Share

Tak sengaja menguping pembicaraan suamiku dan Desi. Hal apa yang sudah mereka lakukan sebelumnya?

Sesampainya di kamar, aku meminta tolong Mas Rafael untuk membuka resleting gaun yang kukenakan. Sesaat, dia menatapku, seperti sedang memikirkan sesuatu, sebelum akhirnya mendekat ke arahku dan membantu melepasnya. Aku merasakan hawa panas di sekujur tubuhku, dan seketika bulu romaku merinding, ketika tak sengaja tangannya menyentuh bahuku.

Seketika kesadaran menyentakku, agar tak membiarkan dia melepas sepenuhnya gaun ini. Setelah resleting belakang gaun terbuka, segera aku memutar posisiku yang membelakanginya, dan menghadapnya.

"Udah, Mas, gak apa-apa, biar aku saja yang lanjutin membukanya," ujarku padanya sambil memegang bagian atas gaun itu agar tak melorot dan menampakkan bagian dadaku kepadanya, karena bagaimanapun aku tak sudi disentuh oleh pria yang ku anggap telah membohongiku ini, meskipun dia telah sah menjadi suamiku.

"Mas, tolong ambilkan aku minuman," pintaku padanya mencari alasan, agar dia tak melihatku ketika berganti pakaian. Ketika dia keluar kamar, gegas aku menukar baju, lalu berbaring di ranjang sambil membaca-baca.

Lima belas menit berlalu, tapi ia masih tak kembali. Aku keluar kamar untuk mencarinya. Langkahku tiba-tiba melambat, saat samar-samar mendengar suara-suara meninggi di dapur. Aku mendekat, mencari posisi yang pas agar tidak ketahuan. Dan sepertinya mereka sedang bertengkar.

"Mas, pokoknya kamu hanya milikku, tolong jangan sentuh wanita itu,mas!! Carilah alasan untuk tidak menyentuhnya ketika dia memintamu melakukan kewajibanmu sebagai suami padanya, kalau bisa cari cara agar kamu tidak sekamar dengannya!!!" seru Desi.

"Tapi Desi, bagaimanapun dia sudah sah jadi istriku, baik secara hukum, adat, dan agama. Jika aku harus menjauhinya, untuk apa aku harus menikahinya!!!" tegas suamiku padanya.

"Apa kamu melupakan apa yang sudah kita lakukan, Mas?" lontar Desi padanya.

"Itu hanyalah sebuah kekhilafan, Desi, tolong ...!! biarkan Mas bahagia dengan Alena !!" bentak suamiku padanya.

"Tapi Mas, bukankah dulu alasan Mas menikahi perempuan itu hanya demi uang dan harta ayahnya saja?!" sergah Desi penuh amarah.

"Desi, cukup!!!" bentak Mas Rafael berbalik, dan aku juga berjalan keluar dari tempat persembunyianku di belakang partisi yang menyekat dapur dan ruang makan itu. Tiba-tiba kami bertubrukkan, dan nahas, kami terjatuh, dengan posisi Mas Rafael di atasku, seketika gemuruh di dadaku membuatku seperti kehabisan oksigen.

Desi berlalu meninggalkan kami. Ada yang menyala, tapi bukan api, ketika melihat adegan tak disengaja yang barusan terjadi.

Secepatnya Mas Rafael berdiri, mengulurkan tangannya dan membantuku berdiri. Tangan yang masih sama, yang mampu mengalirkan getar-getar hangat di hatiku, saat jemari ini tergenggam dalam tangannya.

"Alena, apa kamu mendengar percakapan kami?" tanya Mas Rafael curiga.

"Ehm ... oh ... nggak, kok, Mas. Aku baru aja ke dapur, karena mas kelamaan baliknya, (makanya) aku susul. Aku haus banget, mau ambil minum." jawabku berbohong.

"Ya udah, kamu minum dulu, mas mau ke kamar ganti baju, sekalian mau pesan gofood untuk makan malam kita. Kamu mau makan apa?" tanyanya padaku.

"Samain aja deh sama Mas," jawabku.

"Oke, sampai ketemu di kamar," ucapnya padaku.

Aku hanya mengangguk padanya. Pikiranku masih kacau, mengingat pembicaraan mereka barusan. Hal apa yang sudah dua insan itu lakukan, sehingga membuat Desi sepertinya tak bisa melepas Mas Rafael. Tapi aku harus membuat drama agar Desi marah dan makin membenciku, untuk tahu kebenaran perasaan Rafael padaku.

Seketika aku berlari kecil menyusul Mas Rafael, dan dia berhenti tepat di depan kamar Desi, saat mendengar suara kaki yang menyusulnya .

"Mas ... gendong,” kataku manja bernada centil pada mas Rafael.

Secepatnya, aku sudah berada dalam gendongan mas Rafael, di antara dadanya yang bidang dan tangannya yang kekar, nyaris meluluhlantakan benteng pertahanan hatiku.

Dan tak lama kemudian terdengar suara 'pranggggh....!!!' sepertinya sesuatu barang pecah di kamar Desi. Dan disusul suara Jay yang menangis. Ah, apa peduliku pada wanita itu, tapi nuraniku sebagai wanita ingin menenangkan balita yang menangis itu, tapi ya sudahlah, perasaanku juga masih sedang tak karuan sekarang.

***

Mas Rafael meletakkanku di atas ranjang, dia tersenyum padaku sambil membelai pucuk kepalaku. Aku merasa gugup, dan menggeser dudukku untuk memberi jarak di antara kami. Aku mencoba mencari alasan, agar dia tidak berbuat macam-macam, apalagi meminta haknya padaku.

"Mas ... anu ... anu ... emm ... aku sedang datang bulan mas," ujarku padanya berbohong.

"Iya sayang, tidak apa-apa, mas juga masih belum siap, kok," ucapnya sambil mengecup keningku.

Tiba-tiba ada yang bergemuruh, tapi bukan petir. Oh, my God ... Aku harus bagaimana? Aku sudah sah menjadi istrinya, sementara aku juga masih belum siap memberi haknya. Berharap dia tetap tak akan memaksaku di malam-malam berikutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status