tak ingin melakukannya lagi.” Katanya dengan penuh penyesalan.
“Kalau begitu, Mami harus mempertahankan yang seharusnya menjadi milik Mami. Marco dan Marriane akan mendukung Mami sepenuhnya,” ucap Marco dengan mantap dan lagi-lagi memeluk maminya.
******
Marriane baru saja sampai. Ia datang bersama dengan Mark dan segera masuk keruang keluarga. Biasanya jika masih belum jam sepuluh malam, kedua orangtuanya pasti bersantai di ruang keluarga dan pastinya sedang menonton acara tv atau sekedar bersantai disana. Tapi kali ini suasana rumah benar-benar berbeda, tampak sunyi dan sepi sekali. Entah kemana semua penghuni rumah itu, padahal mobil kedua orangtuanya sudah terparkir di halaman rumah dan ia malah melihat mobil kaka lakinya yang juga ikut terparkir disana.
“Mam!” panggil Marriane begitu berada di depan pintu kamar kedua orangtuanya.
Mami dan Marco langsung terdiam sejenak. Marco memerintahkan adik perempuannya itu untuk masuk ke dalam.
“Masuk!” jawab Marco.
Marriane langsung membukakan pintu kamar berwarna putih itu dan melongok masuk ke dalam kamar orangtuanya. Ia terkejut melihat maminya sedang terduduk di kasur king size miliknya dan menangis. Terlihat juga matanya sembab karna terlalu banyak menangis.
“Mam, Mami kenapa?” tanyanya panik ketika sudah berdiri di sisi kiri Maminya.
Maminya tidak langsung menjawab. Ia hanya berkali-kali menyeka air matanya. Marriane masih penuh tanda tanya akan semua sikap maminya yang menangis entah apa alasannya. Pandangannya bergantian kepada kaka laki-lakinya yang sedang mengelus tangan maminya berkali-kali.
“Coco! Ada apa?” tanya Marriane kali ini menuntut penjelasan pada kaka laki-lakinya yang sepertinya sudah mengetahui apa yang menjadi penyebab maminya menangis.
“Mami istirahat ya, aku bicara dulu dengan Marriane.” Marco kemudian membantu maminya berbaring dan kali ini benar-benar memakaikan selimutnya.
Marco kemudian menarik lembut tangan adiknya yang masih penuh tanda tanya itu. Marco juga menyalakan lampu di meja nakas agar maminya bisa beristirahat, walaupun sepertinya tidak akan mungkin bisa. Tapi setidaknya membiarkan maminya sedikit tenang adalah cara membantu orangtuanya menyelesaikan masalah mereka.
******
Hi, Semoga kalian suka ya dengan chapter 9 di novel ini, ya. Nantikan kisah cintanya Damas dan Kalea dalam novel WAITING FOR HER LOVE ini ^_^. Jangan lupa untuk berikan rate 5 pada cerita author ini, tambahkan pada library kalian dan juga comment pada setiap chapternya ya (Tapi mohon untuk tidak membocorkan isi cerita yang author publish di kolom comment ya Sayang-sayangkuuu ^_^). Berikan Vote untuk Damas dan Kalea juga ya Sayang-sayangku. eFBe author : @chisizachoi Love, Author 💗 💗 💗
Rahang dan tangan Coco sukses mengepal dan deru nafas yang tidak beraturan membuatnya menatap dua anak manusia yang sedang bergumul dengan gairah yang entah siapa yang memulainya. Lea dan Damas sukses dibuat jadi bergidik ngeri. Terutama Lea yang pasti akan menjadi tersangka atas kejadian yang baru saja tidak sengaja dipertontonkan untuk mantan calon suaminya itu. Lea yang tadinya terpejam bahkan langsung membeliakkan matanya karna mendengar suara yang begitu ia kenal itu. Damas juga jadi menghentikan kegiatannya yang sedang menikmati tubuh istrinya dan ikut melihat ke sumber suara yang membuat mereka saling terdiam dan mengumpulkan kesadarannya sesegera mungkin.“Co … Co?” Lea terkejut melihat lelaki yang dulu hampir menjadi suaminya itu kini malah melihat dirinya dengan suami sahnya hampir melakukan hubungan intim di sana. Mereka yang sedang dikuasai oleh gairahh jadi tidak begitu fokus dengan suara derap langkah. Yang terdengar di ruangan itu adalah suara cecapan yang Damas lakuka
Dua hari kemudian, “Halo, iya Pa, tunggu sebentar ya. Saya keluar dulu.” Damas menjawab telpon seseorang ketika ia dan Lea sedang berada di ruang keluarga. Hari itu tidak ada jadwal yang mengharuskan Damas untuk berangkat ke kantor. Ia lebih memilih untuk berada di penthousenya menemani Lea. Jadilah Damas memesan makan siang untuk mereka nikmati berdua. Tak lama lelaki itu memasukkan ponselnya kembali ke dalam kantong celananya setelah menjawab telpon dari orang yang mengantarkan makanan untuk mereka. “Siapa, Sayang?” tanya Lea yang kemudian menanyakan hal itu pada suaminya yang sekarang sudah berdiri dari sofanya. “Aku ke depan dulu ya, ini driver ojek onlinenya sudah sampai. Aku pesan makanan untuk kita berdua.” Kata Damas yang kemudian menyunggingkan senyumannya. “Oke aku tunggu,” Damas kemudian keluar setelah mengelus pucuk kepala Lea dengan sayang dan sedikit mencubit gemas pipi istrinya yang sudah terlihat sedikit chubby karna terlalu banyak disuguhkan makanan lezat dari su
3 Bulan kemudian.Damas akhirnya berhasil membujuk Lea untuk pulang ke rumahnya setelah mereka berdua menyelenggarakan acara 4 bulanan untuk anak mereka. Mereka membuat acara 4 bulanan untuk buah hati mereka tentunya dengan acara tertutup di sebuah resto yang sudah mereka booking khusus untuk acara itu. Hanya ada beberapa kerabat dan sanak saudara yang hadir dalam acara itu. Bahkan mungkin tidak lebih dari 200 orang yang datang untuk memanjatkan doa bersama untuk kesehatan dan kelancaran kelahiran buah cinta mereka.Lea sendiri memang awalnya menolak untuk membuat acara itu, mengingat kondisi Coco yang masih belum mengetahui kondisi dan situasi yang sebenarnya tentang hubungan mereka. Tapi Damas berjanji hal itu tidak akan mempengaruhi kondisi apapun mengenai mantan teman duelnya itu. Jadilah, Lea akhirnya mau ikut dalam persiapan acaranya itu. Bahkan, Lea tampak paling bersemangat untuk mempersiapkannya.Setelah mereka sampai di kamarnya, Damas mulai membuka setiap helai benang yang
Ane langsung pulang ketika mendengarkan kabar dari Coco. Gadis itu juga begitu mengkhawatirkan sahabatnya. Walaupun Ane dan kedua orangtua Coco sudah tau apa yang menjadi penyebab Lea seperti itu. Tapi Ane tetaplah khawatir pada sahabatnya itu. Marvel dan Marlina langsung meminta Ane untuk pulang walaupun acara pernikahan salah satu kolega Marvel masih belum selesai terlaksana. Ane menurut mendengar perintah dari kedua orangtuanya untuk menemani Lea di mansion mereka. “Lea!” Ane sedikit berbisik ketika Lea sedang terlihat berbaring dan tertidur pulas di kamarnya. Ane mengelus lengan Lea dengan lembut sehingga membuat Lea tersadar. “Masih pusing?” tanya Ane ketika melihat Lea mengerjap beberapa kali untuk mengumpulkan kesadarannya. “Ya, sedikit. Maaf aku jadi mengganggu acaramu, An.” Ucap Lea yang menyandarkan tubuhnya di headboard ranjang king size milik sahabatnya. “Sama sekali
Kini hanya tinggal Coco dan Lea di dalam sebuah ruang tunggu. Lea diminta untuk menunggui Coco yang baru saja menyelesaikan terapinya. Gadis itu meminta pa Hardi untuk mengambilkan obat dan vitamin yang harus rutin diminum oleh Coco di apotik di dekat ruang tunggu itu. “Co, apa kamu ingin makan sesuatu?” tanya Lea yang kemudian menyodorkan menu makanan sebuah resto cepat saji pada layar ponselnya. Kebetulan setelah pulang dari Hospi Hospital, tidak ada orang di mansion keluarga Avilash. Kedua orangtua Coco dan Ane sedang pergi ke sebuah acara pernikahan kolega Marvel. Jadilah, hanya tinggal mereka berdua yang ada nanti di dalam rumah. Tentu saja, dengan pa Hardi sebagai pendamping bagi Coco saat ini. Karna mendengar rencana kedua orangtuanya, Coco juga meminta pa Hardi dan ARTnya tidak memasak untuknya. “Aku tidak ingin apapun yang ada disana,” ucap Coco sambil menggelengkan kepalanya. “Kamu harus makan. Kamu per
“Selamat, ya! Kandungannya Lea sehat. Aku akan meresepkan vitamin untuk Lea dan bayi kalian. diminum harus rutin dan jangan cape-cape ya, Lea. Aku tau jadwal kamu pasti padat. Pa Boss, ringankanlah tugas Istrimu jangan suruh dia bekerja dulu. Kalau bisa,” kata Dokter Syafima sambil memberikan senyuman pada Lea dan Damas yang tengah duduk di depannya. Dokter Syafima yang juga sempat menjadi penyanyi di bawah naungan perusahaan Damas itu ikut merasakan kebahagiaan yang tercipta di hadapannya. Ia merasa terkejut begitu melihat Damas nyatanya membawa Lea ke hadapannya untuk memeriksakan kandungannya. Saat mereka menikah, Syafima yang akrab disapa dokter Syasya itu diundang ke acara pernikahan mereka. Tapi, sayangnya Syasya tidak bisa datang dan mengirimkan doa dan juga beberapa hadiah ke penthouse Damas dan Lea. “Aku sih ingin saja, memberikannya libur. Tapi Ka Syasya juga tau kan Istriku ini sangat tidak bisa diam. Aku takut jika nantinya akan di