Share

BAB 5

WANITA KEDUA 5

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Menghindar dari suatu pukulan yang datang tanpa pemberitahuan adalah hal sia-sia. Mau tidak mau, suka tidak suka tetap jalan satu-satunya adalah menghadapi. Entah nantinya akan seperti apa biarlah menjadi urusan Sang Pemberi Hidup. Meskipun ancaman kehilangan orang yang dicintai semakin besar. 

Thifa membaca pesan itu kedua kali dengan memasrahkan segala hubungan yang terjalin dengan sang pria. Mau ikatan itu terlepas dengan bebas atau tetap terjalin dengan setengah rasa yakin, biarlah menjadi keputusan Tuhan. Akan tetapi, rasa kehilangan memang begitu mudah mengubah perasaan tenang diselimuti gamang. 

“Balas enggak ya? Apa aku kasih tahu Mas Aksa dulu? Tapi, takut mereka lagi bareng. Kejadian tadi sore aja udah buat bertengkar, apalagi kalau tahu soal ini. Aku harus gimana? Apa aku temui Mbak Rena tanpa sepengetahuan Mas Aksa?” tanya Thifa tanpa pernah tahu siapa yang akan menjawab pertanyaannya.

Wanita yang tidak tahu harus mengambil keputusan seperti apa menggigit kuku-kukunya untuk menyamarkan rasa gugup bercampur ragu. “Baiknya aku kasih tahu Mas Aksa biar dia enggak khawatir. Seperti selama ini pun selalu terbuka tentang keadaan hati,” ujarnya dengan menimbang hubungan yang ada. 

Setelah memutuskan memberi tahu akan pesan Mbak Rena, Thifa gesit mencari kontak sang pria. Jemarinya pun tidak lupa mengirim pesan singkat akan kehadirannya. 

Thifa

[?] 

Aksa

[Ya ... kenapa, Sayang? Tumben pakai tanda tanya aja? Ada apa? Kan, tadi tak suruh tidur. Masih melek aja.] 

Thifa mengelus dadanya. Lega. Ternyata pesan itu berbalas begitu cepat dan dari pria yang membawa setengah hatinya. Ada seulas senyum terbit di antara mendung yang berkerudung resah. Tanpa menunggu lama, ia membalas pesan dengan hati bahagia. Karena hanya berbalas pesan sederhana seperti ini cukup mampu menyulap luka menjadi bahagia. Meskipun ada puluhan nyeri menyayat hati. 

Thifa

[Tadi udah mau tidur. Tapi ... anu. Mbak Rena chat. Apa dia tahu nomor hapeku?] 

Aksa

[Entah sih ... mungkin tahu. Karena soal hape kadang aku membiarkan aja di meja misal kalau lagi mandi atau apa. Tadi kayaknya pas habis mandi memang posisi hape berubah. Dia chat apa?] 

Thifa

[Dia besok pengin ketemu. Apa boleh? Aku belum bales sih. Gimana?] 

Aksa

[Kalau kamu enggak apa-apa, ya, silakan. Tapi, usahakan jangan di tempat sepi. Biar kalau ada apa-apa sama kamu, ada orang yang melihat. Nanti aku akan pantau kalian dari jauh untuk memastikan keadaan kamu. Sikapnya nanti biasa aja. Inget, jangan merendahkan diri di hadapan Rena. Karena di sini aku yang salah dan egois.] 

Lagi. Thifa akan selalu meneteskan air mata jika pria di sana  memikul semua kesalahan hubungan yang ada di pundaknya. Meksipun ia sendiri tahu bahwa di sini perannya yang memberi respons akan sikap sang pria adalah paling utama. Thifa tahu dan sadar jika dulu tidak membalas senyum manis itu mungkin hubungan yang ada tidaklah sedalam sekarang. Akan tetapi, semua sudah terlanjur terjadi. Ia pun tidak mampu menampik ada benih bunga yang terus tumbuh dan tumbuh bersemi di taman hatinya. 

“Kenapa kamu selalu yang merasa bersalah, Mas ...? Harusnya aku yang salah karena merespons senyummu waktu dulu. Hingga tanpa sadar aku mulai jatuh dan semakin jatuh padamu,” lirih wanita yang masih saja membaca pesan Aksa dengan derai air mata. Namun, sedetik kemudian punggung tangannya menghapus kedua pipi yang basah agar mampu melihat rangkaian huruf untuk membalas pesan pria di sana. 

Thifa

[Kamu enggak usah berlebihan begitu, Mas. Aku bisa jaga diri. Lagian Mbak Rena sepertinya bukan tipe wanita bar-bar yang suka hajar mental orang di depan umum. Ya udah. Aku cuma mau kasih tahu itu aja. Kamu jangan lagi nyalahin diri sendiri karena hubungan kita. Aku yang salah di sini. Aku yang menanggapi.] 

Aksa

[Ya udah, iya .... Pokoknya kamu hati-hati. Kalau ada apa-apa, langsung kabari. Ya udah, tidur sana. Udah malem.] 

Thifa

[Ya udah. Kalau kamu ada apa-apa, jangan lupa kasih tahu. Daaah ....] 

Aksa

[Iya ... Sayang ... iya.] 

Lima emoji kiss kali ini berjejer di akhir pesan sebagai ucapan selamat tidur. 

Thifa menarik sedikit kedua ujung bibir mendapat perlakuan yang masih terus sama meski berbentuk pesan. Hal inilah yang terkadang membuat langkahnya bertahan di antara duri-duri kesalahan dari sebuah hubungan tanpa nama. Aksa Gautama—pria yang selalu bisa memberikan ketenangan dan kenyamanan tanpa pernah menghilangkan perasaan. Sisi itu jugalah yang menenggelamkan dirinya semakin dalam atas dasar cinta. 

“Makasih, Mas ... kamu masih mau menjalani ini meski sulit. Sikapmu pun enggak berubah meski Mbak Rena mulai curiga.  Dan karena ini, aku yakin besok akan menghadapinya,” lirihnya, lalu memejam untuk memeluk malam. Bermimpi sejenak akan impian yang mungkin jauh dari kenyataan. 

~

Tepat jam setengah lima pagi, wanita yang akan menghadapi badai sudah terbangun. Thifa tidak lupa menunaikan dua rekaatnya sebagai bentuk betapa kecil manusia pendosa seperti dirinya di hadapan Tuhan. Ia sadar ribuan maaf dan sesal mungkin tidak akan mampu menghapus kesalahannya yang menjalin ikatan terlarang dengan kepunyaan orang. Namun, sekuat apa pun berusaha menghindar dari rasa yang ada justru keadaan hati semakin sakit dan terbakar debar. Thifa memilih menyerah. Pasrah akan segala rasa yang digariskan Sang Pemilik Hati. 

“Aku harus bersiap lebih awal untuk bertemu Mbak Rena. Baiknya aku membalas pesannya dulu. Aku lupa,” ujarnya setelah selesai menghadap kiblat. 

Thifa

[Maaf sebelumnya baru balas. Saya akan menemui Mbak Rena sesuai permintaan.] 

Pesan terkirim. Bahkan, balasan pesan pun datang lebih cepat. 

Mbak Rena

[Bagus. Saya tunggu jam enam pagi. Jujur saja, saya enggak mau nantinya kita jadi tontonan.] 

Thifa

[Iya, Mbak. Saya paham.] 

Pesan berhenti. Thifa memilih mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja lebih awal. Entah kenapa ketenangan yang semalam hadir tiba-tiba menghilang saat Mbak Rena begitu serius menulis pesan. 

“Aku pasti bisa! Meski nanti dihina atau dicaci sekali pun, itu udah resiko karena berani menjalin hubungan dengan Maa Aksa. Mau enggak mau tetap hal ini akan tetap terjadi. Hanya tinggal menunggu waktu. Dan mungkin inilah waktunya,” ujarnya memberi semangat pada diri sendiri. 

Wanita penyuka kesendirian itu pun bergegas memakai pakaian kerja. Wajah tidak lupa diberi sentuhan make-up tipis agar tidak terlalu pucat. Karena memang bekerja di swalayan dituntut untuk berdandan meski sederhana. Thifa sendiri tidak begitu pandai berdandan. Wajahnya hanya tersapu bedak dan polesan lipstik seadanya. 

“Oke, siap!” ucapnya pada bayang diri di cermin lemari pakaian. 

Thifa langsung keluar rumah dengan roda dua yang selama ini setia menemaninya. Tentang Yula biarlah kali ini tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Ia tidak mau membuat jiwa  esmosional seorang Yula naik. 

“Maafkan aku, Yula ... kali ini aku enggak ingin membagi apa yang terjadi nanti," gumamnya sesaat melihat rumah teman yang selalu ada untuknya. Setelah itu ia melajukan roda duanya menuju swalayan. 

Dari dalam rumah, teman sekaligus partner kerja justru tanpa sengaja melihat Thifa berangkat begitu pagi. Beberapa tanda tanya mendadak menari di kepala.

“Thifa tumben berangkat pagi banget ... jam kerja pun mulai jam tujuh. Ini baru jam enak kurang. Apa dia ada perlu? Biasanya jua bilang. Tapi, ini ...,” tanya Yula pada diri sendiri. “Kenapa perasaan jadi enggak enak gini ...,” imbuhnya lagi dengan segala prasangka, lalu berbalik untuk bersiap berangkat juga. Biarlah itu akan ia tanyakan setelah bertemu. 

Sementara di tempat lain, wanita yang berangkat begitu pagi tengah memilih area parkir swalayan. Keadaan masih sepi. Hanya beberapa karyawan bagian kebersihan yang biasa berangkat lebih awal untuk mempersiapkan area swalayan dalam keadaan bersih dan wangi sebelum kedatangan pengunjung. 

Thifa melihat sekeliling mencari keberadaan wanita yang berhak penuh atas raga Aksa Gautama. Di ujung pintu masuk terlihat wanita tengah berjalan ke arahnya. Perlahan wanita yang tidak lain Mbak Rena sudah berdiri di hadapan. Sorot matanya terlihat menyimpan ketidaksukaan. 

“Thifa, langsung saja! Saya tidak ingin basa-basi jika menyangkut Mas Aksa. Jujur selama ini saya memperhatikan kedatanganmu ke restoran. Bahkan, tatapan kalian yang menurut saya begitu berbeda. Bukan sebagai pemilik restoran pada pelanggan. Apalagi kemarin sore. Apa kamu ada hubungan khusus dengan suami saya?” terang Serena tanpa mengalihkan pandangan.

Wanita yang tidak tahu harus menjawab jujur atau bohong hanya bisa menelan ludahnya kasar. Thifa tahu ada resiko besar dari dua jawaban yang ada. Antara dicaci-maki di tempat juga kehilangan tanpa ada salam perpisahan.

“Aku harus jawab apa? Aku enggak mungkin membuat Mas Aksa menjadi penjahat karena menyimpan dua wanita di satu hati. Tapi, mengakui hubungan pun tetap enggak mengubah kalau aku memang wanita kedua. Apa aku harus memohon untuk tetap bisa melihat Mas Aksa?” 

-------***-------

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status