Share

Tiga

"Auw!" Seketika dia menjerit ketika aku mencubit pahanya. "Enak saja suruh anggap seperti rumah sendiri," dengusku kesal setelah perempuan yang menggunakan daster panjang itu sudah berlalu ke ruang belakang.

****

Seperti biasa aku selalu terbangun di sepertiga malam, langsung menuju ke ruang belakang untuk membersikan diri. Mandi sebelum subuh ini sudah menjadi kebiasaan bagiku setelah aku tahu betapa besar manfaatnya untuk tubuh dan kesehatan kita salah satunya bisa bantu hilangkan stres. 

Manfaat mandi sebelum subuh yang pertama adalah untuk membantu menghilangkan perasaan stres dan depresi yang kita alami, bantu cegah hipertensi, meningkatkan kesuburan, menjaga kesehatan kulit dan dapat menurunkan kadar gula darah.

Setelah itu aku akan 'berbincang' pada Sang Pencipta, memohon ampunan juga meminta keberkahan. 

"Astaghfirullah," aku terjingkat ketika mendengar bunyi benda jatuh dari arah dapur. Setelah itu terdengar bunyi kompor dinyalakan. "Ya Allah, kenapa rumahku jadi horor begini ya?" 

Tanpa melepaskan mukena, aku beranjak ke dapur dengan langkah pelan. Dapat kulihat bayangan seseorang sedang melakukan aktivitas di dapur, bayangan itu hilir mudik di sana.

Dengan sangat pelan-pelan aku mendekat, hingga aku tersadar kalau sekarang di rumah ini kami tak sendiri. 

"Mbak," sapaku.

Perempuan itu sangat kaget hingga toples plastik yang berisi gula jatuh dari pegangannya.

"Mbak, ini bikin kaget aja!" serunya agak keras. Pandangan matanya menyiratkan sesuatu yang aneh. Sepersekian detik kemudian dia sudah jongkok untuk memunguti gula yang tercecer di lantai.

"Gak usah dipungut, Mbak. Udah kotor itu, ambil aja yang baru," kataku lagi.

Perempuan itu tak menjawab, dia masih sibuk memunguti gula sambil terisak.

"Gak usah nangis juga kali, Mbak. Lebay amat sih!" ujarku kesal.

"Ada apa ini? Belum juga subuh sudah pada ribut?" tanya mas Aryo yang sudah bergabung dengan kami di dapur.

"Maaf, Mas. Saya tidak sengaja menjatuhkan toples gula, karena tadi terkejut saat ditanya Mbak Milla," adunya pada suamiku.

Dengan sigap mas Aryo membantu perempuan itu berdiri. "Sudah, Mbak. Ambil aja yang baru, gula itu sudah kotor," ucap lelakiku pada perempuan itu dengan lembut.

Setelah mereka berdua berdiri, sekarang pandangan mas Aryo tertuju padaku, tatapan matanya tajam, seperti sedang menahan amarah. 

"Lebay ...! Ayo, Mas!" Aku menarik tangan mas Aryo meninggalkan Ratih yang masih berdiri terpaku di dapur. Namun, diluar dugaan, suamiku itu melepaskan pegangan tangan ini.

"Kamu masuk kamar dulu, Dek. Kamu juga, Mbak Ratih, silakan masuk ke kamar. Aku akan membersihkan semuanya," titah mas Aryo.

"Ndak usah, Mas. Besok pagi aja, aayo!" seruku lagi. Seolah terpaksa mas Aryo pun akhirnya mengikuti perintahku.

****

"Kamu itu jangan galak-galak jadi orang, Dek," nasehat mas Aryo sesaat setelah masuk ke kamar.

"Galak gimana sih, Mas? Tadi aku itu cuma menyapanya kok! Mungkin dia kaget karena merasa bersalah sudah lancang di rumah orang!" sungutku tak terima sudah dibilang galak oleh suamiku sendiri hanya karena seseorang yang sedang numpang di rumahku sendiri.

"Lagian dia kan cuma mau bikin teh, mungkin," sahut mas Aryo sambil mengutak-atik ponselnya dan itu semakin membuatku kesal.

"Mas, kamu sadar gak, kalau sikapmu jadi berubah semenjak mengutarakan rencana untuk membantu Agus? Ada apa sih sebenarnya?" tanyaku yang mulai curiga dengan sikap suami yang sangat kucintai itu.

Mas Aryo diam sejenak, kembali dia meletakkan ponsel di meja.

"Jangan berfikir yang aneh-aneh, itu cuma perasaanmu saja," balasnya lalu beranjak menuju pintu.

"Mau kemana?" tanyaku merajuk.

"Mau ngunci pintu?" Lelakiku itu menunjukkan senyum menawannya sambil sebelah matanya berkedip. Entah bagaimana rupaku yang jelas aku benar-benar tersipu malu.

"Aahhhh!" 

Kami yang baru setengah mainan pun harus berhenti karena mendengar teriakkan yang cukup keras.

"Apa lagi sih?" gerutuku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status