"Auw!" Seketika dia menjerit ketika aku mencubit pahanya. "Enak saja suruh anggap seperti rumah sendiri," dengusku kesal setelah perempuan yang menggunakan daster panjang itu sudah berlalu ke ruang belakang.
****
Seperti biasa aku selalu terbangun di sepertiga malam, langsung menuju ke ruang belakang untuk membersikan diri. Mandi sebelum subuh ini sudah menjadi kebiasaan bagiku setelah aku tahu betapa besar manfaatnya untuk tubuh dan kesehatan kita salah satunya bisa bantu hilangkan stres.
Manfaat mandi sebelum subuh yang pertama adalah untuk membantu menghilangkan perasaan stres dan depresi yang kita alami, bantu cegah hipertensi, meningkatkan kesuburan, menjaga kesehatan kulit dan dapat menurunkan kadar gula darah.
Setelah itu aku akan 'berbincang' pada Sang Pencipta, memohon ampunan juga meminta keberkahan.
"Astaghfirullah," aku terjingkat ketika mendengar bunyi benda jatuh dari arah dapur. Setelah itu terdengar bunyi kompor dinyalakan. "Ya Allah, kenapa rumahku jadi horor begini ya?"
Tanpa melepaskan mukena, aku beranjak ke dapur dengan langkah pelan. Dapat kulihat bayangan seseorang sedang melakukan aktivitas di dapur, bayangan itu hilir mudik di sana.
Dengan sangat pelan-pelan aku mendekat, hingga aku tersadar kalau sekarang di rumah ini kami tak sendiri.
"Mbak," sapaku.
Perempuan itu sangat kaget hingga toples plastik yang berisi gula jatuh dari pegangannya.
"Mbak, ini bikin kaget aja!" serunya agak keras. Pandangan matanya menyiratkan sesuatu yang aneh. Sepersekian detik kemudian dia sudah jongkok untuk memunguti gula yang tercecer di lantai.
"Gak usah dipungut, Mbak. Udah kotor itu, ambil aja yang baru," kataku lagi.
Perempuan itu tak menjawab, dia masih sibuk memunguti gula sambil terisak.
"Gak usah nangis juga kali, Mbak. Lebay amat sih!" ujarku kesal.
"Ada apa ini? Belum juga subuh sudah pada ribut?" tanya mas Aryo yang sudah bergabung dengan kami di dapur.
"Maaf, Mas. Saya tidak sengaja menjatuhkan toples gula, karena tadi terkejut saat ditanya Mbak Milla," adunya pada suamiku.
Dengan sigap mas Aryo membantu perempuan itu berdiri. "Sudah, Mbak. Ambil aja yang baru, gula itu sudah kotor," ucap lelakiku pada perempuan itu dengan lembut.
Setelah mereka berdua berdiri, sekarang pandangan mas Aryo tertuju padaku, tatapan matanya tajam, seperti sedang menahan amarah.
"Lebay ...! Ayo, Mas!" Aku menarik tangan mas Aryo meninggalkan Ratih yang masih berdiri terpaku di dapur. Namun, diluar dugaan, suamiku itu melepaskan pegangan tangan ini.
"Kamu masuk kamar dulu, Dek. Kamu juga, Mbak Ratih, silakan masuk ke kamar. Aku akan membersihkan semuanya," titah mas Aryo.
"Ndak usah, Mas. Besok pagi aja, aayo!" seruku lagi. Seolah terpaksa mas Aryo pun akhirnya mengikuti perintahku.
****
"Kamu itu jangan galak-galak jadi orang, Dek," nasehat mas Aryo sesaat setelah masuk ke kamar.
"Galak gimana sih, Mas? Tadi aku itu cuma menyapanya kok! Mungkin dia kaget karena merasa bersalah sudah lancang di rumah orang!" sungutku tak terima sudah dibilang galak oleh suamiku sendiri hanya karena seseorang yang sedang numpang di rumahku sendiri.
"Lagian dia kan cuma mau bikin teh, mungkin," sahut mas Aryo sambil mengutak-atik ponselnya dan itu semakin membuatku kesal.
"Mas, kamu sadar gak, kalau sikapmu jadi berubah semenjak mengutarakan rencana untuk membantu Agus? Ada apa sih sebenarnya?" tanyaku yang mulai curiga dengan sikap suami yang sangat kucintai itu.
Mas Aryo diam sejenak, kembali dia meletakkan ponsel di meja.
"Jangan berfikir yang aneh-aneh, itu cuma perasaanmu saja," balasnya lalu beranjak menuju pintu.
"Mau kemana?" tanyaku merajuk.
"Mau ngunci pintu?" Lelakiku itu menunjukkan senyum menawannya sambil sebelah matanya berkedip. Entah bagaimana rupaku yang jelas aku benar-benar tersipu malu.
"Aahhhh!"
Kami yang baru setengah mainan pun harus berhenti karena mendengar teriakkan yang cukup keras.
"Apa lagi sih?" gerutuku.
21+ Kami yang baru setengah mainan pun harus berhenti karena mendengar teriakkan yang cukup keras. "Apa lagi sih?" gerutuku dengan suara serak. "Tunggu sebentar ya, Dek," ucap mas Aryo dengan napas memburu. "Gak usah, Mas. Biarin aja," sahutku manja, kemudian memutuskan melanjutkan kegiatan tadi. Namun, gair*h suamiku itu sudah tak seperti tadi. Aku pun menghentikan gerakannya, mendorongnya untuk melepaskan diri ini. "Hai ada apa?" tanyanya gusar. "Udahan, aku mau lihat kenapa perempuan itu teriak," balasku, dengan perasaan dongkol aku turun dari ranjang, merapikan pakaian lalu berjalan gontai ke luar kamar. "Ada apa, Mb-Astagfirullah," ucapku kaget. "Ada apa ini?" tanyaku. Aku yang tadinya kesal berubah menjadi panik melihat Ratih kewalahan memapah tubuh suaminya yang sudah terkapar di lantai. "Mas Aryo, tolong!" Bukannya menjawab, Ratih malah memanggil suamiku. "Sini-sini, biar saya bantu, Mbak." Aku pun bersiap untuk ikut mengangkat tubuh Agus. Namun dengan cepat Ratih men
Gusti Allah, dunia seolah berhenti berputar, aku benar-benar shock melihat apa yang terjadi di depan mata ... "Gusti Allah ...," lirihku menyebut nama Tuhanku. Kulihat mas Aryo sarapan berdua dengan Ratih, sesekali mereka berbincang lalu tertawa pelan bersama-sama. Kedua manusia itu menengok ke belakang ketika mendengar aku berdehem. "Eh, Dek. Sudah selesai baca Alqurannya? Yuk, sini! Ini Mbak Ratih sudah bikin sarapan dan sarapannya itu enak banget." Ucapannya itu secara tidak langsung sudah menjadi pujian untuk Ratih. Mendengar itu sudah membuat perempuan yang menggunakan daster panjang itu tersenyum malu. "Sini, Mbak. Sarapan bareng," ajaknya. Gusti Allah bahkan dia menawari untuk sarapan bareng? "Woi! Aku yang punya rumah!" Tentu saja itu hanya diucapkan dalam hati. Tanpa menjawab, kuteruskan langkahku ke tempat kompor.Mengambil persediaan mie instan lalu mulai memasaknya. Tak lagi terdengar mereka bersuara. Hingga akhirnya aku sudah tak bisa menahan lagi. "Mbak Ratih, kamu
"Yang sabar ya, Nak Mila," ucap Bu Asih ketika berpapasan denganku di depan rumah. "Ada apa?" Sungguh aku tak mengerti mengapa tetanggaku itu berkata begitu. Sebenarnya hati ini ingin sekali bertanya lebih banyak. Namun, karena waktu yang sudah mepet, aku harus menahannya dulu. Alhamdulillah, walau pikiran ini melayang saat naik sepeda tadi, gara-gara masih kepikiran kata-kata Bu Asih, "Yang sabar ya, Nak Mila" memang ada apa? Ih! Gemes deh! **** Hari ini terasa sangat panjang dan lama, apalagi gak begitu banyak pelanggan yang datang, semakin membuat hariku kurang bergairah. Aku hanya melirik sekilas ketika kurasakan sesuatu yang dingin menempel di tanganku. "Napa sih? Lesu banget hari ini?" tanya Ari temanku, wanita yang masih senang melajang itu memberikan sebungkus es tebu padaku. "Ar--" Aku mengurungkan niat untuk bercerita padanya. Rasanya malu jika harus mengumbar masalah rumah tangga kita. "Kenapa sih?" Ari semakin penasaran, jiwa keponya meronta-ronta. "Gak jadi ah," p
"Iya, dong. Kamu kan mantu kesayangan ibu," sahutnya. Ada yang aneh dari sikap ibu, mertuaku itu sama sekali tak menganggap jika ada Ratih di sini. **** Aku mengajak ibu masuk ke rumah, sambil menenteng beberapa bungkusan kresek. "Ini tadi aku yang membersihkan, Bu. Mbak Mila tadi gak sempet beres-beres, keburu kerja," celetuk Ratih tiba-tiba. "Ya bagus, dong! Kamu kan numpang di sini, jadi wajar kalau kamu sekedar bersih-bersih." Tak kusangka ucapan ibu sungguh menohok pas tepat sasaran. Bukankah mereka baru saja bertemu, tapi mengapa sepertinya ibu begitu tidak menyukai Ratih ya? Harusnya ibu itu menaruh simpati karena melihat kondisi Agus. Aneh!? *** Ibu benar-benar mengacuhkan Ratih, sedari tadi wanita kesayangan mas Aryo ini tak merespon pertanyaan yang sesekali Ratih ucapkan, bahkan beliau juga tidak mau meminum apa yang sudah Ratih buatkan. "Mil, ibu haus banget, tolong ambilkan ibu air ya," pintanya padaku. "Oh, iya, Bu," sahutku. "Kan sudah kubuatkan, Bu. Apa aku b
"Aryo masih belum kembali, setelah sampai di rumah dia langsung mengembalikan mobil bosnya." Ibu menjelaskan walau tanpa kutanya. Kembali aku hanya mengangguk.****Aku dan ibu masih di teras menunggu kedatangan mas Aryo, berbincang banyak hal, karena dari awal menjadi menantunya, aku sangat betah bila ngilobrol dengannya. Mas Aryo anak lelaki satu-satunya, dia terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara."Eh, Mbak Mila sudah pulang." Seperti biasa Ratih ikut nimbrung dengan kami, "udah dari tadi, Mbak?" tanyanya lagi."Iya, lumayan. Em ... Gimana, Mbak. Tawaranku yang kemarin?" Aku mencoba bersikap wajar."Tawaran apa, Mbak?" Entah dia benar-benar lupa atau cuma pura-pura."Soal kost-an, Mbak. Sampai kapan kamu mau tinggal di sini? Terus terang aku kurang nyaman jika kamu dan Agus lama-lama di sini," ucapku. Sementara ibu hanya memperhati
"Ada-ada saja, selalu saja seperti ini," gerutuku sambil melangkah ke pintu. Hati ini semakin kesal karena setiap kali membutuhkan sesuatu yang dipanggil itu selalu mas Aryo. Menyebalkan! "Ad-ada apa, Mbak?" tanyaku yang tak jadi kesal karena melihat wajahnya yang pucat. "Mbak, Mas Agus. Mas Agus jatuh lagi, tapi ada banyak darah di kepalanya, Mbak. Tolong," ratapnya padaku. "Ada apa ini? Ratih, kenapa, Rat? Apa yang terjadi?" tanya ibu. Kini perempuan yang sukses membuatku cemburu itu sudah terisak. Air matanya sudah menganak sungai di pipinya yang sedikit tirus. Ya Allah ... apa dia semenderita itu? Atau ini cuma pura-pura? Kami bergegas ke kamar yang di tempati Agus. Di sana terlihat Agus masih berada di lantai. Ada genangan darah di lantai, seperti dari kepalanya. "Jangan disentuh, Mila!" teriak ibu mengagetkanku, sontak kutarik kembali tanganku yang hampir menyentuh kepala Agus. "Kamu ambil air dan panggil suamimu," titah ibu padaku. "Iya, Bu," jawabku singkat, kemudian ge
"Mbak, Mbak, kayaknya ada yang aneh dengan mas Agus," ucap seseorang si sampingku. "Dari tadi dia diam saja gak gerak sama sekali," imbuhnya. Aku yang masih setengah sadar tiba-tiba jadi melek sempurna demi mendengar apa yang dikatakan Ratih. "Kok bisa? Jangan ngada-ngada kamu, bukankah dia tadi sudah baik-baik saja?!" sentakku karena kaget. **** Duka terlihat jelas di wajah suamiku, dia begitu terpukul, terus menerus menyalakan dirinya sendiri yang tidak langsung membawa Agus ke rumah sakit. Bukan hanya mas Aryo, semalam kami juga berfikir kalau Agus sudah baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu batas umur seseorang. Sering kali kita merasa tidak rela jika sesuatu yang kita sayang harus pergi untuk selamanya padahal kita tahu kalau jodoh, maut dan rezeki itu mutlak kehendak Allah SWT. **** Acara pemakaman sudah selesai, tak ada sanak saudara dari almarhum yang hadir. Sampai di sini aku masih belum bisa menemukan benang merah dari kejadian demi kejadian beberapa hari terakhir i
Setelah menyerahkan ponsel pada ibu, aku segera kembali ke kamar. Namun, aku tak menemukan mas Aryo di sana. Seolah ada yang menyuruh aku pun melangkah ke kamar belakang. "Apa yang kamu lakukan di sini, Mas?" tanyaku dengan suara bergetar melihat lelakiku tengah memeluk Ratih. **** "Dek," ucap mas Aryo kaget. Bukannya melepaskan diri Ratih malah semakin mempererat pelukannya. "Sudah saatnya dia tahu, Mas." Ratih berbicara sambil menatapku. "Aku atau kamu yang mengatakan," imbuhnya. Nafasku mulai tak beraturan, sangat sulit untuk menahan emosi yang sudah hampir meledak. "Mbak, sekarang saatnya kamu tahu. Sebenarnya aku dan mas Aryo itu sudah menikah secara siri dan sudah berjalan selama 6 bulan," terang wanita itu sambil tersenyum penuh kemenangan. Pertahananku rubuh, hampir saja aku terjatuh kalau saja tak ada seseorang yang menahan tubuhku. "Mas .... katakan sesuatu," ratapku pilu. Mata ini tak berkedip menatapnya, lelakiku itu pun melakukan hal yang sama. Hingga tetes bening