Aku bahkan lupa bernapas saat mendengar pesannya. "Ada apa dengan suamiku?" tanyaku entah pada siapa. Semenjak mas Aryo mengungkapkan rencana itu dan ketika aku kurang menyetujuinya, lelakiku itu seolah berubah.
*****
Aku masih mondar-mandir dalam rumah, gelisah melanda hati karena mas Aryo tak kunjung datang. Berdiri sebentar kemudian duduk lagi, begitu terus hingga aku merasa lelah sendiri. Beberapa kali diri ini mencoba menghubunginya. Namun, tak diangkat olehnya, chat yang kukirim juga belum dibaca. "Kemana kamu, Mas? Ada apa?" gumamku. Khawatir bercampur kesal.
Aku terjaga ketika mendengar suara berisik di ruang belakang. Pelan kubuka mata dan mencoba menajamkan pendengaran. Setelah yakin dengan apa yang kudengar, gegas memaksa tubuh ini untuk segera bangkit, berbagai hal buruk memenuhi pikiranku.
"Ah!!!!" jeritku saat melihat seorang wanita sedang duduk di kursi lain.
Wanita itu juga nampak kaget, dia sampai memundurkan badan sambil memegang dadanya.
"Siapa kamu?!" tanyaku sok galak.
"A-aku Ratih, Mbak," jawabnya gugup.
"Kenapa kamu bisa ada di rumahku? Kamu mau maling?" tanyaku menggebu.
"Bb-bukan, Mbak." Lagi dia menjawab dengan ketakutan.
"Ada apa ini?!" Suara mas Aryo menggema dari ruang belakang.
"Mas, udah pulang? Kok aku gak tau?" Bukannya menjawab, aku malah dibuat bingung karena ternyata suamiku sudah berada di rumah.
"Tadi pas kami datang, kamu lagi tidur," sahutnya kemudian duduk di sisiku.
"Kami? Bukannya temanmu itu namanya Agus? Lalu siapa wanita ini? Kenapa bisa berada di sini? Ada hubungan kalian?" Aku mencerca mas Aryo dengan pertanyaan.
"Dia ini Ratih, istrinya Agus. Yuk ikut aku!" ajaknya sambil bangkit dengan tangan terulur pada diri ini. Dengan malas aku menyambutnya, sesekali mataku menatap wanita yang disebut Ratih tadi. Sumpah aku penasaran dengan apa yang sedang terjadi dalam rumah tanggaku.
****
"Astaghfirullah ...!" pekikku sambil menutup mulut dengan kedua tanganku.
"Hust!" sahut Mas Aryo, yang kemudian menarik diri ini menjauh.
"Tt-tadi siapa? Agus?" Tiba-tiba aku menjadi gaguk setelah melihat seorang lelaki berbaring di ranjang.
Mas Aryo tak menjawab, dia masih saja menarik diriku menuju ruang tamu, di mana tadi Ratih berada.
"Tadi itu Agus, Dek. Beberapa bulan yang lalu dia mengalami kecelakaan. Alhamdulillah dia selamat, tapi ... kamu bisa lihat sendiri kan bagaimana keadaannya," terang Mas Aryo setelah kami sudah duduk di kursi ruang tamu.
Aku benar-benar tak bisa berbicara, ingatanku masih tertuju pada sosok Agus yang tadi terbaring di tempat tidur.
"Mm-maafkan kami, Mbak. Sudah merepotkan Mas Aryo dan Mbak ... ?"
"Milla," sahutku cepat, entahlah aku merasa bersalah dan menjadi iba pada perempuan yang terlihat manis itu.
"Oh, Mbak Milla. Terima kasih Mbak Milla telah bersedia menampung kami," ucapnya nampak tulus.
"Selama belum mendapatkan kontrakan yang sesuai keinginan, gak pa-pa kok tinggal di sini. Semoga segera menemukan kontrakan atau kost yang sesuai dengan keinginan, Mbak Ratih," balasku. Mendengar ucapanku wanita itu hanya manggut-manggut.
"Ok, silakan Mbak Ratih istirahat, kami juga akan beristirahat," pintaku.
"Silakan, Mbak. Gak usah sungkan, anggap saja seperti di rumah sendiri," imbuh mas Aryo.
Perempuan itu pun tersenyum manis pada suamiku sebelum beranjak pergi.
"Auw!" Seketika dia menjerit ketika aku mencubit pahanya. "Enak saja suruh anggap seperti rumah sendiri," dengusku kesal setelah perempuan yang menggunakan daster panjang itu sudah berlalu ke ruang belakang.
"Auw!" Seketika dia menjerit ketika aku mencubit pahanya. "Enak saja suruh anggap seperti rumah sendiri," dengusku kesal setelah perempuan yang menggunakan daster panjang itu sudah berlalu ke ruang belakang. **** Seperti biasa aku selalu terbangun di sepertiga malam, langsung menuju ke ruang belakang untuk membersikan diri. Mandi sebelum subuh ini sudah menjadi kebiasaan bagiku setelah aku tahu betapa besar manfaatnya untuk tubuh dan kesehatan kita salah satunya bisa bantu hilangkan stres. Manfaat mandi sebelum subuh yang pertama adalah untuk membantu menghilangkan perasaan stres dan depresi yang kita alami, bantu cegah hipertensi, meningkatkan kesuburan, menjaga kesehatan kulit dan dapat menurunkan kadar gula darah. Setelah itu aku akan 'berbincang' pada Sang Pencipta, memohon ampunan juga meminta keberkahan. "Astaghfirullah," aku terjingkat ketika mendengar bunyi benda jatuh dari arah dapur. Setelah itu terdengar bunyi kompor dinyalakan. "Ya Allah, kenapa rumahku jadi horor be
21+ Kami yang baru setengah mainan pun harus berhenti karena mendengar teriakkan yang cukup keras. "Apa lagi sih?" gerutuku dengan suara serak. "Tunggu sebentar ya, Dek," ucap mas Aryo dengan napas memburu. "Gak usah, Mas. Biarin aja," sahutku manja, kemudian memutuskan melanjutkan kegiatan tadi. Namun, gair*h suamiku itu sudah tak seperti tadi. Aku pun menghentikan gerakannya, mendorongnya untuk melepaskan diri ini. "Hai ada apa?" tanyanya gusar. "Udahan, aku mau lihat kenapa perempuan itu teriak," balasku, dengan perasaan dongkol aku turun dari ranjang, merapikan pakaian lalu berjalan gontai ke luar kamar. "Ada apa, Mb-Astagfirullah," ucapku kaget. "Ada apa ini?" tanyaku. Aku yang tadinya kesal berubah menjadi panik melihat Ratih kewalahan memapah tubuh suaminya yang sudah terkapar di lantai. "Mas Aryo, tolong!" Bukannya menjawab, Ratih malah memanggil suamiku. "Sini-sini, biar saya bantu, Mbak." Aku pun bersiap untuk ikut mengangkat tubuh Agus. Namun dengan cepat Ratih men
Gusti Allah, dunia seolah berhenti berputar, aku benar-benar shock melihat apa yang terjadi di depan mata ... "Gusti Allah ...," lirihku menyebut nama Tuhanku. Kulihat mas Aryo sarapan berdua dengan Ratih, sesekali mereka berbincang lalu tertawa pelan bersama-sama. Kedua manusia itu menengok ke belakang ketika mendengar aku berdehem. "Eh, Dek. Sudah selesai baca Alqurannya? Yuk, sini! Ini Mbak Ratih sudah bikin sarapan dan sarapannya itu enak banget." Ucapannya itu secara tidak langsung sudah menjadi pujian untuk Ratih. Mendengar itu sudah membuat perempuan yang menggunakan daster panjang itu tersenyum malu. "Sini, Mbak. Sarapan bareng," ajaknya. Gusti Allah bahkan dia menawari untuk sarapan bareng? "Woi! Aku yang punya rumah!" Tentu saja itu hanya diucapkan dalam hati. Tanpa menjawab, kuteruskan langkahku ke tempat kompor.Mengambil persediaan mie instan lalu mulai memasaknya. Tak lagi terdengar mereka bersuara. Hingga akhirnya aku sudah tak bisa menahan lagi. "Mbak Ratih, kamu
"Yang sabar ya, Nak Mila," ucap Bu Asih ketika berpapasan denganku di depan rumah. "Ada apa?" Sungguh aku tak mengerti mengapa tetanggaku itu berkata begitu. Sebenarnya hati ini ingin sekali bertanya lebih banyak. Namun, karena waktu yang sudah mepet, aku harus menahannya dulu. Alhamdulillah, walau pikiran ini melayang saat naik sepeda tadi, gara-gara masih kepikiran kata-kata Bu Asih, "Yang sabar ya, Nak Mila" memang ada apa? Ih! Gemes deh! **** Hari ini terasa sangat panjang dan lama, apalagi gak begitu banyak pelanggan yang datang, semakin membuat hariku kurang bergairah. Aku hanya melirik sekilas ketika kurasakan sesuatu yang dingin menempel di tanganku. "Napa sih? Lesu banget hari ini?" tanya Ari temanku, wanita yang masih senang melajang itu memberikan sebungkus es tebu padaku. "Ar--" Aku mengurungkan niat untuk bercerita padanya. Rasanya malu jika harus mengumbar masalah rumah tangga kita. "Kenapa sih?" Ari semakin penasaran, jiwa keponya meronta-ronta. "Gak jadi ah," p
"Iya, dong. Kamu kan mantu kesayangan ibu," sahutnya. Ada yang aneh dari sikap ibu, mertuaku itu sama sekali tak menganggap jika ada Ratih di sini. **** Aku mengajak ibu masuk ke rumah, sambil menenteng beberapa bungkusan kresek. "Ini tadi aku yang membersihkan, Bu. Mbak Mila tadi gak sempet beres-beres, keburu kerja," celetuk Ratih tiba-tiba. "Ya bagus, dong! Kamu kan numpang di sini, jadi wajar kalau kamu sekedar bersih-bersih." Tak kusangka ucapan ibu sungguh menohok pas tepat sasaran. Bukankah mereka baru saja bertemu, tapi mengapa sepertinya ibu begitu tidak menyukai Ratih ya? Harusnya ibu itu menaruh simpati karena melihat kondisi Agus. Aneh!? *** Ibu benar-benar mengacuhkan Ratih, sedari tadi wanita kesayangan mas Aryo ini tak merespon pertanyaan yang sesekali Ratih ucapkan, bahkan beliau juga tidak mau meminum apa yang sudah Ratih buatkan. "Mil, ibu haus banget, tolong ambilkan ibu air ya," pintanya padaku. "Oh, iya, Bu," sahutku. "Kan sudah kubuatkan, Bu. Apa aku b
"Aryo masih belum kembali, setelah sampai di rumah dia langsung mengembalikan mobil bosnya." Ibu menjelaskan walau tanpa kutanya. Kembali aku hanya mengangguk.****Aku dan ibu masih di teras menunggu kedatangan mas Aryo, berbincang banyak hal, karena dari awal menjadi menantunya, aku sangat betah bila ngilobrol dengannya. Mas Aryo anak lelaki satu-satunya, dia terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara."Eh, Mbak Mila sudah pulang." Seperti biasa Ratih ikut nimbrung dengan kami, "udah dari tadi, Mbak?" tanyanya lagi."Iya, lumayan. Em ... Gimana, Mbak. Tawaranku yang kemarin?" Aku mencoba bersikap wajar."Tawaran apa, Mbak?" Entah dia benar-benar lupa atau cuma pura-pura."Soal kost-an, Mbak. Sampai kapan kamu mau tinggal di sini? Terus terang aku kurang nyaman jika kamu dan Agus lama-lama di sini," ucapku. Sementara ibu hanya memperhati
"Ada-ada saja, selalu saja seperti ini," gerutuku sambil melangkah ke pintu. Hati ini semakin kesal karena setiap kali membutuhkan sesuatu yang dipanggil itu selalu mas Aryo. Menyebalkan! "Ad-ada apa, Mbak?" tanyaku yang tak jadi kesal karena melihat wajahnya yang pucat. "Mbak, Mas Agus. Mas Agus jatuh lagi, tapi ada banyak darah di kepalanya, Mbak. Tolong," ratapnya padaku. "Ada apa ini? Ratih, kenapa, Rat? Apa yang terjadi?" tanya ibu. Kini perempuan yang sukses membuatku cemburu itu sudah terisak. Air matanya sudah menganak sungai di pipinya yang sedikit tirus. Ya Allah ... apa dia semenderita itu? Atau ini cuma pura-pura? Kami bergegas ke kamar yang di tempati Agus. Di sana terlihat Agus masih berada di lantai. Ada genangan darah di lantai, seperti dari kepalanya. "Jangan disentuh, Mila!" teriak ibu mengagetkanku, sontak kutarik kembali tanganku yang hampir menyentuh kepala Agus. "Kamu ambil air dan panggil suamimu," titah ibu padaku. "Iya, Bu," jawabku singkat, kemudian ge
"Mbak, Mbak, kayaknya ada yang aneh dengan mas Agus," ucap seseorang si sampingku. "Dari tadi dia diam saja gak gerak sama sekali," imbuhnya. Aku yang masih setengah sadar tiba-tiba jadi melek sempurna demi mendengar apa yang dikatakan Ratih. "Kok bisa? Jangan ngada-ngada kamu, bukankah dia tadi sudah baik-baik saja?!" sentakku karena kaget. **** Duka terlihat jelas di wajah suamiku, dia begitu terpukul, terus menerus menyalakan dirinya sendiri yang tidak langsung membawa Agus ke rumah sakit. Bukan hanya mas Aryo, semalam kami juga berfikir kalau Agus sudah baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu batas umur seseorang. Sering kali kita merasa tidak rela jika sesuatu yang kita sayang harus pergi untuk selamanya padahal kita tahu kalau jodoh, maut dan rezeki itu mutlak kehendak Allah SWT. **** Acara pemakaman sudah selesai, tak ada sanak saudara dari almarhum yang hadir. Sampai di sini aku masih belum bisa menemukan benang merah dari kejadian demi kejadian beberapa hari terakhir i